• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi banding sistem hukum waris adat dengan hukum waris islam dalam konteks fiqh mawaris pendidikan agama islam : ( Studi kasus adat minangkabau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi banding sistem hukum waris adat dengan hukum waris islam dalam konteks fiqh mawaris pendidikan agama islam : ( Studi kasus adat minangkabau)"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH MAWARIS

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus Adat Minangkabau)

Skripsi

Diajukan Pada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam

Disusun oleh :

Yanti Febrina NIM: 106011000040

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH MAWARIS

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Studi Kasus Adat Minangkabau

Skripsi

Diajukan Pada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam

Oleh :

 

Yanti Febrina NIM: 106011000040

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Yanti Febrina

NIM : 106011000040

Fakultas/ Jurusan : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/ PAI

Judul Skripsi : STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM

KONTEKS FIQH MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus Adat Minangkabau)

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya dengan sebenar-benarnya untuk diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana (S.Pd.I) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya pun bersedia menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(5)

ABSTRAK

Yanti Febrina. 2010. ”Studi Banding Sistem Hukum Waris Adat Dengan Hukum Waris Islam Dalam Konteks Fiqh Mawaris Pendidikan Agama Islam (Studi Kasus Adat Minangkabau)”. Skripsi. Jakarta: Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan. Pertama, untuk mendeskripsikan bagaimana sistem pembagian warisan dalam Islam untuk ahli waris laki-laki dan perempuan. Kedua, untuk menjelaskan perbedaan hak waris anak laki-laki dan anak perempuan dari sudut pandang adat Minangkabau.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitiatif dengan metode deskriptif analisis dengan mendeskripsikan konsep hak waris anak laki-laki dan perempuan dari sudut pandang adat dan agama. Dalam penelitian kualitatif akan dilengkapi dengan studi lapangan untuk mendapatkan informasi dari beberapa responden dan studi pustaka pada deskriptif analisis.

Data penelitian ini dikumpulkan secara deskriptif analisis dengan cara. Pertama,observasi dengan menggunakan alat rekaman suara untuk wawancara. Kedua, studi pustaka dengan mencari data mengenai hukum waris adat Minangkabau dan hukum waris Islam melalaui catatan, buku, jurnal, dan lain sebagainya. Ketiga, wawancara secara bebas dan terstruktur. Keempat, dokumentasi yang bertujuan untuk mengabadikan penelitian berupa wawancara yang dilakukan penulis terhadap pemuka adat dan pemuka agama berupa foto, pengambilan gambar atau pemotretan yang dilakukan juga untuk memperkuat data yang diperoleh selama penelitian.

(6)

KATA PENGANTAR ÉΟó¡Î0 «!$# Ç⎯≈uΗ÷q§9$# ÉΟŠÏm§9$#

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan kekuatan dan rahmatNya atas nikmat yang berlimpah bagi seluruh makhluk, kepadaNya kita memohon pertolongan dan ampunan, kepadaNya pula kita memohon perlindungan. Sholawat dan salam kita haturkan kepada Nabi dan Rasul junjungan umat Islam, yakni baginda Nabi Muhammad saw. beserta keluarga beliau, sahabat dan seluruh pejuang Islam yang selalu dimuliakan oleh Allah swt.

Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul, ” Studi Banding Sistem Hukum Waris Adat Dengan Hukum Waris Islam Dalam Konteks Fiqh Mawaris Pendidikan Agama Islam (Studi Kasus Adat Minangkabau)” dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar sarjana S1, Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami penulis, baik yang berhubungan dengan pengaturan waktu, pengumpulan data-data maupun lain sebagainya. Namun, berkat bantuan dan motivasi berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan ini dapat diatasi tentunya dengan izin Allah swt. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

3. Dr. Hj. Siti Salmiah, M.A selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya dalam memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis guna menyelesaikan tugas skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen Pendidikan Agama Islam, yang telah membekali penulis dengan ilmu yang berharga. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Tarbiyah, perpustakaan utama UIN, dan bagian Tata Usaha (TU) Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan pelayanan yang baik.

5. Bapak Jamaan Rajo Alam selaku Manti yang telah mengizinkan penulis mengadakan penelitian serta bersedia menjadi nara sumber dalam wawancara yang dilakukan penulis di Kantor Urusan Kerapatan Adat Nagari Kecamatan Koto Tangah Padang.

6. Ustadz Syamsuar selaku guru di Musholla Raudhatussalikin Sumatera Barat yang telah bersedia menjadi nara sumber dalam wawancara yang dilakukan penulis untuk studi hukum waris Islam.

Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta: Ayahanda Abdul Syair dan Erna yang dengan kasih sayang dan kesabarannya telah memberi dan mencurahkan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis, serta memotivasi baik secara moril, materil maupun spirituil. Juga kepada seseorang yang teristimewa selalu memberi motivasi untuk tetap semangat dan bertahan hidup jauh dari orang tua. Juga kepada kakak-kakakku tersayang: Ronal Alexander dan Ulfatmi Sari Dewi yang selalu memberikan motivasi agar bisa menamatkan pendidikan dan membanggakan orang tua.

(8)

Akhirnya hanya kepada Allah swt., penulis memohon perlindungan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca yang budiman pada umumnya.

Jakarta, November 2010

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……….. i

KATA PENGANTAR ………..………….. ii

DAFTAR ISI ……….…….……... v

DAFTAR TABEL……….…….……... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Identifikasi Masalah ………... 4

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.…………..……... 4

D. Tujuan Penelitian ……… 5

E. Manfaat Penelitian ……….………. 5

BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoritis ……… 6

1. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Waris Islam ………..………..………... 6

a. Pengertian Hukum Waris ………...……….… 6

b. Rukun-rukun Warisan ………..………...… 10

c. Syarat-syarat Pewarisan…………..………. 20

d. Hak Waris ………..………. 21

2. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Waris Minangkabau ……..……….………... 22

a. Hukum Waris Adat Matrilineal ……….. 22

b. Ahli Waris ………..………. 24

c. Harta Pusaka ……… 26

d. Hak Waris ……….……….. 32

(10)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian ………..………….. 38

B. Jenis dan Sumber Data ………...……….. 39

C. Waktu dan Lokasi Penelitian ……….……….. 39

D. Teknik Pengumpulan Data ………... 39

E. Teknik Analisis Data ……… 41

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data ………..………… 42

1. Sejarah Hukum Waris Islam ….……… 42

2. Sejarah Hukum Waris Adat Minangkabau ………... 44

3. Sejarah Islam di Minangkabau …………... 46

B. Analisis Data ……….... 48

1. Perbandingan Sistem Hukum Waris Adat dengan Hukum Waris Islam ……….……….. 48

2. Perbandingan Kasus Pewarisan ………….……… 51

3. Pandangan Islam Terhadap Sistem Pewarisan Adat Minangkabau ……….………..……….. 57

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………... 64

B. Saran ………. 65

DAFTAR PUSTAKA………..….… 66

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Kerangka Konseptual………... 37

Tabel 4.1 Pewarisan Menurut Hukum Islam Dengan Sistem Bilateral (Studi Kasus Jika Istri yang Meninggal) ………..……...….. 54

Tabel 4.2 Pewarisan Menurut Hukum Adat Minangkabau Dengan Sistem Matrilineal (Studi Kasus Jika Istri yang Meninggal) ...……. 56

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap suku bangsa sejak dari yang tertutup atau primitif sampai kepada yang terbuka struktur masyarakatnya atau modern, umumnya mempunyai pandangan hidup sendiri, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pandangan hidup suatu suku bangsa atau bangsa ialah perpaduan dari nilai-nilai yang dimiliki oleh suku bangsa atau bangsa itu sendiri, yang mereka yakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada suku bangsa atau bangsa itu untuk mewujudkannya. Suku bangsa Minangkabau (orang Minang), yang merupakan salah satu suku bangsa yang membentuk bangsa Indonesia mempunyai pandangan hidup sendiri yang berbeda dengan pandangan hidup suku-suku bangsa lainnya. Pandangan hidup orang Minang tertuang dalam ketentuan adat, yang disebut dengan adat Minangkabau.

Dalam tesis yang ditulis oleh Zaim Rais, dikatakan bahwa: In general, adat is usually understood as local custom which regulates the interaction of

the members of society. But the definition of adat Minangkabau embraces

more than this. It means not only local custom, but, more importantly, is also

conceived as the structural system of society as a whole, of which local custom

is only a component. In this complex sense, adat is believed to establish the

(13)

sum, it may well be said to represent the ideal pattern of behaviour.1 Hal ini menjelaskan bahwa secara umum, adat pada umumnya dipahami sebagai adat istiadat setempat yang mengatur interaksi anggota masyarakat. Hanya saja, definisi adat Minangkabau memeluk lebih dari ini. Adat Minangkabau bukan hanya sekedar adat istiadat setempat, tetapi juga dipahami sebagai sistem masyarakat yang struktural secara keseluruhan. Adat dipercaya untuk menetapkan nilai-nilai berdasarkan aturan-aturan yang etis yang dapat mewujdukan pola perilaku teladan yang ideal.

Masyarakat provinsi Sumatera Barat menganut sistem adat Minangkabau yang memiliki sistem matrilineal. Matrilineal berarti sistem ini berdasarkan garis keturunan ibu. Baik dari segi keturunan maupun pembagian harta warisan, keduanya ditarik dari garis keturunan ibu. Meskipun masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal, tetapi adat Minangkabau tidak mengingkari nasab dari keturunan bapak, buktinya tidak ada orang Minang yang menyambung nama belakangnya dengan nama ibunya. Prinsip matrilineal berlaku umum dan alami. Hal ini berarti, secara alami anak lebih dekat kepada ibunya dibandingkan dengan bapak.

Budaya adat Minangkabau menyangkut persoalan nasab dan warisan menjadi sorotan tajam pandangan agama Islam. Meskipun pada dasarnya adat Minangkabau berfalsafahkan kepada “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”,akan tetapi falsafah ini tidak diterapkan secara seimbang karena pada kenyataanya masyarakat Minangkabau lebih dominan kepada adat daripada syara’. Padahal, seharusnya falsafah “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” dipahami sebagai landasan agar adat dipertajam makna

dan fungsinya oleh kuatnya peran syariat. Adat Minangkabau seharusnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan ajaran agama Islam yang berlandasakan kepada Al-Qur’an dan hadist Rasulullah saw., akan tetapi pada kenyataannya masyarakat Minangkabau lebih banyak berpegang teguh kepada adat.

      

(14)

Ketidakseimbangan adat dan syara’ di Minangkabau tampak pada persoalan nasab anak yang harus mengikuti suku2 sang ibu. Begitu juga dalam perihal pembagian hak waris dan perihal harta pusaka. Anak laki-laki di Minangkabau tidak memperoleh hak waris, karena harta pusaka diwariskan menurut garis keturunan ibu. Hal ini tentu saja berlawanan dengan ajaran Islam yang telah mengajarkan bahwa pelaksanaan hukum waris dilakukan secara bilateral dimana anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagiannya masing-masing.

Apalagi jika dilihat dari kacamata Pendidikan Agama Islam. Dalam Pendidikan Agama Islam, khususnya dalam Fiqh Mawaris yang menjadi modul pembelajaran dalam perkuliahan Pendidikan Agama Islam, perihal adat yang membagi harta warisan kepada anak perempuan lebih besar daripada anak laki-laki tentu saja menimbulkan ketidakseimbangan antara pandangan hukum adat dan agama. Hal ini dikarenakan melihat begitu berbedanya sistem pembagian harta warisan adat di Minangkabau dengan sistem hukum pembagian harta warisan dalam Islam.

Adat Minangkabau yang melestarikan budaya pembagian harta warisan lebih besar kepada wanita sangat bertentangan dengan pembagian harta warisan dalam Islam lebih besar kepada laki-laki, padahal faktanya Minangkabau memiliki falsafah “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”. Falsafah tersebut mengartikan bahwa adat yang berlaku atau

kebiasaan-kebiasaan yang di tengah masyarakat seperti jual beli, perkawinan, pembagian harta waris dan lain-lain tidak boleh bertentangan dengan yang telah disyariatkan di dalam Al-Qur’an.

      

(15)

Pada kenyataannya terjadi ketidakseimbangan antara pandangan adat dan agama dalam hal pembagian harta pusaka kepada anak laki-laki di Minangkabau. Hal ini tentu saja menimbulkan anggapan bahwa dalam pandangan adat Minangkabau, anak laki-laki memiliki status yang rendah. Ini tentu saja dilatarbelakangi oleh kurangnya kesadaran masyarakat Minangkabau untuk menyeimbangkan hukum adat dan hukum agama dalam masalah waris.

Dengan adanya latar belakang tersebut, maka saya bermaksud untuk menjelaskan konsep hak waris untuk anak laki-laki dan perempuan dari sudut pandang agama dan adat. Oleh itu judul skripsi yang akan saya ajukan berjudul “STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus Adat Minangkabau)”

B. Identifikasi Masalah

Bedasarkan latar belakang masalah di atas, maka timbul pernyataan atau masalah sebagai berikut:

1. Implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau tidak terlaksana secara utuh.

2. Kurang terwujudnya falsafah “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”dalam kehidupan sosial keluarga.

3. Rendahnya status anak laki-laki dalam pandangan adat.

4. Kurangnya kesadaran masyarakat Minangkabau untuk menyeimbangkan hukum adat dan hukum agama dalam masalah waris.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

(16)

a. Implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau tidak terlaksana secara utuh.

b. Kurangnya kesadaran masyarakat Minangkabau untuk menyeimbangkan hukum adat dan hukum agama dalam masalah waris.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

“ Sejauh mana implementasi hukum waris Islam dalam pelaksanaan hukum waris adat Minangkabau dan adakah keseimbangan antara hukum Islam dan hukum adat dalam pembagian harta waris adat Minangkabau ? “ D. Tujuan Penelitian

Penulis melakukan penelitian ini dengan tujuan :

1. Untuk mendeskripsikan bagaimana sistem pembagian warisan dalam Islam untuk ahli waris laki-laki dan perempuan.

2. Untuk menjelaskan perbedaan hak waris anak laki-laki dan anak perempuan dari sudut pandang adat Minangkabau.

E. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini, penulis mengharapkan adanya berbagai manfaat sebagai berikut :

1. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana sistem pembagian warisan dalam Islam untuk ahli waris laki-laki dan perempuan.

(17)

BAB II KAJIAN TEORI

STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH

MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus Adat Minangkabau)

A. Deskripsi Teoritis

1. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Waris Islam a. Pengertian Hukum Waris

Hukum kewarisan Islam biasa disebut dengan faraidh. Adapun yang dimaksud dengan faraidh adalah masalah-masalah pembagian harta warisan. Kata al-fara’idh atau diIndonesiakan menjadi faraidh yakni bentuk jamak dari al-faraidhah yang bermakna al-mufradhah atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya pembagian yang telah ditentukan kadarnya.3

Menurut syariat, faraidh didefinisikan sebagai hukum yang mengatur pembagian harta waris, yang berdasarkan ketentuan Allah swt. dan Rasulullah saw., karena langsung bersumber dari Allah swt. Tuhan yang menciptakan manusia dan Maha Tahu kebutuhan manusia, maka hakikatnya tidak ada lagi alasan bagi manusia khususnya kaum muslimin

      

(18)

untuk menentangnya ataupun mengubahnya dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dan Rasulullah saw. tentang pembagian harta waris tersebut.4

Sedangkan dalam pasal 171 huruf a dari Kitab Kompilasi menyatakan: Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (irkah) pewaris menentukan

siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya

masing-masing. Sedangkan pewaris menurut pasal 171 huruf b, adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal

berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli

waris dan harta peninggalan.5

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemberian harta warisan dari seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya yang telah ditentukan dalam syariat Islam.

Pada hakikatnya tidak ada lagi alasan bagi manusia khususnya kaum muslimin untuk menentang ataupun mengubah apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dan Rasulullah saw. tentang pembagian harta warisan tersebut.

Hukum faraidh dijelaskan sendiri oleh Allah swt. secara rinci dalam Al-Qur’an karena Allah swt. menghendaki agar hukum faraidh ini dilaksanakan secara konsisten tanpa adanya perbedaan penafsiran, tidak dikalahkan oleh hukum adat, tidak pula dikalahkan oleh isu persamaan gender.

Menurut hukum faraidh, bagian waris yang diterima oleh seorang ahli waris sudah ditetapkan menurut ketentuan Allah swt. dan Rasulullah saw. dan besar kecilnya sangat tergantung pada keberadaan ahli waris lain

      

4 Subchan Bashori, Al-Faraidh Cara Mudah Memahami Hukum Waris Islam, (Jakarta: Nusantara Publissher, 2009), h. 1

(19)

yang secara bersama-sama mempunyai hak waris sehingga bagian seorang ahli waris dapat berbeda dalam kondisi yang berbeda.

Namun, meskipun demikian hak waris adalah hak individu, yang boleh saja digunakan dan boleh pula tidak digunakan, tergantung kepada pemilik hak waris. Misalnya jika seorang ahli waris tidak mengambil hak warisnya karena merasa telah tercukupi kebutuhannya, selanjutnya hak warisnya diberikan kepada ahli waris lain yang lebih membutuhkan, maka hal ini dibolehkan asalkan ada kesepakatan dan kerelaan dari tiap-tiap ahli waris, setelah masing-masing mengetahui dan memahami hak-haknya atau bagiannya menurut ketentuan al-faraidh.

Dengan demikian, ada beberapa hal yang menjadi point penting dalam sistem hukum waris Islam, yaitu:

1) Hukum waris Islam memberi kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang lain.

2) Yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan.

3) Warisan terbatas pada lingkungan keluarga dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab.

4) Hukum waris Islam membagikan harta warisan dengan membagikan bagian tertentu kepada beberapa ahli waris.

5) Warisan lebih banyak diberikan kepada anak laki sebab anak laki-laki yang akan memikul beban keluarga.

Mengingat pentingnya al-faraidh, maka setiap muslim tidak saja diperintahkan untuk mempelajari al-faraidh, tetapi sekaligus diperintahkan untuk mengajarkan ilmu faraidh kepada orang lain. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. :6

      

(20)

ﺮْﺮهﻰ أْﻦ

“Dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: ‘pelajarilah al-faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain, maka sesungguhnya al-al-faraidh itu setengah dari ilmu, mudah dilupakan orang, dan yang pertama kali menghilang dari umatku’”.(H.R Baihaqi dan Hakim)

Hadis di atas menempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sejalan dengan perintah mempelajari dan mengajarkan Al-Quran. Hal ini tidak lain karena ilmu faraidh adalah salah satu cabang ilmu yang penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat.

Para ulama berpendapat bahwa mempelajari Fiqih Mawaris adalah fardhu kifayah, artinya kewajiban yang apabila ada sebagian orang yang

telah memenuhinya, dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang menjalani kewajiban itu, maka semua orang menanggung dosa.

Di sisi lain, mempelajari ilmu faraidh menjadi fardhu ain bagi orang-orang yang oleh masyarakat dipandang sebagai pemimpin, terutama pemimpin keagamaan. Karena di dalam sebuah komunitas masyarakat, pemimpin sangatlah berpengaruh terhadap kemaslahatan komunitas masyarakat tersebut.

Oleh karena itu, dengan mempelajari atau memahami faraidh diharapkan dapat menjamin bahwa harta waris benar-benar diberikan kepada yang berhak, sekaligus menjamin agar terhindar dari perampasan hak orang lain dengan cara yang batil. Dan Allah swt. telah mengingatkan agar setiap manusia tidak melakukan kebiasaan seperti orang-orang kafir yang suka memakan harta waris yang bukan menjadi haknya. Sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Al-Fajr ayat 19:

      

(21)

šχθè=à2ù's?uρ

“Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa dan kamu senantiasa memakan yakni mengambil dan menggunakan harta pusaka untuk

kepentingan diri sendiri dengan cara menghimpun yang halal bersama yang haram. Kamu mengambil seluruh hak kamu dan mengambil juga warisan anak-anak yatim serta warisan wanita-wanita.

Kata lammam dari lamma yang berarti menghimpun. Pada masa jahiliah kaum musyrikin tidak memberi warisan kepada anak-anak yatim dan istri yang ditinggal, bahkan istri yang suaminya mati pun tidak jarang mereka warisi. Dalih mereka adalah bahwa warisan hanya diperuntukkan bagi siapa yang terlibat dalam pereperangan atau membela suku, dalam hal ini adalah para lelaki yang dewasa.

b. Rukun-rukun Warisan

Rukun warisan ada tiga: yakni si mayit sebagai pemberi warisan, ahli waris dan harta yang hendak diwariskan.8

1) Si Mayit Sebagai Pemberi Warisan

Yang dimaksud dengan si mayit sebagai pemberi warisan, adalah si mayit setelah memastikan wafatnya, baik itu dengan melihat langsung atau dengan memperkirakan wafatnya dengan indikasi dan tanda-tanda yang disetjui oleh syara’ dan telah meninggalkan sejumlah harta bagi selain dia.

2) Ahli Waris

Yang dimaksud dengan ahli waris adalah mereka yang dalam keadaan hidup ketika wafatnya si mayit, baik itu diketahui dengan       

(22)

sebenar-benarnya ataukah diperkirakan keberadaannya setelah wafatnya si mayit dan memiliki hubungan nasab, nikah dan sebab-sebab pewarisan lainnya.

Pewaris adalah orang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta benda maupun hak-hak yang diperoleh selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat. Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan.

Pewaris ialah setiap orang yang meninggal dengan meninggalkan harta kekayaan, sedangkan ahli waris ialah orang yang bernisbah (memiliki akses hubungan) kepada si mayit karena ada salah satu dari beberapa sebab yang menimbulkan kewarisan.9

Selain itu ahli waris juga dapat diartikan sebagai pemahaman tentang sejumlah orang yang mempunyai hubungan sebab-sebab untuk dapat menerima warisan harta atau perpindahan harta dari orang yang meninggal tanpa terhalang secara hukum untuk memperolehnya.10

Ahli waris laki-laki secara terperinci, yaitu:11 a) Anak laki-laki

b) Cucu laki-laki dari keturunan laki-laki betapapun rendah menurunnya

c) Ayah

d) Kakek betatapapun tinggi menanjaknya e) Saudara laki-laki sekandung

f) Saudara seayah g) Saudara seibu

h) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung i) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah j) Paman sekandung

k) Paman seayah

l) Anak laki-laki paman sekandung m) Anak laki-laki paman seayah n) Suami

      

9 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 113

10 A. Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 34

(23)

o) Orang atau budak yang dimerdekakan

Pembagian ahli waris tersebut berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nisa: 11 yang berbunyi:

ÞΟä3ŠÏ¹θãƒ

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

(24)

dengan asalnya lebih utama ditimbang hubungan asal dengan furu’-nya.

Ayat ini menegaskan bahwa ada hak buat lelaki dan perempuan berupa bagian tertentu dari warisan ibu bapak dan kerabat yang akan diatur Allah Tuhan Yang Maha Tinggi itu. Nah, ayat ini merinci ketetapan-ketetapan tersebut dengan menyatakan bahwa Allah mewasiatkan kamu, yakni mensyariatkan menyangkut pembagian

pusaka untuk anak-anak kamu, yang perempuan maupun lelaki, dewasa maupun anak-anak.12

Yaitu, bagian seorang anak lelaki dari anak-anak kamu, kalau bersamanya ada anak-anak perempuan dan tidak ada halangan yang ditetapkan agama baginya untuk memperoleh warisan, misalnya membunuh pewaris atau berbeda agama dengannya, maka dia berhak memperoleh warisan yang kadarnya sama dengan bagian dua orang anak perempuan sehingga jika dia hanya berdua dengan saudara perempuannya maka dia mendapat dua pertiga dan saudara perempuannya mendapat sepertiga, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, dan tidak ada bersama keduanya seorang anak lelaki maka bagi mereka dua pertiga dari harta warisan yang ditinggalkan yang meninggal itu; jika anak perempuan itu seorang diri saja tidak ada waris lain yang berhak bersamanya, maka ia memperoleh setengah tidak lebih dari harta warisan itu.

Setelah mendahulukan hak-hak anak, kerena umumnya mereka lebih lemah dari orang tua, kini dijelaskan hak ibu bapak karena merekalah yang terdekat kepada anak, yaitu dan untuk kedua orang ibu bapaknya, yakni ibu bapak anak yang meninggal, baik yang meninggal lelaki maupun perempuan , bagi masing-masing keduanya, yakni bagi ibu dan bapak seperenam dari harta yang ditinggalkan, jumlah itu menjadi haknya jika yang meninggal itu mempunyai anak, tetapi jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak baik lelaki maupun       

(25)

perempuan dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga dan selebihnya buat ayahnya, ini jika yang meninggal itu tidak mempunyai saudara-saudara.

Tetapi jika yang meninggal itu mempunyai beberapa yakni dua atau lebih saudara baik saudara seibu sebapak maupun hanya seibu atau sebapak, lelaki atau perempuan dan yang meninggal tidak mempunyai anak-anak maka ibunya yakni ibu dari yang meninggal itu mendapat seperenam dari harta warisan, sedang ayahnya mendapat sisanya, sedang saudara-saudara itu tidak mendapat sedikitpun warisan. Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat sebelum kematiannya atau juga sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat sebelum kematiannya atau dan juga setelah sesudah dilunasi utangnya bila ia berhutang.

Orang tua kamu dan anak-anak kamu yang Allah rinci pembagiannya ini, ditetapkan Allah sedemikian rupa karena kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat dengan manfaatnya bagi kamu sehingga kamu yang menetapkannya kamu akan keliru. Karena itu laksanakanlah dengan penuh tanggung jawab karena ini adalah ketetapan yang turun langsung dari Allah. Sesugguhnya Allah sejak dahulu hingga kini dan masa datang selalu Maha Mengetahui segala sesuatu lagi Maha Bijaksana dalam segala ketetapan-ketetapan-Nya.

(26)

ini, adalah untuk menjelaskan hak perempuan memperoleh warisan, bukan seperti yang diberlakukan pada masa jahiliah.

Pemilihan kata zakar yang diterjemahkan di atas dengan anak lelaki dan bukan rajul yang berarti lelaki untuk menegaskan bahwa usia tidak menjadi faktor pengahalang bagi penerimaan warisan, karena kata zakar dari segi bahasa berarti jantan, lelaki kecil maupun besar.

FirmanNya “bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”, penggalan ayat ini tidak menjelaskan berapa bagian yang diperoleh seandainya yang ditinggal dua orang perempuan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa bagian dua orang perempuan sama dengan bagian lebih dari dua orang perempuan. Riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, disamping sekian istinbath hukum yang ditarik dari ayat-ayat waris menjadi alasan pendapat ini. Riwayat tersebut menyatakan bahwa:

“Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata : Istri Sa’ad bin Rabi’ pernah datang kepada Rasulullah saw. bersama kedua putrinya (Sa’ad bin Robi’) kemudia berkata: ‘Ya Rasulullah, inilah kedua putri Sa’ad bin Robi’, ayahnya gugur sebagai syahid bersamamu dalam perag Uhud. Sesungguhnya pamannya telah mengambil hartanya tanpa meninggalkan sedikitpun harta untuk mereka berdua. Dan mereka tidak dapat dinikahkan kecuali mereka punya harta.’ Rasulullah saw bersabda: ‘Allah akan memutuskan permasalahan ini.’ Lalu turunlah ayat waris, maka Rasulullah saw mengirim seseorang menemui paman mereka (kedua putri Sa’ad bin Robi’) dan bersabda: ‘Berilah kedua putrid Sa’ad dua pertiga, berilah ibu mereka (istri sa’ad)       

(27)

seperdelapan dan sisanya untukmu (saudara laki-laki Sa’ad).” (H.R Tirmidzi, Ibnu Majah)14

Alasan berdasarkan istinbath, antara lain adalah bahwa Allah saw. telah menjadikan bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Sehingga bila seseorang meninggalkan seorang anak lelaki dan dua orang anak perempuan, maka dalam kasus ini anak lelaki mendapat dua pertiga dan saudara perempuannya mendapat sepertiga. Nah, dua pertiga ketika itu dipersamakan dengan hak dua orang perempuan. Bukankah Allah swt. menyatakan bahwa hak anak lelaki dua kali banyaknya hak anak perempuan?

Adapun ahli waris perempuan yang telah disepakati dapat mewarisi adalah:

a) Anak perempuan

b) Cucu dan cicit perempuan serta generasi di bawahnya c) Ibu

d) Nenek seibu e) Nenek seayah

f) Saudara perempuan sekandung g) Saudara perempuan seayah h) Saudara perempuan seibu i) Istri

j) Perempuan yang membebaskan budak

Berdasarkan keterangan di atas mengenai ahli waris laki-laki dan perempuan, maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini : a) Yang dimaksud dengan kakek laki-laki adalah kakek laki-laki yang

dinasabkan pada si mayit dan dalam garis keturunannya tidak dijumpai garis nasab wanita.

b) Yang dimaksud dengan paman dari nasab laki-laki adalah saudara laki-laki bapak dari nasab laki-laki pula, baik itu saudara kandungnya ataukah se-bapak saja.

      

(28)

c) Yang dimaksud dengan anak wanita dari saudara laki-laki hingga ke bawah adalah kemenakan dari nasab laki-laki yang bersambung dalam garis nasab laki-laki saja.

d) Yang dimaksud dengan nenek dari pihak ibu pada nasab wanita adalah semua nenek dalam garis nasab wanita saja. Artinya, jikalau dalam garis nasab itu diselingi dengan nasab laki-laki maka ia sama sekali bukan ahli waris si mayit.

e) Yang dimaksud dengan nenek dari pihak bapak baik dari nasab wanita ataukah laki-laki dalam garis nasab wanita adalah garis nasab yang tidak diselingi dengan nasab selainnya. Jika nenek itu dari garis nasab wanita maka tidak boleh dijumpai adanya nasab laki-laki di antara dua nasab wanita, demikian halnya jika dari nasab laki-laki, maka tidak boleh dijumpai adanya nasab wanita antara kakek si mayit dan si mayit itu sendiri.

f) Jikalau ke semua ahi waris laki-laki ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya lima saja, anak wanita, cucu wanita dari nasab laki-laki, ibu, saudara kandung wanita dan istri.

g) Dan jika kesemua ahli waris wanita dan laki-laki bertemu/ ada, maka warisan hanya berhak diberikan kepada lima orang saja, yaitu: kedua orang tua si mayit (ibu atau bapak), anak laki-laki maupun wanita, suami mayit ataukah istrinya.

3) Harta yang Hendak Diwariskan

(29)

pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris.15

Sedangkan menurut Abu Zakariya Al-Atsary menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta baik itu berupa harta benda, uang, atau kepemilikan yang memiliki nilai dan serupa dengan itu, yang ditinggalkan oleh si mayit bagi para ahli warisnya.16

Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan jenis harta yang dilarang mengambilnya dan jenis harta yang boleh diambil dengan jalan yang baik, diantara harta yang halal (boleh) diambil ialah harta pusaka. Di dalam Al-Qur’an dan Hadis telah diatur cara pembagian harta pusaka dengan seadil-adilnya, agar harta itu menjadi halal dan berfaedah. Sebagaimana firman Allah swt. dalam Al-Qur’an surat An-Nisa: 7:17

ÉΑ%y`Ìh=Ïj9

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”

Ayat ini menjelaskan hak lain yang harus diturunkan dan yang dalam kenyataan di masyarakat sering diabaikan, yaitu hak-hak waris. Dapat juga dikatakan bahwa setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk menyerahkan harta kepada anak-anak yatim, wanita dan kaum lemah, maka seakan-akan ada yang bertanya: “darimanakan wanita dan anak-anak itu memperoleh harta?” maka diinformasikan dan ditekankan disini bahwa bagi laki-laki dewasa atau anak-anak yang

      

15 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 13

16 Abu Zakariya Al Atsary, Penununtun Ringkas…, h. 36

(30)

ditinggal mati orang tua dan kerabat, ada hak berupa bagian tertentu yang akan diatur Allah setelah turunnya ketentuan umum ini dari harta peninggalan ibu bapak dan para kerabat. Karena ketika itu mereka tidak memberi harta peninggalan kepada wanita dengan alasan mereka tidak ikut berperang, maka secara khusus dan mandiri ayat ini menekankan bahwa dan bagi wanita, baik dewasa maupun anak-anak ada juga hak berupa bagian tertentu.18

Supaya tidak ada kerancuan menyangkut sumber hak mereka itu, ditekankan bahwa hak itu sama sumbernya dari perolehan lelaki, yakni dari harta peninggalan ibu bapak dan para kerabat dan agar lebih jelas lagi persamaan hak itu, ditekankan sekali lagi bahwa baik harta peninggalan itu sedikit atau banyak, yakni hak itu adalah menurut bagian yang ditetapkan oleh Yang Maha Agung, Allah swt.

Kata rijali yang diterjemahkan lelaki, dan nisa yang diterjemahkan perempuan, ada yang memahaminya dalam arti mereka yang dewasa, dan ada pula yang memahaminya mencakup dewasa dan anak-anak. Pendapat kedua ini lebih tepat, apalagi bila dikaitkan dengan sebab turunnya ayat ini, yang menurut salah satu riwayat bahwa seorang wanita bernama Ummu Kuhlah yang dikaruniai dua orang anak perempuan hasil pernikahannya dengan Aus bin Tsabit yang gugur dalam perang Uhud. Ummu Kuhlah datang kepada Rasul saw. mengadukan paman putri itu, yang mengambil semua peninggalan Aus, tidak menyisakan sedikitpun untuknya dan kedua anaknya. Rasulullah saw. menyuruh mereka menanti, dan tidak lama kemudian turunlah ayat ini dan ayat-ayat kewarisan.

Kata mafrudhan berarti wajib. Kata faradha adalah kewajiban yang bersumber dari yang tinggi kedudukannya, dalam konteks ayat ini adalah Allah swt. adalah kewajiban yang bersumber dari yang tinggi kedudukannya, dalam konteks ayat ini adalah Allah swt. sedang kata wajib tidak harus bersumber dari yang tinggi, karena bisa saja       

(31)

seseorang mewajibkan sesuatu atas dirinya. Dengan demikian, hak warisan yang ditentukan itu bersumber dari Allah swt. dan jika demikian tidak ada alasan untuk menolak atau mengubahnya.

Ada beberapa hak yang wajib didahulukan dari pembagian harta warisan kepada ahli waris, yaitu:19

a) Yang terutama adalah hak yang bersangkutan dengan harta itu, seperti zakat sewa menyewa. Hak ini hendaklah diambil lebih dahulu dari jumlah harta sebelum dibagi-bagi kepada ahli waris. b) Biaya untuk mengurus mayat, seperti harga kafan, upah menggali

tanah kubur dan sebagainya.

c) Utang. Kalau si mayat meninggalkan utang, utang itu hendaklah dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagi untuk ahli warisnya.

d) Wasiat. Kalau si mayat mempunyai wasiat yang banyaknya tidak lebih dari sepertiga harta peninggalannya, wasiat itu hendaklah dibayar dari jumlah harta peninggalannya sebelum dibagi-bagi. Firman Allah swt:

“Pembagian harta pusaka itu sesudah dipenuhi wasiat yang ia (mayat)buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya” (An-Nisa: 11)

e) Sesudah dibayar semua hak tersebut di atas, barulah harta peninggalan si mayat itu dibagi kepada ahli waris menurut pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab-Nya yang suci.

c. Syarat-Syarat Pewarisan

1) Memastikan wafatnya si mayit, baik itu secara pasti dengan melihat secara langsung ataukah dengan kabar yang tersebar luas.

      

(32)

2) Memastikan keberadaan atau hidupnya ahli waris setelah wafatnya si mayit, baik itu mengetahui keberadaan ahli waris dengan melihat, ataukah kabar dari dua orang yang adil.

3) Mengetahui jalur-jalur pewarisan dan sebab-sebabnya, dimana pewarisan adalah sesuatu yang didasarkan sifat-sifat tertentu antara si mayit dan ahli waris yang merupakan pertalian kekeluargaan di antara keduanya. Seperti hubungan keturunan, orang tua, saudara, suami istri dan seterusnya.

d. Hak Waris

Al-Qur’an telah menetapkan ketentuan waris untuk ahli waris yang utama dan langsung bersentuhan dengan mayit, yaitu: ayah, ibu, suami/ istri dan saudara.20

1) Hak waris anak, ayah dan ibu

a) anak laki-laki = ashabah21 (2x bagian anak perempuan) b) anak perempuan = ½ bagian anak laki-laki

= ½ (jika hanya seorang anak perempuan) = 2/3 (jika dua orang atau lebih)

c) ayah = 1/6 (jika ada anak)

= ashabah (jika tidak ada anak)

d) ibu = 1/6 (jika ada anak atau tidak ada anak tapi ada beberapa orang saudara)

= 1/3 (jika ada anak)

2) Hak waris suami/ istri dan saudara seibu

a) Suami = ½ (jika tidak ada anak) = ¼ (jika ada anak) b) Istri = ¼ (jika tidak ada anak)

= 1/8 (jika ada anak)

      

20 Subchan Bashori, Al-Faraidh Hukum Waris….,, h. 55

(33)

c) Saudara seibu (jika tidak ada anak dan ayah) = 1/6 (jika hanya seorang)

= 1/3 (jika saudara seibu lebih dari seorang, dibagi rata)

3) Hak waris saudara kandung

a) Saudara perempuan = ½ (jika hanya seorang) = 2/3 (jika dua orang atau lebih) b) Saudara laki-laki = ashabah

= 2x bagian saudara perempuan (jika ada saudara laki-laki dan saudara perempuan)

Sedangkan Otje Salman menjelaskan bahwa bagian hak waris untuk anak laki-laki dan anak perempuan adalah sebagai berikut:22

1) Bagian anak laki-laki adalah:

1) Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewarisi bersama dengan anak laki-laki lainnya.

2) Masing-masing 2 bagian dari sisa jika mereka mewarisi bersama anak perempuan.

2) Bagian anak perempuan adalah: a) 1/2 bagian jika seorang

b) 2/3 bagian jika beberapa orang

c) Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama anak laki-laki.

2. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Waris Minangkabau a. Hukum Waris Adat Matrilineal

Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa menjadi masalah aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasan dan keunikan bila dibandingkan dengan

      

(34)

sistem hukum adat waris dari daerah-daerah lain di Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa sistem kekeluargaan di Minangkabau adalah sistem menarik garis keturunan dari pihak ibu (matrilineal) yang dihitung menurut garis keturunan ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan.

Harta pusaka di Minangkabau menjadi milik kaum perempuan, karena sistem kekerabatan di Minangkabau disusun berdasarkan garis keturunan ibu. Sistem inilah yang disebut dengan sistem matrilineal.

Alasan berlakunya sistem matrilineal dalam urusan harta pusaka adalah karena harta di Minangkabau menjadi milik kaum. Kemudian yang memelihara keturunan kaum adalah pihak perempuan. Dengan demikian, segala hak terhadap harta pusaka (tanah, sawah, rumah gadang, dan barang-barang lainnya) berada pada pihak perempuan.23

Tujuan lain dari sistem ini adalah untuk keselamatan hidup kaum perempuan. Hal ini dikarenakan menurut kodrat, kaum perempuan bertulang lemah. Meskipun seorang perempuan tidak lagi mempunyai seorang suami, ia masih tetap bisa menghidupi dirinya dan anak-anaknya, karena adanya harta pusaka yang menjadi miliknya. Oleh karena itulah pewarisan harta dilakukan berdasarkan sistem matrilineal.

Ciri-ciri khas sistem matrilineal yang membedakan dari sistem patrilineal, adalah sebagai berikut:24

1) Keturunan ditelusuri melalui garis wanita.

2) Anggota kelompok keturunan direktrut melalui garis wanita.

3) Pewarisan harta pusaka dan suksesi politik disalurkan melalui garis wanita.

Dengan sistem tersebut, maka semua anak-anak hanya mendapat ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi yaitu harta       

23 Yulfian Azrial, Budaya Alam Minangkabau,(Padang: Angkasa Raya, 2008), h. 40

(35)

yang turun temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yaitu harta yang turun dari satu generasi. Misalnya harta pencaharian yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko, akan jatuh kepada jurai25-nya sebagai harta pusaka rendah jika pemilik harta pencaharian itu

meninggal dunia. Jika yang meninggal dunia itu adalah seorang laki-laki, maka anak-anaknya serta jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi, sedang yang menjadi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya.

b. Ahli Waris

Ahli waris adalah mereka yang mempunyai pertalian adat terdekat. Pengertian hak milik perseorangan atas tanah tidak ada. Tanah pusaka merupakan suatu bagian yang integral dengan kelompok kekerabatan. Tanah pusaka tidak hanya merupakan sumber kegiatan-kegiatan ekonomi tetapi sekaligus juga merupakan lambang atau status tertentu dalam masyarakat.

“Kaum” dalam masyarakat Minangkabau merupakan persekutuan hukum adat yang mempunyai daerah tertentu yang dinamakan “tanah ulayat”. Kaum serta anggota kaum diwakili keluar oleh seorang “mamak kepala waris”. Anggota kaum yang menjadi kepala waris lazimnya adalah saudara laki-laki yang tertua dari ibu. Mamak kepala waris harus yang cerdas dan pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum terletak pada rapat kaum, bukan pada mamak kepala waris. Anggota kaum terdiri atas kemenakan dan kemenakan itu adalah ahli waris. Menurut hukum adat Minangkabau, ahli waris dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) Waris bertali darah

      

(36)

Ahli waris bertali darah yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah. Masing-masing ahli waris yang termasuk waris bertali darah ini mewaris secara bergiliran.

2) Waris bertali adat

Ahli waris bertali adat yaitu ahli waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah. Setiap nagari di Minangkabau mempunyai nama dan pengertian tersendiri untuk waris bertali adat.

Bagi masyarakat yang berstel-stel matrilineal seperti Minangkabau, warisan diturunkan kepada kemenakan, baik warisan gelar maupun warisan harta yang biasanya disebut sako26 atau pusako (saka atau pusaka). Sebagai warisan, harta yang ditinggalkan pewaris tidak boleh dibagi-bagi oleh yang berhak. Setiap harta yang telah jadi pusaka selalu dijaga agar tinggal utuh, demi untuk menjaga keutuhan kaum kerabat, sebagaimana yang diajarkan falsafah alam dan hukum adat mereka. Pada gilirannya diturunkan pula kepada kemenakan berikutnya. Kemenakan laki-laki dan perempuan yang berhak menerima warisan memiliki kewenangan yang berbeda. Kemenakan laki-laki mempunyai hak untuk mengusahakan, sedangkan kemenakan perempuan berhak memiliki. Dalam mamangan disebutkan warih dijawek, pusako ditolong (waris dijawat, pusaka ditolong). Maksudnya ialah bahwa sebagai warisan harta itu harus dipelihara dengan baik.27

Menurut adat, mamak wajib menjaga keselamatan segala harta pusakanya, dan membagi harta pusaka itu kepada segala kemenakannya dengan peraturan yang adil menurut timbangan mamak. Yang banyak dibanyakan, yang sedikit disedikitkan agar semua kemenakannya hidup senang dengan tiada merasa iri hati satu sama lainnya dalam hal menguasai atau memakai harta pusaka itu.

      

26 Sako artinya warisan yang tidak bersifat benda seperti gelar pusaka.

(37)

Menurut sepanjang adat segala harta pusaka tidak boleh dibagi menjadi hak sendiri-sendiri oleh orang yang menerima pusaka itu, tetapi boleh dibagi oleh yang berkaum yang sama-sama menerima harta pusaka itu untuk mengerjakan menurut aturan mamak.

Pembagian itu namanya genggam beruntuk-untuk, bukan berarti pembagian itu untuk jadi kepunyaan masing-masing yang diwarisi harta itu, tetapi harta itu tetap kepunyaan bersama juga. Hanya saja, hasil-hasil yang dikeluarkan dari harta pusaka itu dibagi menurut aturan yang berlaku. Misalnya hasil sawah atau hasil ladang yang dikerjakan oleh pewaris, maka hasil itu dibagi dengan keadilan yang sudah diatur oleh adat.

Jika yang meninggalkan warisan tanah pusaka adalah wanita, maka ahli waris adalah seluruh anak-anaknya. Bila dia tidak mempunyai anak, warisan tanah pusaka diterima oleh saudara-saudaranya. Jika yang meninggalkan tanah pusaka adalah pria maka ahli waris adalah saudara-saudaranya. Garis lain yang diturut seandainya mereka yang meninggalkan tanah pusaka tidak mempunyai ahli waris menurut pertalian darah ibu adalah penentu ahli waris menurut pertalian adat.

c. Harta Pusaka

Di Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju penafsirannya kepada harta yang berupa materi saja. Harta yang berupa material ini seperti sawah ladang, rumah gadang, emas perak, dan lain-lain. Sebenarnya di samping harta yang berupa material ini, ada pula harta yang berupa moril seperti gelar pusaka yang diwarisi secara turun temurun. Orang yang banyak harta material, dikatakan orang berada atau orang kaya. Tetapi menurut pandangan adat orang berada atau banyak harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka yang turun temurun dimilikinya.

(38)

ahli warisnya, menurut tali warisnya masing-masing, maka dikatakan juga harta pusaka itu adalah harta kongsi perserikatan bersama oleh orang yang setali waris dengan orang yang meninggalkan harta itu.28

Amir M.S menjelaskan bahwa pusako atau harta pusako adalah segala kekayaan materil atau harta benda yang juga disebut dengan pusako harato. Yang termasuk pusako harato seperti:29

1) Hutan sawah 2) Sawah ladang

3) Tabek dan Parak (Tambak dan kebun) 4) Rumah gadang

5) Pandang pekuburan 6) Perhiasan dan uang 7) Balai dan mesjid 8) Peralatan dan lain-lain.

Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa harta pusaka adalah harta yang diwariskan dari pewaris kepada ahli waris untuk dipelihara.30

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa harta pusaka Minangkabau adalah segala benda peninggalan seseorang yang diwariskan kepada ahli waris berdasarkan garis keturunan ibu agar ahli waris dapat terus menjaga dan melestarikan warisan tersebut.

Harta pusaka itu tidak boleh dibagi menjadi hak perorangan oleh orang yang menerima pusaka, melainkan wajib selamanya menjadi hak serikat dalam kaum yang menerima pusaka itu turun temurun. Hasil-hasil yang keluar dari harta pusaka itu wajib dipergunakan untuk penambah besarnya harta pusaka atau harta kongsi tadi.

Harta pusaka ini merupakan jaminan utama untuk kehidupan dan perlengkapan bagi anak kemenakan di Minangkabau, terutama untuk kehidupan yang berlatarbelakang kehidupan desa yang agraris.

      

28 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2009), h. 221

29 Amir M.S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2006), h. 95

(39)

Perubahan kehidupan ekonomi ke arah industri dan usaha jasa dan berkembangnya kehidupan kota, membuat peranan harta pusaka sebagai sarana penunjang kehidupan ekonomi orang Minang menjadi makin lama makin berkurang. Namun demikian, peranan harta pusaka sebagai simbol kebersamaan dan kebanggan keluarga dalam sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau tetap bertahan. Harta pusaka sebagai alat pemersatu keluarga masih tetap berfungsi dengan baik.

Orang asli yang membuka tanah dan hutan dengan istilah melancang melatih, mempunyai kekayaan dalam bentuk tanah, sawah, ladang, tanah perumahan dan tanah pekuburan. Kekayaan ini berikut dengan rumah gadang dan rangkiang di atasnya menjadi harta kelompok kekerabatan dan karenanya diwariskan menurut garis ibu. Kekayaan ini disebut pusako (pusaka).

Kekayaan imateril berupa gelar dan kedudukan dalam masyarakat disebut sako. Kekayaan imateril ini juga diwariskan menurut garis ibu kecuali pada golongan raja-raja. Tanah-tanah atau hutan-hutan yang belum dimiliki oleh suatu kelompok kekerabatan dan yang dicadangkan untuk anggota kelompok negeri di masa mendatang disebut tanah ulayat.

Penguasaan tanah pusaka suatu kelompok kekerabatan dilakukan berdasakan genggam beruntuk. Seluruh tanah pusaka kelompok kekerabatan saparuik (sekandung) dibagikan dan diusahakan oleh kekerabatan samande (seibu). Secara keseluruan tanah pusaka yang telah dikuasai oleh kelompok kerabat diatur menurut pertalian darah dari pihak ibu.

Hamka menjelaskan bahwa menurut adat harta itu terbagi dua31: 1) Pusaka Tinggi

2) Pusaka Rendah

Pusaka tinggi didapat dengan tembilang besi, Pusaka Rendah di dapat dengan tembilang emas. Harta pusaka rendah apabila sudah sekali turun, naik dia menjadi harta pusaka tinggi.

      

(40)

Begitu kuatnya kedudukan pusaka tinggi itu, sehingga harta pencaharian “urang sumando” misalnya rumah yang dibuatnya untuk anak isterinya, tidak terletak di tanah pusaka isterinya, tidaklah berhak ia menjualnya kembali, meskipun harta pencahariannya sendiri. Dia tercela keras oleh adat berbuat demikian. Sebab itu kalau seorang laki-laki menceraikan isterinya, rumahnya itu tinggallah menjadi hak milik isterinya. Dan kalau si isteri bersuami baru, suami yang baru itu pun tidak berhak atas rumah itu. Kalau bercerai, yang dibawa ke luar hanyalah pakaiannya sehari-hari saja. Dan kalau isteri itu mati, yang punya harta itu adalah anak-anaknya. Terutama anak yang perempuan, faraidh tidak dapat masuk kemari.

Pagang-gadai seorang suami untuk anak isteri pun adalah kepunyaan anak isteri itu. Dan harus diingat bahwa suku ayah yang mati dengan suku anak-anaknya berlain. Oleh sebab itu rumah buatan Sutan Indimo orang suku Tanjung, di tanah pusaka isterinya suku Guci, pada hakikatnya adalah wilayah orang suku Guci. Seluruh orang suku Tanjung tidak dapat menuntut rumah itu kembali. Dengan demikian, maka harta pencaharian seorang suku lain, bisa menjadi harta pusaka rendah pada mulanya (dicari dengan tembilang emas). Tidak berapa lama kemudian menjadi harta pusaka tinggi dari suku isteri dan anaknya.

Yulfian Azrial menjelaskan bahwa harta pusaka dalam adat Minangkabau terdiri dari:32

1) Harta Pusaka Tinggi

Harta pusaka tinggi adalah segala harta pusaka yang diwarisi secara turun temurun. Harta pusaka tinggi dibagikan dengan cara sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tingggi diwarisi oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi kepemilikannya.

Harta pusaka tinggi didapatkan dari tembilang besi dan tembilang emas dan diterima secara turun temurun dari mamak       

(41)

(saudara ibu yang laki-laki) kepada kemenakan. Harta ini merupakan lambang ikatan bagi kaum yang bertali darah.

Harta pusaka tinggi tidak bisa menjadi milik perseorangan. Harta pusaka tinggi adalah hak milik bersama dari sebuah kaum. Anggota kaum hanya mempunyai hak untuk menikmati atau menggunakan selama hidupnya.

Harta pusaka tinggi diwariskan secara turun-temurun dalam keadaaan yang sama (utuh), karena menurut hukum adat harta pusaka tinggi tidak boleh diperjual belikan sehingga ia tetap utuh.

Contoh harta pusaka tinggi adalah rumah gadang, perlengkapan adat, tanah, sawah, ladang, hutan, tanaman keras seperti kelapa, cengkeh, pala, dan lain-lain.

2) Harta Pusaka Rendah

Harta pusaka rendah adalah harta pusaka yang diterima kemenakan dari mamak kandung, yang berasal dari hasil pekerjaan yang diuntukkan buat kemenakannya.

Harta pusaka rendah dimaksudkan untuk harta yang pewarisnya hanya sedikit, sehingga tidak membutuhkan persetujuan kaum untuk menggunakannya. Namun, bila harta ini diwariskan lagi dan pewarisnya telah banyak, harta ini berubah menjadi harta pusaka tinggi.

Harta pusaka rendah boleh diperjual belikan, namun harus ada kesepakatan antara mamak dan kemenakan. Apabila ahli waris tetap menjaga keutuhan harta pusaka rendah ini, kemudian diwariskan lagi kepada ahli waris berikutnya, sehingga tidak mudah lagi mengatur kesepakatan dalam pengelolaannya, maka harta ini telah dianggap sebagai harta pusaka tinggi.

(42)

3) Harta Pancaharian (Harta Pencarian)

Harta pencarian adalah harta yang didapatkannya dari hasil usahanya. Misalnya dengan menggarap sawah atau ladang, berdagang, pegawai, buruh, dan sebagainya. Sangat jelas bahwa harta pencarian adalah harta yang didapatkan seseorang dari hasil usahanya sendiri baik dengan bekerja di kampung halamannya maupun dari hasil ia merantau. Namun, harta ini pada umumnya tidak banyak berkaitan dengan harta pusaka di kampung halamannya.

Orang yang berhak atas harta pencarian adalah orang yang mendapatkan harta tersebut. Misalnya seorang bapak bekerja di sawah atau ladang milik istrinya, maka hasil sawah dan ladangnya tersebut adalah hak si bapak bersama istri dan anak-anaknya.

Begitu juga halnya dengan seseorang yang bekerja atau berdagang, maka hasil dari usahanya tersebut adalah haknya bersama anak dan istrinya. Pewarisan harta pencarian ini adalah menurut hukum syara’ (agama), tidak menurut hukum adat dari mamak kepada kemenakan. Kecuali apabila ia berladang di tanah milik kaumnya, atau modal yang ia pakai berdagang adalah milik kaumnya, tentu tidak semuanya menjadi hak ia bersama anak dan istrinya.

4) Harta Suarang (Harta Sendiri)

Harta suarang adalah harta yang diperoleh seseorang ketika ia masih surang atau sendiri. Harta itu diperolehnya ketika ia belum berumah tangga atau belum menikah. Jadi harta itu milik surang atau milik seorang, bukan harta milik bersama.

(43)

d. Hak Waris

Petitih mengatakan bahwa sako (saka) dan (pusaka) diwariskan kepada kemenakannya: “Dari niniak ke mamak, dari mamak turun ke kemenakan (dari nenek (moyang) ke mamak, dari mamak ke

kemanakan)”. Pengertian nenek (moyang), sudah tentu berdasarkan stel matrilineal itu, yaitu mamak dari mamak. Mamak merupakan saudara laki-laki ibu. Pengertian turun dari nenek ke mamak, dari mamak ke kemenakan ialah turunnya hak warisnya dari sako dan pusako. Sako adalah warisan jabatan sedangkan pusako merupakan warisan harta benda.

Berhubung sistem ekonomi mereka bersifat komunal, maka dengan sendirinya harta benda itu milik bersama seluruh kerabat atau seluruh kaum yang secara geneologis menurut garis keturunan perempuan. Oleh karena kaum itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka sifat warisan itu menjadi bergaris yang paralel. Sako diwariskan pada kemenakan yang di dalamnya melengket segala tugas, hak dan kewajiban laki-laki. Dalam masalah pusako, kaum laki-laki merupakan kuasa, sedangkan kepemilikan adalah seluruh kerabat. Dengan sendirinya, meskipun sebagai kuasa, laki-laki tidak berhak menetapkan sendiri kedudukan pusako. Pihak perempuan mempunyai hak yang sama.

(44)

tidak diperoleh karena warisan, barang emas atau peralatan rumah tangga.33

Terutama berkenaan dengan harta milik seorang ibu, anak laki-laki akan merasa malu menggunakan haknya sebaga ahli waris. Ajaran mereka “berpantang laki-laki memakan pencarian perempuan”, dapat menghalanginya untuk menuntut warisan itu sebagai haknya. Harta itu adalah harta hak saudara perempuannya. Seandainya saudara perempuannya tidak ada, hak warisan itu akan diberikan kepada saudara perempuan (anak dari saudara ibunya yang perempuan).

Membagi-bagi harta pusaka kepada ahli waris yang tidak berhak, dengan sendirinya berakibat memecah belah keutuhan sistem kekerabatan. Perbuatan itu dipandang tabu serta melanggar adat.

Lebih rinci Dr. Eman Suparman, S.H, M.H menjelaskan bahwa hak mewarisi dari masing-masing ahli waris satu sama lainnya berbeda tergantung pada jenis harta peninggalan yang akan ia warisi dan hak mewarisinya diatur menurut prioritasnya. Hal tersebut akan dapat dilihat dalam paparan di bahwah ini :34

1) Harta pusaka tinggi

Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi, cara pembagiannya berlaku sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tinggi diwarisi oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi pemilikannya. Walaupun tidak boleh dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris, harta pusaka tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang anggota kaum oleh mamak kepala waris untuk selanjutnya dijual atau digadaikan guna keperluan modal berdagang atau merantau, asal saja dengan sepengetahuan dan seizin seluruh ahli waris. Di samping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau digadaikan, guna keperluan :

a) Untuk membayar hutang kehormatan.

      

(45)

b) Untuk membayar ongkos memperbaiki bandar sawah kepunyaan kaum.

c) Untuk membayar hutang darah.

d) Untuk menutup kerugian bila ada kecelakaan kapal di pantai. e) Untuk ongkos naik haji ke Mekkah.

f) Untuk membayar hutang yang dibuat oleh kaum secara bersama-sama.

2) Harta pusaka rendah

Semula harta pusaka rendah adalah harta pencaharian. Harta pencaharian mungkin milik seorang laki-laki atau mungkin juga milik seorang perempuan. Pada mulanya harta pencaharian seseorang diwarisi oleh jurai atau setidak-setidaknya kaum masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya karena hubungan seorang ayah dengan anaknya bertambah erat dan juga sebagai pengaruh agama Islam, maka seorang ayah dengan harta pencahariannya dapat membuatkan sebuah rumah untuk anak-anaknya atau menanami tanah pusaka isterinya dengan tanaman keras, seperti pohon kelapa, durian, cengkeh, dan lain-lain. Ha ini dimaksudkan untuk membekali isteri dan anak-anak manakala ayah telah meninggal dunia.

3) Harta suarang

(46)

yang mengurus dan membiayai anak-anak dan isterinya adalah saudara atau mamak isterinya.

Sedangkan pada dewasa ini adanya kerjasama yang nyata antara suami-isteri untuk memperoleh harta suarang sudah jelas nampak, terutama masyarakat Minangkabau yang telah merantau jauh ke luar tanah asalnya, telah menunjukkan perkembangan ke arah pembentukan hidup keluarga yaitu antara suami, isteri dan anak-anak merupakan satu kesatuan dalam ikatan yang kompak. Dalam hal demikian suami telah bekerja dan berusaha untuk kepentingan isteri dan anak-anaknya, sehingga dalam kondisi yang demikian keluarga tadi akan mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta keluarga yang disebut harta suarang.

Harta suarang dapat dibagi-bagi apabila perkawinan bubar, baik bercerai hidup atau salah seorang meninggal dunia. Harta suarang dapat dibagi-bagi setelah hutang suami-isteri dilunasi terlebih dahulu. Ketentuan pembagiannya sebagai berikut :

a) Bila suami isteri bercerai dan tidak mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri.

b) Bila salah seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, maka sebagai berikut:

- Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua, separoh merupakan bagian jurai si suami dan separoh lagi merupakan bagian janda.

- Jika yang meninggal isteri, harta suarang dibagi dua, sebagian untuk jurai istri dan sebagian lagi untuk duda.

c) Apabila suami-isteri bercerai hidup dan mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri, anak-anak akan menikmati bagian ibunya.

d) Apabila salah seorang meninggal dunia dan mempunyai anak, bagian masing-masing sebagai berikut :

(47)

-- Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua antara jurai suami dengan janda beserta anak.

- Jika yang meninggal isteri, harta suarang ½ untuk suami dan ½ untuk anak sebagai harta pusaka sendiri dan bagian ibunya.

B. Kerangka Berfikir

Melihat begitu banyak perbedaan yang ada dalam sistem hukum waris adat Minangkabau dengan sistem hukum waris Islam (Fiqh Mawaris) dalam Pendidikan Agama Islam, membuat hal ini menjadi sangat penting untuk dipelajari guna mengetahui sebab adanya perbedaan hukum waris adat Minangkabau dengan hukum waris Islam.

Perbedaan yang mencolok tentu saja terdapat pada ahli waris. Ahli waris dalam sistem adat Minangkabau lebih banyak memberikan harta warisan kepada anak perempuan sebagai kepemilikan, sedangkan anak laki-laki hanya mendapat harta untuk diolah tanpa adanya kepemilikan. Mereka juga hanya mendapat tanggung jawab dari mamak (paman) mereka, sebab ayah tidak terlalu berperan penting dalam tanggung jawab anaknya karena ayah juga menjadi paman bagi kemenakannya, maka ayahnya juga bertanggung jawab terhadap kemenakannya.

Berbeda dengan sistem hukum waris Islam yang memberikan harta warisan lebih besar kepada anak laki-laki daripada perempuan. Tidak ada istilah paman lebih bertanggung jawab daripada ayah seperti halnya di Minangkabau. Ayah tetap berperan dan harus bertanggung jawab kepada anaknya. Dari sinilah tampak jelas perbedaan yang terjadi antara sistem hukum waris adat dengan hukum waris Islam (Fiqh Mawaris) dalam konteks Pendidikan Agama Islam.

(48)

Tabel 2.1

Kerangka Konseptual

 

Sistem Hukum Waris

Pengertian Sistem Waris

Ahli Waris Harta Waris Hak Waris

Matrilineal Bilateral 

Studi Banding Sistem Hukum Waris Adat dengan Hukum Waris Islam

Sistem Hukum Waris Islam Sistem Hukum Waris Adat

(49)

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analisis dengan mendeskripsikan konsep hak waris anak laki-laki dan perempuan dari sudut pandang adat Minangkabau dan agama Islam. Dalam penelitian kualitatif akan dilengkapi dengan studi lapangan untuk mendapatkan informasi dari beberapa responden dan studi pustaka pada deskriptif analisis.

Studi pustaka dilakukan untuk menggali berbagai informasi dari buku-buku yang berkenaan dan menunjang dengan kasus yang diteliti atau untuk mengetahui teori-teori yang telah ada sehingga berdasarkan informasi yang didapatkan tersebut suatu masalah dapat dianalisa.35

Sedangakan studi lapangan dilakukan untuk mencari informasi mengenai objek yang diteliti, hanya saja cara ini dilakukan melalui obsevasi, studi pustaka, wawancara dan dokumentasi. Dalam pelaksanaan studi lapangan ini perlu dipertimbangkan relevansi antara tekhnik pengumpulan

      

35 M. Hariwijaya dan Bisri M. Djaelani, Tekhnik Menulis Skripsi dan Thesis, (Jogjakarta: Zenith Publisher, 2004), cet.1, h .37

(50)

data yang digunakan, instrumen yang dipakai, sumber data tempat informasi diperoleh, sifat data yang dicari dan tujuan yang hendak dicapai.36

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dengan metode deskriptif analisis, yakni menganalisa data yang diperoleh dari responden berupa data dan informasi tentang hukum waris adat Minangkabau dan hukum waris dalam ajaran Fiqh Mawaris.

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data itu diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuesioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan. 37

Yang menjadi repsonden dalam penelitian ini adalah pengurus Kerapatan Adat Nagari dan Alim Ulama di kecamatan Koto Tangah Padang.

C. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli 2010 di daerah kecamatan koto Tangah khususnya di kantor pengurus Kerapatan Adat Nagari dan Musholla Raudhatussalikin Sumatera Barat .

D. Teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk memperoleh data dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan tiga teknik, yaitu:

1) Observasi

Observasi adalah pengamatan meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Jadi, mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman,

      

36 Azyumardi Azra, et.al.,Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002), cet.2, h. 6

(51)

pendengaran, peraba dan pengecap. Apa yang dikatakan ini sebenarnya adalah pengamatan langsung. Di dalam artian penelitian observasi dapat dilakukan dengan tes, kuesioner, rekaman gambar dan rekaman suara.38

Oleh karena itu, penulis melakukan observasi melalui rekaman gambar untuk mengumpulkan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung pembagian harta warisan suku Minangkabau di kecamatan Koto Tangah.

2) Studi Pustaka

Dalam studi pustaka, penulis mencari data mengenai hukum waris adat Minangkabau dan hukum waris Islam melalaui catatan, buku, jurnal, dan lain sebagainya. Studi pustaka digunakan untuk mempersiapkan teks-teks yang digunakan, baik mengenai studi hukum waris Islam maupun mengenai studi hukum waris adat Minangkabau.

3) Wawancara

Wawancara adalah pengambilan data untuk untuk mendapatkan informasi dan data dari responden. Penulis berusaha memperoleh informasi tentang sistem pembagian harta waris dan segala permasalahannya melalui wawancara langsung kepada kepala adat dan para pemuka agama. Wawancara dilakukan untuk penjelasan maksud atau tujuan yang terdapat dalam dialog-dialog pemuka adat dan pemuka agama. Dalam penelitian ini, ada dua macam wawancara yang digunakan, yaitu:

a. Wawancara bebas

Wawancara bebas yaitu wawancara informal/ tidak resmi yang bisa terwujud dalam pembicaraan ringan. Namun demikian, keterangan-keterangan yang diberikan pada arah yang diinginkan.

b. Wawancara terstruktur

Wawancara tersruktur bertujuan memperoleh keterangan khusus yang berkaitan dengan masalah penelitian yang disusun dalam bentuk instrument penelitian berupa daftar wawancara yang direkam dalam tipe recorder.

      

Gambar

Tabel 2. 1
gambar untuk mengumpulkan data dengan mengadakan pengamatan
table dan keseluruhan data yang diperoleh sehingga lebih mudah untuk
Tabel 4.1 Pewarisan Menurut Hukum Islam
+6

Referensi

Dokumen terkait

2) KK. Barito Equator tidak melakukan pencegahan terhadap resiko pelanggaran secara dini, mengingat saat melihat kapal lain yang memotong di sisi kanan haluan

dangkan untuk berbicara kepada teman, ia memilih meggunakan bahasa yang biasa. Namun, untuk istilah gaul yang sudah sangat umum seperti kata gaul, alay, dan narsis tetap ia

Segala Puji dan Syukur ke hadirat Allah dan berbagai pihak atas segala kasih sayang dan bimbingan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Pada proses Tugas Akhir, penyaji dituntut untuk menggarap tafsir, mengolah teknik dan kualitas gerak, sampai pada penjiwaan karakter yang dilengkapi dalam garap menggarap

heveae yang banyak menyerang klon karet sebesar 1,04%, interaksi antara klon dan penyakit gugur daun tidak berpengaruh nyata, stomata yang terbanyak yakni pada klon RRIC 100

Tergolong penelitian korelasi karena penelitian yang dilakukan bermaksud untuk mengetahui kontribusi Coorperate Social Responsibility (CSR) terhadap kesejahteraan masyarakat

Interval panen yang panjang dapat dikurangi dengan penambahan basis borong panen dari yang sudah ditetapkan biasanya yaitu sebesar 1 300 kg, karena produksi buah kelapa sawit

Maka persoalan yang dihadapi adalah menentukan lama operasi suatu mesin Induction Furnace sebelum kebocoran selang hidraulik terjadi dan mengalihkan operasi ke mesin