• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Arti Metaforis dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari dan Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Arti Metaforis dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari dan Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLIKASI TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA

INDONESIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh

Aisatul Fitriah NIM 1110013000051

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Aisatul Fitriah, 1110013000051, 2014, “Perubahan Arti Metaforis dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari dan Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pembimbing Makyun Subuki, M.Hum.

Penelitian ini mendeskripsikan tentang perubahan arti metaforis meliputi metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora konkret ke abstrak dan metafora sinaestetik pada 18 cerita pendek yang terkumpul dalam satu kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan arti metaforis yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yaitu metode penelitian yang mendeskripsikan hasil temuan berupa perubahan arti metaforis yang terdapat dalam kumpulan cerpen. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi dokumentasi. Teknik penganalisaan data dibuat dengan menggolongkannya ke dalam empat bagian berdasarkan referen.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 44 perubahan arti metaforis yang digunakan Dewi Lestari dalam karyanya berupa kumpulan cerpen Filosofi Kopi. 44 perubahan arti metaforis tersebut meliputi: metafora antropomorfis sebanyak 19 buah, metafora binatang sebanyak 9 buah, metafora konkret ke abstrak sebanyak 3 buah dan metafora sinaestetik sebanyak 13 buah.

(6)

ii

the set of Short Story Filosofi Kopi Works Dewi Lestari and Implications Of

Learning Indonesia”, Education Departement of Indonesia Language and

Literature Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, State Islamic Universty Syarif Hidayatullah, Jakarta. Supervisor Makyun Subuki, M.Hum.

This study describes the changes in the metaphorical senese include anthropomorphic metaphor, animal metaphor, metaphor concrete to the abstract and metaphorical sinaestetik in the 18 short stories collected in a collection of short stories of Dewi Lestari works Filosofi Kopi.

The purpose of this study is to determine the changes in the metaphorical sense that is contained in the collection of Filosofi Kopi short stories Dewi Lestari. The method used is descriptive qualitative research methods that describe the findings in the of changes in the metaphorical sense form contained in the collection of short stories. Data collection techniques using documentation study technique. Data analysis techniques created by classifying data into four sections based on the referents.

The results showed that there were 44 changes in the metaphorical sense used by Dewi Lestari in her works, Filosofi Kopi. 44 of these include changes in the metaphorical sense: as many as 19 pieces anthropomorphic metaphor, animal metaphor as much as 9 pieces, the concrete to the abstract metaphor 3 pieces and metaphorical sinaestetik and as many as 13 pieces.

(7)

iii

Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Selawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi berjudul Perubahan Arti Metaforis dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari dan Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia”, disusun guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan S-1 pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis membutuhkan bimbingan, bantuan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sebagai ungkapan rasa hormat, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada

1. Nurlena Rifa‟i, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Mahmudah Fitriah ZA., M.Pd. sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang selalu memberikan kemudahan dan semangat.

3. Dra. Hindun, M.Pd. sebagai Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang selalu memberikan semangat.

4. Makyun Subuki, M.Hum. sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi.

(8)

iv

7. M. Fahrurozi dan Fatonah selaku orang tua, motivator, dan penasehat terbaik yang selalu memberikan semangat, arahan, doa dan dukungan materil untuk penulis

8. Keluarga besar Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia (PBSI) khususnya kelas B angkatan 2010 yang selalu membuat suasana baik di dalam maupun di luar perkuliahan terasa berwarna.

9. Keluarga besar pojok seni tarbiyah (POSTAR) yang telah memberikan banyak pengetahuan, teman, dan pengalaman selama menjadi anggota

10.Keluarga besar lingkar sastra tarbiyah (LST POSTAR) yang telah memberikan banyak ekspresi, sahabat dan keluarga yang unik

11.Empat roda dan satu spion, Mabruroh, Yunia Ria Rahayu, Kurnia Dewi Nurfadilah dan Sari Satriyati yang telah memberikan banyak warna selama bersama baik di dalam maupun di luar pementasan LST

12.Temen kosan H. Asani yang telah membuat banyak canda tawa serta semangat dalam pembuatan skripsi, Ayu Rizqi Pramulya N, Tuti Alawiyah, Sutirih, dan Nur Aoliya

13.Semua orang yang berjasa dalam pembuatan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga semua kebaikan dibalas oleh Allah dengan balasan yang lebih baik lagi.

Hanya kepada Allah jualah kita berserah diri, semoga yang kita amalkan mendapat Ridho-Nya. Amin ya Robbal „alamin. Akhirnya penulis memohon maaf atas kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, dan penulis pun menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga dengan hadirnya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan para pembaca serta kemajuan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 20 Agustus 2014

(9)

v SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

G. Metode Penelitian ... 7

H. Data dan Sumber Data... 8

I. Teknik Pengumpulan Data... 8

J. Teknik Analisis Data... 9

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN... 12

A. Cerpen... 12

1. Sejarah Cerpen ... 12

2. Pengertian Cerpen... 12

3. Ciri-ciri Cerpen... 14

4. Pembagian Cerpen... 14

5. Unsur Intrinsik Cerpen... 16

B. Hakikat Perubahan Arti ... 24

Keserupaan Antararti (Metafora)... 25

(10)

vi

1. Metafora Antropomorfis ... 37

2. Metafora Binatang ... 64

3. Metafora dari Konkret ke Abstrak ... 76

4. Metafora Sinaestetik... 80

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran ... 94

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN... 96

A. Simpulan ... 96

B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA... 98 UJI REFERENSI

(11)

1 A.Latar Belakang

Perubahan arti terjadi beriringan dengan perkembangan bahasa.

Edward Sapir mengungkapkan, “Bahasa bergerak terus sepanjang waktu membentuk dirinya sendiri. Ia mempunyai gerak mengalir tak satu pun yang sama sekali statis. Tiap kata, tiap unsur gramatikal, tiap peribahasa, bunyi dan aksen merupakan konfigurasi yang berubah secara pelan-pelan, dibentuk oleh getar yang tidak tampak dan impersonal, yang merupakan hidupnya bahasa.”1

Perubahan arti yang terjadi di dalam bahasa disebabkankan oleh dua faktor, yakni faktor kebahasaan dan faktor non-kebahasaan. Dari faktor kebahasaan, dapat dilihat pada penggunaan kata ya yang menunjuk arti persetujuan kini telah mengalami perubahan sebaliknya, yakni menyatakan arti penolakan, penyangkalan, atau pengingkaran terhadap sesuatu. Hal tersebut sangat sering kita jumpai dalam komunikasi sehari-hari. Perubahan tersebut disebabkan karena pemakaian kata ya yang terlampau tinggi sehingga batas arti antara kata ya atau sebaliknya menjadi kabur, samar-samar. Dilihat dari faktor non-kebahasaan, perubahan arti diakibatkan oleh berbagai faktor di antaranya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan sosial, perbedaan bidang pemakaian dan masih banyak lagi. Di bidang militer misalnya, digunakan kata operasi yang berarti penumpasan, penggeledahan, atau penangkapan terhadap pemberontak sedangkan di bidang kedokteran, kata operasi merupakan istilah kesehatan yang berarti pembedahan terhadap tubuh manusia untuk mengambil atau menghilangkan suatu penyakit yang dilakukan oleh dokter ahli. Hal ini menunjukkan adanya pemakaian kata operasi pada dua bidang yang berbeda, yakni militer dan kedokteran.

Perubahan arti dalam penggunaan bahasa sudah sering dan banyak kita jumpai di dalam kehidupan sehari-hari sehingga perubahan tersebut menjadi

1

(12)

terasa lumrah dan wajar. Perkembangan bahasa yang terjadi di sepanjang waktu menuntut pengguna bahasa untuk terus menerus mengikuti perkembangan tersebut. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pengguna bahasa dalam berkomunikasi. Secara sadar atau tidak, pengguna bahasa memiliki peranan penting dalam menciptakan perubahan bahasa. Hal ini senada dengan ungkapan Meillet, “Bahasa itu dialihkan secara turun temurun dalam suatu cara yang „tak bersinambungan‟ (discontinuous) dari generasi yang satu ke generasi berikutnya: tiap-tiap anak harus belajar bahasa itu seperti barang yang baru.”2

Dalam praktik berbahasa, perubahan arti tidak hanya kita jumpai dalam percakapan sehari-hari saja tetapi juga dalam media cetak seperti koran, salah satu sumber/media informasi berbentuk tulis. Pada koran, kita sering menjumpai penggunaan kata diamankan daripada kata ditahan atau kata dibunuh daripada dihabisi yang digunakan sebagai judul atau isi dalam berita. Hal ini menunjukan adanya pemilihan kata yang dirasa lebih pantas atau nyaman untuk digunakan dalam interaksi sosial. Dalam perubahan arti, hal ini disebut tabu yakni konsep yang menggambarkan larangan tertentu dalam dunia sosial. Pemilihan kata-kata tersebut disebabkan oleh faktor kenyamanan (taboo of delicacy). Cruse mengungkapkan, “Akibat dari tabu bahasa adalah munculnya eufemisme yaitu sebentuk ungkapan pengganti yang dipergunakan untuk memperhalus efek dari ungkapan lain yang dirasa lebih kasar.”3

Terjadinya perubahan arti memang disebabkan oleh berbagai faktor. Akan tetapi, perubahan arti yang terdapat dalam suatu ungkapan tertentu selalu memiliki hubungan yang mengaitkan arti lama dengan arti baru yang dimiliki oleh suatu kata. Jenis hubungan tersebut didasarkan pada dua kategori: pertama, kedekatan antararti (contiguity)/metonimi, merupakan sebutan pengganti untuk suatu objek atau perbuatan dengan atribut yang melekat pada objek atau perbuatan yang bersangkutan. Di Jakarta misalnya, salah satu ikon patung ucapan selamat datang dengan simbol dua orang

2

Ibid.

3

(13)

pelajar lebih dikenal dengan Bundaran HI karena letaknya yang dekat dengan hotel grand Indonesia. Dalam penamaan tempat (pasar), masyarakat Jakarta banyak menggunakan waktu berupa hari seperti: senen, rabu, jum‟at dan minggu. Kedua, perubahan arti yang disebabkan karena keserupaan antararti (similarity)/metafora, secara umum merupakan perubahan arti yang mengaitkan suatu arti dengan arti lainnya, adanya referensi. Parera dalam buku teori Semantik menyatakan, metafora menjadi sumber untuk melayani motivasi yang kuat untuk menyatakan perasaan, emosi yang mendalam, dan sarana berbahasa yang bersifat ekspresif. Salah satu unsur metafora adalah kemiripan dan kesamaan tanggapan pancaindra.

Perubahan arti karena keserupaan antararti (similarity)/metafora dapat kita temukan dalam cerpen (cerita pendek), salah satu media pengarang atau sastrawan dalam berkomunikasi dengan pembaca untuk menyampaikan suatu gagasan maupun pendapat. Cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra yang pemilihan permasalahannya lebih terfokus, dalam menyelesaikan bacaan pun tidak memerlukan waktu yang lama selain itu cerpen juga dapat memberikan kesan tunggal terhadap pembaca mengenai permasalahan yang dibicarakan. Ellery Sedgwick dalam Notosusanto mengungkapkan, “cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu atau “a short-story must not be cluttered up with irrelevance”.”4

Dalam dunia pendidikan, khususnya pada mata pelajaran bahasa Indonesia cerpen merupakan salah satu dari beberapa bentuk karya sastra yang diperkenalkan dan dipelajari siswa di sekolah. Dalam materi cerpen, siswa melakukan kegiatan membaca sehingga dari kegiatan tersebut siswa diharapkan mampu memahami cerita dan pesan yang disampaikan pengarang di dalamnya dengan harapan siswa mampu menerapkannya di dalam kehidupan. Untuk memahami cerita dan pesan yang terdapat dalam cerpen, kegiatan yang dilakukan siswa melalui membaca saja belum cukup

4

(14)

membantu, hal ini dikarenakan cerpen merupakan salah satu bentuk karya sastra yang menggunakan bahasa kias (metafora). Hal ini senada dengan pernyataan Edi Subroto, “metafora adalah salah satu wujud kreatif bahasa di dalam penerapan maknanya; artinya berdasarkan kata-kata yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau kemiripan referen, pemakai bahasa dapat memberi lambang baru pada referen tertentu, baik referen itu telah memiliki nama lambang atau belum. Metafora banyak terdapat dalam

karya sastra”5

. Untuk memahami cerita dan pesan yang terdapat dalam cerpen, siswa harus mengetahui arti dari bahasa yang mengalami perubahan arti (kiasan) berdasarkan konteks cerita. Melalui konteks cerita, selain membantu siswa untuk memahami arti dari penggunaan bahasa yang mengalami perubahan arti (kiasan), siswa juga dapat mengetahui unsur intrinsik lain dalam cerita.

Dalam cerpen kita dapat menemukan kalimat Bulan pada awal dan akhir bulan, yang bertengger separuh di langit dengan warna menguning kata dasar dari bertengger adalah tengger (nomina) memiliki arti tenggeran, tempat bertengger; tenggekan (tongkat atau benda panjang yang diletakkan melintang dalam kandang untuk tempat binatang, ayam bertengger pada malam hari), kemuadian kata tengger mendapat prefiks ber- menjadi bertengger (verbal) memiliki arti hinggap (di dahan), berdiam atau bertempat tinggal. Dapat diketahui bertengger adalah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh binatang seperti ayam atau burung tetapi pada kalimat tersebut terdapat perbandingan nyata antara dua hal yang berbeda yakni binatang dan bulan, jika ditelusuri maksudnya ada kesamaan umum diantara keduanya, yakni sama-sama mendiami suatu tempat sehingga pada kalimat Bulan pada awal dan akhir bulan, yang bertengger separuh di langit dengan warna menguning mereferensikan pada kegiatan yang dilakukan oleh binatang dialihkan pada selain binatang. Hal tersebut merupakan contoh dari metafora binatang, selain itu ada tiga lagi metafora yakni: antropomorfis (metafora yang mengalihkan

5Muna Riswati, “Perbandingan Variasi Metafora pada Puisi Karya Taufik Ismail dan W.S.

Rendra”, dalam Sumarlam dkk (ed.), Pelangi Nusantara Kajian Berbagai Variasi bahasa,

(15)

sifat atau aktivitas manusia ke benda selain manusia), sinaestetik (pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra) dan metafora konkret-abstrak (metafora yang menjabarkan pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret). konteks munculnya kalimat tersebut adalah kekecewaan yang dialami Indi terhadap Lei, kekasihnya membuat dia mengurung diri dari segala aktivitas sampai pada saat yang dirasa tepat, Indi berusaha untuk kembali tegar dan menjalani kehidupan seperti biasa, begitu juga dengan kebiasaannya yang memandang bulan dari jendela kamarnya.

Disimpulkan bahwa perubahan arti sangat banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam interaksi lisan maupun tulis sehingga dari sini penulis terinspirasi untuk meneliti bahasa, terutama perubahan arti yang disebabkan oleh keserupaan antararti (similarity)/metafora yang terdapat dalam cerita pendek (cerpen), sehingga judul pada penelitian ini adalah Perubahan Arti Metaforis dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari dan Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan judul di atas, maka penelitian ini lebih menitikberatkan pada ragam perubahan arti metaforis yang terdapat dalam kumpulan cerpen, identifikasi masalahnya meliputi:

a. Perubahan arti terjadi seiring dengan perkembangan bahasa b. Bahasa mengalami perkembangan sepanjang waktu

c. Perkembangan bahasa menyebabkan beberapa kata tertentu mengalami perubahan arti yang digunakan dalam bidang yang berbeda

d. Perubahan arti sering dijumpai dalam kehidupan

e. Selain media lisan perubahan arti juga terdapat dalam media tulis/cetak termasuk cerpen

(16)

C.Pembatasan Masalah

Sesuai dengan pemaparan di atas, hal yang akan dianalisis pada penelitian dengan judul Perubahan Arti Metaforis dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia lebih memfokuskan pada ragam perubahan arti metaforis yang mengacu pada: pengalihan aktivitas atau sifat manusia ke benda selain manusia (antropomorfis), pengalihan aktivitas atau sifat binatang ke selain binatang (binatang), menjabarkan pengalaman-pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret (konkret ke abstrak), dan pertukaran tanggapan antarindra (sinaestetik) yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.

D.Rumusan Masalah

Bagaimana perubahan arti metaforis yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia?

E.Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perubahan arti metaforis yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia

F. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis

(17)

abstrak), dan pertukaran tanggap antarindra (metafora sinaestetik) yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.

b. Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan mampu membantu guru, tenaga pendidik dalam menambah bahan referensi untuk pengajaran bahasa Indonesia di sekolah terkait dengan materi perubahan arti, sehingga diharapkan mampu memberikan pengajaran yang dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh siswa.

2. Penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat umum dalam memahami metafora, perubahan arti yang disebabkan oleh keserupaan antararti yang terdapat dalam karya sastra terutama kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.

G.Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Denzin dan Lincoln menyatakan bahwa, “penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan

berbagai metode yang ada.”6

Pada penelitian ini, penulis akan meneliti fenomena perubahan arti yang disebabkan oleh keserupaan antararti (similarity)/metafora pada bahasa yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Jenis penelitian yang dilakukan berupa studi kasus. Surachmad memaparkan bahwa pendekatan studi kasus hanya memusatkan perhatian secara rinci pada kasus yang diteliti. Penelitian studi kasus hanya terfokus pada satu objek yang diangkat sebagai kasus untuk diteliti secara mendalam.

Penelitian kualitatif selalu bersifat deskriptif, artinya data dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka atau

6

(18)

koefisien tentang hubungan antar-variabel. Pada penelitian ini, hasil analisis berupa kutipan data dan pendeskripsian kata-kata yang jelas dan rinci mengenai perubahan arti yang disebabkan oleh keserupaan antararti (similarity)/metafora yang terdiri dari metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora konkret ke abstrak, dan metafora sinaestetik pada bahasa yang terdapat dalam salah satu karya sastra berupa kumpulan cerpen karya Dewi Lestari berjudul Filosofi Kopi.

H.Data dan Sumber data

Data adalah segala bahan keterangan atau fakta yang sudah dicatat (recorded) dan dapat diobservasi.7 Berdasarkan hasil membaca, peneliti menemukan fakta berupa ragam perubahan arti metaforis (similarity) atau metafora berupa metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora konkret ke abstrak dan metafora sinaestetik pada penggunaan bahasa yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.

Sumber data sebagaimana Lofland dan Lofland menyatakan, “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.”8 Data lain yang dimaksud berupa sumber tertulis, foto, dan data statistik. Sumber penelitian yang peneliti peroleh berupa sumber tertulis, yakni kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.

I. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan teknik studi dokumentasi. Guba dan Lincoln mendefinisikan,

“Dokumen ialah setiap bahan tertulis ataupun film, lain dari record, yang

tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik”9

7

Abdul Halim Hanafi, Metodologi Penelitian Bahasa, (Jakarta: Diadit Media Press, 2011), Cet. 1, h. 123.

8

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. 29, h. 157.

9

(19)

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan dokumen atau bahan-bahan tertulis terkait fokus penelitian. Berikut tahapan yang peneliti lakukan dalam mengumpulkan data:

1. Peneliti menentukan objek penelitian berupa kumpulan cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari

2. Membaca dan menganalisis bahasa yang digunakan pengarang dalam kumpulan cerpen tersebut.

3. Setelah membaca, peneliti menentukan fokus penelitian yang akan dilakukan. Penelitian ini lebih memfokuskan pada perubahan arti yang disebabkan oleh keserupaan antararti (similarity) atau metafora yang terdiri dari metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora konkret ke abstrak dan metafora sinaestetik.

4. Mengumpulkan buku atau sumber lain untuk membantu peneliti dalam melakukan penelitian

5. Menggabungkan beberapa teori dari berbagai buku dan menyimpulkannya

6. Menganalisis data yang ada sesuai teori yang digunakan

7. Peneliti melakukan triangulasi/penggabungan data dari teori yang diperoleh dari buku dan hasil analisis yang telah dilakukan.

J. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini dengan menggunakan model Miles dan Huberman, meliputi: reduksi data, penyajian data dan mengambil kesimpulan.10 Berikut tahapan-tahapan yang dilakukan peneliti dalam menganalisis data sebagai berikut:

1. Reduksi data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan dan pemusatan perhatian pada data yang diperoleh di lapangan, dilanjutkan dengan menggolongkan data-data tersebut untuk dianalisis berdasarkan fokus penelitian. Pada

10

(20)

tahapan ini, data yang peneliti peroleh dan menjadi fokus dalam penelitian berupa perubahan arti metaforis yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen berjudul Filosofi Kopi karya Dewi Lestari yang terdiri dari 18 cerita pendek yaitu: Filosofi Kopi, Mencari Herman, Surat yang Tak Pernah Sampai, Salju Gurun, Kunci Hati, Selagi Kau Lelap, Sikat Gigi, Jembatan Zaman, Kuda Liar, Sepotong Kue Kuning, Diam, Cuaca, Lara Lana, Lilin Merah, Spasi, Cetak Biru, Buddha Bar dan Rico de Coro, kemudian dari data-data yang telah ditemukan, peneliti penggolongkannya berdasarkan referen. Adapun referennya sebagai berikut:

No Jenis perubahan arti

metaforis Referensi

1. Metafora Antropomorfis

Pengalihan aktivitas/sifat manusia kepada benda selain manusia (manusia → benda selain

manusia)

2. Metafora Binatang Pengalihan aktivitas/sifat binatang ke selain binatang (binatang → selain binatang) 3. Metafora Konkret ke

abstrak

menjabarkan pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret

4. Metafora Sinaestetik Pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra

2. Penyajian data

Penyajian data merupakan pendeskripsian sekumpulan informasi tersususn yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Dari data-data yang telah dikelompokkan berdasarkan referennya, peneliti menganalisis data-data tersebut berdasarkan teori yang digunakan.

3. Penarikan kesimpulan

(21)

terkait perubahan arti metaforis yang digunakan oleh Dewi Lestari dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi menunjukkan bahwa penggunaan metafora antropomorfis lebih dominan dari pada metafora yang lain. Hal ini ditunjukkan dari hasil temuan yang peneliti dapatkan sebanyak 19 buah. Selain metafora antropomorfis, pengarang juga banyak menggunakan metafora sinaestetik, yakni sebanyak 13 buah. Sedangkan metafora binatang dan metafora konkret ke abstrak berjumlah 9 dan 3 buah perubahan.

(22)

12 BAB II KAJIAN TEORI A.Cerpen

1. Sejarah Cerpen

Berbagai bentuk cerita telah lama dituturkan dalam bentuk tulis, tetapi prinsip-prinsip cerita pendek modern baru dikristalkan pada abad kesembilan belas menyusul kemunculan Edgar Allan Poe. Dia menetapkan batas panjangnya, yaitu bahwa cerita tersebut harus cukup panjang untuk dibaca selama kurang lebih satu setengah sampai dua jam. Dia juga menetapkan gaya (style) plotnya, dengan serangkaian peristiwa yang muncul menuju klimaks, dan suspen menjadi sentral. Penulis Amerika lain, O. Henry, menambahkan “surprise ending” sebagai ciri lain dari cerpen. Penulis-penulis terdahulu ini menekankan plot dan mengorbankan kecermatan penggarapan klimaks. Bentuk cerita yang konvensional ini-dramatis, bergerak cepat, dan menyukai akhir cerita yang mengejutkan-sejak dulu sangat popular di kalangan pembaca, bahkan hingga kini. Sekalipun demikian, jenis cerita yang lebih realistis, yang lebih berkonsentrasi pada karakter dan suasana, telah dikembangkan oleh aliran Rusia. Aliran ini membiarkan plot berkembang tanpa dipaksakan mengikuti pola konvensional. Tchkov adalah bapaknya aliran “slice of ice” ini.1

2. Pengertian Cerpen

Cerpen (cerita pendek sebagai genre fiksi) adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antartokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan alur.2 Edgar Alan Poe dalam Jassin mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita

1

Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), cet. 1, h. 34.

2

(23)

yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam—suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.3 Ellery Sedgwick dalam Notosusanto mengatakan, “cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu atau “a short-story must not be cluttered up with irrelevance” ”.4 Dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita bergenre fiksi yang di dalamnya memuat rangkaian peristiwa yang memunculkan konflik antar tokoh atau diri tokoh, dimana cerita tersebut memunculkan kesan bagi pembacanya dan habis terbaca dalam sekali duduk, yakni sekitar satu sampai dua jam.

Fiksi berasal dari kata “Fiction” yang dalam kamus Hornby berarti rekaan, khayalan, cabang sastra yang mencakupi cerita pendek (cerpen), novel, roman. Fiksi dalam bahasa Indonesia disebut “cerkan” (cerita rekaan). Cerkan adalah sebuah tulisan naratif yang timbul dari imajinasi pengarang dan tidak mementingkan segi fakta sejarah. H.G. Tarigan, mengemukakan, “fiksi adalah sesuatu yang dibuat, sesuatu yang dibentuk, sesuatu yang diciptakan, sesuatu yang diimajinasikan.”5

Sedangkan fiksi menurut Atar Semi, “cerita dalam prosa hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan, tapisan, dan penilaiannya tentang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi ataupun tentang pengolahan tentang peristiwa-peristiwa yang hanya berlangsung dalam khayalan.”6 Dapat kita ketahui bahwa cerpen termasuk cerita yang bergenre fiktif. Fiksi adalah karangan naratif yang bersifat rekaan ataupun imajinasi pengarang tentang peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi ataupun tidak dalam kehidupan nyata.

3

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), cet. 8, h. 10.

4

Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 179.

5

Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), cet. 1, h. 33.

(24)

3. Ciri-ciri Cerpen

Ciri-ciri cerita pendek menurut Widjojoko dan Endang Hidayat dalam buku berjudul Teori dan Sejarah Sastra Indonesia terdiri dari:

a. Penyampaian cerita secara singkat dan padat

b. Jalinan jiwa dan kejadian jiwa bulat dan padu, dan di dalamnya mengandung unsur pertikaian yang akhirnya mencapai klimak dan diakhiri dengan penyelesaian masalah

c. Tema cerita tentang nilai kemanusiaan, moral, dan etika

d. Membicarakan masalah tunggal dan dapat dibaca dalam waktu singkat e. Memusatkan perhatian pada tokoh protagonis

f. Unsur utama yang terdapat dalam cerpen adalah adegan, tokoh, dan gerak

g. Adanya kebulatan kisah (cerita)

h. Bahasa yang digunakan dalam cerpen tajam, sugestif dan menarik perhatian

i. Sebuah cerita pendek mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung

j. Dalam cerita pendek terdapat satu kejadian atau persoalan yang menguasai jalan cerita7

4. Pembagian Cerpen

Dilihat dari perkembangannya cerita pendek dibagi dua, yaitu:

a. Cerita pendek sastra (cerita serius) yaitu cerpen yang mengandung nilai sastra (moral, etika dan estetika)

b. Cerita pendek hiburan (cerpen pop) yaitu cerita pendek yang umumnya untuk menghibur yang mengutamakan selera pembaca dan kurang memperhatikan unsur didaktis, moral, etika.

Henry Guntur Tarigan dalam bukunya berjudul Prinsip-prinsip Dasar Sastra, mengadakan pembagian atau klasifikasi terhadap cerita pendek dari berbagai sudut pandangan; yang umumnya yaitu:

a. Berdasarkan jumlah kata, dan b. Berdasarkan nilai

Berikut ini akan dibicarakan satu per satu secara ringkas.

7

(25)

a. Berdasarkan jumlah kata

Menurut Brooks dalam Tarigan, berdasarkan jumlah kata yang dikandung oleh cerita pendek, dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:

1) Cerpen yang pendek (short short story) adalah cerita pendek yang jumlah kata-katanya pada umumnya di bawah 5.000 kata, maksimum 5.000 kata, atau kira-kira 16 halaman kuarto spasi rangkap, yang dapat dibaca dalam waktu kira-kira seperempat jam.

2) Cerpen yang panjang (long short story) adalah cerita pendek yang jumlah kata-katanya diantara 5000 sampai 10.000 kata; minimal 5.000 kata dan maksimal 10.000 kata, atau kira-kira 33 halaman kuarto spasi rangkap, yang dapat dibaca kira-kira setengah jam.8 b. Berdasarkan nilai sastra

Notosusanto dalam Tarigan mengklasifikasikan cerpen berdasarkan nilai sastra sebagai berikut:

1) Cerpen sastra 2) Cerpen hiburan

Memang sulit membuat batas yang tegas antara cerpen sastra dengan cerpen hiburan, karena cerpen sastra pun mungkin juga mengandung hiburan, dan cerpen hiburan bernilai sastra. Dari buku atau majalah yang memuat cerpen itu dapat kita ketahui termasuk ke dalam jenis mana suatu cerpen. Di Indonesia misalnya: Indonesia, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Cerita Pendek, Horison, Budaya Jaya, adalah cerpen sastra, dan yang dimuat dalam majalah Terang Bulan dan sejenisnya, adalah cerpen hiburan.9

8

Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), h. 181-182.

(26)

5. Unsur Intrinsik Cerpen

Sebuah fiksi cerita pendek memiliki unsur-unsur intrinsik seperti: tokoh, latar, titik pandang/sudut pandang, gaya bahasa, alur dan tema.

a. Tokoh

Tokoh dalam cerita ini merujuk pada “orang” atau “individu” yang hadir sebagai pelaku dalam sebuah cerita, yaitu orang atau individu yang akan mengaktualisasikan ide-ide penulis. Lewat tokoh inilah penulis menyampaikan gagasan-gagasannya. Sudjiman menyatakan bahwa, “Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.”10

Sedangkan menurut Aminuddin, “Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.”11

Dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah orang ataupun pemeran yang mengemban suatu peristiwa dalam cerita. Jumlah tokoh cerita yang terlibat dalam novel dan cerpen terbatas, apalagi yang berstatus tokoh utama. Dibandingkan dengan novel, tokoh-tokoh cerita pendek lebih lagi terbatas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data jati diri tokoh, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan.

Ditinjau dari perkembangan kepribadian tokoh, Aminuddin membagi tokoh atas tokoh dinamis dan tokoh statis. Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya mengalami perkembangan. Tokoh statis adalah tokoh yang tidak mengalami perkembangan kepribadian, atau bisa disebut kepribadiannya tetap dari awal sampai akhir cerita.

10

Melani Budianta, dkk; Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), Cet. 2, h. 86.

11

(27)

b. Latar Cerita (Setting)

Menurut Stanton, “latar cerita adalah lingkungan, yaitu dunia cerita sebagai tempat terjadinya peristiwa.”12 Abrams mengemukakan, “latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.13 Setting/latar adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini ialah tempat atau ruang yang dapat diamati termasuk di dalamnya adalah waktu.14 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar adalah tempat terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita. Latar yang ada, tidak hanya terpaut dengan tempat terjadinya peristiwa saja, tetapi lebih luas dari itu yakni waktu dan kebiasaan masyarakat setempat.

Latar dalam cerpen biasanya mempunyai dua tipe, pertama, latar yang diceritakan secara detail, ini biasanya terjadi jika cerpen fokus pada persoalan latar. Kedua, latar yang tidak menjadi fokus utama atau masalah, biasanya latar hanya disebut sebagai background saja sebagai tempat terjadinya peristiwa, tidak dideskripsikan secara detail.15

Pelukisan latar cerita untuk novel dan cerpen dilihat secara kuantitatif terdapat perbedaan yang menonjol. Cerpen tidak memerlukan detail-detail khusus tentang keadaan latar, misalnya yang menyangkut keadaan tempat dan sosial. Cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar saja, atau bahkan hanya secara implisit, asal telah mampu memberikan suasana tertentu yang dimaksudkan. Novel, sebaliknya, dapat saja melukiskan keadaan latar secara rinci

12

Heru Kurniawan Sutardi, Penulisan Sastra Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), cet. 1,h. 66.

13

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 149.

14

Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), cet. 1, h. 47.

15

(28)

sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, konkret, dan pasti.16

c. Titik Pandang/Sudut Pandang

Titik pandang/sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.17 Harry Shaw dalam Sudjiman menyatakan, “Titik pandang terdiri atas: (1) sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita, (2) sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita, dan (3) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawa cerita; sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga.”18

Abrams menyatakan, “sudut pandang, point of view, menyaran pada sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca”19. Dari beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa titik pandang/sudut pandang adalah teknik sastrawan dalam mengemukakan ceritanya mencakup tokoh, perasaan atau sikap pengarang, peristiwa, tempat, waktu yang dipaparkan berdasarkan karakter ataupun gaya berceritanya.

Sudut pandang/pusat pengisahan menerangkan “siapa yang bercerita”. Pusat pengisahan ini penting untuk memperoleh gambaran tentang kesatuan cerita. Dalam kesusastraan Indonesia menurut Widjojoko dan Endang Hidayat memaparkan bahwa ada lima macam “pencerita”, yaitu:

a) Tokoh utama menceritakan ceritanya sendiri;

16

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), cet. 8, h. 13.

17

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 151.

18

Ibid., h. 152.

19

(29)

b) Tokoh bawahan menuturkan cerita tokoh utama;

c) Pengarang pengamat, yang menuturkan cerita dari luar sebagai seorang observer;

d) Pengarang analitik, yang menuturkan cerita tidak hanya sebagai seorang pengamat, tetapi berusaha juga menyelam kedalamnya; e) Campuran antara poin (a) dan (d) yaitu, cara melaksanakan cakapan

batin.20

d. Gaya Bahasa

Aminuddin menyatakan, “Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.”21

Disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah pemilihan bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam menciptakan karya sastra, sehingga mampu mengantarkan suasana yang mampu menyentuh emosi dan daya pikir pembaca.

Aminuddin memaparkan, “Dari segi katanya, karya sastra menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif, sedangkan kalimat-kalimatnya menunjukan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan nuansa makna tertentu saja. Alat gaya melibatkan masalah kiasan dan majas: majas kata, majas kalimat, majas pikiran, majas bunyi”.22

Berhasil atau tidaknya seorang pengarang fiksi, tergantung dari kecakapannya mempergunakan gaya yang serasi dalam karyanya. Seperti juga tidak ada dua orang yang sama betul, maka dalam penggunaan gaya atau majas pun tidak terdapat dua pengarang yang sama. Penggunaan majas ini sedikit banyak tergantung pada usia, pendidikan, pengalaman, temperamen, keterampilan, serta kecakapan pelaku yang secara tidak langsung menuturkan cerita itu.

20

Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), cet. 1, h. 47.

21

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 158-159.

22

(30)

e. Alur

Stanton mengungkapkan, “Alur adalah keseluruhan sekuen (bagian) peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita, yaitu rangkaian peristiwa yang terbentuk karena proses sebab akibat (kausal) dari peristiwa-peristiwa lainnya.”23 Abrams menyatakan, “Alur (Plot), rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.”24 Sudjiman mengartikan, “Alur sebagai jalinan peritiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu, jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab akibat).”25

Dari beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa alur (plot) adalah jalinan peristiwa yang terdapat dalam cerita, yang terdiri dari beberapa tahapan cerita yang satu sama lain saling berkaitan sehingga menjalin satu kesatuan cerita utuh yang dihadirkan oleh tokoh yang terdapat di dalamnya.

Alur atau plot cerpen umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan selesai, sebab banyak cerpen, juga novel, yang tidak berisi penyelesaian yang jelas, penyelesaian diserahkan kepada interpretasi pembaca). Urutan peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap perkenalan tokoh dan latar, biasanya tak berkepanjangan. Berhubung berplot tunggal, konflik yang dibangun dan klimaks yang akan diperoleh pun, biasanya, bersifat tunggal pula.26

Aminuddin membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian. a) Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan atau

drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Yang

23

Heru Kurniawan Sutardi, Penulisan Sastra Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 69.

24

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 159.

25 Ibid.

26

(31)

dikenalkan dari tokoh ini, misalnya nama, asal, ciri fisik, dan sifatnya.

b) Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Pertentangan ini dapat terjadi dalam diri satu tokoh, antara dua tokoh, antara tokoh dan masyarakat atau lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta antara tokoh dan Tuhan. Ada konflik lahir dan konflik batin.

c) Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. Dalam tahap ini, konflik yang terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan berbagai kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh.

d) Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca. Klimaks merupakan puncak rumitan, yang diikuti oleh krisis atau titik balik.

e) Krisis adalah bagian alur yang mengawali penyelesaian. Saat dalam alur yang ditandai oleh perubahan alur cerita menuju selesainya cerita. Karena setiap klimaks diikuti krisis, keduanya sering disamakan.

f) Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapai klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukkan perkembangan lakuan kearah selesaian.

g) Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita rekaan atau drama. Dalam tahap ini semua masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman dapat dijelaskan, rahasia dibuka. Ada dua macam selesaian: tertutup dan terbuka. Selesaian tertutup adalah bentuk penyelesaian cerita yang diberikan oleh sastrawan. Selesaian terbuka adalah bentuk penyelesaian cerita yang diserahkan kepada pembaca.27

f. Tema

Brooks dan Warren mengatakan bahwa, “tema adalah dasar atau makna suatu cerita.” Sementara Brooks, Purser, dan Warren dalam buku lain mengatakan bahwa, “tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra”28

Aminuddin memaparkan bahwa, “tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal otak

27

Siswanto, op. cit., h. 159 – 160.

28

(32)

pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.”29 Dari beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan dasar suatu cerita yang dipaparkan pengarang dalam karya sastra. Tema biasanya berupa pandangan hidup, perasaan, maupun nilai-nilai terkait kehidupan pengarang.

Tema dapat digolongkan dalam beberapa kategori yang berbeda-beda tergantung dari segi mana penggolongan tersebut dilakukan. Penggolongan tema yang akan dikemukakan berikut dilakukan berdasarkan dua sudut pandang, yaitu penggolongan dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional dan penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa Shipley.30

Pertama, tema tradisional dan nontradisional.

Menurut Meredith dan Fitzgerald, “Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang sebagai bersifat tradisional itu, misalnya, berbunyi: (i) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, (ii) setelah menderita, orang baru teringat Tuhan, (iii) atau seperti (pepatah-pantun) berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian. Tema-tema tradisonal, walau banyak variasinya, boleh dikatan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan”31

Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang tidak lazim, katakan sesuatu yang bersifat nontradisional. Karena sifatnya yang nontradisional, tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat

29

Siswanto, op. cit., h. 161.

30

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. 8, 2010), h. 77.

(33)

melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.32

Kedua, tingkatan tema menurut Shipley.

Shipley dalam dictionary of world literature mengartikan tema sebagai wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan—semuanya ada lima tingkatan—berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkat tumbuhan dan makhluk hidup, ketingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a) tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molukel, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. Ia lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan.33 b) tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat

kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas—suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan, khususnya kehidupan seksual yang bersifat menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan pengkhianatan suami-istri, atau skandal-skandal seksual yang lain.34

c) tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan

32 Ibid.

33

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. 8, 2010), h. 80.

(34)

alam, mengandung banyak permasalahan, konflik dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan dan berbagai masalah hubungan sosial lainnya.35 d) tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as

individualism. Disamping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan.36

e) tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiusitas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.37

B.Hakikat Perubahan Arti

Aksioma Leibniz menyatakan “Natura non facit saltus”, yang berarti “Alam itu tidak membuat loncatan” (artinya, alam itu berubah secara perlahan-lahan).38 Pernyataan tersebut sepenuhnya cocok untuk perubahan arti. Tidak peduli apapun yang menyebabkan perubahan itu, selalu saja ada

35

Ibid., h. 81.

36 Ibid.

37

Ibid., h. 82.

38

(35)

hubungan, ada asosiasi, antara arti lama dan arti baru. Dalam beberapa hal asosiasi itu bisa begitu kuat untuk mengubah arti dengan sendirinya; sebagian lagi asosiasi itu hanyalah suatu wahana untuk suatu perubahan yang ditentukan oleh sebab-sebab lain; tetapi bagaimana pun suatu jenis asosiasi itu akan selalu mengalami proses. Dalam pengertian ini asosiasi itu dapat dianggap sebagai suatu syarat mutlak bagi perubahan arti.

Dalam sejarah ilmu semantik, teori asosiasi muncul dalam dua bentuk. Beberapa dari ahli semantik awal mengakui suatu asosiasinisme yang sederhana: mereka mencoba menjelaskan perubahan arti sebagai hasil asosiasi antara kata-kata yang diisolasikan (berdiri sendiri). Pada dekade-dekade terakhir, suatu pandangan yang lebih maju, berdasarkan prinsip-prinsip struktural, telah meluas; perhatian telah berubah dari kata-kata tunggal menjadi satuan-satuan yang lebih luas, yaitu disebut, “medan asosiatif” (associative fields).39

Dengan teori medan asosiasi sebagai hipotesis kerja, maka perubahan arti dibedakan atas dua kategori, yakni perubahan arti berdasarkan asosiasi antara penangkapan pancaindra, dan perubahan arti berdasarkan asosiasi nama-nama. Masing-masing kategori perubahan arti dibedakan lagi atas dua asosiasi, yakni asosiasi berdasarkan keserupaan (similarity)/metafora dan asosiasi berdasarkan kedekatan (contiguity)/metonimi. Pada penelitian ini, penulis hanya memfokuskan penelitiannya pada asosiasi berdasarkan keserupaan (similarity)/metafora.40

Keserupaan Antararti (Metafora)

There are two traditional positions on the role of metaphor in language. The first, often called the classical view since it can be traced back to Aristotle’s writings’s on metaphor, sees metaphor as a kind of decorative addition to ordinary plain language; a rhetorical device to be used at certain times to gain certain effects. This view portrays metaphor as something outside normal language and which requires special forms of interpretation from listeners or readers. The second traditional approach to metaphor, often called the Romantic view since it

39

Ibid., h. 264.

40

(36)

is associated with eighteenth-and nineteenth-century Romantic

“Ada dua pandangan tradisional mengenai kedudukan metafora dalam bahasa. Pertama, sering disebut pandangan Klasik karena dapat ditelusuri dalam tulisan-tulisan Aristoteles mengenai metafora. Metafora dilihat sebagai tambahan dekoratif untuk bahasa sederhana, perangkat retoris yang digunakan pada waktu tertentu untuk mendapatkan efek-efek tertentu, pandangan ini menggambarkan metafora sebagai sesuatu di luar bahasa normal dan memerlukan penafsiran khusus dari pendengar atau pembaca. Kedua sering disebut pandangan Romantis karena berkaitan dengan imajinasi yang terjadi pada abad ke 18 dan 19. Metafora dipandang sebagai bagian yang tidak terpisah dari bahasa dan imajinasi berperan dalam konsep dan penalaran untuk memahaminya. Hal ini menunjukkan bahwa semua bahasa adalah metafora. Khususnya, tidak ada perbedaan antara bahasa harfiah dan bahasa kiasan”

On the traditional view of metaphor, which goes right back to Aristotle, metaphors are principally seen as a matter of (especially literary) usage. On this understanding, metaphors assert a resemblance between two entities. Thus, the metaphor the holiday was a nightmare works because is assert a resemblance or similarity between the holiday and a nightmare. Understanding the meaning of the metaphorical utterance involves identifying things which holidays and nightmares might hold in common, such as being unpleasant.42 “Pandangan traditional mengenai metafora dikemukakan oleh Aristoteles, metafora dilihat sebagai perkara penggunaan bahasa (terutama dalam sastra). Dalam pemahaman ini, metafora menegaskan kemiripan antara dua entitas.

41

John I. Saeed, Semantics, (United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd, 2003), p. 346.

42

(37)

Contoh metafora liburan adalah pekerjaan mimpi buruk menegaskan kemiripan/kesamaan antara mimpi buruk dan liburan, yakni sama-sama hal yang tidak menyenangkan”

Di dalam Webster’s Third New International Dictionary metafora didefinisikan secara tipikal sebagai “sebuah kiasan yang menggunakan sepatah kata atau frase yang mengacu kepada objek atau tindakan tertentu untuk menggantikan kata atau frase yang lain sehingga tersarankan suatu kemiripan atau analogi diantara keduanya (a figure of speech in which a word or a phrase denoting one kind of object or action is used in place of another to suggest a likeness or analogy between them).”43

Edi Subroto memaparkan, “metafora adalah salah satu wujud kreatif bahasa di dalam penerapan maknanya; artinya, berdasarkan kata-kata yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau kemiripan referen, pemakai bahasa dapat memberi lambang baru pada referen tertentu, baik referen baru itu telah memiliki nama lambang atau belum. Metafora banyak terdapat dalam karya sastra ataupun dalam bidang pemakaian lainnya, misalnya lawak. Manfaat metafora dapat memberi kesegaran dalam berbahasa, menghidupkan sesuatu yang sebenarnya tak bernyawa, menjauhkan kebosanan karena ketunggalnadaan (monoton), dan mengaktualkan sesuatu yang sebenarnya lumpuh”44

Metafora sangat bertali-temali dengan jaringan tutur manusia: sebagai faktor utama motivasi, sebagai perabot ekspresi, sebagi sumber sinonim dan polisemi, sebagai saluran emosi yang kuat, sebagi alat untuk mengisi senjang dalam kosakata, dan dalam beberapa peran yang lain.

Struktur dasar metafora itu sangat sederhana. Disana selalu ada dua hal: sesuatu yang sedang kita bicarakan (yang dibandingkan) dan sesuatu yang kita pakai sebagai bandingan. Dalam terminology Dr. Richards, sesuatu yang kita bicarakan itu tenor (makna atau arah umum) dan bandingannya disebut wahana (vehicle), sedangkan unsur atau unsur-unsur yang biasa mereka

43

Kris Budiman, Semiotika Visual Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), cet. 1, h. 87.

44 Muna Riswati, “Perbandingan Variasi Metafora pada Puisi Karya Taufik Ismail dan W.

(38)

punyai membentuk dasar dari metafora.45 Sebagai contoh, jika berujar “Fernanado menanduk bola.”, maka kita sedang berbicara tentang seorang manusia bernama Fernando, yang kita bandingkan atau umpamakan sebagai seekor binatang bertanduk, dan karena itu bisa menanduk, misalnya, kerbau atau sapi. Fernando ialah sesuatu yang kita bicarakan (tenor), dan binatang ialah bandingannya (wahana). Pada keduanya, Fernando dan kerbau, ada unsur umum yang dapat kita bayangkan, yang mengacu pada kesamaan makna, yakni “suatu tindakan yang menggunakan kepala”; pada manusia tindakan itu disebut menyundul dan pada kerbau menanduk. Uraian panjang yang bersifat verbal di atas cukup dirumuskan secara singkat-ringkas dalam metafora “menanduk bola”, dan itulah terobosan verbal.46

Kesamaan antara tenor dan wahana mungkin ada dua, yakni objektif dan emotif. Contoh di atas adalah kesamaan yang objektif. Kesamaan itu disebut emotif jika misalnya kita bicara tentang pengalaman (kekecewaan) pahit, karena yang ditimbulkan sama dengan rasa pahit. Suatu faktor penting dalam keefektifan metafora adalah jarak antara tenor dengan wahana, atau yang oleh Dr. Sayce disebut “sudut” bayang (angle of the image). Jika dua hal yang dibandingkan sangat berdekatan – misalnya bunga dibandingkan dengan bunga yang lain – maka metafora akan muncul juga tetapi mutu ekspresifnya tidak ada sama sekali. Sebaliknya, jika jarak antara dua objek yang dibandingkan itu cukup jauh, metafora itu makin efektif.

Stephen Ullman dalam bukunya berjudul Pengantar Semantik yang diadaptasi oleh Sumarsono membagi metafora menjadi empat macam dari sekian banyak metafora yang diekspresikan oleh manusia dalam bahasa yaitu metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora dari konkret ke abstrak dan metafora sinaestetetik.

a. Metafora Antropomorfis

Metafora antropomorfis merupakan satu gejala semesta. Para pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa

45

Stephen Ullman, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 265.

46

(39)

yang terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Menurut Ullman dalam Subuki memaparkan bahwa, “metafora Antropomorfis mengacu pada jenis metafora yang mengalihkan aktivitas dan sifat manusia kepada benda selain manusia.”47

Pecs Jelentestan mengemukakan bahwa salah seorang pemikir yang memerhatikan metafora jenis ini adalah filosof Italia abad ke- 18, Giambattista Vico. Dalam tulisannya berjudul Scienza Nuova, yang dikutip oleh Gombocz, ia mengatakan, “dalam semua bahasa sebagian besar ekspresi yang mengacu kepada benda-benda tak bernyawa dibandingkan dengan cara pengalihan (transfer) dari tubuh dan anggota badan manusia, dari indera dan perasaan manusia.”48 Kecenderungan ini dibuktikan dalam berbagai bahasa dan peradaban, dan terletak pada akar ekspresi yang tak terhitung jumlahnya dalam pemakaian. Contoh seperti ungkapan punggung bukit, mulut sungai, mulut gua, kaki gunung, bahu jalan, dan jantung kota.

Hal yang sebaliknya, yaitu metafora yang mengalihkan sifat benda kepada manusia, dapat juga berlaku. Akan tetapi jenis metafora ini tidak seproduktif metafora antropomorfis. Dalam terminology Sperber, tubuh manusia itu adalah pusat perluasan metafora dan pusat atraksi yang kuat. Tetapi secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa metafora yang berasal dari cara ini (yaitu dari manusia ke benda tak bernyawa) tampaknya lebih umum dibandingkan dengan yang sebaliknya (ke arah manusia).49

b. Metafora Binatang

Sumber utama imajinasi atau metafora yang lain adalah dunia binatang. Ullman dalam Subuki memaparkan, “metafora binatang mengacu kepada aktivitas atau sifat binatang yang dialihkan ke selain binatang”.50

Metafora jenis ini bergerak dalam dua arah utama. Sebagian

47

Makyun Subuki, Semantik Pengantar Memahami makna, (Jakarta: Transpustaka, 2011), h. 112.

48

Ullman, op. cit.,h. 267.

49 Ibid.

50

(40)

diterapkan untuk binatang atau benda tak bernyawa. Banyak tumbuhan menggunakan nama binatang misalnya ada lidah buaya, kumis kucing, kuping gajah dan cocor bebek. Selain pada tumbuhan, metafora binatang juga dapat kita jumpai dalam makanan. Di Indonesia kita mengenal telur mata sapi. Selain itu, dapat kita jumpai seperti fondasi ceker ayam, rambut ekor kuda, si jago merah (untuk api).51

Selain properti dari binatang, ada juga aktivitas binatang yang digunakan untuk selain binatang (manusia) di mana ada konotasi humor, ironis, pejoratif (melemahkan nilai) atau fantastik. Seseorang dapat disebut pembeo, pengekor, karena watak atau perilakunya seperti binatang atau bagian dari tubuh binatang tersebut. Tindakan orang juga bisa diserupakan dengan tindakan binatang. Dalam bahasa Indonesia ada istilah membeo, membabi buta, membebek dengan awalan me- dalam arti ‗berbuat atau bertingkah laku seperti’. Ada pula ungkapan seperti si macan bola, si jago tembak, disamping kata atau ungkapan seperti mengoceh (untuk orang yang banyak bicara), menggerogoti uang Negara (kata menggerogoti biasa untuk bajing, tikus), menggondol piala, nyengir kuda, kata-katanya masih menyengat, menanduk bola, mengais rejeki.52

Benda-benda tak bernyawa juga ada yang bisa bertingkah, dan tingkah ini dimetaforakan dengan sumber binatang: truk itu menyeruduk mobil dari belakang, panas matahari yang menyengat, generasi muda telah mengeluarkan kreativitasnya53. Dalam hal ini, kita dapat katakan bahwa sifat dan aktivitas binatang digunakan dalam arti yang lebih luas dari yang dikandungnya secara mendasar. Dalam kalimat lain, dapat kita katakan bahwa arti dari kata-kata tersebut telah mengalami perluasan.54 c. Metafora dari konkret ke abstrak

Salah satu kecenderungan dasar dalam metafora adalah menjabarkan pengalaman-pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret. Transfer

51

Ullman, op. cit.,h. 268

52 Ibid. 53

Ibid. 54

(41)

semacam ini terjadi sepanjang waktu; dan rasanya tak akan mungkin membicarakan hal yang abstrak tanpa menjamah transfer-transfer (dari yang konkret tersebut).55

Metafora-metafora bahasa Inggris, dapat diambil sebagai contohnya, yakni yang berhubungan dengan light ‗sinar, cahaya; lampu’. Begitu banyak ungkapan metaforis yang menggunakan kata light dengan berbagai cirinya yang melekat. Jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia, kondisinya sama juga. Artinya, dari kata sinar, cahaya, lampu (termasuk sulut, pelita) yang konkret kita temukan banyak ungkapan metaforis yang abstrak. Misalnya, sorot mata,sinar mata, sinar wajah, hidupnya sedang bersinar dan senyumnya berseri56.

d. Metafora Sinaestetik

Sinaestetik atau yang biasa disebut dengan sinestesia adalah istilah yang digunakan untuk perubahan makna akibat pertukaran indra. Kata sinaestesi berasal dari Yunani sun ‗sama’ ditambah aisthetikos ‗nampak’.57 Ullman dalam Subuki memaparkan, “Metafora sinaestetik mengacu kepada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra, misalnya dari penglihatan ke pendengaran, dari sentuhan ke penglihatan, dan dari pendengaran ke sentuhan misalnya penglihatan ke pendengaran, dari sentuhan ke penglihatan, dan dari pendengaran ke sentuhan.”58 Dari teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa metafora sinaestetik atau sinestesia adalah perubahan arti yang disebabkan oleh pertukaran tanggapan atau pemakaian aktivitas atau sifat antar indra dalam memaparkan sesuatu.

Indra kita yang lima jumlahnya yang lazim disebut pancaindra mempunyai tugas masing-masing. Mata mempunyai tugas untuk melihat. Berkaitan dengan tugas melihat itu dapat dilakukan dengan jalan menatap, melotot, menonton, dan melirik. Hidung bertugas untuk membau. Melalui

55

Ullman, op. cit., h. 268-269.

56

Ibid., h. 269.

57

Novi Resmini, Iyos A. Rosmana dan Basyuni, Kebahasaan (Fonologi, Morfologi, dan Semantik), (Bandung: UPI PRESS, 2006), h. 289.

58

(42)

mata dapat diketahui suatu bentuk yang indah atau jelek, beraneka warna, dan berbagai gerak. Tugas membau itu dapat dilakukan dengan mengidu dan mencium. Lidah bertugas untuk mencecap sehingga dapat diketahui berbagai rasa, misalnya manis, pedas, masam, asin, pahit, dan lain-lain. Kulit bertugas untuk meraba sehingga diketahui keadaan halus, lembut, kasar, licin, dingin, panas, dan lain-lain. Telinga bertugas untuk mendengar suara yang merdu, sumbang, keras, dan lemah.59

Suatu jenis pengkhususan dalam memilih kata-kata yang tepat adalah penggunaan istilah-istilah yang menyatakan pengalaman-pengalaman yang dicerap oleh pancaindra, yaitu cerapan indra penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan pencium karena kata-kata ini menggambarkan pengalaman manusia melalui pancaindra yang khusus, maka terjamin pula daya gunanya, terutama dalam membuat deskripsi.

Dalam bahasa Indonesia terdapat kata manis. Kata ini berhubungan dengan indra perasa. Tetapi kalau orang berkata “Rupanya manis sekali,” atau “Penampilannya manis sekali,” atau “Bajunya manis sekali,” atau “Orangnya hitam manis”, maka kata manis pada kalimat-kalimat di atas tidak berhubungan dengan indra perasa lagi, tetapi sudah dihubungkan dengan indra penglihatan. Maknanya tidak berhubungan dengan nilai rasa, tetapi cantik, menarik, komposisi baju yang cocok.60

C.Penelitian yang Relevan

Penelitian terkait metafora pernah dilakukan oleh Sarwo Indah Wigati, program studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2003 dengan judul “Tuturan Metaforis dalam Lirik Lagu-lagu Ebiet G. Ad”. Penelitian tersebut mendeskripsikan bentuk-bentuk metafora dari segi wujud penulisan, ekologi (ruang persepsi manusia) dan tingkat keekspresifannya. Teknik analisis yang digunakan penulis ditinjau dari segi sintaksis, semantik dan ekologi. Secara sintaksis,

59

Ngusman Abdul Manaf, Semantik Bahasa Indonesia, (Padang: UNP Press Padang, 2010), h.109-110.

60

Referensi

Dokumen terkait

Ergonomi adalah suatu cabang keilmuan yang sistematis untuk memanfaatkan informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia dalam merancang suatu sistem

Hasil penelitian ini menunjukkan sistem penataan arsip sudah berjalan dengan baik ,bidang Catatan Sipil Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Tebing Tinggi menggunakan

The analyst(s) named in this report certifies that all of the views expressed by the analyst(s) in this report reflect the personal views of the analyst(s) with regard to any and

Untuk menemukan kembali dokumen atau arsip dalam waktu yang cepat. dan tepat sudah tentu menghendaki suatu cara

Ketiga , permintaan masyarakat yang terus meningkat akan tersedianya pendidikan tinggi merupakan pertanda perubahan yang signifikan, patut diimbangi dengan

Hal ini disebabkan proses perombakan bahan organik pada pengomposan baik secara aerob maupun anaerob akan menghasilkan humus (Setyorini, 2006) Media yang dapat digunakan

[r]

Karena unit usaha peternakan ayam potong ini akan didirikan diatas sebidang tanah.. demi kelancaran usaha maka kami selaku pengusaha juga melakukan perizinan