• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan itu adalah sesuatu yang dinamis, dengan demikian setiap kehidupan akan senantiasa mengalami perubahan, dan pada konteks manusia, maka manusiapun juga akan mengalami perubahan, baik ia sebagai individu maupun masyarakat.Perubahan yang terjadi pada masyarakat (sebagai kumpulan dari individu-individu), dapat berupa perubahan yang lambat dan cepat.Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola prilaku, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan (progress) namun dapat pula berarti kemunduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu (Pujiwijaya, 2010:23).

Salah satu perubahan adalah perubahan nilai budaya.Perubahan nilai budaya adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya.Unsur-unsur yang termasuk ke dalam sistem sosial adalah nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilakunya diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Perubahan nilai budaya juga terjadi di masyarakat Etnis Tionghoa di kota Medan, terutama perubahan pola prilaku mereka terhadap masyarakat (Pujiwijaya, 2010:24).

Mereka cenderung memisahkan diri dan menutup diri dan tidak bersosialisasi dengan masyarakat.Bahkan banyak etnis Tionghoa tidak mau bertegur sapa atau berbicara dengan warga setempat. Salah satu penyebab perubahan pola prilaku masyarakat Tionghoa di kota Medan pada masyarakat adalah akibat dari kerusuhan yang pernah terjadi pada tahun 1740 di kota Batavia atau sekarang kita kenal sebagai kota Jakarta. Pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa dimotori oleh pemerintahan VOC (Rusopo dalam Muzakky, 2010:1).

Selain di kota Batavia, kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa juga terjadi di beberapa kota antara lain peristiwa rasialis di bandung pada 10 mei 1974, Kerusuhan Mei 1998 terjadi di beberapa kota besar seperti Solo, Surabaya, Bandung, Jakarta dan Medan. Mereka sering mendapatkan tekanan dan perlakuan yang diskriminatif baik dalam lingkungan masyarakat juga dalam kehidupan birokrasi Indonesia.Peristiwa pembunuhan di kota Batavia memaksa orang-orang Tionghoa menyebar secara luas ke berbagai daerah diluar pulau Jawa, salah satunya kota Medan.

Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi di kotaMedan merupakan kerusuhan rasial yang paling dikenang oleh masyarakat Tionghoa pada masa itu. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh etnik Tionghoa dihancurkan.Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa, mengalami pelecehan seksual kemudian dibunuh (Rusopodalam Muzakky, 2010:2).

Tionghoa di Indonesia.Berawal dari masa kolonial yang mengadu domba etnis Tionghoa dengan warga pribumi, salah satunya dengan membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga golongan.Golongan pertama diduduki oleh kelompok barat (Eropa), golongan kedua diduduki oleh Timur Asing yang salah satunya adalah etnis Tionghoa, dan kelompok ketiga diduduki oleh warga pribumi yang di letakkan pada tingkat paling bawah.Dengan dibuatnya pengolongan tersebut secara perlahan menimbulkan konflik di antara berbagai golongan terutama etnis Tionghoa dengan warga/Pribumi, sehingga timbul sikap rasial, saling acuh dan perpecahan yang tidak terhindarkan (Rusopo dalam Muzakky, 2010:5).

Pada masa Orde Baru masih ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung memecahkan persatuan antar etnis yang ada. Di antara kebijakan tersebut adalah terbatasnya hak-hak warga Tionghoa pada akses-askes tertentu, diantaranya dilarangnya perayaan-perayaan hari besar Tionghoa, pemakaian huruf Cina, pemakaian bahasa Cina dan juga pernikahan antar etnis Tionghoa dengan Pribumi. Bahkan dalam bidang pekerjaan warga Tionghoa mendapatkan akses yang terbatas, mereka tidak diperkenankan bekerja pada istansi-istansi pemerintahan, sehingga tak ada pilihan lain kecuali berdagang (Choiru, dalam Muzakky, 2013:3).

Sadar akan posisinya yang rawan, mereka berdagang dengan displin dan membangun hubungan kerja sama dagang yang sangat kukuh, dengan demikian warga Tionghoa menguasai roda perdagangan di Indonesia dan menimbulkan kesenjangan di bidang ekonomi yang semakin terlihat jelas. Hal ini berdampak buruk di bidang pemerintahan, karena dengan penguasa pribumi yang berkepentingan ekonomi rentan dengan tindak korupsi sehingga dengan mudah

dapat dikendalikan oleh penguasa dibidang ekonomi dan hal ini sangat berpengaruh di bidang politik (Choiru, dalam Muzakky,2013:4).

Namun setelah reformasi pada tahun 1998, dengan runtuhnya rezim Orde Baru, berbagai kebijakan yang mendiskriminasi warga Tionghoa dicabut oleh presiden Abdurrahman Wahid guna mengembalikan hak-hak etnis Tionghoa sebagai bagian dari penduduk Indonesia. Presiden Abdurrahan Wahid mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 sehingga warga Tionghoa bebas untuk menampilkan ekspresi kebudayaanya, menggunakan nama Tionghoa, memakai bahasa Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari, bahkan peringatan hari besar Tionghoa diperingati sebagai hari libur nasional. Di sadari maupun tidak kesenjangan sosial antara warga Tionghoa dan warga Pribumi di Medan dari masa kemasa masih terus diwariskan setelah beberapa generasi (Budidalam Muzakky,2016:5).

Dengan dikembalikannya hak-hak warga Tionghoa sebagai bagian dari penduduk Indonesia, tidak membuatnya dianggap sepenuhnya sebagai bagian dari penduduk Indonesia.Berbagai stigma negatif terhadap etnis tionghoa masih melekat dalam kehidupan sehari-hari.Perbedaan bahasa, budaya, warna kulit dan agama tidak sepenuhnya dapat diterima oleh sebagian besar warga pribumi sebagai bagian dari internal bangsa Indonesia.Perlakuan diskriminasi masih terus berlangsung baik secara formal maupun informal. Kesenjagan tersebut menimbulkan perubahan nilai budaya terutama perilaku etnis Tionghoa terhadap masyarakat, terutama etnis Tionghoa di kota Medan.

terbentuknya sifat individualisme. Etnis Tionghoa di kota Medan cenderung hanya bersosialisasi dengan sesama etnisnya saja dan tidak bergaul dengan masyarakat pribumi.

Dari uraian di atas penulis merasa tertarik untuk mengulas lebih lanjut mengenai perubahan pola perilaku etnis Tionghoa terhadap masyarakat, terutama di kota Medan yang mana etnis Tionghoa tersebut kurang bersosialisasi dengan masyarakat setempat.

Dokumen terkait