• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya peneltian kebahasaan. Khususnya, untuk penelitian mengenai pemerolehan prefiks bahasa Indonesia yang berkaitan dengan ilmu morfologi dan psikolinguistik. Peneliti mengharapkan adanya penelitian lanjutan mengenai fenomena kebahasaan anak usia 4 – 5 tahun agar semakin memperkaya khazanah penelitian psikolinguistik yang sudah ada, serta dapat mengembangkan teori- teori psikolinguistik.

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa konsep seperti pemerolehan bahasa, morfologi, afiksasi dan prefiks, penggunaan konsep ini untuk menghindari salah tafsir pada pembaca. Konsep ini akan peneliti jelaskan sebagai berikut.

2.1.1 Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua, setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Mangantar (2009: 104) juga mengatakan bahwa pemerolehan bahasa (language acquisition) ialah proses-proses yang berlaku di pusat bahasa dalam otak seorang anak (bayi) pada waktu dia sedang memeroleh bahasa ibunya.

2.1.2 Morfologi

Morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-

perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik (Ramlan, 2005: 16-17). Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga proses morfologik, yaitu proses pembubuhan afiks, proses pengulangan dan proses pemajemukan. (Ramlan 2005: 45).

2.1.3 Afiksasi

Afiksasi atau pengimbuhan adalah proses pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar, baik bentuk dasar tunggal maupun kompleks (Putrayasa, 2008: 5). Proses pengafiksan dapat dibedakan menjadi (1) pembubuhan depan, dengan melibatkan prefiks atau awalan, (2) pembubuhan akhir dengan melibatkan sufiks atau akhiran, (3) pembubuhan tengah, dengan melibatkan infiks atau sisipan, dan (4) pembubuhan terbelah dengan melibatkan konfiks ( Cahyono, 1995: 110).

2.1.4 Prefiks

Prefiks (awalan), yaitu afiks yang diletakkan di depan bentuk dasar. Dalam bahasa indonesia terdapat beberapa prefiks, jumlah prefiks dalam bahasa indonesia yang ditentukan oleh setiap peneliti berbeda- beda, namun dalam penelitian ini peneliti berpedoman pada prefiks yang dikemukakan oleh Putrayasa. Putrayasa menyatakan bahwa prefiks asli bahasa Indonesia terdiri atas meN-, peN-, ber-, ter-, di-, per-, ke-, dan se-.

2.2 Landasan Teori

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teori yang menjadi acuan penulis, teori tersebut yaitu psikolinguistik, pemerolehan bahasa, prefiks

asli bahasa Indonesia, dan genetik kognitif chomsky. Teori- teori tersebut akan penulis jelaskan sebagai berikut.

2.2.1 Psikolinguistik

Secara etimologi kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya objek materinya yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa.

Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia Slobin,1974; Meller, 1964; Slama Cazahu, 1973 (dalam Chaer, 2003: 5). 2.2.2 Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua, setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).

Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi.

Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat sendiri. Kedua jenis proses kompetensi ini apabila telah dikuasai kanak-kanak akan menjadi kemampuan linguistik kanak-kanak itu (Chaer 2003: 167).

2.2.3 Prefiks Asli Bahasa Indonesia

Prefiks (awalan), yaitu afiks yang diletakkan di depan bentuk dasar. Contohnya: meN-, peN-, ber-, ter-, di-, per-, se- ( Putrayasa, 2008:10).

a. Prefiks meN-

Dalam pembentukan kata, prefiks meN- mengalami perubahan bentuk sesuai dengan kondisi morfem yang mengikutinya. N (kapital) pada prefiks meN- tidak bersifat bebas, tetapi akan mengalami perubahan bentuk sesuai dengan inisial morfem yang mengikutinya. Prefiks meN- dapat berubah menjadi me-,

mem-, men-, meny-, meng-, menge-.

Prefiks meN- berubah menjadi meng- jika diikuti oleh bentuk dasar yang bermula dengan fonem /k/, /g/, /h/, /kh/ dan semua vokal (a, i, u, e, o). Fonem /k/ mengalami peluluhan.

 Prefiks meN- berubah menjadi me- jika diikuti oleh bentuk dasar yang bermula dengan fonem /l/, /m/, /n/, /ny/, /r/, /y/, dan /w/.

 Prefiks meN- berubah menjadi men- jika diikuti oleh bentuk dasar yang bermula dengan fonem /d/ dan /t/. Fonem /t/ mengalami peluluhan.

Prefiks meN- berubah menjadi mem- jika diikuti oleh bentuk dasar yang bermula dengan fonem /b/, /p/, /f/. Fonem /p/ mengalami peluluhan.  Prefiks meN- berubah menjadi meny- jika diikuti oleh bentuk dasar yang

bermula dengan fonem /c/, /j/, /s/, dan /sy/. Fonem /s/ mengalami peluluhan.

Prefiks meN- berubah menjadi menge jika diikuti oleh bentuk dasar yang bersuku satu.

b. Prefiks peN-

Prefiks peN- mengalami perubahan bentuk sesuai dengan kondisi bentu dasar yang mengikutinya. Prefiks peN- dapat berubah menjadi pe-, pen-, pem-, peng-, peny-, dan penge-. Keenam bentuk tersebut merupakan alomorf prefiks peN-.

 Prefiks peN- berubah menjadi peng- jika diikuti oleh bentuk dasar yang bermula dengan fonem /k/, /g/, /h/, /kh/ dan semua vokal (a,i,u,e,o). Fonem /k/ mengalami peluluhan.

 Prefiks peN- berubah menjadi pe- jika diikuti oleh bentuk dasar yang bermula dengan fonem /l/, /m/, /n/, /ny/, /ng/, /r/, /y/, dan /w/.

 Prefiks peN- berubah menjadi pen- jika diikuti oleh bentuk dasar yang bermula dengan fonem /d/ dan /t/. Fonem /t/ mengalami peluluhan.

 Prefiks peN- berubah menjadi pem- jika diikuti oleh bentuk dasar yang bermula dengan fonem /b/, /p/, /f/. Fonem /p/ mengalami peluluhan.

Prefiks peN- berubah menjadi peny- jika diikuti oleh bentuk dasar yang bermula dengan fonem /c/ /j/, /s/. Fonem /s/ mengalami peluluhan.

Prefiks peN- berubah menjadi penge- jika diikuti oleh bentuk dasar yang bersuku satu.

c. Prefiks ber-

Prefiks ber- juga dapat mengalami perubahan bentuk. Terdapat tiga bentuk yang dapat terjadi jika prefiks ber- dilekatkan pada bentuk dasar. Ketiga bentuk tersebut adalah be-, ber-, dan bel-. Kaidah perubahan bentuk prefiks ber- adalah sebagai berikut.

Prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditempatkan pada bentuk dasar yang bermula dengan fonem /r/ atau bentuk dasar yang suku pertamanya berakhiran dengan /er/.

Prefiks ber- berubah menjadi ber- (tidak mengalami perubahan) jika ditempatkan pada bentuk dasar yang suku pertamanya tidak bermula dengan fonem /r/ atau suku pertamanya tidak mengandung /er/.

Prefiks ber- berubah menjadi bel- jika dilekatkan pada bentuk dasar ajar. d. Prefiks ter- dan di-

Prefiks ter- mempunyai alomorf ter- dan tel-. Bentuk tel- hanya terjadi pada kata-kata tertentu seperti telanjur dan telentang, sedangkan prefiks di- tidak pernah mengalami perubahan bentuk ketika dilekatkan dengan bentuk lain.

e. Prefiks per-

Prefiks per- sangat berkaitan erat dengan prefiks ber-. Jika kata kerjanya ber awalan ber- dan tidak pernah ditemukan dalam bentuk meN-, kata bendanya menjadi per-.

f. Prefiks ke-

Prefiks ke- tidak mengalami perubahan bentuk pada saat digabungkan dengan bentuk dasar. Hal yang perlu diperhatikan adalah perbedaan antara ke- sebagai prefiks dan ke- sebagai kata depan. Ke- sebagai kata depan kedudukannya sama dengan kata depan di dan dari. Oleh karena itu, sebagai kata depan penulisannya dipisahkan.

g. Prefiks se-

Prefiks se- berasal dari kata sa yang berarti satu, tetapi karena tekanan struktur kata, vokal a dilemahkan menjadi e. Bentuk awalan se- tidak mengalami perubahan atau variasi bentuk.

2.2.4 Genetik Kognitif Chomsky

Chomsky (dalam Chaer 2003: 108) mengatakan bahwa teori genetik- kognitif ini didasarkan pada satu hipotesis yang disebut hipotesis nurani (the innatess

hypothesist). Hipotesis ini mengatakan bahwa otak manusia dipersiapkan secara

genetik untuk berbahasa. Untuk itu otak manusia telah dilengkapi dengan struktur bahasa universal dan apa yang disebut language acquisition device (LAD). Dalam proses pemerolehan bahasa LAD ini menerima “ucapan- ucapan” dan data-data lain yang berkaitan melalui pancaindra sebagai masukan dan membentuk rumus-

rumus linguistik berdasarkan masukan itu yang kemudian dinuranikan sebagai keluaran. Chomsky berpendapat tidak mungkin seorang kanak-kanak mampu menguasai bahasa ibunya dengan begitu mudah yaitu tanpa diajar dan begitu cepat dengan masukan yang sedikit (kalimat-kalimat tidak lengkap, berputus-putus, salah, dan sebagainya) tanpa adanya struktur universal dan LAD itu di dalam otaknya secara genetik.

Dalam proses pemerolehan bahasa, tugas kanak-kanak dengan alat yang dimilikinya (yaitu LAD) adalah menentukan bahasa masyarakat manakah masukan kalimat- kalimat yang didengarnya itu akan dimasukkan. Struktur awal atau skema nurani yang dimilikinya semakin diperkaya setelah “bertemu” dengan masukan dari bahasa masyarakatnya (bahasa ibunya); dan kanak-kanak akan membentuk teori tata bahasanya berdasarkan itu. Tata bahasa itu terus-menerus disempurnakan berdasarkan masukan yang semakin banyak, dan sesuai dengan proses pematangan otaknya.

2.3 Tinjauan Pustaka

Gustianingsih (2002) dalam tesisnya yang berjudul Pemerolehan kalimat majemuk bahasa Indonesia pada anak TK. Teori yang digunakan adalah teori pemerolehan bahasa Chomsky. Untuk mengumpulkan data metode yang digunakan adalah metode cross sectional dengan dibantu teknik observasi, rekaman, wawancara, tebak gambar, dan bercerita. Data kemudian dianalisis untuk mencari elemen sintaksis untuk hal ini diperlukan kriteria Chomsky yaitu jika dalam tuturan anak terdapat penggunaan kaidah yang berulang-ulang muncul, tetap dan benar, maka gejala itu dapat dijadikan bukti bagi kompetensi bahasa anak pada tiap tahap perkembangan bahasa mereka.

Hasil penelitian usia empat sampai lima tahun adalah masa peralihan dari kehidupan anak di lingkungan rumah tangga ke dalam lingkungan sekolah. Oleh karena itu tingkat penguasaan bahasa KAMABIA kelompok usia 4—5 tahun merupakan parameter untuk mengukur keberhasilan dan sekaligus sebagai dasar pengajaran bahasa di sekolah. Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian peneliti yaitu pada teori yang digunakan yaitu teori pemerolehan Chomsky. Peneliti juga menggunakan teori tersebut dalam penelitian ini untuk menganalisis data yang peneliti temukan.

Listari (2011) dalam skripsinya yang berjudul Pemerolehan Morfologi bahasa Jawa Anak Usia Lima Tahun di Desa Sialang Pamoran Labuhan Batu Selatan. Teori yang digunakan adalah teori psikolinguistik dan pemerolehan morfologi pada anak usia lima tahun. Untuk mengumpulkan data metode yang digunakan adalah metode simak dengan teknik lanjutannya yaitu teknik simak libat cakap yang dilanjutkan dengan teknik rekam dan catat. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode padan, dengan teknik dasar berupa teknik pilah unsur penentu dengan alatnya yaitu daya pilah yang bersifat mental.

Hasil dari penelitian ini adalah pada anak usia lima tahun yang berbahasa Jawa telah mampu membentuk kalimat dengan menggunakan atau menyisipkan kata ulang. Pada anak usia lima tahun kata ulang yang sering muncul adalah kata ulang dwilingga. Pada kata ulang yang muncul adalah nomina, verba, adjektiva, dan kata ulang lain yang yang agak sering muncul adalah kata ulang yang berimbuhan dan kata ulang dwilingga salin suara. Kontribusi penelitian ini yaitu peneliti dapat melihat metodenya lalu mengaplikasikan metode tersebut pada

penelitian peneliti untuk menggabungkan antara psikolinguistik dan morfologi karena kajian peneliti juga menggabungkan psikolinguistik dengan morfologi.

Siregar (2012) dalam skripsinya yang berjudul Pemerolehan Kata Sapaan Bahasa Batak Toba Pada Pendidikan Anak Usia Dini. Teori yang digunakan adalah teori psikolinguistik behaviorisme. Teori ini digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk kata sapaan yang sudah diperoleh anak usia tiga tahun. Untuk mendapatkan data digunakan metode simak dengan teknik lanjutan yaitu teknik simak bebas libat cakap. Data yang berupa kosakata yang diucapakan anak kemudian dianalisis dengan menggunakan metode padan dan agih. Kata sapaan itu kemudian dipilah dan digolongkan ke dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah atau pendidikan, dan lingkungan pesta adat lalu dipilih kata sapaan yang paling sering digunakan oleh anak usia tiga tahun.

Hasil dari penelitian ini adalah pemerolehan kata sapaan bahasa Batak Toba dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal anak dan pemerolehan kata sapaan bahasa Batak Toba yang sering diperoleh anak usia tiga tahun adalah kata sapaan dalam lingkungan keluarga seperti Bapa, Uma, Ompung Boru, Tulang, Namboru,

Akkang Baoa dan Akkang Boru. Dalam penelitian ini juga ditemukan hubungan

psikolinguistik behaviorisme dalam pemerolehan kata sapaan bahasa Batak Toba anak usia tiga tahun, menimbulkan stimulus negatif yang mengakibatkan respon negatif dan stimulus positif yang mengakibatkan respon positif. Kontribusi penelitian ini yaitu peneliti dapat melihat bagaimana pemerolehan kata sapaan pada anak usia 3 — 4 tahun sehingga peneliti dapat mengetahui bagaimana kemampuan anak usia 3 — 4 tahun dalam pemerolehan bahasa khususnya kata sapaan dalam bahasa batak Toba.

Sari (2014) dalam tesisnya yang berjudul Pemerolehan Leksikon Anak Usia Tujuh Tahun di SD Negeri 0667690 Medan. Teori yang digunakannya adalah teori pemerolehan bahasa oleh Chomsky. Untuk memperoleh data metode yang digunakan adalah metode simak dan metode cakap. Metode ini memiliki teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yaitu teknik sadap, teknik lanjutan yaitu teknik simak libat cakap, teknik catat dan teknik rekam. Dalam metode cakap digunakan teknik dasar yaitu teknik pancing dan teknik lanjutan yaitu teknik cakap semuka.

Hasil dari penelitian ini adalah pemerolehan leksikon anak usia 7 tahun mencakup dua belas kelompok leksikon yaitu nama orang, hewan, kendaraan, anggota tubuh, pakaian, mainan, perabotan, perlengkapan rumah tangga, makanan, sifat keadaan, kegiatan, teknologi dan informan. Kelas kata yang terdapat dalam leksikon anak usia 7 meliputi verba, adjektiva, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, kategori fatis, interjeksi dan pertindihan kelas. Relasi semantis yang terbentuk dalam leksikon anak usia 7 tahun meliputi sinonim, antonim, hiponim, meronim, homonim, dan polisemi. Kontribusi penelitian ini pada penelitian yang peneliti yaitu pada teori yang digunakan yaitu pemerolehan bahasa Chomsky peneliti akan menerapkan teori tersebut pada penelitian yang peneli lakukan.

Manalu (2015) dalam skripsinya yang berjudul Pemerolehan Jenis Kata Pada Anak Usia Lima Tahun di Taman Kanak- Kanak Kartika 1—17 Yon Armed Delitua. Teori yang digunakan adalah genetik kognitif Chomsky. Teori ini digunakan untuk menganalisis pemerolehan jenis kata pada anak usia lima tahun. Untuk memperoleh data metode yang digunakan adalah metode simak, dengan

teknik lanjutan yaitu teknik simak libat cakap. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode padan, dengan teknik lanjutan yaitu teknik hubung banding menyamakan.

Hasil dari penelitiian ini adalah pemerolehan jenis kata pada anak usia lima tahun dimulai dari kata benda, kata kerja, kata keadaan, kata ganti, kata keterangan, kata bilangan, kata sambung, kata depan, kata sandang, dan kata seru. Jenis kata yang sering digunakan oleh anak usia lima tahun adalah kata benda, kata kerja, dan kata bilangan. Kontribusi penelitian ini pada peneliti yaitu peneliti dapat menerapakan teori genetik kognitif yang digunakan untuk penelitian peneliti.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa adalah alat komunikasi yang disepakati oleh suatu kelompok atau masyarakat tertentu yang digunakan untuk bekerja sama, menyampaikan ide atau gagasan dan lain sebagainya. Bahasa ini merupakan sebuah alat komunikasi yang hanya manusia sajalah yang memilikinya, dan ini menjadi ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Setiap anak yang lahir ke dunia telah

dilengkapi oleh sebuah alat yang disebut dengan “Language Acquisition Device

(LAD), alat inilah yang memungkinkan anak memeroleh bahasa ibunya.

Pada setiap anak yang normal serta sehat jasmani dan rohaninya pastilah mengalami yang namanya pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang kanak-kanak ketika dia memeroleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya (Chaer, 2003: 167). Proses pemerolehan bahasa ini terjadi secara alamiah. Pemerolehan bahasa ini tidak sama dengan pembelajaran bahasa sebab pembelajaran bahasa adalah proses-proses yang terjadi pada saat seorang anak mempelajari bahasa kedua, pembelajaran ini diperoleh setelah anak memeroleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya dan proses ini terjadi secara disadari karena berlangsung dari pengajaran guru dan bisa juga dari hasil belajar yang dilakukan secara mandiri.

Proses - proses yang berlaku pada waktu seorang anak memeroleh bahasa ibunya terdiri dari dua jenis yaitu performansi dan kompetensi. Performansi terdiri dari dua proses yaitu pemahaman dan penerbitan. Proses pemahaman melibatkan

kemampuan persepsi (pengamatan), sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan menerbitkan kalimat. Kedua proses ini apabila telah diperoleh anak akan menjadi kemampuan linguistiknya ( Chaer, 2003: 167).

Anak mulai memasuki peringkat linguistik pertama pada umur kira- kira satu tahun. Pada umur ini anak sudah dapat menyampaikan sesuatu walaupun masih berupa satu kata saja. Memasuki usia 4—5 tahun anak sudah mulai memasuki peringkat kompetensi penuh, pada umur 4—5 tahun ini anak sudah dapat menyampaikan sesuatu kepada orang lain dengan menggunakan sintaksis bahasa ibunya, anak juga sudah dapat menjawab pertanyaan yang diberikan kepadanya, pada umur 4—5 tahun anak sudah dapat mendengarkan orang berbicara dan menanggapi pembicaraan yang dilakukan orang dewasa kepadanya.

Anak usia 4—5 tahun ini sudah dapat menggunakan sintaksis kalimat bahasa ibunya dengan baik, walaupun belum sesempurna tata bahasa orang dewasa. Anak usia ini sudah memiliki kosakata yang cukup memadai mengenai bahasa ibunya, dan telah mampu berinteraksi dan berbicara dengan orang dewasa. Anak juga sudah mulai mengalami yang namanya percampuran bahasa baik itu bahasa ragam formal maupun informal yang diperolehnya dari TK. Anak pada usia 4—5 tahun telah dapat menggunakan prefiks pada kosakata yang memang wajib menggunakan prefiks, dan apabila prefiks itu tidak wajib untuk digunakan maka anak akan cenderung meluluhkan prefiks tersebut .

Dardjowidjojo (2000:211) menjelaskan bahwa pada pemerolehan morfologi umur empat tahun prefiks formal {meN-} dan {ber-} sudah mucul, tetapi frekuensinya masih sangat rendah. Dalam proses pemunculan prefiks formal

{meN-} tidak hanya terjadi nasalisasi dan pemenggalan, tetapi nasalisasi ini mengikuti suatu aturan yang tampaknya sudah dikuasai oleh anak. Nasalisasi yang disertai pemenggalan hanya dilakukan pada verba yang memiliki bentuk ternasalkan (misalnya, nangis dari menangis). Apabila tidak terjadi peluluhan nasal maka muncullah prefiks {meN-} secara utuh. Contoh mencair. Muncul kata mencair menunjukkan bahwa pada diri anak telah tertanam aturan yang sepertinya

mengatakan bahwa “bila {N-} pada {meN-} tidak luluh waktu ditempelkan pada

kata dasar, maka {meN-} dipertahankan”. Aturan ini tampaknya merupakan jawaban mengapa untuk kata-kata tangkap, potong, dan cabuti anak memakai bunyi sengau yang terluluhkan sehingga terbentuk verba nangkap, motong, dan nyabutin sedangkan untuk kata cair anak menurunkan mencair. Prefiks formal yang lain, {ber-}, baru muncul pada bentuk yang memang wajib memakai prefiks agar memiliki status verba. Prefiks ini belum muncul bila sifatnya opsional. Dengan demikian sudah muncul verba seperti berdiri dan berdarah, tetapi belum ada muncul berjalan atau berlari. Untuk kedua verba ini anak mengucapkan jalan dan lari.

Dari fenomena tersebut tampak bahwa anak telah memiliki kemampuan dalam dirinya untuk menggunakan prefiks, hanya saja penggunaan prefiks pada anak umur 4—5 tahun ini belumlah sesempurna seperti orang dewasa. Hal ini disebabkan kemampuan anak dipengaruhi oleh biologi, kognitif anak, serta masukan yang diterimanya dari lingkungannya sehingga kita tidak dapat memaksa seorang anak untuk melakukan sesuatu yang bersifat kebahasaan, bila biologi anak tersebut belum memungkinkan.

Dari fenomena tersebut peneliti merasa tertarik untuk meneliti pemerolehan prefiks bahasa Indonesia pada anak usia 4—5 tahun karena keunikan yang dimiliki seorang anak dalam berbahasa pada usia 4—5 tahun itu dan kemampuan yang dimiliki anak tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana seorang anak dapat memilah-milah melalui kemampuan yang dimilikinya untuk menggunakan prefiks pada kata yang memang wajib menggunakan prefiks dan meluluhkan prefiks pada kata yang sifatnya opsional untuk diberikan prefiks.

Selain itu penelitian mengenai pemerolehan prefiks ini belum pernah ada yang meneliti sehingga peneliti tertarik untuk mencoba mengangkat objek ini menjadi objek kajian peneliti. Peneliti menetapkan TK Yayasan Perguruan Markus sebagai lokasi penelitian karena belum pernah ada yang meneliti mengenai pemerolehan prefiks bahasa Indonesia di tempat tersebut, dan tempat tersebut dekat dari rumah peneliti sehingga peneliti dapat intensif dan efisien

Dokumen terkait