BAB 6 PENUTUP
6.2 Saran
1. Pengelolaan swalayan farmasi sebaiknya ditingkatkan dengan menambahkan label harga pada tempat display obat agar memudahkan pengunjung dalam memperoleh informasi harga barang dan obat.
2. Pengefektifan jam kerja apoteker pendamping agar dapat lebih berperan aktif dalam pemenuhan kepuasan pelanggan terkait dengan pelayanan informasi obat selama jam kerja.
3. Pembuatan daftar waktu penggunaan obat sehingga dapat digunakan oleh seluruh petugas di apotek guna meningkatkan pelayanan dalam penyiapan etiket terkait informasi obat kepada pasien.
4. Pengoptimalan kerja asisten apoteker tertutama bagian kasir yang melayani penerimaan dan penyerahan resep dan obat agar dapat meningkatkan kepuasan pelanggan.
5. Kebersihan lemari dan obat sebaiknya perlu terus diperhatikan dengan melakukan pembersihan secara periodik untuk menghindari kerusakan barang yang dapat mengurangi kepercayaan pelanggan terhadap barang yang disediakan apotek, terutama lemari penyimpanan barang yang slow moving seperti lemari injeksi.
6. Tanggung jawab petugas terhadap masing-masing lemari obat sebaiknya perlu ditingkatkan, terutama mengenai kontrol persediaan termasuk kontrol
expired date obat, kerapihan kotak obat.
7. Pembekalan siswa dan mahasiswa praktek terhadap Standar Prosedur Operasional pelayanan di apotek sebelum mulai kerja praktek dan saat pelaksanaan. Peningkatan pengawasan diperlukan agar kerja sesuai dengan yang harapkan.
8. Melakukan evaluasi mutu pelayanan sebaiknya secara berkala dengan menggunakan indikator tingkat kepuasan konsumen, dimensi waktu (lama pelayanan diukur dengan waktu yang telah ditetapkan), dan prosedur tetap untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.
Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Departemen Kesehatan RI. (1978). Peraturan Menteri Kesehatan No.28/Menkes/Per/I/1978 tentang Penyimpanan Narkotika. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. (1980). Apotek. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 25 Tahun 1980. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
347/MenKes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta
Departemen Kesehatan RI. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan No. 922 Tahun
1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. (1997). Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan No.1322/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. (2004). Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/Menkes/Sk/IX/2004. Jakarta: Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Penggunaan Obat
Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. (2008). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/Sk/IX/2004. Jakarta: Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Quick, J. (1997). Managing Drug Supply, The selection, Procurement,
Distribution, and Use of Pharmaceuticals, 2nd ed. Revised and Expanded.
72
Seto, S., Yunita, N., & T, L. (2004). Manajemen Farmasi. Jakarta: Airlangga University Press.
Umar, M. (2011). Manajemen Apotek Farmasi. Jakarta : Wira Putra Kencana. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
73
75
77
79
81
83
85
87
Lampiran 8. Struktur Organisasi PT Kimia Farma Apotek Direktur Utama Direktur Operasional dan Pengembangan Manager Pengembangan Pasar Manager Pengembangan Pelayanan dan Logistik
Manager Evaluasi Operasional
SDM Umum
Manager Unit
Bisnis
Direktur SDM dan Keuangan
Teknologi Informasi Akuntansi dan perpajakan Keuangan Manager Binabang SDM & Umum
Manager Keuangan dan Akutansi
89
Lampiran 10. Tata Ruang Apotek Kimia Farma No. 7 Bogor
91
Lanjutan
93
95
97
Lampiran 16. Alur Pelayanan Resep
Penerimaan Resep
Resep Kredit Resep Tunai
Pemeriksaan kelengkapan administrasi
Pemberian harga
Pasien membayar di kasir dan diberi
nomor resep Pemberian nomor urut
Obat diterima oleh
pasien Resep disimpan petugas
Penyerahkan obat Pemeriksaan kesesuaian obat Pemberian etiket
Obat Jadi Obat Racikan
Bagian Peracikan Pemberian harga
Pemeriksaan kelengkapan administrasi
99
101
103
Lampiran 22. Surat Pemesanan Narkotika Dan Psikotropika
Lampiran 23. Laporan Penggunaan Narkotika dan Laporan Khusus Penggunaan Morphin, Pethidin, dan Derivatnya
105
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PARETO OBAT WAJIB APOTEK (OWA)
DALAM UPAYA PENGOBATAN DIRI SENDIRI (UPDS)
DI APOTEK KIMIA FARMA NO.7, BOGOR
LAPORAN KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
OLEH :
ANITA AYU DWI AJIE SAPUTRI, S.Farm.
1106046673
ANGKATAN LXXIV
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM PROFESI APOTEKER - DEPARTEMEN FARMASI
DEPOK
JUNI 2012
ii
Halaman DAFTAR ISI ... ii DAFTAR GAMBAR ... iii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1 Pelayanan Swamedikasi ... 3 2.2 Penggolongan bat... 5 2.3 Obat Wajib Apotek (OWA) ... 8 2.4 Analisis ABC (Pareto)... 9 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 12
3.1 Tempat dan Waktu Pengambilan Data ... 12 3.3 Metode Pengolahan Data ... 12 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14 4.1 Hasil ... 14 4.2 Pembahasan ... 15 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 20 6.1 Kesimpulan ... 20 6.2 Saran ... 20 DAFTAR ACUAN ... 21
Halaman Gambar 2.1 Penandaan obat bebas ... 5 Gambar 2.2 Penandaan obat bebas terbatas ... 6 Gambar 2.3 Penandaan obat keras ... 6 Gambar 2.4 Penandaan obat narkotika ... 6 Gambar 4.1 Persentase Item obat Kelas Pareto terhadap Obat Wajib Apotek
iv
Halaman Tabel 4.1 Pengelompokan obat wajib apotek dengan analisis ABC (Pareto)
Halaman Lampiran 1. Daftar Obat Wajib Apotek 1 ... 22 Lampiran 2. Daftar Obat Wajib Apotek 2 ... 25 Lampiran 3. Daftar Obat Wajib Apotek 3 ... 26 Lampiran4. Data Analisis pareto terhadap Obat OWA dalam penjualan
UPDS di Apotek Kimia Farma No.7, Bogor ... 28 Lampiran5. Data Pembelian OWA berdasarkan banyaknya jumlah
Pembelian dalam UPDS di Apotek Kimia Farma, No. 7, Bogor selama satu minggu ... 36 Lampiran6. Diagram Persentase Item obat Kelas Pareto terhadap Obat
Wajib Apotek dalam penjualan UPDS di Apotek Kimia Farma No.7, Bogor ... 40
1 Universitas Indonesia
1.1 Latar Belakang
Undang Undang Dasar RI 1945 menjelaskan bahwa kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia dan kesehatan merupakan salah satu unsur dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Dengan semakin tingginya pendidikan dan semakin mudahnya akses untuk mendapatkan informasi, kesadaran masyarakat akan kesehatan semakin meningkat sehingga ada peningkatan kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi langsung mengambil keputusan akan permasalahan kesehatan. Selain itu, dengan dampak beberapa gaya hidup membuat masyarakat lebih peduli dalam melakukan upaya pencegahan penyakit untuk menjaga kesehatan. Oleh karena itu, masyarakat memilih alternatif melakukan usaha swamedikasi dalam peningkatan kesehatan.
Menurut WHO (World Health Organization), swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat-obatan (termasuk produk herbal dan tradisional) oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri. Swamedikasi juga diartikan sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif penderita (pasien). Swamedikasi yang dilakukan dapat memperoleh keuntungan bagi masyarakat seperti tidak perlu ada pengeluaran biaya rumah sakit atau periksa ke dokter, serta lebih mudah dalam pengobatan karena obat-obatan yang mudah diperoleh.
Obat-obatan yang dapat diberikan pada swamedikasi disebut dengan obat tanpa resep dapat berupa golongan obat bebas atau OTC (Over The Counter), obat bebas terbatas, dan golongan obat keras yang termasuk dalam OWA (Obat Wajib Apotek). Daftar Obat Wajib Apotek sesuai dengan yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri, terdiri dari daftar obat Daftar OWA 1, 2 dan 3 yaitu beberapa obat dari golongan obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker di apotek.
Menurut Permenkes No. 919/Menkes/ Per/X/1993, tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep, obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria seperti tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada
2
wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun, dan orang tua diatas 65 tahun, dimaksud tidak memberikan resiko akan kelanjutan penyakit, tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia, serta obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam pelayanan swamedikasi di apotek, sangat diperlukan peran apoteker dalam memberi rekomendasi pemilihan obat yang tepat, memberikan informasi tentang obat yang dapat dipergunakan untuk swamedikasi dan wewenang menyerahkan obat dari golongan obat keras tanpa resep dokter. Akan tetapi, tanggung jawab penuh tetap berada pada pasien sendiri karena pasien tersebut yang mengenali gejala sakit, kondisi keparahan penyakit, dan memilih obat yang diinginkan.
PT. Kimia Farma selaku perusahaan yang juga bergerak dalam bidang apotek ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi peningkaan derajat kesehatan masyarakat. Kimia Farma memiliki program UPDS atau Upaya Pengobatan Diri Sendiri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan kebutuhan swamedikasi dalam memperoleh obat-obat bebas. Selain itu, UPDS juga merupakan salah satu upaya memanfaatkan Obat wajib apotek yang dapat diserahkan oleh apoteker tanpa resep dokter. Dengan mengetahui tingkat penjualan obat wajib apotek, dapat diketahui seberapa besar ketertarikan masyarakat terhadap swamedikasi serta obat-obatan yang sering digunakan dalam swamedikasi. Dengan demikian, hal ini dapat menjadi dalam peningkatan pelayanan swamedikasi oleh apoteker.
1.2 Tujuan
1. Menganalis secara pareto penjualan obat wajib apotek (OWA) dalam Upaya Pengobatan Diri Sendiri (UPDS) di apotek Kimia Farma No. 7, Bogor dari tanggal 23 s/d 29 April 2012.
2. Mengetahui obat wajib apotek yang sering digunakan pasien dalam Upaya Pengobatan Diri Sendiri (UPDS) di apotek Kimia Farma No. 7, Bogor.
3 Universitas Indonesia
2.1 Pelayanan Swamedikasi (IPF, 2000; WHO, 2000)
Swamedikasi dapat diartikan secara sederhana sebagai upaya seseorang untuk mengobati dirinya sendiri. Swamedikasi menjadi alternatif yang banyak dipilih masyarakat untuk meredakan menyembuhkan keluhan kesehatan ringan atau untuk meningkatkan keterjangkauan akses terhadap pengobatan.
Dalam pelaksanaan swamedikasi, Apoteker memiliki dua peran yang sangat penting, yaitu menyediakan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya serta memberikan informasi yang dibutuhkan atau memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya agar obat digunakan secara aman, tepat dan rasional. Pemberian informasi dilakukan terutama dalam mempertimbangkan :
1. Ketepatan penentuan indikasi atau penyakit.
2. Ketepatan pemilihan obat yang efektif, aman, dan ekonomis. 3. Ketepatan dosis dan cara penggunaan obat.
Satu hal yang sangat penting dalam informasi swamedikasi adalah meyakinkan agar produk yang digunakan tidak berinteraksi negatif dengan produk-produk yang sedang digunakan pasien. Obat yang dapat diberikan dalam rangka pelaksanaan swamedikasi, yaitu:
a. Obat bebas
b. Obat bebas terbatas
c. Obat keras yang termasuk dalam Obat Wajib Apotek (OWA)
Dalam rangka memberikan pelayanan swamedikasi yang dapat dipertanggungjawabkan demi keamanan dan efikasi penggunaan obat, sangat dibutuhkan peran apoteker. Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh IPF
(International Pharmaceutical Federation) dan WMI (World Self-Medication Industry) tentang swamedikasi yang bertanggung jawab (Responsible Self-Medication) dinyatakan bahwa:
4
1. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan nasehat dan informasi yang benar, cukup dan objektif tentang swamedikasi dan semua produk yang tersedia untuk swamedikasi.
2. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk merekomendasikan kepada pasien agar segera mencari nasehat medis yang diperlukan, apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak mencukupi.
3. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk mendorong anggota masyarakat agar memperlakukan obat sebagai produk khusus yang harus dipergunakan dan disimpan secara hati-hati, dan tidak boleh dipergunakan tanpa indikasi yang jelas.
Informasi tentang obat dan penggunaannya perlu diberikan pada pasien saat untuk swamedikasi, yang lebih ditekankan pada informasi farmakoterapi yang disesuaikan dengan kebutuhan serta pertanyaan pasien. Informasi yang perlu disampaikan oleh Apoteker pada masyarakat dalam swamediaksi, antara lain: a. Khasiat obat yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau
gangguan kesehatan yang dialami pasien,
b. Kontraindikasi dari obat yang diberikan agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi dimaksud,
c. Efek samping dan cara mengatasinya yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya,
d. Cara pemakaian disampaikan secara jelas kepada pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain,
e. Dosis harus sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, apoteker dapat menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya,
f. Waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur,
g. Lama penggunaan diinformasikan kepada pasien agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena penyakitnya belum hilang, sedangkan pasien sudah memerlukan pertolongan dokter,
Universitas Indonesia
h. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan,
i. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat, j. Cara penyimpanan obat yang baik,
k. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa, dan
l. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak.
2.2 Penggolongan Obat (Departemen Kesehatan RI, 2006).
Berdasarkan penjelasan atas Peraturah Pemerintah RI No. 72 th 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, obat didefinisikan sebagai bahan atau paduan bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan, dan peningkatan kesehatan termasuk kontrasepsi dan sedian biologis
Penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika, dan narkotika.
2.2.1 Obat bebas (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 2380/A/SK/VI/83)
Obat bebas adalah obat tanpa peringatan, yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Tanda khusus yang terdapat pada obat bebas adalah lingkaran bulat berwarna hijau dengan garis tepi hitam.
Gambar 2.1 Penandaan obat bebas
2.2.2 Obat bebas terbatas (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 2380/A/SK/VI/83)
Obat bebas terbatas adalah obat dengan peringatan, yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Tanda khusus yang terdapat obat bebas terbatas adalah lingkaran bulat berwarna biru dengan garis tepi hitam.
6
Gambar 2.2 Penandaan obat bebas terbatas
2.2.3 Obat keras daftar G (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 2396/A/SK/VII/86)
Obat keras adalah obat yang dapat diperoleh dengan resep dokter. Tanda pada obat keras berupa lingkaran bulat berwarna bulat merah dengan garis tepi hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi dan harus mencantumkan kalimat “Harus dengan resep dokter”.
Gambar 2.3 Penandaan obat keras
2.2.4 Narkotika (Undang-undang nomor 35 Tahun 2009)
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Gambar 2.4 Penandaan obat narkotika
Narkotika dibagi ke dalam tiga golongan yaitu : a. Narkotika Golongan I
Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Narkotika golongan I dalam jumlah terbatas hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk reagensia diagnostik dan reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Contoh : Tanaman Papaver somniferum (kecuali bijinya), opium, kokain, heroin, psilosibin, amfetamin.
Universitas Indonesia
b. Narkotika Golongan II
Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh : Difenoksilat, metadon, morfin, petidin. c. Narkotika Golongan III
Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Kodein, dihidrokodein, norkodein.
2.2.5 Psikotropika (Undang-undang nomor 5 Tahun 1997)
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika digolongkan menjadi empat golongan :
a. Psikotropika Golongan I
Psikotropika Golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Psilosibin, lisergida
b. Psikotropika Golongan II
Psikotropika Golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : Amfetamin, deksamfetamin, metamfetamin, sekobarbital. c. Psikotropika Golongan III
Psikotropika Golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Amobarbital, pentazosin, pentobarbital, siklobarbital.
8
d. Psikotropika Golongan IV
Psikotropika Golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : Alobarbital, alprazolam, barbital, diazepam, fenobarbital, ketazolam.
2.3 Obat Wajib Apotek (OWA)
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 347/Menkes/SK/VII/1990, obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan pada pasien tanpa resep dokter dengan mengikuti peraturan dari Menteri Kesehatan.
Peraturan tentang OWA di Indonesia terdiri dari:
1. Keputusan Menteri Kesehatan No.347 Tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotek (OWA) No.1, berisi daftar obat yang dapat diserahkan tanpa resep oleh apoteker di apotek seperti yang terdapat dalam Lampiran 1.
2. Peraturan Menteri Kesehatan No.919 Tahun 1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter.
3. Perubahan daftar Obat Wajib Apotek (OWA) tercantum dalam Permenkes No.925 Tahun 1993 tentang Perubahan Golongan OWA No.1. Dalam Peraturan kementerian ini memuat perubahan golongan obat terhadap daftar OWA No. 1, beberapa obat yang semula OWA atau Obat Keras berubah menjadi Obat Bebas Terbatas atau Obat Bebas, disertai keterangan batasannya yang disebut Daftar Obat Wajib Apotek 2 (Lampiran 2).
4. Perubahan daftar obat wajib apotek (OWA) Peraturan Menteri Kesehatan No. 1176 Tahun 1999 tentang Tentang Daftar Obat Wajib Apotik No.3 (Lampiran 3).
Kriteria Obat yang dapat diserahkan tanpa resep adalah sebagai berikut: (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 347/ Menkes/SK/VII/1990)
a. Obat tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit yang diderita pasien.
Universitas Indonesia
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri. Rasio khasiat keamanan adalah perbandingan relatif dari keuntungan penggunaannya dengan mempertimbangkan risiko bahaya penggunaannya.
Apoteker di Apotek dalam melayani pasien yang memerlukan obat dimaksud diwajibkan :
a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam Obat Wajib Apotik yang bersangkutan.
b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
c. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
Perubahan OWA atau Obat Keras menjadi Obat Bebas atau Obat Bebas Terbatas diharapkan agar obat tersebut lebih mudah diakses pasien dan dapat diperoleh dengan harga yang lebih murah tapi tentunya dengan beberapa pertimbangan, khususnya dari segi keamanan penggunaan obat tersebut. Obat Keras atau OWA bisa berubah menjadi Obat Bebas atau Obat Bebas Terbatas setelah data keamanan obat tersebut sudah benar-benar lengkap. Sebaliknya, OTC dapat juga berubah menjadi obat ethical jika OTC tersebut memiliki potensi besar untuk disalahgunakan.
2.4. Analisis ABC (Pareto) (Quick, 1997)
Untuk mengetahui produk yang harus dipesan serta berapa jumlahnya tidak semata-mata berdasarkan jumlah produk tersebut yang telah mencapai jumlah persediaan minimum, terutama apabila kondisi keuangan apotek tidak memungkinkan. Perlu dilakukan analisis terhadap produk yang ada di apotek untuk menentukan produk manakah yang menjadi tulang punggung apotek serta produk manakah yang sebenarnya hanya pelengkap. Analisis tersebut dapat dilakukan dengan metode analisis ABC (Pareto).
10
Analisis ABC dilakukan dengan membagi persediaan berdasarkan atas nilai rupiah sehingga pengendalian persediaan lebih difokuskan pada item persediaan yang bernilai tinggi daripada item yang bernilai rendah. Nilai persediaan yang dimaksud adalah jumlah persediaan yang terjual dalam satu periode dikalikan harga tiap unit.
Analisa pareto disusun berdasarkan penggolongan persediaan yang mempunyai nilai harga yang paling tinggi. Pareto membagi persediaan berdasarkan atas nilai rupiah (volume persediaan yang dibutuhkan dalam satu