• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Gaya Bahasa Dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Gaya Bahasa Dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008 : 725) konsep

merupakan gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang ada di luar

bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk menambah hal-hal lain.

Jadi, konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

2.1.1 Gaya Bahasa

Keraf (2006:112) mengemukakan bahwa gaya atau khususnya gaya bahasa

dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin

stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian

menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan

tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis

indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis

atau mempergunakan kata-kata secara indah.

Penggunaan bahasa – bahasa indah dalam tulisan meningkatkan nilai suatu

cerita. Gaya bahasa dalam sebuah cerita merupakan cara pengarang

mengungkapkan pemikiran atau ide melalui bahasa yang khas dalam tulisan. Gaya

bahasa sangat menarik karena dapat menjadi ciri khas tersendiri dalam

menggambarkan jiwa dan kepribadian penulisnya. Sebuah gaya bahasa yang baik

harus mengandung tiga unsur berikut : 1) kejujuran, 2) sopan santun, dan 3)

(2)

2.1.2 Cerpen

Menurut Sumardjo dan Saini (1998 : 30) cerpen merupakan cerita

berbentuk prosa yang relatif pendek. Kata “pendek” dalam batasan ini tidak jelas

ukurannya. Ukuran pendek di sini diartikan sebagai : dapat dibaca sekali duduk

dalam waktu kurang dari satu jam. Dikatakan pendek juga karena genre ini hanya

mempunyai efek tunggal, karakter, plot, dan setting yang terbatas, tidak beragam

dan tidak kompleks.

Cerita pendek diuraikan menurut kata yang membentuknya berdasarkan

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 263) adalah sebagai berikut, cerita artinya

tuturan yang membentang bagaimana terjadinya suatu hal, sedangkan pendek

berarti kisah pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal

yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam situasi atau suatu

ketika.

2.1.3 Filosofi Kopi

Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005)

karya Dewi Lestari pertama kali diterbitkan pada tahun 2006. Filosofi Kopi :

Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) berisi delapan belas

tulisan yang berupa cerpen dan prosa, yakni : Filosofi Kopi (1996), Mencari

Herman (2004), Surat Yang Tak Pernah Sampai (2001), Salju Gurun (1998),

Kunci Hati (1998), Selagi Kau Lelap (2000), Sikat Gigi (1999), Jembatan Zaman

(1998), Kuda Liar (1998), Sepotong Kue Kuning (1999), Diam (2000), Cuaca

(1998), Lara Lana (2005), Lilin Merah (1998), Spasi (1998), Cetak Biru (1998),

(3)

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Stilistika

Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

stilistika. Stilistika adalah 1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan

dalam karya sastra ; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; 2)

penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa (Kridalaksana 1982 : 159).

Dalam Kamus Istilah Sastra, Sudjimar (1990 :79) menuliskan stilistika

(Stylistics), ilmu yang menyelidiki penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam

karya sastra. Dalam Leksikon Sastra, Yusuf (1995 : 277) menuliskan stilistika

(Stylistics), ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra,

perpaduan ilmu linguistik dan sastra.

Dalam Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman (1993 : 3) menyebutkan bahwa

stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika mengkaji

cara sastrawan memanipulasi memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat

dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika

meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri – ciri yang

membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana nonsastra, meneliti

derivasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer. Stilistika mengkaji wacana

sastra di satu pihak dan juga linguistik di lain pihak. Menurut Sudjiman (1993 :

13-14) menguraikan pusat perhatian stilistika adalah Style, yaitu cara yang

digunakan pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan

menggunakan bahasa sebagai sarana Style dapat diterjemahkan sebagai gaya

(4)

Dilihat dari sudut bahasa atau unsur – unsur bahasa yang digunakan, maka

gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang

dipergunakan, yaitu : 1) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, 2) gaya bahasa

berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, 3) gaya bahasa berdasarkan

struktur kalimat, dan 4) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna

(Keraf, 2006 : 115). Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini

biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech.

Gaya bahasa yang disebut trope atau figure of speech dalam uraian ini

dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata – mata

merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan

gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya

dalam bidang makna(Keraf, 2006 : 129).

2.2.2 Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna 2.2.2.1 Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata – mata

merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu

(Keraf, 2006 : 129). Gaya bahasa ini memiliki fungsi antara lain : menjelaskan,

memperkuat, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa, atau untuk

hiasan. Gaya bahasa retoris terdiri atas :

1. Aliterasi

Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi

konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang – kadang dalam

(5)

2. Asonansi

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi

vokal yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang – kadang dalam prosa

untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Misalnya :

Kura – kura dalam perahu, pura – pura tidak tahu.

3. Anastrof

Anastrof atau inversi adalah semacam gaya bahasa retoris yang diperoleh

dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Misalnya :

Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya.

4. Apofasis atau Preterisio

Apofasis atau disebut juga dengan preterisio merupakan sebuah gaya

dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya

menyangkal. Berpura – pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia

menekankan hal itu. Misalnya :

Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya

saya ingin mengatakan bahwa Anda pasti membiarkan anda menipu diri

sendiri.

5. Apostrof

Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari

para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh

orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu massa, si orator

secara tiba - tiba mengarahkan pembicaraan langsung kepada sesuatu yang tidak

(6)

khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada

hadirin. Misalnya :

Hai kamu dewa – dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah

kami dari belenggu penindasan ini.

6. Asindeton

Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan

mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak

dihubungkan dengan kata sambung. Misalnya

Materi pengalaman diaduk – aduk, modus eksistensi dari cogito ergo sum

dicoba, medium bahasa dieksploitir, imaji – imaji, metode, prosedur,

dijungkir balik, masih itu – itu juga.

7. Polisindeton

Polisidenton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton.

Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain

dengan kata – kata sambung. Misalnya :

Dan ke manakah burung – burung yang gelisah dan tak berumah dan tak

menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu – bulunya?

8. Kiasmus

Kiasmus (chiasmus) adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri

atas dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan

dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik

bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Misalnya :

Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk

(7)

9. Elipsis

Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur

kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau

pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang

berlaku. Misalnya :

Masihkah kau tidak peraya bahwa dari segi fisik engkau tak apa – apa,

badanmu sehat, tetapi psikis ....

10. Eufemismus

Kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani

euphemizein yang berarti “mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau

dengan tujuan yang baik”. Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah semacam

acuan berupa ungkapan – ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau

ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin

dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang

tidak menyenangkan. Misalnya :

Ayahnya sudah tak ada di tengah – tengah mereka (= mati).

11. Litotes

Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan

sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari

keadaan sebenarnya. Atau suau pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan

katanya. Misalnya :

Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun –

(8)

12. Histeron Proteron

Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan

kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar,

misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Gaya

bahasa ini disebut juga hiperbaton. Misalnya :

Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh

dengan tenang.

13. Pleonasme dan Tautologi

Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang

mempergunakan kata – kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk

menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata

yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Misalnya :

Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.

Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu

sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya :

Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat.

14. Perifrasis

Perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu

mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak

dalam hal bahwa kata – kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan

satu kata saja. Misalnya :

(9)

15. Prolepsis atau Antisipasi

Prolepsis atau Antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang

mempergunakan lebih dahulu kata – kata sebelum peristiwa atau gagasan yang

sebenarnya terjadi. Misalnya :

Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru.

16. Erotesis atau Pertanyaan Retoris

Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang

dipergunakan dalam pidato batau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang

lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki

adanya suatu jawaban. Misalnya :

Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan menipulasi

di negara ini ?

17. Silepsis dan Zeugma

Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua

konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang

sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.

Dalm silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi

secara semantik tidak benar. Misalnya :

Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.

Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya,

sebenarnya hanya cocok untuk sala satu daripadanya (baik secara logis maupun

gramatikal). Misalnya :

(10)

18. Koreksio atau Epanortosis

Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula – mula

menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Misalnya :

Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali.

19. Hiperbola

Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu

pernyataan yang berlebihan, dengan membesar – besarkan sesuatu hal. Misalnya :

Kemarahanku sudah menjadi – jadi hingga hampir – hampir meledak aku.

20. Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan

yang nyata dengan fakta – fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal

yang menarik perhatian karena kebenarannya. Misalnya :

Musuh sering merupakan kawan yang akrab.

21. Oksimoron

Oksimoron (okys = tajam, moros = gila, tolol) adalah suatu acuan

berusaha untuk menggabungkan kata – kata untuk mencapai efek yang

bertentangan. Dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang

mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata – kata yang berlawanan

dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam daripada

paradoks. Misalnya :

(11)

2.2.2.2 Gaya Bahasa Kiasan

Gaya bahasa kiasan ini pertama – tama dibentuk berdasarkan

perbandingan atau persamaan. Memb andingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang

lain, berarti mencoba menemukan ciri – ciri yang menunjukkan kesamaan antara

kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu

perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan

perbandingan yang termasuk dalam bahasa kiasan. Kelompok pertama termasuk

gaya bahasa langsung dan kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan.

(1) Dia sama pintar dengan kakaknya.

Kerbau itu sama kuat dengan sapi.

(2) Matanya seperti bintang timur.

Bibirnya seperti delima merekah.

Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya.

Perbandingan biasa mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang

sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal

yang termasuk dalam kelas yang berlainan (Keraf, 2006 : 136).

Gaya bahasa kiasan terdiri atas :

1. Persamaan atau Simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang

dimaksud perbandingan yang bersifat eksplisit adalah bahwa ia langsung

menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya

yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata – kata : seperti, sama,

sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misalnya :

(12)

Kadang – kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang

mau dibandingkan, seperti : Bagai duri dalam daging.

2. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara

langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat : bunga bangsa, buaya darat, buah

hati, cindera mata, dan sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak

mempergunakan kata : seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga

pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya

sama dengan simile tetapi secara berangsur – angsur keterangan mengenai

persamaan dan pokok pertama dihilangkan, misalnya :

Pemuda adalah seperti bunga bangsa. Pemuda adalah bunga

bangsa, Pemuda Bunga bangsa.

3. Alegori, Parabel, dan Fabel

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kisahan. Dalam

alegori, nama – nama pelakunya adalah sifat – sifat yang abstrak, serta tujuannya

selalu jelas tersurat. Misalnya :

Cerita tentang putri salju.

Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh – tokoh yang biasanya

manusia, yang selalu mengandung tema moral dan biasanya berhubungan dengan

agama. Misalnya :

Cerita tentang anak durhaka kepada orang tuanya.

Fabel adalah suatu metafora yang berbentuk cerita mengenai dunia binatang,

dimana binatang dapat bertingkah laku seperti manusia. Misalnya :

(13)

4. Personifikasi

Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan

benda – benda mati atau barang – barang yang tidak bernyawa seolah – olah

memiliki sifat – sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu

corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda – benda mati bertindak,

berbuat, berbicara seperti manusia. Misalnya :

Matahari baru saja kembali ke peraduannya, ketika kami tiba disana.

5. Alusi

Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan

antara orang, tempat, atau peristiwa. Misalnya :

Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya.

6. Eponim

Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering

dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan

sifat itu. Misalnya :

Anak itu masih kecil, namun kekuatannya seperti Hercules.

7. Epitet

Epitet (epiteta) adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau

ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa

deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu

barang. Misalnya :

(14)

8. Sinekdoke

Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan

sebagiann dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau

mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro toto).

Misalnya :

Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000 (pars pro toto).

Indonesia memenangkan medali di kejuaraan bulu tangkis dunia (totem

pro parte).

9. Metonimia

Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata

untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.

Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil pertemuan, pemilik untuk barang

yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan

kulitnya, dan sebagainya. Misalnya :

Ia membeli sebuah chevrolet.

10. Antonomasia

Antonomasia merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang

berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar

resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya :

Yang Mulia tidak dapat menghadiri pertemuan ini.

11. Hipalase

Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu

(15)

sebuah kata yang lain. Dapat dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan

dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan. Misalnya :

Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah adalah

manusianya, bukan bantalnya).

12. Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan

hal lain yang berlawanan dengan tujuan agar orang yang dituju tersindir secara

halus. Misalnya :

Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua

kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya!

Sinisme adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan

menggunakan hal yang berlawanan dengan tujuan agar orang tersindir secara

lebih tajam dan menusuk perasaan. Misalnya :

Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua

kebijaksanaan akan lenyap bersamamu!

Sarkasme adalah gaya bahasa yang melontarkan tanggapan secara pedas

dan kasar tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Misalnya :

Kelakuanmu memuakkan saya.

13. Satire

Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk

ini tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan

manusia. Misalnya :

Jangan pernah berpikir kau adalah dewa, menghadapi masalah seperti ini

(16)

14. Inuendo

Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang

sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering

tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu. Misalnya :

Ia menjadi kaya raya karena sedikit mengadakan komersialisasi

jabatannya.

15. Antifrasis

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata

dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri.

Misalnya :

Lihatlah sang raksasa telah datang (maksudnya si cebol).

16. Pun atau Paronamasia

Pun atau Paronamasia adalah kiasan yang menggunakan kemiripan bunyi

yang berupa permainan kata, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.

Misalnya : “Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”.

Uraian di atas berisi tentang gaya bahasa retoris dan kiasan yang akan

digunakan sebagai landasan teori penelitian ini. Gaya bahasa ini memiliki fungsi

yang berbeda – beda di setiap kalimat. Fungsi gaya bahasa tersebut dapat sebagai

menjelaskan dan memperkuat makna, menambah nilai keindahan atau estetik,

menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa (hiburan), atau sekedar

hiasan. Keseluruhan jenis gaya bahasa inilah yang akan diterapkan

(17)

2.2.3 Semantik

Chaer (1995 : 2) mengungkapkan bahwa kata semantik dalam bahasa

Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda)

yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata semantik sebagai istilah yang

digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda

linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat

diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga

tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.

Menurut pandangan Ferdinand de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri

atas dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain

dari pada konsep atau makna dari suatu tanda bunyi dan (2) yang mengartikan

(signifiant, signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa

yang bersangkutan. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual)

yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan

unsur luar bahasa (ekstralingual).

Makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang,

yaitu :

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina

leksikon. Makna leksikal adalah makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem,

atau bersifat kata. Makna leksikal juga dapat dikatakan makna yang sesuai dengan

referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna

yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpanya kata tikus makna

(18)

timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati

diterkam kucing.

Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna

gramatikal. Jika makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata

yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang

hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses

reduplikasi, dan proses komposisi. Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat

dalam kalimat Batu seberat itu terangakat juga oleh adik melahirkan makna

‘dapat’.

2. Makna Referensial dan Nonreferensial

Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada

tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen,

yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut

kata bermakna referensial. Jika kata-kata tidak mempunyai referen , maka kata itu

disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang

bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot

rumah tangga yang disebut meja dan kursi. Sebaliknya kata karena dan tetapi

tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang

bermakna nonreferensial.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab

makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan

hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau

(19)

faktual objektif. Seperti contoh kata perempuan dan wanita kedua kata ini

mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu ‘manusia dewasa bukan laki-laki’.

Makna konotatif apabila kata itu mempunyai ‘nilai rasa’ baik positif

maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki

konotasi. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata

ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti cerewet, tetapi sekarang

konotasinya positif.

4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif

Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem

terlepas dari konteks atatu asosiasi apapun. Makna konseptual sama saja dengan

makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial. Makna asosiatif adalah

makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan

kata itu dengan sesuatu yang brada di luar bahasa. Misalnya, kata melati

berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.

5. Makna Kata dan Makna Istilah

Makna kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya

makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks

kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai

makna yang jelas, pasti, tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat.

Sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.

Perbedaan makna kata dan istilah, yaitu 1) Tangannya luka kena pecahan kaca, 2)

Lengannya luka kena pecahan kaca. Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat

tersebut bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata tersebut

(20)

tangan, sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal

bahu.

6. Makna Kias

Semua bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak

merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, arti denotatif) disebut

mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti

“bulan‟ dan raja siang dalam arti ”matahari” semuanya mempunyai arti kiasan.

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang gaya bahasa yang relevan sebagai sumber adalah

sebagai berikut:

Nurul Fitriah (2010) dalam skripsi yang berjudul Gaya Bahasa Retoris

dan Kiasan Dalam Rectoverso Karya Dewi Lestari. Ia membahas tentang gaya

bahasa retoris dan kiasan serta gaya bahasa paling dominan.Gaya bahasa dalam

novel Rectoverso disimpulkan bahwa hanya terdapat sebelas macam gaya bahasa

retoris, yaitu Aliterasi, Asonansi, Anastrof, Apostrof, Asindeton, Elipsis,

Eufemismus, Prolepsis atau Antisipan, Erotesis atau Pertanyaan Retoris, Koreksio

dan Epanortosis, Dan Hiperbola. Sedangkan gaya bahasa kiasan hanya enam gaya

bahasa, yaitu Simile, Metafora, Alegori, Personifikasi, Sinekdoke Pars Pro Toto,

dan Antonomasia. Kemudian gaya bahasa yang paling dominan digunakan adalah

gaya bahasa Simile.

Suryati (2014) dalam skripsi yang berjudul Analisis Gaya Bahasa

Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A Navis. Gaya bahasa dalam

(21)

bahasa berdasarkan teori Henry Guntur Tarigan yang terdiri atas : 1) gaya bahasa

perbandingan meliputi ; Perumpamaan, Personifikasi, Antitesis, dan Perifrasis. 2)

gaya bahasa pertentang meliputi ; Hiperbola, Klimaks, dan Antiklimaks. 3) gaya

bahasa pertautan meliputi ; Eufemisme, Epitet, dan Asindeton. 4) gaya bahasa

perulangan meliputi ; Epizeukis, Tautotes, Anafora, Epistrofa, Epanalepsis, dan

Anadiplosis.

Lazfihma (2014) dalam skripsi yang berjudul Analisis Gaya Bahasa dalam

Slogan Iklan Minuman di Televisi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

terdapat (1) sepuluh kategori gaya bahasa yang terdiri dari 3 gaya bahasa

metafora, 18 gaya bahasa hiperbola, 4 gaya bahasa personifikasi, 3 gaya bahasa

aliterasi, 4 gaya bahasa asonansi, 8 gaya bahasa repetisi, 6 gaya bahasa pertanyaan

retoris, 2 gaya bahasa sinekdoke, 2 gaya bahasa elipsis, dan 2 makna denotatif (2)

makna yang terkandung dalam slogan iklan minuman teh dan kopi di televisi.

Marini (2010) dalam tesisnya yang berjudul Analisis Stilistika Novel

Laskar Pelangi.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keunikan pemilihan dan

pemakaian kosakata terdapat pada leksikon bahasa asing, leksikon bahasa Jawa,

leksikon ilmu pengetahuan, kata sapaan, kata konotatif pada judul. Kekhususan

aspek morfologis dalam novel Laskar Pelangi yaitu pada penggunaan afiksasi

leksikon bahasa Jawa dan bahasa Inggris serta reduplikasi dalam leksikon bahasa

Jawa. Kemudian aspek sintaksis meliputi penggunaan repetisi, kalimat majemuk

dan pola kalimat inversi. Pemanfaatan gaya bahasa figuratif yang unik dan

menimbulkan efek-efek estetis pada pembaca yaitu idiom, arti kiasan, konotasi,

Referensi

Dokumen terkait

Implikasi Teoritis dalam penelitian ini bagaimana Teori sinyal yang dikemukakan oleh Spence (1973) yang menyatakan tentang pentingnya suatu informasi yang

Berdasarkan sistem pengukuran kinerja dengan menggunakan metode Performance Prism, maka dapat diidentifikasi 28 (dua puluh delapan) Key Performance Indicator (KPI)

Dalam hal tanggung jawab profesi, tugas dosen adalah: (1) Tanggung jawab untuk selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dalam disiplin akademiknya, dengan

Hasil penelitian ini menunjukkan sistem penataan arsip sudah berjalan dengan baik ,bidang Catatan Sipil Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Tebing Tinggi menggunakan

The analyst(s) named in this report certifies that all of the views expressed by the analyst(s) in this report reflect the personal views of the analyst(s) with regard to any and

Ketiga , permintaan masyarakat yang terus meningkat akan tersedianya pendidikan tinggi merupakan pertanda perubahan yang signifikan, patut diimbangi dengan

Tercapainya indikator keberhasilan peneliti membuktikan bahwa implementasi model Quantum Teaching dengan teknik BDB dapat meningkatkan hasil belajar IPS yang meliputi ranah

Bidang tersebut merupakan suatu bidang lengkung yang dapat digunakan sebagai bidang referensi hitungan untuk menyatakan posisi titik-titik di atas permukaan bumi