• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS GAYA BAHASA DALAM KUMPULAN CERPEN FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI SKRIPSI TRI SUCI RAMADANI NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS GAYA BAHASA DALAM KUMPULAN CERPEN FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI SKRIPSI TRI SUCI RAMADANI NIM"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS GAYA BAHASA DALAM KUMPULAN CERPEN FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI

SKRIPSI

OLEH

TRI SUCI RAMADANI NIM 120701024

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016

(2)

ANALISIS GAYA BAHASA DALAM KUMPULAN CERPEN FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI

SKRIPSI

OLEH

TRI SUCI RAMADANI NIM 120701024

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Dardanila, M.Hum Dra. Mascahaya, M.Hum

NIP. 19610331 198702 2 001 NIP. 19590819 198601 2 001

Disetujui Oleh : Departemen Sastra Indonesia

Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

NIP. 19620925 198903 1 017

(3)

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Tri Suci Ramadani NIM : 120701024

Jurusan : Sastra Indonesia Fakultas : Ilmu Budaya USU

Judul : Analisis Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memeroleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yag tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh

Medan, September 2016

Penulis

Tri Suci Ramadani NIM 120701024

(4)

ANALISIS GAYA BAHASA DALAM KUMPULAN CERPEN FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI

TRI SUCI RAMADANI FAKULTAS ILMU BUDAYA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan gaya bahasa retoris dan kiasan, 2) makna yang terkandung dalam gaya bahasa dan 3) mendeskripsikan gaya bahasa yang dominan dalam Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995-2005) Karya Dewi Lestari. Penelitian ini bersifat kualitatif deskritif dan kuantitatif. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak dan catat. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik baca markah. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan sepuluh jenis gaya bahasa yang termasuk dalam gaya bahasa retoris, yaitu asonansi, asindeton, polisindeton, eufemismus, perifrasis, elipsis, tautologi, litotes, pertanyaan retoris, dan hiperbola.

Sedangkan gaya bahasa kiasan ditemukan empat jenis gaya bahasa, yaitu persamaan atau simile, metafora, personifikasi dan eponim. Makna yang terkandung dalam gaya bahasa, yaitu makna leksikal, gramatikal, referensial, nonreferensial, denotatif, konotatif, konseptual, kata, dan makna kias. Jenis gaya bahasa yang dominan digunakan adalah gaya bahasa persamaan atau simile yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Dalam penelitian ini, Dewi Lestari mempergunakan gaya bahasa persamaan atau simile untuk mengungkapkan perasaan dan memberikan efek keindahan dalam bentuk bahasa sehingga membangkitkan imajinasi pembaca.

Kata kunci:Stilistika, Gaya Bahasa, Makna Semantik, Filosofi Kopi, Dewi Lestari.

(5)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat, hidayah dan perlindungan-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian yang berjudul Analisis Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari ditulis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, peneliti telah banyak menerima bantuan, bimbingan, pengarahan, dan saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia dan selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Budaya.

2. Drs. Haris Sutan Lubis, M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya.

3. Dr. Dardanila, M.Hum. selaku Pembimbing I, atas kesediaan dan kesabarannya untuk memberikan bimbingan, saran, ilmu, motivasi, dan kasih sayang selama penulisan skripsi ini.

4. Dra. Mascahaya, M.Hum. selaku Pembimbing II, atas kesediaan dan kesabarannya untuk memberikan bimbingan, saran, ilmu, motivasi, dan kasih sayang selama penulisan skripsi ini.

5. Dr. Dwi Widayati, M.Hum dan Drs. Pribadi Bangun selaku dosen penguji, yang telah memberikan banyak masukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

6. Drs. Isma Tantawi, M.Hum. selaku dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan nasihat, semangat, dan kasih sayang semasa perkuliahan.

7. Seluruh Bapak/Ibu staf pengajar di Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan bagi penulis selama mengikuti perkuliahan.

(6)

8. Bapak Slamet yang telah membantu penulis dalam hal administrasi di Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

9. Teristimewa untuk orang tua peneliti Bapak Suhartono dan Ibu Rusiana yang selalu mendoakan dan memberikan kasih sayang, perhatian, semangat dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Adik – adik peneliti Elfia Yusdani, Junita Fadillah, dan Ayu Puspa Ningrum yang selalu mendoakan dan memberikan perhatian serta semangat.

11. Wak Lina, Wak Rosma, Wak Iyah, Paklek Suhardi, Paklek Sucipto, Paklek Supandi, Mhd. Rizky Juliansyah, Achmad Hatta Nugraha, Umi Kalsum, Bobby Ofvilla Brahmana, Halima Siregar, Dieni Annisa, Maysarah Sagala, Kiki Hasibuan, Abang Rivan, Kakak Novi, Kakak Ira, Kakak Imay, Agung Pranata, Imanuel Sianturi, Sofyan Rahmat Rambe, Irza Dwi Cahyadi, Evan Simanulang, Keluarga Umi Siti Zubaidah dan Keluarga Ibu Yusniati, yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada peneliti.

12. Rahmat Zaki Sirait, Muhammad Ikhsan dan seluruh sahabat Sastra Indonesia, atas motivasi, pengalaman, dan kerja sama, selama masa perkuliahan.

Akhirnya dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati, peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Atas partisipasi dan dukungannya peneliti sampaikan terima kasih.

Medan, September 2016

Peneliti

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN ……….. i

ABSTRAK ……….. ii

PRAKATA ……….. iii

DAFTAR ISI ………... v

BAB I. PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ……….. 1

1.2 Rumusan Masalah ………. 5

1.3 Batasan Masalah ……… 5

1.4 Tujuan Penelitian ……….. 6

1.5 Manfaat Penelitian ……… 6

1.5.1 Manfaat Teoretis ……….. 6

1.5.2 Manfaat Praktis ……… 6

BAB II. KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ………... 7

2.1 Konsep ………... 7

2.1.1 Gaya Bahasa ………. 7

2.1.2 Cerpen ……….. 8

2.1.3 Filosofi Kopi ……… 8

2.2 Landasan Teori ………... 9

2.2.1 Stilistika ……… 9

2.2.2 Gaya Bahasa Berdasarkan Lansung Tidaknya Makna…….. 10

2.2.2.1 Gaya Bahasa Retoris ………... 10

2.2.2.2 Gaya Bahasa Kiasan ……… 17

2.2.3 Semantik ………... 22

2.3 Tinjauan Pustaka ……… 26

(8)

BAB III. METODE PENELITIAN ………... 28

3.1 Waktu Penelitian ………... 28

3.2 Sumber Data ………... 28

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ……… 28

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ………... 29

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 32

4.1 Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari ……….. 32 4.1.1 Gaya Bahasa Retoris ………. 45

4.1.2 Gaya Bahasa Kiasan ……….. 58

4.2 Makna Semantik dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari ………... 65 4.3 Gaya Bahasa Dominan dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari ………... 85 BAB V. PENUTUP 87 5.1 Simpulan ………... 87

5.2 Saran ……….. 88

DAFTAR PUSTAKA ………. 89

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa berupa sistem simbol bunyi dihasilkan oleh alat ucap manusia yang memiliki fungsi dan peranan yang berarti dalam kehidupan manusia terutama untuk berkomunikasi. Chaer (1994 : 11) menyatakan bahwa fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia. Melalui bahasa, antar manusia dapat berinteraksi dan berkomunikasi untuk mengungkapkan gagasan, pendapat, pikiran, keinginan, dan menyampaikan informasi kepada orang lain.

Kridalaksana (dalam Chaer, 1994 : 33) mengemukakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa merupakan hasil dari aktivitas manusia. Melalui bahasa akan terungkap suatu hal yang ingin disampaikan pembaca kepada pendengar, penulis kepada pembaca, dan penyapa kepada pesapa. Suatu hal tersebut berupa informasi – informasi baik berupa lisan dalam bentuk ujaran maupun yang berupa tulisan.

Cerita pendek disebut juga dengan cerpen merupakan salah satu wujud pemakaian bahasa secara tertulis. Cerpen adalah cerita fiktif atau tidak benar – benar terjadi, tetapi bisa saja terjadi kapanpun serta dimanapun dan ceritanya relatif pendek dan singkat. Rahmanto dan Hariyanto (1998 : 1.29) bahwa suatu karya sastra dapat digolongkan ke dalam bentuk cerpen apabila kisahan dalam cerpen tersebut memberikan kesan tunggal yang dominan, memusatkan diri pada

(10)

satu tokoh atau beberapa orang tokoh dalam satu situasi, dan pada satu saat.

Sebuah cerpen tidak terlepas dari bahasa yang khas. Pemakaian bahasa yang khas dapat dilihat dari topik atau tema, kalimat yang digunakan, pilihan kata, gaya bahasa, dan sebagainya. Ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa dalam sebuah karya sastra dengan pendekatan secara linguistik adalah stilistika.

Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Sangat menarik bahwa dalam perkembangan linguistik terapan bahwa munculnya minat bahkan kesungguhan hati para pakar linguis untuk menerapkan teori dan pendekatan linguistik dalam rangka pengkajian sastra. Begitu eratnya pengkajian bahasa dan sastra, sehingga bidang studi stilistika menjadi incaran yang menggairahkan bagi para ahli bahasa dan ahli sastra. Stilistika dapat dianggap menjembatani kritik sastra dan linguistik, karena stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik (Sudjiman 1993 : 3).

Kajian stilistika dapat ditujukan dalam berbagai ragam penggunaan bahasa, tidak terbatas pada sastra saja. Biasanya lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra.

Pada prinsipnya pusat perhatian stilistika adalah gaya bahasa, yaitu cara yang digunakan oleh seseorang untuk mengutarakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana.

Edi Subroto, dkk (1997: 24) menyatakan bahwa, analisis stilistika dengan telaah linguistik tidak berpretensi atau berkeinginan untuk menggantikan fungsi dan tugas kritik sastra, akan tetapi boleh dikatakan hanya sekedar pioner pembuka jalan bagi kegiatan kritik sastra yang lebih efektif. Stilistika mengkaji sebuah fenomena bahasa mulai dari fonologi (ilmu bunyi) hingga semantik (makna dari arti bahasa).

(11)

Salah satu penggunaan bahasa yang memberikan pengaruh untuk meyakinkan pembaca adalah gaya bahasa. Gaya merupakan perwujudan penggunaan bahasa oleh seorang penulis untuk mengemukakan gambaran, gagasan, pendapat, dan membuahkan efek tertentu bagi penanggapnya sebagaimana cara yang digunakannya (Aminuddin 1995 : 1).

Gaya bahasa terdapat dalam seluruh ragam bahasa, yaitu ragam bahasa lisan dan bahasa tulisan. Ragam bahasa lisan meliputi mimik, gerak tubuh, tekanan suara, dan sebagainya. Sedangkan ragam bahasa tulisan meliputi pikiran dan perasaan yang ditulis dalam sebuah karya. Gaya bahasa dapat digunakan dalam segala ragam bahasa baik ragam lisan, tulis, nonsastra, dan ragam sastra, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu (Sudjiman 1993 : 13).

Penggunaan gaya bahasa sering menimbulkan kesulitan untuk memahami cerita oleh pembaca. Selain menggunakan banyak kosa kata, pembaca harus menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang dalam penggunaan bahasa tertentu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya; semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan padanya (Keraf, 2006 : 113).

Gaya bahasa merupakan aspek penting dalam karya sastra karena gaya bahasa menunjukkan ciri khas pengarang untuk mengungkapkan perasaannya dalam menyampaikan pesan kepada pembaca yang dapat membedakan antara pengarang satu dan pengarang lainnya. Salah satu penulis di Indonesia yang kini menarik perhatian para pembaca adalah Dewi Lestari atau yang lebih dikenal dengan nama pena Dee. Dee lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Lulusan jurusan

(12)

Hubungan Internasional Universitas Parahyangan ini lebih dikenal sebagai seorang novelis. Sejak diterbitkan novel Supernova : Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh yang populer pada tahun 2001. Dewi Lestari semakin populer dengan karya – karyanya yang menjadi best seller seperti novel Perahu Kertas, Kumpulan Cerita : Madre, Kesatria Putri dan Bintang Jatuhh dan Rectoverso.

Salah satu karya Dewi Lestari yang menarik peneliti adalah Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) yang merupakan salah satu karya terbaik pilihan Majalah Tempo Tahun 2006 dan menjadi 5 Besar Khatulistiwa Award kategori fiksi di tahun yang sama. Cerpen yang berjudul Filosofi Kopi (1996) merupakan salah satu cerita yang berhasil diangkat dalam sebuah film Filosofi Kopi The Movie yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko pada Tahun 2015. Gaya bahasa yang digunakan pengarang dan bagaimana cara penyampaiannya merupakan salah satu bagian yang menarik dalam karyanya. Hal inilah yang menjadi menarik untuk diteliti bagaimana penggunaan gaya bahasa mempengaruhi karya – karya yang ditulisnya.

Penelitian mengenai gaya bahasa ini difokuskan pada kumpulan cerpen yang terdapat dalam Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) yang terdiri atas sembilan cerita dan diprioritaskan pada segi – segi kebahasaan yang mengkaji gaya bahasa retoris dan kiasan serta menentukan makna yang terkandung dalam gaya bahasa tersebut.

(13)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan pada penelitian ini adalah:

a. Apa saja gaya bahasa retoris dan kiasan yang terdapat dalam Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) karya Dewi Lestari?

b. Bagaimana makna semantik yang terkandung pada gaya bahasa Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) karya Dewi Lestari?

c. Jenis gaya bahasa apakah yang paling dominan dalam Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) karya Dewi Lestari?

1.3 Batasan Masalah

Ruang lingkup penelitian ini hanya terbatas pada masalah gaya bahasa ditinjau berdasarkan langsung tidaknya makna, yaitu gaya bahasa retoris dan kiasan dan makna semantik serta menentukan jenis gaya bahasa yang dominan yang terkandung dalam Filosofi Kopi . Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) karya Dewi Lestari yang terdiri atas sembilan cerpen dan sembilan prosa. Dalam hal ini, penulis hanya meneliti cerpen yang termasuk jenis karya sastra yang relatif pendek dan singkat dan memberikan kesan tunggal kepada pembaca. Oleh karena itu, penelitian ini hanya meneliti sembilan cerpen yang terdapat dalam buku tersebut.

(14)

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini memiliki tujuan, yaitu:

1. Mendeskripsikan gaya bahasa retoris dan kiasan yang terdapat dalam Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) karya Dewi Lestari.

2. Mendeskripsikan makna semantik yang terkandung pada gaya bahasa yang digunakan Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) karya Dewi Lestari.

3. Mendeskripsikan jenis gaya bahasa yang paling dominan dalam Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) karya Dewi Lestari.

1.5 Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua manfaat yang mempedomani penyajian data. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1.5.1 Manfaat Teoretis

1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan pengetahuan tentang kajian linguistik khususnya ilmu stilistika.

2. Menambah kajian analisis gaya bahasa khususnya pemakaian gaya bahasa retoris dan kiasan dengan objek kajian cerpen.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi peneliti lain yang ingin membicarakan gaya bahasa dalam cerpen.

2. Menambah wawasan bagi para pembaca tentang gaya bahasa dan makna yang terkandung dalam cerpen.

(15)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008 : 725) konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk menambah hal-hal lain.

Jadi, konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

2.1.1 Gaya Bahasa

Keraf (2006:112) mengemukakan bahwa gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah.

Penggunaan bahasa – bahasa indah dalam tulisan meningkatkan nilai suatu cerita. Gaya bahasa dalam sebuah cerita merupakan cara pengarang mengungkapkan pemikiran atau ide melalui bahasa yang khas dalam tulisan. Gaya bahasa sangat menarik karena dapat menjadi ciri khas tersendiri dalam menggambarkan jiwa dan kepribadian penulisnya. Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut : 1) kejujuran, 2) sopan santun, dan 3) menarik.

(16)

2.1.2 Cerpen

Menurut Sumardjo dan Saini (1998 : 30) cerpen merupakan cerita berbentuk prosa yang relatif pendek. Kata “pendek” dalam batasan ini tidak jelas ukurannya. Ukuran pendek di sini diartikan sebagai : dapat dibaca sekali duduk dalam waktu kurang dari satu jam. Dikatakan pendek juga karena genre ini hanya mempunyai efek tunggal, karakter, plot, dan setting yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks.

Cerita pendek diuraikan menurut kata yang membentuknya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 263) adalah sebagai berikut, cerita artinya tuturan yang membentang bagaimana terjadinya suatu hal, sedangkan pendek berarti kisah pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam situasi atau suatu ketika.

2.1.3 Filosofi Kopi

Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) karya Dewi Lestari pertama kali diterbitkan pada tahun 2006. Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) berisi delapan belas tulisan yang berupa cerpen dan prosa, yakni : Filosofi Kopi (1996), Mencari Herman (2004), Surat Yang Tak Pernah Sampai (2001), Salju Gurun (1998), Kunci Hati (1998), Selagi Kau Lelap (2000), Sikat Gigi (1999), Jembatan Zaman (1998), Kuda Liar (1998), Sepotong Kue Kuning (1999), Diam (2000), Cuaca (1998), Lara Lana (2005), Lilin Merah (1998), Spasi (1998), Cetak Biru (1998), Budha Bar (2005) dan Rico de Coro (1995).

(17)

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Stilistika

Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori stilistika. Stilistika adalah 1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra ; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; 2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa (Kridalaksana 1982 : 159).

Dalam Kamus Istilah Sastra, Sudjimar (1990 :79) menuliskan stilistika (Stylistics), ilmu yang menyelidiki penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dalam Leksikon Sastra, Yusuf (1995 : 277) menuliskan stilistika (Stylistics), ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra, perpaduan ilmu linguistik dan sastra.

Dalam Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman (1993 : 3) menyebutkan bahwa stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri – ciri yang membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana nonsastra, meneliti derivasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer. Stilistika mengkaji wacana sastra di satu pihak dan juga linguistik di lain pihak. Menurut Sudjiman (1993 : 13-14) menguraikan pusat perhatian stilistika adalah Style, yaitu cara yang digunakan pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana Style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa.

(18)

Dilihat dari sudut bahasa atau unsur – unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu : 1) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, 2) gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, 3) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan 4) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna (Keraf, 2006 : 115). Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech.

Gaya bahasa yang disebut trope atau figure of speech dalam uraian ini dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata – mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna(Keraf, 2006 : 129).

2.2.2 Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna 2.2.2.1 Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata – mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf, 2006 : 129). Gaya bahasa ini memiliki fungsi antara lain : menjelaskan, memperkuat, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan. Gaya bahasa retoris terdiri atas :

1. Aliterasi

Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang – kadang dalam prosa, untuk hiasan atau penekanan. Misalnya : Takut titik lalu tumpah.

(19)

2. Asonansi

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang – kadang dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Misalnya :

Kura – kura dalam perahu, pura – pura tidak tahu.

3. Anastrof

Anastrof atau inversi adalah semacam gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Misalnya :

Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya.

4. Apofasis atau Preterisio

Apofasis atau disebut juga dengan preterisio merupakan sebuah gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura – pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Misalnya :

Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa Anda pasti membiarkan anda menipu diri sendiri.

5. Apostrof

Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu massa, si orator secara tiba - tiba mengarahkan pembicaraan langsung kepada sesuatu yang tidak hadir, kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek

(20)

khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada hadirin. Misalnya :

Hai kamu dewa – dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini.

6. Asindeton

Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Misalnya

Materi pengalaman diaduk – aduk, modus eksistensi dari cogito ergo sum dicoba, medium bahasa dieksploitir, imaji – imaji, metode, prosedur, dijungkir balik, masih itu – itu juga.

7. Polisindeton

Polisidenton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton.

Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata – kata sambung. Misalnya :

Dan ke manakah burung – burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu – bulunya?

8. Kiasmus

Kiasmus (chiasmus) adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri atas dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Misalnya :

Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu.

(21)

9. Elipsis

Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku. Misalnya :

Masihkah kau tidak peraya bahwa dari segi fisik engkau tak apa – apa, badanmu sehat, tetapi psikis ....

10. Eufemismus

Kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang berarti “mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik”. Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan – ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Misalnya :

Ayahnya sudah tak ada di tengah – tengah mereka (= mati).

11. Litotes

Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya. Atau suau pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Misalnya :

Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun – tahun lamanya.

(22)

12. Histeron Proteron

Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Gaya bahasa ini disebut juga hiperbaton. Misalnya :

Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh dengan tenang.

13. Pleonasme dan Tautologi

Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata – kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Misalnya :

Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.

Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya :

Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat.

14. Perifrasis

Perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata – kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Misalnya :

Jawaban bagi permintaan Saudara adalah tidak (= ditolak).

(23)

15. Prolepsis atau Antisipasi

Prolepsis atau Antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata – kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Misalnya :

Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru.

16. Erotesis atau Pertanyaan Retoris

Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato batau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Misalnya :

Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan menipulasi di negara ini ?

17. Silepsis dan Zeugma

Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.

Dalm silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar. Misalnya :

Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.

Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk sala satu daripadanya (baik secara logis maupun gramatikal). Misalnya :

Dengan membelalakan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu.

(24)

18. Koreksio atau Epanortosis

Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula – mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Misalnya :

Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali.

19. Hiperbola

Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar – besarkan sesuatu hal. Misalnya :

Kemarahanku sudah menjadi – jadi hingga hampir – hampir meledak aku.

20. Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta – fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya. Misalnya :

Musuh sering merupakan kawan yang akrab.

21. Oksimoron

Oksimoron (okys = tajam, moros = gila, tolol) adalah suatu acuan berusaha untuk menggabungkan kata – kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata – kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam daripada paradoks. Misalnya :

Keramah – tamahan yang bengis.

(25)

2.2.2.2 Gaya Bahasa Kiasan

Gaya bahasa kiasan ini pertama – tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Memb andingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri – ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam bahasa kiasan. Kelompok pertama termasuk gaya bahasa langsung dan kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan.

(1) Dia sama pintar dengan kakaknya.

Kerbau itu sama kuat dengan sapi.

(2) Matanya seperti bintang timur.

Bibirnya seperti delima merekah.

Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya.

Perbandingan biasa mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan (Keraf, 2006 : 136).

Gaya bahasa kiasan terdiri atas : 1. Persamaan atau Simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud perbandingan yang bersifat eksplisit adalah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata – kata : seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misalnya :

Bibirnya seperti delima merekah.

(26)

Kadang – kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang mau dibandingkan, seperti : Bagai duri dalam daging.

2. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat : bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata : seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya sama dengan simile tetapi secara berangsur – angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok pertama dihilangkan, misalnya :

Pemuda adalah seperti bunga bangsa. Pemuda adalah bunga bangsa, Pemuda Bunga bangsa.

3. Alegori, Parabel, dan Fabel

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kisahan. Dalam alegori, nama – nama pelakunya adalah sifat – sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Misalnya :

Cerita tentang putri salju.

Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh – tokoh yang biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral dan biasanya berhubungan dengan agama. Misalnya :

Cerita tentang anak durhaka kepada orang tuanya.

Fabel adalah suatu metafora yang berbentuk cerita mengenai dunia binatang, dimana binatang dapat bertingkah laku seperti manusia. Misalnya :

Cerita dongeng Sang Kancil.

(27)

4. Personifikasi

Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda – benda mati atau barang – barang yang tidak bernyawa seolah – olah memiliki sifat – sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda – benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Misalnya :

Matahari baru saja kembali ke peraduannya, ketika kami tiba disana.

5. Alusi

Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Misalnya :

Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya.

6. Eponim

Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya :

Anak itu masih kecil, namun kekuatannya seperti Hercules.

7. Epitet

Epitet (epiteta) adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang. Misalnya :

Sang putri malam sedang menunjukkan sinarnya (=bulan).

(28)

8. Sinekdoke

Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagiann dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro toto).

Misalnya :

Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000 (pars pro toto).

Indonesia memenangkan medali di kejuaraan bulu tangkis dunia (totem pro parte).

9. Metonimia

Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.

Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil pertemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Misalnya :

Ia membeli sebuah chevrolet.

10. Antonomasia

Antonomasia merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya :

Yang Mulia tidak dapat menghadiri pertemuan ini.

11. Hipalase

Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada

(29)

sebuah kata yang lain. Dapat dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan. Misalnya :

Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya).

12. Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan hal lain yang berlawanan dengan tujuan agar orang yang dituju tersindir secara halus. Misalnya :

Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya!

Sinisme adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan hal yang berlawanan dengan tujuan agar orang tersindir secara lebih tajam dan menusuk perasaan. Misalnya :

Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu!

Sarkasme adalah gaya bahasa yang melontarkan tanggapan secara pedas dan kasar tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Misalnya :

Kelakuanmu memuakkan saya.

13. Satire

Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Misalnya :

Jangan pernah berpikir kau adalah dewa, menghadapi masalah seperti ini pun kau sudah kewalahan.

(30)

14. Inuendo

Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu. Misalnya :

Ia menjadi kaya raya karena sedikit mengadakan komersialisasi jabatannya.

15. Antifrasis

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri.

Misalnya :

Lihatlah sang raksasa telah datang (maksudnya si cebol).

16. Pun atau Paronamasia

Pun atau Paronamasia adalah kiasan yang menggunakan kemiripan bunyi yang berupa permainan kata, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.

Misalnya : “Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”.

Uraian di atas berisi tentang gaya bahasa retoris dan kiasan yang akan digunakan sebagai landasan teori penelitian ini. Gaya bahasa ini memiliki fungsi yang berbeda – beda di setiap kalimat. Fungsi gaya bahasa tersebut dapat sebagai menjelaskan dan memperkuat makna, menambah nilai keindahan atau estetik, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa (hiburan), atau sekedar hiasan. Keseluruhan jenis gaya bahasa inilah yang akan diterapkan penggunaannya dalam penelitian ini.

(31)

2.2.3 Semantik

Chaer (1995 : 2) mengungkapkan bahwa kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata semantik sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.

Menurut pandangan Ferdinand de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri atas dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari suatu tanda bunyi dan (2) yang mengartikan (signifiant, signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar bahasa (ekstralingual).

Makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, yaitu :

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Makna leksikal adalah makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Makna leksikal juga dapat dikatakan makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan

(32)

timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing.

Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal. Jika makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangakat juga oleh adik melahirkan makna

‘dapat’.

2. Makna Referensial dan Nonreferensial

Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Jika kata-kata tidak mempunyai referen , maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut meja dan kursi. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi

(33)

faktual objektif. Seperti contoh kata perempuan dan wanita kedua kata ini mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu ‘manusia dewasa bukan laki-laki’.

Makna konotatif apabila kata itu mempunyai ‘nilai rasa’ baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti cerewet, tetapi sekarang konotasinya positif.

4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif

Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atatu asosiasi apapun. Makna konseptual sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang brada di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.

5. Makna Kata dan Makna Istilah

Makna kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang jelas, pasti, tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat.

Sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.

Perbedaan makna kata dan istilah, yaitu 1) Tangannya luka kena pecahan kaca, 2) Lengannya luka kena pecahan kaca. Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat tersebut bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata tersebut memiliki yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai jari

(34)

tangan, sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.

6. Makna Kias

Semua bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti

“bulan‟ dan raja siang dalam arti matahari” semuanya mempunyai arti kiasan.

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang gaya bahasa yang relevan sebagai sumber adalah sebagai berikut:

Nurul Fitriah (2010) dalam skripsi yang berjudul Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan Dalam Rectoverso Karya Dewi Lestari. Ia membahas tentang gaya bahasa retoris dan kiasan serta gaya bahasa paling dominan.Gaya bahasa dalam novel Rectoverso disimpulkan bahwa hanya terdapat sebelas macam gaya bahasa retoris, yaitu Aliterasi, Asonansi, Anastrof, Apostrof, Asindeton, Elipsis, Eufemismus, Prolepsis atau Antisipan, Erotesis atau Pertanyaan Retoris, Koreksio dan Epanortosis, Dan Hiperbola. Sedangkan gaya bahasa kiasan hanya enam gaya bahasa, yaitu Simile, Metafora, Alegori, Personifikasi, Sinekdoke Pars Pro Toto, dan Antonomasia. Kemudian gaya bahasa yang paling dominan digunakan adalah gaya bahasa Simile.

Suryati (2014) dalam skripsi yang berjudul Analisis Gaya Bahasa Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A Navis. Gaya bahasa dalam kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami disimpulkan terdapat empat jenis gaya

(35)

bahasa berdasarkan teori Henry Guntur Tarigan yang terdiri atas : 1) gaya bahasa perbandingan meliputi ; Perumpamaan, Personifikasi, Antitesis, dan Perifrasis. 2) gaya bahasa pertentang meliputi ; Hiperbola, Klimaks, dan Antiklimaks. 3) gaya bahasa pertautan meliputi ; Eufemisme, Epitet, dan Asindeton. 4) gaya bahasa perulangan meliputi ; Epizeukis, Tautotes, Anafora, Epistrofa, Epanalepsis, dan Anadiplosis.

Lazfihma (2014) dalam skripsi yang berjudul Analisis Gaya Bahasa dalam Slogan Iklan Minuman di Televisi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat (1) sepuluh kategori gaya bahasa yang terdiri dari 3 gaya bahasa metafora, 18 gaya bahasa hiperbola, 4 gaya bahasa personifikasi, 3 gaya bahasa aliterasi, 4 gaya bahasa asonansi, 8 gaya bahasa repetisi, 6 gaya bahasa pertanyaan retoris, 2 gaya bahasa sinekdoke, 2 gaya bahasa elipsis, dan 2 makna denotatif (2) makna yang terkandung dalam slogan iklan minuman teh dan kopi di televisi.

Marini (2010) dalam tesisnya yang berjudul Analisis Stilistika Novel Laskar Pelangi.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata terdapat pada leksikon bahasa asing, leksikon bahasa Jawa, leksikon ilmu pengetahuan, kata sapaan, kata konotatif pada judul. Kekhususan aspek morfologis dalam novel Laskar Pelangi yaitu pada penggunaan afiksasi leksikon bahasa Jawa dan bahasa Inggris serta reduplikasi dalam leksikon bahasa Jawa. Kemudian aspek sintaksis meliputi penggunaan repetisi, kalimat majemuk dan pola kalimat inversi. Pemanfaatan gaya bahasa figuratif yang unik dan menimbulkan efek-efek estetis pada pembaca yaitu idiom, arti kiasan, konotasi, metafora, metonimia, simile, personifikasi, dan hiperbola.

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian dalam waktu dua minggu setelah proposal disetujui, yaitu mulai 12 Agustus sampai dengan 26 Agustus 2016.

3.2 Sumber Data

Sumber data penelitian ini diperoleh dari kumpulan cerpen yang terdapat dalam Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) karya Dewi Lestari sesuai dengan data buku yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2012 dengan objek kajian pada kumpulan cerpen Filosofi Kopi, dengan jumlah halaman 139 dan sesuai dengan batasan masalah yaitu sembilan cerpen dalam Filosofi Kopi yang diterbitkan di Sleman, Yogyakarta.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian merupakan cara untuk memecahkan masalah yang diteliti oleh peneliti untuk mencapai suatu simpulan. Penelitian ini berjudul Analisis Gaya Bahasa Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Peneliti menggunakan metode simak dalam penelitian ini. Dengan metode simak peneliti mengumpulkan data gaya bahasa yang disisipkan dalam cerpen serta membedakan gaya bahasa tersebut ke dalam gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan juga memberikan pemahaman yang jelas terhadap data yang menjadi objek penelitian.

(37)

Teknik pengumpulan data yang dilakukan ini adalah teknik catat, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi.

Pencatatan dilakukan langsung ketika teknik simak selesai dengan menggunakan alat tulis tertentu (Sudaryanto, 1993: 135).

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik, dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Istilah deskriptif maksudnya adalah data yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat-kalimat, dan bukan angka-angka (Moleong, 1998: 6).

Peneliti menganalisis data tersebut setelah data yang diperoleh sesuai dengan metode dan teknik. Selanjutnya, peneliti mencatat dengan teliti dan cermat data-data yang berwujud gaya bahasa dan mengklasifikasikan data ke dalam gaya bahasa retoris dan kiasan, seperti berikut :

(1) Kopi itu ibarat jamu sehatku setiap hari. (FK/15) (2) Sekarang pukul 1.30 pagi ditempatmu. (SKL/52)

Pada data (1) gaya bahasa yang digunakan pada kalimat Kopi itu ibarat jamu sehatku setiap hari adalah gaya bahasa persamaan yang menyamakan dua hal berbeda namun memiliki sifat yang sama, yaitu kopi dan jamu yang menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain ditandai dengan kata pembanding

(38)

ibarat. Kopi yang diminumnya sudah seperti jamu yang merupakan obat yang dibuat dari akar-akaran dan daun-daunan yang menyehatkan bagi tubuhnya dan sama – sama memiliki rasa pahit

Pada data (2) gaya bahasa yang digunakan pada kalimat Sekarang pukul 1.30 pagi ditempatmu adalah gaya bahasa tautologi yang menggunakan kata perulangan (berlebihan) dari sebuah kata yang lain yaitu pukul 01.30 dan pagi.

Pukul 01.30 sudah mewakili pagi hari yang merupakan bagian awal dari hari yang ditunjukkan pada waktu 00.00 – 12.00 waktu Indonesia.

Setelah mengklasifikasikan data ke dalam bentuk gaya bahasa retoris dan kiasan, kemudian peneliti mendeskripsikan makna yang terkandung pada gaya bahasa tersebut dengan teknik baca markah. Teknik baca markah digunakan untuk mewujudkan kejadian suatu satuan lingual atau identitas konstituen tertentu dan kemampuan membaca peranan pemarkah itu berarti kemampuan menentukan kejadian yang dimaksud (Sudaryanto, 1993 : 95).

(1) Kopi itu ibarat jamu sehatku setiap hari. (FK/15) (2) Sekarang pukul 1.30 pagi ditempatmu. (SKL/52)

Makna yang terdapat pada data (1) adalah makna denotatif yakni berupa makna yang sebenarnya dari kalimat tersebut yang menyatakan kopi sebagai minuman yang menyehatkan bagi tubuh dan dapat diminum setiap hari seperti jamu. Kalimat di atas juga mengandung makna refrensial, leksikal dan konseptual. Data (2) makna yang terkandung adalah makna leksikal yang sesuai dengan referennyaditunjukkan pada kata pagi yang berarti bagian awal dari hari yang ditandai dengan dini hari pukul 00.00 – 12.00.

(39)

Selanjutnya, peneliti menentukan gaya bahasa yang dominan menggunakan metode kuantitatif yang merupakan penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian – bagian dan fenomena serta hubungan – hubungannya (Moleong, 1998:

6). Dalam menentukan gaya bahasa yang dominan, maka digunakan rumus sebagai berikut :

X x 100 % = ... % ƩX

Keterangan :

X : Jumlah jenis gaya bahasa ƩX : Total keseluruhan gaya bahasa

(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari

Setelah data terkumpul, maka diklasifikasikan data yang berbentuk gaya bahasa retoris dan kiasan yang terdapat dalam Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) karya Dewi Lestari.

No. Contoh Gaya Bahasa Gaya Bahasa Retoris

Gaya Bahasa Kiasan 1. “Anda tahu, cappucino ini kopi yang

paling genit?” (FK/4)

- Personifikasi

2.

“Untuk cappucino, dibutuhkan standar penampilan yang tinggi.

Mereka tidak boleh kelihatan sembarangan.” (FK/4)

- Personifikasi

3.

“Bagaimana dengan kopi tubruk?”

Seseorang bertanya iseng.

“Lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam.” (FK/5)

- Personifikasi

4. Bak pemain sirkus Ben

menghidangkan secangkir kopi tubruk.

(FK/5)

-

Persamaan/

Simile

(41)

5.

“Kedahsyatan kopi tubruk terletak pada temperatur, tekanan, dan urutan langkah pembuatan yang tepat.”

(FK/5)

Hiperbola -

6. Air muka itu meletup – letup seperti didihan air. (FK/6)

- Persamaan/

Simile

7.

Kepalaku terasa pening. Entah karena tonjokan kafein atau cerita sukses itu.(FK/9)

Hiperbola -

8.

“Kopi yang apabila diminum akan membuat kita menahan napas saking takjubnya, dan cuma bisa berkata: hidup ini sempurna.” (FK/10)

Hiperbola -

9.

Rambut Ben gondrong berantakan, pipinya kasar karena kelupaan bercukur, lingkaran hitam membundari matanya akibat terlalu banyak begadang, tubuhnya menipis karena sering lupa makan. (FK/11)

Asindeton -

10.

Sahabatku bermutasi menjadi versi lain dari dokter Frankestein. The Mad Barista. (FK/11)

- Eponim

11. Kedai mungil kami gegap gempita.

(FK/13)

Eufemismus -

(42)

12. Kopi yang Anda minum hari ini : Ben’s Perfecto artinya sukses adalah wujud kesempurnaan hidup.

(FK/13)

- Persamaan/

Simile

13.

“Nah, yang ini bukan sekedar enak, Pak. Tapi ini yang pualiiing... enak!

Nomor satu di dunia,” aku berpromosi. (FK/15)

Hiperbola -

14. “Kopi itu ibarat jamu sehatku setiap hari. (FK/15)

- Persamaan/

Simile

15.

“Memangnya, Bapak pernah coba yang lebih enak dari ini?” Ben bertanya dengan otot – otot muka ditarik. (FK/16)

Perifrasis -

16.

Ben cuma membisu. Hanya matanya diliputi misteri. Perlahan, aku ikut menenggak. Dan.... (FK/21)

Elipsis -

17.

“Ada yang bilang bikin seger, bikin tentrem, bikin sabar, bikin tenang, bikin kangen... (FK/22)

Asindeton -

18. Mendengarnya, otakku seperti macet berargumentasi. (FK/24)

- Persamaan/

Simile 19. Semangat hidupnya pupus seperti lilin

tertiup angin ( FK/25)

- Persamaan/

Simile

(43)

20. Sama nasibnya seperti kedai kami yang padam. (FK/25)

- Persamaan/

Simile 21. “Kapan lagi aku yang cuma tahu

menyeduh kopi sachet ini nekat membikinkan kopi segar untuk seorang barista?” kelakarku. (FK/27)

Litotes -

22.

Kopi yang Anda minum hari ini : Kopi Tiwus artinya walau tak ada yang sempurna hidup ini indah begini adanya. (FK/27)

- Persamaan/

Simile

23. Filosofi Kopi yang lama diam bagai bubuk kopi tanpa riak air. (FK : 29)

- Persamaan/

Simile

24.

Sampai satu sore kami bicara-bicara tentang Herman Felany di teras rumahnya, filmnya yang baru kami tonton, kumisnya yang mengagumkan, yang mengilhamiku beserta seluruh teman aba ngnya membuat kompetisi untuk dulu-duluan menumbuhkan kumis menyerupai Herman. (MH/32)

Asindeton -

25. Lama Hera mendekam seperti tahanan rumah. (MH/33)

- Persamaan/

Simile

26.

Hera tersenyum setengah mendengus

sambil menggeleng kenes, seolah Pertanyaan -

(44)

merespons pertanyaan “adakah garam yang tak asin?” (MH/34)

Retoris

27.

Hera telah bermetamarfosis menjadi perempuan modern yang tidak terjangkau ukuran sosialku.

(MH/34)

Litotes -

28.

Setiap malam selama seratus hari terakhir mataku basah, sejak mendengar kabar duka dari sahabatku tentang Hera yang satu hari pergi dan tak kembali. (MH/38)

Perifrasis -

29.

Saat kubaca nama yang tertera disana, seketika aku dapat merasakan kaki Hera yang berlari, sekuat tenaga, mengejar satu-satunya impian yang terwujud dalam hidupnya yang bergelimang kecewa, mengajak pemilik kartu nama itu berkenalan sekali lagi. (MH/38)

Asindeton -

30.

Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan,

Polisindeton -

(45)

dengan malam, dengan detik jam...tentang dia (STPS/40)

31.

Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dia mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya untuk sampai jatuh hati kepadamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa.

(STPS/41)

Asindeton -

32.

Betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di satu samudera tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan cakrawala...

(STPS/41)

Asindeton -

33. Betapa kamu rela membatu untuk itu. (STPS/42)

Perifrasis -

34. Kalian seperti musafir yang tersesat di padang. (STPS/43)

- Persamaan/

Simile

35.

Lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang

Pertanyaan Retoris

-

(46)

kalian alami bersama? (STPS/43)

36.

Dia, yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hafal betul temperaturnya.

(STPS/45)

Asindeton -

37. Sekarang pukul 1.30 pagi di tempatmu. (SKL/52)

Tautologi -

38.

Sudah hampir tiga tahun aku begini.

Dua puluh delapan bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh.

Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya, akan kau dapatkan angka ini: 4.354.560.00.

Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu.

(SKL/53)

Hiperbola -

39.

Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus mortalitas. (SKL/53)

Hiperbola -

(47)

40. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor. (SKL : 53)

- Persamaan/

Simile 41. Hidup memang bagaikan mengitari

Gunung Sinai (SKL/54)

- Persamaan/

Simile

42.

Mari kita piknik, mandi susu, potong tumpeng, main pasir, adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, tarik tambang. (SKL/54)

Asindeton -

43. Suara sikat beradu dengan gigi menggema dari kamar mandi. (SG/58)

Hiperbola -

44.

Cukup lama aku terlatih membaca makna-makna tersirat dalam kalimatnya, walaupun belum cukup lama untuk mengerti alasan dibalik itu semua, misalnya, buat apa dia pelihara luka hati yang cuma bikin matanya berair? (SG/59)

Pertanyaan Retoris

-

45. Senyuman yang melonjakkan listrik di jaringan otak. (SG/61)

Hiperbola -

46.

“Itu kebutaan sejati. Kamu memilih menjadi tunanetra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri.” (SG/63)

- Metafora

47. “Dan kesedihan kamu pelihara seperti - Persamaan/

(48)

orang mengobati luka dengan cuka, bukan obat merah.” (SG/63)

Simile

48.

Aku mencintai Egi. Egi mencintai pria lain, yang menahun sudah membiarkannya terkatung-katung.

(SG/63)

Hiperbola -

49. Sementara cintanya Egi yang masokhis juga alien bagiku. (SG/63)

- Metafora

50. Jembatan komunikasi kami runtuh.

(SG/63)

Eufemismus -

51. Tangan Egi yang sesejuk es menahanku. (SG/65)

- Metafora

52.

Dengan tatapan kagum dan cinta, Indi meraba kulit Lei perlahan – lahan, sama takzimnya dengan menghayati kehalusan sutra yang ditenun ulat.

(SKK/72)

Hiperbola -

53. Ada daya pejal yang membuat dada Lei nyaman seperti bantal. (SKK/73)

- Persamaan/

Simile 54. Keheningan bagai lagu merdu.

(SKK/73)

- Persamaan/

Simile 55. Malam hari membawanya ke dalam

penjara. (SKK/74)

- Personifikasi

56. Bagai luapan sungai saat penghujan, - Persamaan/

(49)

air mata membanjir. (SKK/76) Simile

57.

Secepat aliran listrik di jaringan saraf, secepat itu Indi memvisualisasikan sepasang sepatu tua yang disembunyikan di bawah tangga. (SKK/78)

Hiperbola -

58. Matanya seperti kehabisan stok air mata. (SKK/79)

- Persamaan/

Simile

59.

Kelenjar air mata yang sudah lama dinonaktifkan memompa deras butir-butir air asin yang membuat kulit pipinya seperti meleleh.

(SKK/81)

Hiperbola -

60.

Berbulan-bulan, Indi menutup tirai rapat-rapat, menyangkal kehadiran kue kuningnya, melawan rasa rindu dan sesal, menggantinya dengan rasa hambar yang dipabrikasi sendiri.

(SKK/82)

Asindeton -

61. Sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana. (LL/88)

Hiperbola -

62.

Rasa sayang dikemas dalam kiasan seperti membungkus putri dalam gaun pesta lalu dilepas anggun ke lantai

-

Persamaan/

Simile

(50)

dansa. (LL/89)

63. Kamu cukup jadi kacung intelektualku saja. (LL/89)

Perifrasis -

64. Kamu itu bajaj bermesin BMW.

(LL/89)

- Eponim

65.

Apapun yang terjadi bukanlah keberuntungan atau kesialan, melainkan eksekusi kontrak belaka.

Jadi, apakah seseorang bisa dibiang sial kalau sebenarnya kesialan itu direncanakan? (LL/92)

Pertanyaan Retoris

-

66. Bergaul dengan Lana seperti hanyut dalam air sejuk. (LL/93)

- Persamaan/

Simile

67.

Jempol Lana bergetar seolah dibebani bergunung-gunung sampah batin yang dikoleksinya sepanjang hayat.

(LL/94)

Hiperbola -

68. Kejujuranlah obat sejati. (LL/94) - Metafora

69.

Mereka berlima. Mereka muda.

Mereka bahagia. Mereka lajang.

Mereka bersahabat. Mereka raja-raja dunia. (BB/102)

Asonansi -

70.

Lima tequila shot mereka tenggak

bersama. Sesaat kemudian, hadir Hiperbola -

(51)

sensasi meledak di kepala. (BB/102) 71. Memiliki Omen sama dengan

memiliki telepon umum. (BB/105)

- Persamaan/

Simile

72.

Bergesernya kerak bumi tak mengubah letak kepala seorang Omen dari bantal. (BB/105)

Hiperbola -

73.

Dan Nelly hanya bisa menggerutukan itu kala Omen lelap, kala sibuk memunguti puntung-puntung kertas Bear Brand, kala menyikat karpet dari jejak daun kering, kala menyemprot kalap kamar Omen dengan pengharum kalengan, sebelum Mamanya Omen kembali marah-marah karena menyangka ada yang membakar sampah malam-malam. (BB/105)

Asindeton

-

74. Bejo di tengah-tengah mereka ibarat perawan dalam sarang penyamun.

(BB/107)

- Persamaan/

Simile

75. Tanpa Bejo, mereka semua seperti meja berkaki tiga.(BB/107)

- Persamaan/

Simile 76. Bejo tanpa mereka adalah sebatang

kayu. (BB/107)

- Metafora

77. Meja bulat berlapis kaca itulah tempat Perifrasis -

(52)

persinggahan ibuku yang terakhir.

(RC/109)

78. Untung Ibu sempat melekatkan telurku di antara lekuk ukiran sebelum wafat disemprot Baygon. (RC/109)

Eufemismus -

79. Dia mempelajari semuanya dari kotak listrik warna-warni itu. (RC/111)

Perifrasis -

80. Ayah menamai dirinya sendiri HUNTER. (RC/111)

- Eponim

81.

Aku dan adik-adik tiriku tengah memandangi Ayah yang berbicara berapi-api di depan mimbar.(RC/114)

Hiperbola -

82. Tak lama, pertemuan itu bubar.

Suasana istana muram durja.

(RC/115)

Perifrasis -

83. Di luar dugaan kami, Ayah malah naik pitam. (RC/117)

Perifrasis -

84.

Keberanian dari panci mana ini?

Bisa-bisanya aku menentang Hunter sang Raja. (RC/118)

- Personifikasi

85. “Di mata manusia, kita selamanya hitam, kecil, jelek, bau!” (RC/119)

Asindeton -

86. Hari-hariku berubah menjadi rangkaian nelangsa. (RC/120)

Eufemismus -

(53)

4.1.1 Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata – mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf, 2006 : 130). Berdasarkan teori Gorys Keraf terdapat 21 jenis gaya bahasa retoris. Setelah diteliti dari data yang diklasifikasikan di atas, maka ditemukan 10 jenis gaya bahasa retoris dalam Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995-2005) karya Dewi Lestari yang terdiri atas asonansi, asindeton, polisindeton, elipsis, eufemismus, litotes, tautologi, perifrasis, pertanyaan retoris, dan hiperbola. Dari data tersebut, yang termasuk dalam gaya bahasa retoris, sebagai berikut :

1. Asonansi

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud pengulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi ditemukan sebanyak 1 gaya bahasa asonansi. Berikut gaya bahasa asonansi adalah:

1) Mereka berlima. Mereka muda. Mereka bahagia. Mereka lajang. Mereka bersahabat. Mereka raja-raja dunia. (BB/102)

Pada data di atas mengandung peerulangan bunyi vokal yang sama.

Perulangan bunyi terlihat pada vokal /a/ yang terdapat pada kata mereka, berlima, muda, bahagia, lajang, bersahabat, raja dan dunia.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai rata-rata tekanan udara yang lebih rendah dari bulan sebelumnya dikaitkan dengan suhu udara yang lebih tinggi menyebabkan potensi massa udara berkumpul dan membentuk

dar al-Quran maupun al-Hadits seperti diatas, dapat diambil pengertian bahwa Islam adalah agama yang sama sekali jauh dari budaya kekerasan. Dengan kata lain Islam

[r]

Dalam hal tanggung jawab profesi, tugas dosen adalah: (1) Tanggung jawab untuk selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dalam disiplin akademiknya, dengan

Hasil penelitian ini menunjukkan sistem penataan arsip sudah berjalan dengan baik ,bidang Catatan Sipil Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Tebing Tinggi menggunakan

The analyst(s) named in this report certifies that all of the views expressed by the analyst(s) in this report reflect the personal views of the analyst(s) with regard to any and

Untuk menemukan kembali dokumen atau arsip dalam waktu yang cepat. dan tepat sudah tentu menghendaki suatu cara

Ketiga , permintaan masyarakat yang terus meningkat akan tersedianya pendidikan tinggi merupakan pertanda perubahan yang signifikan, patut diimbangi dengan