BAB V PENUTUP
B. Saran
1. Diharapkan adat Minangkabau yang berlandaskan “adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah” bukan hanya menjadi semboyan semata, tetapi dapat terbukti dalam pelaksanaannya, yakni adat benar-benar kembali pada kitabullah (Al-Qur’an dan Hadis) ajaran agama Islam.
2. Diharapkan kepada para generasi penerus adat Minagkabau agar mengerti tentang adat Minangkabau sehingga tetap bisa melestarikan adat Minangkabau berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Albani, Al. Sunan Tirmidzi. Juz 7.
Arikunto, Suharismi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. 2006
Atsari, Al- Abu Zakariya. Penuntun Ringkas Ilmu Faraidh/ Warisan. Bekasi: Pustaka Daar El-Salam. 2008
Azra, Azyumardi. et.al.,Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2002
Azrial, Yulfian. Budaya Alam Minangkabau. Padang: Angkasa Raya. 2008
Baihaqi, Al. Sunan Al-Baihaqi al-Kubra. Juz 3.
Bashori, Subchan. Al-Faraidh Cara Mudah Memahami Hukum Waris Islam. Jakarta: Nusantara Publisher. 2009
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press. 2001
Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1990
Djakfar,Idris dan Taufik Yahya. Kompilasi Hukum Kewarisan. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1995
Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau 1784-1847. Depok: Komunitas Bambu, 2008
Hadikisuma, Hilman. Ensiklopedia Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia. Bandung: Alumni. 1984
Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1985
Hariwijaya, M. dan Bisri M. Djaelani, Tekhnik Menulis Skripsi dan Thesis. Jogjakarta: Zenith Publisher. 2004
Jurnal Adat dan Budaya Minangkabau Edisi Kedua/ Vol.2/ Maret-Mei/ Jakarta: 2004
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. 1982
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir. Hukum Waris. Jakarta: Senayan Abadi Puslishing. 2004
Mansoer, MD, Amrin Imran, dkk. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara. 1970
M.S, Amir. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. 2006
Murodi. Melacak Asal Usul Perang Paderi Di Sumatera Barat. Jakarta: Logos. 1999
Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru Adat Dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers. 1986
Rais, Za’im. The Minangkabau Traditionalist Response To The Modernist Movement. Canada: Institute of Islamic Studies McGill University. 1994 Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo. 1994
Salman, Otje dan Mustofa Haffas. Hukum Waris Islam. Bandung: PT. Refika Aditama. 2006
Sanggoeno, Dt. Diradjo Ibrahim. Tambo Alam Minangkabau Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2009
Sarmadi, A. Sukris. Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997
Schrieke, B.J.O. Pergolakan Agama Di Sumatera Barat. Jakarta: Bhratara, 1973
Shihab, M. Quraish .Tafsir al-Misbah : pesan , kesan, dan keserasian al-Quran, Jakarta : Lentera Hati. 2002.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW. Bandung: PT. Refika Aditama. 2007
Syarifuddin, Amir Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: IAIN Fakultas Syariah. 1984
Tambo Alam Minangkabau
Yuda, Indra. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Maret 2009,Vol. 15 No.2. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional
LAMPIRAN 1
KONSEP WAWANCARA DENGAN PENGURUS KERAPATAN ADAT NAGARI (KAN)
(UNTUK STUDI HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU)
Pengantar
Assalamu’alaikum wr. wb
Sebelumnya saya mendoakan Bapak berada dalam keadaan sehat walafiat dan selalu dalam lindungan Allah swt. sehingga Bapak dapat bermurah hati untuk memberikan informasi kepada saya dengan sukarela dan penuh kejujuran. Daftar pertanyaan ini saya susun semata-mata untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan guna menyelesaikan skripsi dan pendidikan yang saya ikuti di jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan demikian, data dan informasi yang Bapak berikan tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Atas kemurahan hati Bapak saya ucapkan terima kasih.
Identitas Responden
Nama : Jamaan Rajo Alam Umur : 56 tahun
Suku : Malinmansiang
Jabatan : Manti (Pengurus Sidang Harta Waris) di KAN Koto Tangah Alamat : Jl. Pertanian No.27 Rt.03 Rw.05 Kelurahan Lubuk Minturun
1. Bagaimana pelaksanaan sistem hukum waris dalam adat Minangkabau? Jawab:
Semua suku di Minangkabau memiliki sistem pembagian harta waris menurut garis keturunan ibu, baik secara lisan maupun tulisan seperti yang tercantum dalam Tambo, yaitu
“Taluak paku kacang balimbiang
Timpuruang tolong lenggang-lenggangan Ndak taruih ka saruaso
Anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan dibimbing)
Rang kampuang dipatenggangan (orang kampung ditenggang) Jago nagari jan ka binaso (jagalah negeri ini jangan sampai binasa)”
2. Ada berapa macam harta waris dalam adat Minangkabau ? Jawab:
Pembagian harta menurut adat Minangkabau ada empat macam, yaitu harta pusaka tinggi, harta pusaka rendah, harta pencaharian dan harta suarang.
3. Bagaimana penjelasan dan bentuk masing-masing harta warisan tersebut? Jawab:
Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwariskan dari nenek kepada mande (ibu) dan dari ibu turun kepada saudara perempuaan kita. Artinya, harta pusaka tinggi adalah harta turun temurun dari nenek moyang dulu kepada pihak perempuan misalnya berupa tanah, sawah, ladang dan harta pusaka tinggi ini tidak boleh dijual. Harta pusaka tinggi ini diawasi oleh mamak, sehingga untuk pewarisannya dilakukan oleh mamak kepada kemenakan melalui persetujuan kaum. Sedangkan harta pusaka rendah adalah harta pusaka yang diterima oleh kemenakan dari mamak kandung. Hasil pekerjaan mamak kandung diberikan
kepada kemenakannya. Dinamakan harta pusaka rendah karea pewarisnya hanya sedikit. Bila harta ini diwariskan lagi dan pewarisnya telah banyak, harta ini berubah menjadi harta pusaka tinggi. Contoh harta pusaka rendah ini adalah tanah, sawah, ladang yang dikelola oleh mamak kemudian diwariskan kepada kemenakan. Kemudian harta pencarian, yaitu harta yang didapat dari hasil usahanya. Misalnya seorang ayah bekerja menggarap sawah atau merantau ke negeri orang untuk berdagang, maka hasilnya itu diberikan kepada anaknya. Harta ini pada umumnya tidak berkaitan dengan harta pusaka di kampung halamannya. Dan yang terakhir harta suarang adalah harta yang diperoleh seseorang ketika ia masih surang atau sendiri (belum menikah). Jika sudah menikah pun harta tersebut tetap menjadi milik masing-masing, kecuali ada kesepakatan untuk menyatukan harta tersebut menjadi milik bersama.
4. Bagaimana bentuk keseimbangan antara agama (Islam) dan adat dalam pelaksanaan sistem hukum waris mengingat keduanya memiliki sistem hukum waris yang berbeda?
Jawab:
Tidak terdapat keseimbangan antara agama dan adat dalam sistem pembagian harta waris, karena faktanya adat mewariskan harta pusaka kepada anak perempuan atau menurut garis keturunan ibu, sedangkan dalam agama, harta seharusnya diwariskan kepada pihak laki-laki. Hal ini sangat bertentangan. Namun, sebenarnya mengapa adat bertindak demikian adalah karena kodrat wanita baik dalam adat maupun dalam agama adalah makhluk yang lemah. Oleh karena itu, pewarisan harta terhadap wanita adalah supaya anak-anak dari wanita tersebut tidak terlantar dan kelestarian kaum yang sesuku tetap bisa terjaga. Berbeda dengan laki-laki yang masih bisa kuat untuk mencari berbagai macam pekerjaan untuk hidupnya.
5. Bagaimana penerapan adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah dalam sistem waris adat ?
Jawab:
Adat salingka nagari, agamo salingka alam (adat seputar negeri, agama seputar alam). Berarti yang dipakai dalam negeri kita ini adalah adat, bukan agama. Memang, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah seharusnyalah kita kembali pada Al-Qur’an dan hadits, namun hal tersebut adalah maksud untuk menyeimbangkan antara adat dan agama agar tidak terjadi perselisihan yang besar antara kaum adat dan kaum agama. Pada kenyataannya, mengenai hak waris hingga sekarang masyarakat masih berpegang pada adat.
KUTIPAN WAWANCARA DENGAN PENGURUS KERAPATAN ADAT NAGARI
(UNTUK STUDI HUKUM WARIS ADAT)
Bismillahirrahmanirrahim
Berikut ini adalah kutipan wawancara penulis dengan pengurus Kerapatan Adat Nagari yang menjabat sebagai “Manti”, yakni seorang pengurus yang berkecimpung dalam pengurusan sidang harta warisan.
Penulis : “Assalamua’alaikum, Bapak !” Manti : “Wa’alaikumsalam !”
Penulis : “Sejak tahun berapa Bapak bekerja disini ?”
Manti :“Saya sudah bekerja disini sejak tahun 2005, saya sudah bekerja di Kerapatan Adat Nagari ini 5 tahun yang lalu.”
Penulis :“Apa jabatan Bapak di Kerapatan Adat Nagari ini ?”
Manti :“Saya menjabat sebagai sebagai Manti, yaitu pengurus sidang harta warisan.”
Penulis :“Berbicara mengenai pengurusan harta warisan dalam adat Minangkabau, apakah sistem pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau dilaksanakan secara tertulis atau hanya secara lisan saja, Pak ?”
Manti :“Pada dasarnya sistem pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau telah tertulis di dalam Tambo hingga sistem pembagian harta secara adat Minang tetap lestari hingga saat ini. Dalam pelaksanaann pembagian harta waris ada yang diadakan secara tertulis disertai materai dan ada pula yang hanya dilaksanakan secara lisan.”
Penulis :“Apa yang dimaksud dengan Tambo, Pak ?”
Manti :“Baiklah, akan saya jelaskan. Tambo adalah tulisan berupa sejarah, silsilah, keturunan dan riwayat zaman dahulu atau tatanan adat warisan nenek moyang orang Minang.”
Penulis :“Minangkabau kaya dengan bermacam-macam suku yang berbeda pada masing-masing daerah. Apakah masing-masing suku di Minangkabau memiliki sistem pembagain harta waris yang berbeda Pak ?”
Manti :“Semua suku di Minangkabau memiliki sistem pembagian harta waris yang sama, yaitu diwariskan menurut garis keturunan ibu, seperti yang tercantum dalam Tambo, yaitu
“Taluak paku kacang balimbiang
Timpuruang tolong lenggang-lenggangan Ndak taruih ka saruaso
Anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan dibimbing)
Rang kampuang dipatenggangan (orang kampung ditenggang) Jago nagari jan ka binaso (jagalah negeri ini jangan sampai binasa)”
Penulis :“Jika demikian, ada berapa macam bentuk harta warisan di Minangkabau, Pak ?”
Manti :“Pembagian harta menurut adat Minangkabau ada empat macam, yaitu harta pusaka tinggi, harta pusaka rendah, harta pencaharian dan terakhir harta suarang.”
Penulis :“Bagaimana penjelasan masing-masing harta warisan tersebut, Pak ?” Manti :“Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwariskan dari nenek
kepada mande (ibu) kita dan dari ibu turun kepada saudara perempuaan kita. Artinya, harta pusaka tinggi adalah harta turun temurun dari nenek moyang dulu kepada pihak perempuan misalnya berupa tanah, sawah, ladang dan harta pusaka tinggi ini tidak boleh
dijual. Harta pusaka tinggi ini diawasi oleh mamak, sehingga untuk pewarisannya dilakukan oleh mamak kepada kemenakan melalui persetujuan kaum. Sedangkan harta pusaka rendah adalah harta pusaka yang diterima oleh kemenakan dari mamak kandung. Hasil pekerjaan mamak kandung diberikan kepada kemenakannya. Dinamakan harta pusaka rendah karea pewarisnya hanya sedikit. Bila harta ini diwariskan lagi dan pewarisnya telah banyak, harta ini berubah menjadi harta pusaka tinggi. Contoh harta pusaka rendah ini adalah tanah, sawah, ladang yang dikelola oleh mamak kemudian diwariskan kepada kemenakan. Kemudian harta pencarian, yaitu harta yang didapat dari hasil usahanya. Misalnya seorang ayah bekerja menggarap sawah atau merantau ke negeri orang untuk berdagang, maka hasilnya itu diberikan kepada anaknya. Harta ini pada umumnya tidak berkaitan dengan harta pusaka di kampung halamannya. Dan yang terakhir harta suarang adalah harta yang diperoleh seseorang ketika ia masih surang atau sendiri (belum menikah). Jika sudah menikah pun harta tersebut tetap menjadi milik masing-masing, kecuali ada kesepakatan untuk menyatukan harta tersebut menjadi milik bersama. Begitulah bentuk pewarisannya, Nak!”
Penulis :“Demikian banyak penjelasan Bapak mengenai pewarisan masing-masing harta pusaka, apakah ada pewarisannya yang mengikuti sistem pewarisan hukum Islam sehingga terjadi keseimbangan antara hukum adat dan hukum agama?
Manti :“Tidak ada. Karena faktanya adat mewariskan harta pusaka kepada anak perempuan atau menurut garis keturunan ibu, sedangkan dalam agama, harta seharusnya diwariskan kepada pihak laki-laki. Hal ini sangat bertentangan. Namun, sebenarnya mengapa adat bertindak demikian adalah karena kodrat wanita baik dalam adat maupun dalam agama adalah makhluk yang lemah. Oleh karena itu,
pewarisan harta terhadap wanita adalah supaya anak-anak dari wanita tersebut tidak terlantar dan kelestarian kaum yang sesuku tetap bisa terjaga. Berbeda dengan laki-laki yang masih bisa kuat untuk mencari berbagai macam pekerjaan untuk hidupnya.”
Penulis :”Jika demikian, bagaimana hubungannya dengan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah ?”
Manti :“Adat salingka nagari, agamo salingka alam (adat seputar negeri, agama seputar alam). Berarti yang dipakai dalam negeri kita ini adalah adat, bukan agama. Memang, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah seharusnyalah kita kembali pada Al-Qur’an dan hadits, namun hal tersebut adalah maksud untuk menyeimbangkan antara adat dan agama agar tidak terjadi perselisihan yang besar antara kaum adat dan kaum agama. Pada kenyataannya, mengenai hak waris hingga sekarang masyarakat masih berpegang pada adat karena telah tercantum lama di dalam Tambo, yaitu:
“Sigirik ambiak ka tajak Tajak rumpuik jo rantai
Dari niniak ka mamak (dari nenek ke paman)
Sampai kini kamanakan ka mamakai (sampai sekarang kemenakan yang memakai)”
Penulis:“Dengan demkian, apa saja dampak positif dan negatif dari pembagian harta warisan secara matrilineal ini, Pak ?
Manti :“Untuk dampak positifnya tentu saja terjaminnya keselamatan hidup anak cucu sekaum. Sedangkan dampak negatifnya, jika ada seorang perempuan yang mempunyai anak yang banyak kadang-kadang terjadi pembagian harta yang tidak rata.”
Penulis :“Terakhir, apa harapan bapak terhadap perkembangan adat Minangkabau saat ini terutama dalam hal pembagian harta waris ?”
Manti :“Kita telah mengetahui bahwa harta pusaka dalam adat Minangkabau turun dari mamak ke kemenakan menurut garis keturunan ibu, laki-laki tidak bisa memiliki. Jadi, pada saat sekarang masih ada sebagian orang yang menyatakan harta tersebut menjadi miliknya. Seperti masih adanya anak yang menuntut harta orang tuanya, atau anak laki-laki menuntut haknya, padahal harta tersebut telah digariskan untuk diwariskan dari mamak ke kemenakan, kenapa masih ada saja yang mempermasalah hal ini dan menuntut yang bukan haknya. Dengan demikian, harapan saya sebaiknya orang Minang mulailah untuk mengerti tentang adat Minang dan jangan ada lagi pertikaian karna sudah ketetapannya yang demikian bahwa harta tersebut diwariskan menurut garis keturunan ibu.”
KER Gambar 1 Gambar 2 Rajo Alam DOKUM RAPATAN . Penulis be . Struktur p m sebagai M MENTASI W N ADAT NA (STUDI H ersama deng pengurus Ke Manti WAWANC AGARI KE HUKUM W gan Manti K erapatan Ad CARA DEN ECAMATA WARIS AD Kerapatan A dat Nagari K NGAN MA AN KOTO DAT) Adat Nagari Koto Tangah ANTI TANGAH Koto Tang h dan Jamaa ah an
Gambar 3 Adat Naga Gambar 4 Adat Naga . Penulis m ari Koto Ta . Penulis m ari Koto Ta mewawancar angah mewawancar angah ri Jamaan R ri Jamaan R ajo Alam se ajo Alam se ebagai Man ebagai Man nti Kerapatan nti Kerapatan n n
Gambar 5 Minangka Gambar 6 Kerapatan . Manti men abau . Penulis di n Adat Naga nandatangan gerbang Ba ari (KAN) ni konsep w alai-balai A wawancara s Adat Nagari studi hukum Koto Tanga m waris adat ah atau t
LAMPIRAN 2
KONSEP WAWANCARA DENGAN USTADZ MUSHOLLA RAUDHATUSSALIKIN (UNTUK STUDI HUKUM WARIS ISLAM)
Pengantar
Assalamu’alaikum wr. wb
Sebelumnya saya mendoakan Ustadz berada dalam keadaan sehat walafiat dan selalu dalam lindungan Allah swt. sehingga Ustadz dapat bermurah hati dapat memberikan informasi kepada saya dengan sukarela dan penuh kejujuran. Daftar pertanyaan ini saya susun semata-mata untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan guna menyelesaikan skripsi dan pendidikan yang saya ikuti di jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan demikian, data dan informasi yang Ustadz berikan tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Atas kemurahan hati Ustadz saya ucapkan terima kasih.
Identitas Responden
Nama : Syamsuar Umur : 33 tahun Suku : Chaniago
Jabatan : Ustadz Musholla Raudhatussalikin Sumatera Barat Alamat : Jl. Pasir Sebelah Rt. 03 Rw. 03 Kelurahan Pasia Nan Tigo
1. Bagaimana pendapat Ustadz mengenai sistem hukum waris adat Minangkabau yang berbeda dengan system hukum waris Islam?
Jawab:
Adat dan agama memang berlawanan. Dalam Islam semua harta lebih banyak kepada laki-laki. Perempuan mendapat harta waris, hanya saja mendapatkan bagian yang kecil. Sedangkan dalam adat harta lebih banyak kepada perempuan dan laki-laki hanya untuk menjaga. Jadi, jika dihadapkan dengan syariat Islam, adat Minangkabau tentang pembagian harta waris sangat kontras dengan ajaran agama Islam. Dalam ajaran Islam harta diwariskan lebih banyak kepada laki-laki sedangkan dalam Minangkabau harta lebih banyak diwariskan kepada perempuan. Begitulah di Minang ini dari dulu, tidak pernah ada titik temu antara agama dan adat, hanya saja persamaan ada. Untuk persamaan yang selaras tidak akan bertemu. Karna adat di Minangkabau pada dasarnya bukan bersumber dari agama. Jika dalam dalam adat perempuan mendapat hak penuh untuk mewarisi harta waris, maka dalam Islam perempuan hanya mendapat bagian kecil dibandingkan laki-laki. Yang menjadi nasab dalam agama adalah keturunan ayah, sedangkan dalam adat nasabnya adalah keturunan ibu. Ini membuktikan bahwa adat dan agama sangat berlawanan. Dalam agama mutlak harta waris diwariskan kepada laki-laki dan dalam adat juga mutlak diwariskan kepada perempuan. Dalam Islam perempuan juga mendapatkan harta waris, tapi hanya mendapatkan bagian yang kecil. Secara umum, adat Minangkabau dan agama sangat berlawanan karena adat Minangkabau tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.
2. Bagaimana keseimbangan pelaksanaan agama Islam dengan adat Minangkabau jika dikaitkan dengan falsafah Minang “adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah” terutama dalam hal pembagian harta waris ?: Jawab :
Secara Islam yang kaffah (Islam yang menyeluruh) kenyataan yang terjadi di Minangkabau tidak bisa diterima karna buktinya adat di Minangkabau ini banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Contoh, pakaian adat perempuan di Minang ini pun tidak sesuai dengan ajaran Islam, terbuka pundak dan lehernya. Orang Minang berkata, “syara’ mangato adat mamakai”, begitu kata orang Minang sehingga dalam realisasinya, “adat basandi syara’ syara basandi kitabullah”. Bila dihadapkan dengan Al-Qur’an, sebenarnya banyak hal tentang adat yang tidak sesuai dengan agama Islam. Tapi dari segi adat, sebagaimana orang Minang yang pandai berbicara, mereka berkata bahwa adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah, jika demikian mengapa adat tidak sesuai dengan agama? Hal itu menunjukkan bahwa orang Minang hanya lihai berbicara tapi dalam kenyataannya tidak demikian.”
3. Bagaimana cara menyeimbangkan adat dan agama dalam kehidupan pribadi Ustadz ?
Jawab:
Dalam hidup saya, semuanya berjalan sesuai adat saja. misalnya dalam keluarga saya ada sebidang tanah, kemudian tanah ini dibagi sesuai dengan jumlah saudara perempuan saya begitu juga dengan harta yang berada dalam pengawasan mamak saya, bahkan sekarang telah dijual dan sampai ke tangan orang. itulah mamak yang tidak beradat. Mamak sebenarnya bertugas menjaga anak kemenakan atau harta yang ada pada anak kemenakan, malah kini mamak banyak yang menjual harta tersebut untuk dijual demi kepentingan pribadi mereka. Makanya, mamak-mamak sekarang banyak yang celaka karna malas bekerja karna pada hakikatnya kewajiban mamak adalah membimbing kemenakannya “anak dipangku kemenakan dibimbiang”. Bukannya saya memilih adat, tetapi seperti yang kita ketahui bahwa bukan hanya di Minangkabau tapi di semua pelosok negeri, adatlah yang berkuasa. Hanya saja karna harta pusaka banyak yang dalam pengawasan mamak-mamak, maka anak
kebanyakan mengandalkan harta dari orang tua. Tapi kalau saya pribadi tidak ada harta yang bisa dibagi-bagi. Kalau pada zaman dulu banyak datuk-datuk yang bertindak tidak beradat seperti menjual harta pusaka sebagaimana yang saya jelaskan tadi. Banyak dari mereka yang akhirnya menjadi gila. Jadi jika dilihat dari segi dosanya, maka okumnyalah yang banyak salah. Dan dari segi adat tidak ada yang berubah, oknumnyalah yang banyak berubah. Sejatinya mamak tidak boleh menjual harta pusaka tersebut dan terus menerus harus mewariskan kepada kemenakannya agar anak cucu bisa tetap berkembang.
4. Bagaimana perjuangan para tokoh agama Islam terhadap pelaksanaan adat Minangkabau yang berbeda dengan ajaran agama?
Jawab:
Pada zaman dahulunya terjadinya sejarah pertikaian antara kaum adat dan kaum agama hingga terjadi kesepakatan di bukit Marapalam, sebenarnya kedua belah pihak tidak saling mendominasi, tetapi lebih kepada mengikat kebersamaan, toleransi, kerjasama sehingga terjalin persatuan dan kesatuan antara kaum adat dan kaum agama. Dari segi Islam, sebenarnya tidak bisa demikian. Tetapi begitulah perjuangan para pemuka agama Islam demi persatuan dan kesatuan. Itu tujuannya. Jadi inilah bentuk kebersamaan antara pemuka adat dan pemuka agama ini. Sebenarnya pada saat perjanjian Marapalam tersebut, urusan kaum agama dalam berdakwah belumlah selesai hanya saja hal tersebut dilakukan demi persatuan dan kesatuan intinya. Namun, hingga sekarang perjuangan para pemuka agama masih berjalan. Seperti adanya kasus pada tahun 2008, dimana seorang Datuk yang menghujat