UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
APOTEK KIMIA FARMA NO. 7, BOGOR
PERIODE 2 APRIL – 12 MEI 2012
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
ANITA AYU DWI AJIE SAPUTRI, S.Farm.
1106046673
ANGKATAN LXXIV
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM PROFESI APOTEKER - DEPARTEMEN FARMASI
DEPOK
JUNI 2012
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
APOTEK KIMIA FARMA NO. 7, BOGOR
PERIODE 2 APRIL – 12 MEI 2012
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar ApotekerANITA AYU DWI AJIE SAPUTRI, S.Farm.
1106046673
ANGKATAN LXXIV
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM PROFESI APOTEKER - DEPARTEMEN FARMASI
DEPOK
JUNI 2012
iv
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Segala puji syukur kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Angkatan LXXIV Universitas Indonesia, yang diselenggarakan pada tanggal 2 April – 12 Mei 2012 di Apotek Kimia Farma No.7, Bogor.
Kegiatan PKPA dan penyusunan laporan PKPA merupakan bagian dari kegiatan perkuliahan program pendidikan profesi apoteker dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan keterampilan mahasiswa. Mahasiswa yang telah mengikuti kegiatan PKPA diharapkan dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki saat memasuki dunia kerja.
Kegiatan PKPA dapat terlaksana dengan baik berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :
1. Segenap Direksi PT. Kimia Farma Apotek yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
2. Bapak Drs. Priyanggo Artadji, MM., Apt. selaku Pembimbing dan Manager Bisnis Wilayah Bogor yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan pengarahan selama PKPA dan penyusunan laporan PKPA.
3. Ibu Prof. Dr. Yahdiana H., MS., Apt. selaku Ketua Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia.
4. Bapak Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia.
5. Ibu Nadia Farhanah Syafhan, M.Si, Apt., selaku pembimbing dari Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan bantuan dalam pengerjaan laporan kerja praktek profesi apoteker di apotek.
6. Seluruh staf dan karyawan Seluruh staf dan karyawan Apotek Kimia Farma No. 7, Bogor yang telah memberikan bantuan, kerja sama yang baik, serta
teknis kefarmasian di apotek selama masa PKPA.
7. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan, doa, dan semangat kepada penulis.
8. Semua teman-teman Apoteker Universitas Indonesia angkatan 74 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan semangat kepada penulis selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Akhir kata, penulis berharap semoga pengetahuan dan pengalaman yang penulis peroleh selama menjalani Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan sejawat dan semua pihak yang membutuhkan.
Juni 2012
vi
Halaman
HALAMAN JUDUL ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Definisi Apotek ... 3
2.2 Landasan Hukum Apotek ... 3
2.3 Tugas dan Fungsi Apotek ... 4
2.4 Tata Cara Pemberian Izin Apotek ... .. 4
2.5 Persyaratan Apotek ... 6
2.6 Apoteker Pengelola Apotek ... 8
2.7 Pengalihan Tanggung Jawab Apoteker ... 10
2.8 Pencabutan Surat Izin Apotek ... 11
2.9 Sediaan Farmasi ... 13
2.10 Pelayanan Kefarmasian di Apotek... 15
2.11 Pengelolaan Narkotika ... 18
2.12 Pengelolaan Psikotropika ... 21
2.13 Pengadaan Persediaan Apotek ... 22
2.14 Pengendalian Persediaan Apotek... 24
2.15 Strategi Pemasaran Apotek ... 30
BAB 3 TINJAUAN UMUM PT KIMIA FARMA, Tbk ... 32
3.1 PT. Kimia Farma (Persero), Tbk ... 32
3.2 PT. Kimia Farma Apotek ... 34
BAB 4 TINJAUAN KHUSUS APOTEK KIMIA FARMA NO. 7 ... 38
4.1 Bisnis Manager Wilayah Bogor ... 38
4.2 Apotek Kimia Farma No. 7 Bogor ... 43
BAB 5 PEMBAHASAN... 57
5.1 Lokasi dan Tata Ruang Apotek ... 57
5.2 Personalia ... 58
5.5 Kegiatan Administrasi dan Keuangan ... 68
BAB 6 PENUTUP ... 69
6.1 Kesimpulan ... 69
6.2 Saran ... 70
viii
Halaman
Gambar 2.1 Penandaan obat bebas ... 13
Gambar 2.2 Penandaan obat bebas terbatas ... 13
Gambar 2.3 Penandaan obat keras ... 13
Gambar 2.4 Penandaan obat narkotika ... 14
Halaman
Lampiran 1. Contoh Formulir APT-1 ... 73
Lampiran 2. Contoh Formulir APT-2 ... 75
Lampiran 3. Contoh Formulir APT-3 ... 76
Lampiran 4. Contoh Formulir APT-4 ... 82
Lampiran 5. Contoh Formulir APT-5 ... 83
Lampiran 6. Contoh Formulir APT-6 ... 86
Lampiran 7. Contoh Formulir APT-8 ... 87
Lampiran 8. Struktur Organisasi PT Kimia Farma Apotek ... 88
Lampiran 9. Struktur Organisasi Bisnis Manager ... 89
Lampiran 10. Tata ruang Apotek Kimia Farma No. 7 Bogor ... 90
Lampiran 11. Surat Pesanan Barang (SPB) ... 92
Lampiran 12. Form. Dropping Barang dari Gudang (DCs) ke Apotek ... 93
Lampiran 13. Formulir Serah Terima Barang DC ... 94
Lampiran 14. Bon Permintaan Barang Apotek ... 95
Lampiran 15. Kartu/Buku Stok Obat ... 96
Lampiran 16. Alur Pelayanan Resep ... 97
Lampiran 17. Salinan Resep (Copy resep) ... 98
Lampiran 18. Etiket obat ... 99
Lampiran 19. Kemasan Obat ... 100
Lampiran 20. Label Obat ... 101
Lampiran 21. Laporan Ikhtisar Penerimaan Harian (LIPH ... 102
Lampiran 22. Surat Pesanan Narkotika dan Psikotropika ... 103
Lampiran 23. Laporan Penggunaan Narkotika dan Laporan Khusus Penggunaan Morphin, Pethidin, dan Derivatnya ... 104
Lampiran 24. Laporan Penggunaan Psikotropika ... 105
1 Universitas Indonesia
Dalam Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009, Pemerintah mengkategorikan Pekerjaan Kefarmasian dalam berbagai kegiatan, meliputi pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Dalam pelaksanaannya, salah satu sarana peyalanan kefarmasian tempat melaksanakan pekerjaan kefarmasian adalah di apotek.
Apotek merupakan salah satu sarana potek sebagai salah satu sarana penunjang kesehatan turut berperan dalam mewujudkan upaya kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai sarana distribusi obat dan perbekalan farmasi yang aman, bermutu, berkhasiat serta terjangkau harganya oleh masyarakat luas. Disamping itu, apotek juga berperan sebagai sarana pemberian informasi obat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya sehingga kedua pihak tersebut mendaptkan pengetahuan yang benar tentang obat dan turut meningkatkan penggunaan obat yang rasional (Departemen Kesehatan RI, 2004).
Apoteker sangat berperan penting dalam keberlangsungan apotek. Peran apoteker, selain menjalankan fungsi profesional dengan melakukan pelayanan kefarmasian, apoteker juga berperan dalam fungsi manajerial dan retailer. Sebagai sebuah bisnis retail, apotek harus dikelola dengan baik agar memperoleh keuntungan guna menutup beban biaya operasional dan menjaga kelangsungan hidupnya. Akan tetapi, bisnis apotek juga tidak melupakan fungsi sosialnya di dalam mendistribusikan perbekalan kesehatan, khususnya obat kepada masyarakat sehingga keberadaan apotek turut membantu pemerintah dalam memelihara dan menjaga kesehatan masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan ketiga peran tersebut dibutuhkan apoteker yang ahli dan terampil serta menguasai dan memahami segala aspek yang berhubungan dengan pengelolaan apotek. Apoteker sebagai seorang manager di apotek dituntut untuk memiliki kredibilitas yang tinggi dapat menjalankan perannya dengan baik.
2
Mengingat akan pentingnya hal tersebut dan upaya untuk pemberian dukungan terhadap kompetensi apoteker di apotek, maka Program Profesi Apoteker Departemen Farmasi FMIPA UI bekerja sama dengan Apotek Kimia Farma dalam menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker dari tanggal 2 April – 12 Mei 2012. Praktek Kerja Profesi Apoteker ini diharapkan dapat meingkatkan pemahaman calon apoteker mengenai peranan, kegiatan manajerial serta pelayanan kefarmasian di apotek dengan mengikuti kegiatan yang ada di apotek.
1.2 Tujuan
a. Mengetahui dan memahami peran dan tanggung jawab seorang Apoteker dalam pengelolaan apotek.
b. Mengetahui dan melaksanakan kegiatan-kegiatan kefarmasian yang dilakukan di apotek Kimia Farma No. 7, Bogor.
3 Universitas Indonesia
2.1 Definisi Apotek
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, apotek adalah tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, serta perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika, sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan selain obat dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 1, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional. Pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan tujuan untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
2.2 Landasan Hukum Apotek
Apotek memiliki landasan hukum yang diatur dalam :
a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.
b. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. c. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
d. Keputusan Pemertintah Kesehatan RI No. 1027/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
e. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
f. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
g. Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Kententuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
h. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 tentang perubahan atas PP No.26 Tahun 1965 tentang Apotek.
2.3 Tugas dan Fungsi Apotek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980, tugas dan fungsi apotek adalah sebagai berikut:
a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
2.4 Tata Cara Pemberian Izin Apotek
Sebelum mendirikan suatu apotek, apoteker terlebih dahulu harus memiliki Surat Izin Apotek (SIA). Wewenang pemberian SIA kepada seorang apoteker dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Dinkes Kab/Kota). Selanjutnya Kepala Dinkes Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 Pasal 3).
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata
Universitas Indonesia
Cara Pemberian Izin Apotek adalah sebagai berikut :
a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-1 (Lampiran 1).
b. Dengan menggunakan Formulir APT-2 (Lampiran 2) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apotek melakukan kegiatan.
c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan menggunakan contoh Formulir APT-3 (Lampiran 3).
d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-4 (Lampiran 4).
e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (3) atau pernyataan ayat (4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan SIA dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-5 (Lampiran 5).
f. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM dimaksud ayat (3) masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-6 (Lampiran 6).
g. Terhadap surat penundaan, Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat penundaan.
h. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan, atau lokasi yang tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua
belas) hari kerja wajib mengeluarkan surat penolakan disertai dengan alasannya dengan menggunakan formulir model APT-7 (Lampiran 7).
Bila Apoteker menggunakan sarana milik pihak lain dalam pendirian apotek, dengan mengadakan kerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek, maka harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Penggunaan sarana apotek yang dimaksud, wajib didasarkan atas perjanjian kerja sama antara Apoteker dan pemilik sarana.
b. Pemilik sarana yang dimaksud harus memenuhi persyaratan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perudang-undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam surat pernyataan yang bersangkutan.
2.5 Persyaratan Apotek
Apotek dapat beroperasi apabila telah mendapat Surat Izin Apotek (SIA), yaitu surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana untum menyelenggarakan pelayanan apotek di suatu tempat tertentu. Apotek yang telah memenuhi persyaratan, harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain. Beberapa kelengkapan yang harus diperhatikan dalam pendirian sebuah apotek adalah tempat atau lokasi, bangunan, perlengkapan apotek, tenaga kerja apotek, dan perbekalan farmasi (Umar, 2011).
2.5.1 Lokasi
Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Persyaratan jarak minimum antar apotek tidak dipermasalahkan lagi, tetapi ketentuan ini dapat berbeda, sesuai dengan kebijakan/peraturan daerah masing-masing. Lokasi apotek dapat dipilih dengan mempertimbangkan segi pemerataan dan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, jumlah praktek dokter, sarana dan pelayanan kesehatan lain, sanitasi dan faktor-faktor lainnya.
Universitas Indonesia
2.5.2 Bangunan
Suatu apotek harus mempunyai luas bangunan yang cukup sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek. Bangunan apotek yang baik hendaknya memiliki ruang tunggu pasien, ruang peracikan dan penyerahan obat, ruang administrasi, ruang kerja apoteker, tempat pencucian alat dan kamar kecil. Bangunan apotek sebaiknya juga memiliki sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, sumber penerangan yang dapat memberikan penerangan yang memadai, alat pemadam kebakaran, serta ventilasi dan sanitasi yang baik.
2.5.3 Perlengkapan Apotek
Suatu apotek baru yang ingin beroperasi harus memiliki perlengkapan apotek yang memadai agar dapat mendukung pelayanan kefarmasiannya. Perlengkapan apotek yang harus dimiliki antara lain :
a. Peralatan pembuatan, pengolahan dan peracikan seperti timbangan, lumpang, alu,gelas ukur, dan lain-lain.
b. Peralatan dan tempat penyimpanan alat perbekalan farmasi seperti lemari obat, lemari pendingin (kulkas), dan lemari khusus untuk narkotika dan psikotropika.
c. Wadah pengemas dan pembungkus.
d. Perlengkapan administrasi seperti blanko pesanan, salinan resep, buku catatan penjualan, buku catatan pembelian, kartu stok obat, dan kuitansi.
e. Buku-buku dan literatur standar yang diwajibkan, serta kumpulan perundang-undangan yang berhubungan dengan kegiatan apotek.
2.5.4 Tenaga Kerja Apotek
Berdasarkan Permenkes RI No. 922/MENKES/PER/X/1993, terdapat penjelasan tentang definisi tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan operasional apotek yaitu :
Satu orang Apoteker Pengelola Apotek (APA), yaitu apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA).
a. Apoteker Pendamping, yaitu apoteker yang bekerja di apotek di samping Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan/atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek.
b. Apoteker Pengganti, yaitu apoteker yang menggantikan Apoteker Pengelola Apotek selama Apoteker Pengelola Apotek tersebut tidak berada di tempat lebih dari 3 (tiga) bulan secara terus-menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja dan tidak bertindak sebagai Apoteker Pengelola Apotek di apotek lain.
c. Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai Asisten Apoteker.
Sedangkan tenaga lainnya yang diperlukan untuk mendukung kegiatan di apotek terdiri dari :
a. Juru resep adalah petugas yang membantu pekerjaan Asisten Apoteker.
b. Kasir adalah petugas yang bertugas menerima uang dan mencatat pemasukan serta pengeluaran uang.
c. Pegawai tata usaha adalah petugas yang melaksanakan administrasi apotek dan membuat laporan pembelian, penjualan, penyimpanan dan keuangan apotek.
2.6 Apoteker Pengelola Apotek
Permenkes RI No. 1322/MENKES/SK/X/2002 menjelaskan Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah Apoteker yang telah diberi surat Izin Apotek (SIA). Sebelum melaksanakan kegiatannya, seorang APA wajib memiliki Surat Izin Apotek (SIA) yang berlaku untuk seterusnya selama apotek masih aktif melakukan kegiatan dan APA dapat melakukan pekerjaannya serta masih memenuhi persyaratan. Seorang APA bertanggung jawab akan kelangsungan hidup apotek yang dipimpinnya, dan juga bertanggung jawab kepada pemilik modal apabila bekerja sama dengan pemilik sarana apotek (PSA).
Apoteker yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut (Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 35,37,52,54) :
Universitas Indonesia
a. Memiliki keahlian dan kewenangan. b. Menerapkan Standar Profesi.
c. Didasarkan pada Standar Kefarmasian dan Standar Operasional d. Memiliki sertifikat kompetensi profesi
e. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
f. Wajib memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan Apoteker Pendamping di Apotek.
g. Apoteker Pengelola Apotek (APA) hanya dapat melaksanakan praktek di satu apotek sedangkan Apoteker Pendamping hanya dapat melaksanakan praktek paling banyak di tiga Apotek.
Surat Tanda Registrasi (STRA) merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi. STRA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu lima tahun selama masih memenuhi persyaratan. Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan (Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 40):
a. Memiliki ijazah Apoteker
b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi
c. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker d. Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktek
e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi
Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker dan Apoteker Pendamping untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). SIPA dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan. SIPA dapat dibatalkan demi hukum apabila pekerjaan kefarmasian dilakukan pada tempat yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin. Untuk mendapatkan SIPA, Apoteker harus memiliki (Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 55) :
a. Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
b. Tempat atau ada tempat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian atau fasilitas kesehatan yang memiliki izin
c. Rekomendasi dari organisasi profesi
Tugas dan kewajiban apoteker di apotek adalah sebagai berikut :
a. Memimpin seluruh kegiatan apotek, baik kegiatan teknis maupun non teknis kefarmasian sesuai dengan ketentuan maupun perundangan yang berlaku. b. Mengatur, melaksanakan, dan mengawasi administrasi.
c. Mengusahakan agar apotek yang dipimpinnya dapat memberikan hasil yang optimal sesuai dengan rencana kerja dengan cara meningkatkan omset, mengadakan pembelian yang sah dan penekanan biaya serendah mungkin. d. Melakukan pengembangan usaha apotek.
Wewenang dan tanggung jawab APA meliputi (Umar, 2011): a. Menentukan arah terhadap seluruh kegiatan
b. Menentukan sistem (peraturan) terhadap seluruh kegiatan c. Mengawasi pelaksanaan seluruh kegiatan
d. Bertanggung jawab terhadap kinerja yang dicapai.
2.7 Pengalihan Tanggung Jawab Apoteker
Pengalihan tanggung jawab apoteker diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MenKes/SK/X/2002 (Pasal 19 dan 24) yaitu :
a. Apabila Apoteker Pengelola Apotek (APA) berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, APA harus menunjuk apoteker pendamping.
b. Apabila APA dan Apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk apoteker pengganti.
c. Apabila APA meninggal dunia, dalam jangka waktu dua kali dua puluh empat jam, ahli waris APA wajib melaporkan kejadian tersebut secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
d. Apabila pada apotek tersebut tidak terdapat Apoteker pendamping, pelaporan oleh ahli waris wajib disertai penyerahan resep, narkotika, psikotropika, obat keras, dan kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika.
Universitas Indonesia
e. Pada penyerahan resep, narkotika, psikotropika dan obat keras serta kunci tersebut, dibuat berita acara serah terima dengan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
Penunjukkan Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 menjelaskan jika pengalihan tanggung jawab pengelolaan kefarmasian yang disebabkan karena penggantian Apoteker Pengelola Apotik kepada Apotek Pengganti, wajib dilakukan serah terima resep, narkotika, obat dan perbekalan farmasi lainnya serta kunci-kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika. Serah terima tersebut dibuat Berita Acara Serah Terima yang dibuat rangkap empat dan ditandatangani kedua belah pihak yang melakukan serah terima.
2.8 Pencabutan Surat Izin Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, Kepala Suku Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten dapat mencabut Surat Izin Apotek apabila:
a. Apoteker tidak lagi memenuhi kewajibannya untuk menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin.
b. Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus menerus.
c. Terjadi pelanggaran terhadap Undang tentang Narkotika, Undang-Undang Obat Keras, dan Undang-Undang-Undang-Undang tentang Kesehatan.
d. Surat Izin Praktek Apoteker Pengelola Apotek dicabut.
e. Apotek tidak dapat lagi memenuhi persyaratan mengenai kesiapan tempat pendirian apotek, serta kelengkapan sediaan farmasi dan perbekalan lainnya baik merupakan milik sendiri atau pihak lain.
Pelaksanaan pencabutan surat izin apotek dilaksanakan setelah dikeluarkan :
a. Peringatan secara tertulis kepada APA sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2(dua) bulan dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-12.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan Apotek dengan menggunakan Formulir Model APT-13.
Pembekuan Izin Apotek sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) di atas, dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan ini dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-14. Pencairan Izin Apotek yang dimaksud dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dari Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
Apabila Surat Izin Apotek dicabut, Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengamanan yang dimaksud wajib mengikuti tata cara sebagai berikut :
a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras tertentu, dan obat lain serta seluruh resep yang tersedia di apotek.
b. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci.
c. Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Wilayah Kantor Kementeriaan Kesehatan atau petugas yang diberi wewenang olehnya, tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud dalam huruf (a).
Universitas Indonesia
2.9 Sediaan Farmasi
2.9.1 Obat bebas (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 2380/A/SK/VI/83)
Obat bebas adalah obat tanpa peringatan, yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Tanda khusus yang terdapat pada obat bebas adalah lingkaran bulat berwarna hijau dengan garis tepi hitam.
Gambar 2.1 Penandaan obat bebas
2.9.2 Obat bebas terbatas (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 2380/A/SK/VI/83)
Obat bebas terbatas adalah obat dengan peringatan, yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Tanda khusus yang terdapat obat bebas terbatas adalah lingkaran bulat berwarna biru dengan garis tepi hitam.
Gambar 2.2 Penandaan obat bebas terbatas
2.9.3 Obat keras daftar G (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 2396/A/SK/VII/86)
Obat keras adalah obat yang dapat diperoleh dengan resep dokter. Tanda pada obat keras berupa lingkaran bulat berwarna bulat merah dengan garis tepi hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi dan harus mencantumkan kalimat “Harus dengan resep dokter”.
Gambar 2.3 Penandaan obat keras
2.9.4 Narkotika (Undang-undang nomor 35 Tahun 2009)
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Gambar 2.4 Penandaan obat narkotika Narkotika dibagi ke dalam tiga golongan yaitu : a. Narkotika Golongan I
Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Narkotika golongan I dalam jumlah terbatas hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk reagensia diagnostik dan reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Contoh : Tanaman Papaver somniferum (kecuali bijinya), opium, kokain, heroin, psilosibin, amfetamin.
b. Narkotika Golongan II
Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh : Difenoksilat, metadon, morfin, petidin. c. Narkotika Golongan III
Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Kodein, dihidrokodein, norkodein.
2.9.5 Psikotropika (Undang-undang nomor 5 Tahun 1997)
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika digolongkan menjadi empat golongan :
Universitas Indonesia
a. Psikotropika Golongan I
Psikotropika Golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Psilosibin, lisergida
b. Psikotropika Golongan II
Psikotropika Golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : Amfetamin, deksamfetamin, metamfetamin, sekobarbital. c. Psikotropika Golongan III
Psikotropika Golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Amobarbital, pentazosin, pentobarbital, siklobarbital.
d. Psikotropika Golongan IV
Psikotropika Golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : Alobarbital, alprazolam, barbital, diazepam, fenobarbital, ketazolam.
2.10 Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi, sekarang menjadi pelayanan yang komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
dari pasien. Pelayanan kefarmasian di dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, terdiri dari pelayanan resep, pemberian informasi obat, konseling, pemantauan penggunaan obat, promosi dan edukasi, serta Pelayanan Residensial (Home Care).
2.10.1 Pelayanan Resep a. Skrining resep
Apoteker melakukan skrining resep meliputi persyaratan administratif (nama,SIP dan alamat dokter, tanggal penulisan resep, tanda tangan/paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien), kesesuaian farmasetik (bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian), pertimbangan klinis (adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain).
b. Penyiapan obat
Penyiapan obat terdiri dari peracikan, penulisan etiket, pengemasan, serta penyerahan obat. Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. Penulisan etiket harus jelas dan dapat dibaca. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. Sebelum obat diserahkan pada pasien, harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.
2.10.2 Pemberian Informasi Obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
Universitas Indonesia
2.10.3 Konseling
Konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
2.10.4 Pemantauan Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes , TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya. Pemantauan dilakukan terhadap khasiat obat serta efek samping yang kemungkinan dapat terjadi.
2.10.5 Promosi dan Edukasi
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.
2.10.6 Pelayanan Residensial (Home Care)
Pelayanan residensial (Home care) adalah pelayanan apoteker sebagai care giver dalam pelayanan kefarmasian di rumah-rumah khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan terapi kronis lainnya. Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).
2.11 Pengelolaan Narkotika
Narkotika hanya dapat bertujuan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, pengaturan narkotika bertujuan untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika, serta memberantas peredaran gelap narkotika.
Apotek merupakan salah satu sarana kesehatan yang dapat melakukan penyerahan narkotika. Apotek dapat menyerahkan narkotika kepada rumah sakit, puskesmas, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter dan pasien. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
Pengelolaan narkotika di apotek meliputi pemesanan, penyimpanan, pelayanan/penyerahan, pemusnahan, pencatatan dan pelaporan serta dokumentasi.
2.11.1 Pengadaan/Pemesanan Narkotika
Apoteker hanya dapat memesan narkotika melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang telah ditunjuk khusus oleh Menteri, yaitu PT. Kimia Farma dengan tujuan untuk memudahkan pengawasan peredaran narkotika. Pemesanan narkotika dilakukan dengan membuat surat pesanan narkotika asli yang ditandatangani oleh Apoteker Penanggungjawab Apotek di Apotek yang dilengkapi dengan nama, nomor Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) di apotek, tanggal dan nomor surat, alamat lengkap dan stempel apotek. Satu surat pesanan hanya untuk satu jenis narkotika.
2.11.2 Penyimpanan Narkotika (Departemen Kesehatan, 1978)
Bedasarkan Permenkes Nomor 28/MENKES/PER/V/1978 tentang penyimpanan narkotika, apotek harus memiliki tempat khusus untuk penyimpanan narkotika yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat b. Harus mempunyai kunci yang kuat
Universitas Indonesia
c. Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan; bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfina, petidina, dan garam-garamnya serta persediaan narrkotika lainnya yang dipakai sehari-hari
d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 x 80 x 100 cm, maka lemari tersebut harus dibaut pada tembok atau lantai.
e. Lemari harus dikunci dengan baik.
f. Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika.
g. Anak kunci lemari khusus harus dikuasai oleh penanggung jawab atau pegawai lain yang dikuasakan.
h. Lemari khusus harus ditaruh di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum.
2.11.3 Pelayanan/ penyerahan Narkotika
Menurut Undang-undang nomor 35 tahun 2009 pasal 43, Apotek hanya dapat melakukan penyerahan narkotika kepada rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter, dan pasien. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dari dokter. Apotek dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar resep yang sama dari seorang dokter atau atas dasar salinan resep dokter (Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 Pasal 7). Pada resep narkotika yang baru dilayani sebagian, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani di apotek yang menyimpan resep asli.
2.11.4 Pemusnahan Narkotika
Tujuan dilakukannya pemusnahan narkotika adalah untuk menghapus pertanggungjawaban apoteker terhadap pengelolaan narkotika, menjamin narkotika yang sudah tidak memenuhi persyaratan dikelola sesuai dengan standar yang berlaku, dan mencegah penyalahgunaan bahan narkotika serta mengurangi resiko terjadinya penggunaan obat yang substandar (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 60, pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi, kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau berkaitan untuk pengembangan ilmu pengetahua,; atau berkaitan dengan tindak pidana.
Pemusnahan yang dilakukan oleh apotek dengan membuat berita acara pemusnahan narkotika dan dilaporkan kepada pihka-pihak yang terkait. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.28/MENKES/PER/I/1978 Tentang Penyimpanan Narkotika dan Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, berita acara pemusnahan memuat :
a. Keterangan tempat, hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan
b. Nama pemegang izin khusus, apoteker pimpinan apotek dan dokter pemilik narkotika;
c. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi dari perusahaan atau badan tersebut.
d. Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan. e. Cara pemusnahan.
f. Tanda tangan penanggung jawab apotek/ pemegang izin khusus, dokter pemilik narkotika dan saksi-saksi.
Berita acara pemusnahan tersebut dikirimkan kepada dibuat rangkap empat untuk ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Balai Pengawasan Obat dan Makanan, dan satu disimpan sebagai arsip di apotek.
2.11.5 Pencatatan dan Pelaporan Narkotika
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, apotek wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam penguasaannya. Pelaporan penggunaan narkotika telah dikembangkan dalam bentuk perangkat lunak atau program Sistem Pelaporan Narkotika dan
Universitas Indonesia
Psikotropika (SIPNAP) sejak tahun 2006 oleh Kementerian Kesehatan. Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) adalah sistem yang mengatur pelaporan penggunaan Narkotika dan Psikotropika dari Unit Layanan (Puskesmas, Rumah Sakit dan Apotek) ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan pelaporan elektronik selanjutnya Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan ke tingkat yang lebih tinggi (Dinkes Provinsi dan Ditjen Binfar dan Alkes) melalui mekanisme pelaporan online yang menggunakan fasilitas internet.
2.12 Pengelolaan Psikotropika
Menurut Undang-undang No. 5 tahun 1997 psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau ilmu pengetahuan.
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah untuk menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika, serta memberantas peredaran gelap psikotropika.
2.12.1 Pemesanan Psikotropika
Pemesanan psikotropika dilakukan dengan menggunakan Surat Pesanan Psikotropika yang ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK (Lampiran 10). Surat pesanan tersebut dibuat rangkap tiga dan setiap surat dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis psikotropika.
2.12.2 Penyimpanan Psikotropika
Penyimpanan psikotropika belum diatur di dalam perundang-undangan atau peraturan lainnya. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika maka sebaiknya obat golongan psikotropika disimpan pada rak atau lemari khusus.
2.12.3 Penyerahan Psikotropika
Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lain, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan pasien. Penyerahan psikotropika oleh apotek dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
2.12.4 Pemusnahan Psikotropika
Pada Undang-undang No. 5 tahun 1997 pasal 53disebutkan bahwa pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika, kadaluwarsa, dan tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Setiap pemusnahan psikotropika, wajib dibuatkan berita acara.
2.12.5 Pelaporan Psikotropika
Apotek berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan bulanan melalui perangkat lunak atau program Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP). Mekanisme pelaporan psikotropika sama dengan pelaporan narkotika.
2.13 Pengadaan Persediaan Apotek
Pengadaan farmasi merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan farmasi berdasarkan fungsi perencanaan dan penganggaran. Tujuan pengadaan adalah memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup dengan kualitas harga yang dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu dan tempat tertentu secara efektif dan efisien menurut tata cara dan ketentuan yang berlaku (Quick, 1997). Pengadaan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu (Seto, Yunita&Lily, 2004) :
a. Doematig, artinya sesuai tujuan/sesuai rencana. Pengadaan harus sesuai kebutuhan yang sudah direncanakam sebelumnya.
Universitas Indonesia
c. Wetmatig, artinya sistem/cara pengadaannya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Secara umum, jenis pengadaan berdasarkan waktu terdiri dari (Quick, 1997) :
a. Annual purchasing, yaitu pemesanan dilakukan satu kali dalam satu tahun. b. Scheduled purchasing, yaitu pemesanan dilakukan secara periodik dalam
waktu tertentu misalnya mingguan, bulanan, dan sebagainya.
c. Perpetual purchasing, yaitu pemesanan dilakukan setiap kali tingkat persediaan rendah.
d. Kombinasi antara annual purchasing, scheduled purchasing, dan perpetual
purchasing. Pengadaan dengan pemesanan yang bervariasi waktunya seperti
cara ini dapat diterapkan tergantung dari jenis obat yang dipesan. Misalnya, obat impor dari suatu negara dimana devaluasi mata uang menjadi masalah utama, atau obat berharga murah yang jarang digunakan cukup dipesan sekali dalam setahun saja. Obat-obatan yang relatif slow moving tetapi digunakan secara reguler dapat dipesan secara periodik setiap tahun (scheduled
purchasing), dan obat-obatan yang banyak diminati dan obat-obatan yang
harganya sangat mahal maka pemesanan dilakukan secara perpetual
purchasing.
Setelah menentukan jenis pengadaan yang akan diterapkan berdasarkan frekuensi dan waktu pemesanan, maka pengadaan barang di apotek dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu (Seto, Yunita&Lily, 2004) :
a. Pembelian kontan
Dalam pembelian kontan, pihak apotek langsung membayar harga obat yang dibeli dari distributor. Biasanya dilakukan oleh apotek yang baru dibuka karena untuk melakukan pembayaran kredit apotek harus menunjukkan kemampuannya dalam menjual.
b. Pembelian kredit
Pembelian kredit adalah pembelian yang pembayarannya dilakukan pada waktu jatuh tempo yang telah ditetapkan, misalnya 30 hari setelah obat diterima apotek.
c. Konsinyasi (titipan obat)
Pembelian konsinyasi adalah titipan barang dari pemilik kepada apotek, dimana apotek bertindak sebagai agen komisioner yang menerima komisi bila barang tersebut terjual. Bila barang tersebut tidak terjual sampai batas waktu kadaluarsa atau waktu yang telah disepakati maka barang tersebut dapat dikembalikan pada pemiliknya.
2.14 Pengendalian Persediaan Apotek
Pengendalian persediaan berhubungan dengan aktivitas dalam pengaturan persediaan obat di apotek untuk menjamin kelancaran pelayanan pasien secara efektif dan efisien. Unsur dari pengendalian persediaan mencakup penentuan cara pemesanan atau pengadaan hingga jumlah persediaan yang optimum dan yang harus ada di apotek untuk menghindari kekosongan persediaan. Parameter – parameter dalam pengendalian persediaan adalah konsumsi rata-rata, lead time,
safety stock, persediaan minimum, persediaan maksimum, dan perputaran
persediaan.
2.14.1 Parameter – parameter dalam pengendalian persediaan a. Konsumsi rata-rata
Konsumsi rata-rata sering juga disebut permintaan (demand). Permintaan yang diharapkan pada pemesanan selanjutnya merupakan variabel kunci yang menentukan berapa banyak stok barang yang harus dipesan (Quick, 1997).
b. Waktu Tunggu (Lead Time)
Waktu tunggu merupakan waktu tenggang yang dibutuhkan mulai dari pemesanan sampai dengan penerimaan barang. Waktu tunggu ini dapat berbeda-beda untuk setiap pemasok. Faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada waktu tunggu adalah jarak antara pemasok dengan apotek, jumlah pesanan, dan kondisi pemasok (Quick, 1997).
Universitas Indonesia
c. Persediaan Pengaman (Safety stock)
Stok pengaman merupakan persediaan yang dicadangkan untuk kebutuhan selama menunggu barang datang untuk mengantisipasi keterlambatan barang pesanan atau untuk menghadapi suatu keadaan tertentu yang diakibatkan karena perubahan pada permintaan misalnya karena adanya permintaan barang yang meningkat secara tiba-tiba (karena adanya wabah penyakit) (Quick, 1997).
Stok pengaman dapat dihitung dengan rumus (Quick, 1997): SS = LT x CA
Keterangan :
SS= Safety stock (stok pengaman)
CA = average consumption (konsumsi rata-rata) LT = Lead Time (waktu tunggu)
d. Persediaan minimum
Persediaan minimum merupakan jumlah persediaan terendah yang masih tersedia. Apabila penjualan telah mencapai nilai persediaan minimum ini maka pemesanan harus langsung dilakukan agar kontinuitas usaha dapat berlanjut. Jika barang yang tersedia jumlahnya sudah kurang dari jumlah persediaan minimum maka dapat terjadi stok kosong (Quick, 1997).
e. Persediaan maksimum
Persediaan maksimum merupakan jumlah persediaan terbesar yang telah tersedia. Jika jumlah persediaan telah mencapai jumlah maksimum maka tidak perlu lagi melakukan pemesanan untuk menghindari terjadinya stok mati yang dapat menyebabkan kerugian (Quick, 1997).
f. Perputaran persediaan
Perputaran persediaan menggambarkan jumlah siklus yang dialami barang dari mulai pembelian hingga penjualan kembali. Jika suatu barang memiliki angka perputaran persediaan yang besar maka barang tersebut dikategorikan sebagai barang fast moving. Sebaliknya, jika angka perputaran persediaan suatu barang terbilang kecil maka barang tersebut termasuk slow moving (Quick, 1997).
Perputaran persediaan dihitung dengan cara :
Perputaran persediaan = So+P-Sn Sr Keterangan :
So = Persediaan awal Sr = Persediaan rata-rata P = Jumlah pembelian Sn = Persediaan Akhir
g. Jumlah pesanan (Economic Order Quantity / Economic Lot Size)
Di apotek, jumlah persediaan yang harus ada adalah persediaan untuk jangka waktu tertentu dan disesuaikan dengan kebijakan pada pola kebutuhan. Persediaan dirancang agar setiap saat harus tersedia dan sekaligus untuk mengantisipasi permintaan yang tidak menentu, kemampuan suplier yang terbatas, waktu tenggang pesanan yang tidak menentu, ongkos kirim mahal, dan sebagainya. Faktor yang dipertimbangkan untuk membangun persediaan berkaitan dengan biaya dan resiko penyimpanan, biaya pemesanan, dan biaya pemeliharaan (Quick, 1997). Merancang jumlah persediaan dapat dilakukan dengan perhitungan jumlah pesanan yang ekonomis atau dikenal dengan rumus Economic Order
Quality (EOQ) (Quick, 1997) :
EOQ = Keterangan :
R = Jumlah kebutuhan dalam setahun P = Harga barang / unit
S = Biaya memesan tiap kali pemesanan I = % Harga persediaan rata-rata
h. ReOrder Point (ROP / Titik pemesanan)
Titik pemesanan merupakan saat dimana harus diadakan pemesanan kembali sedemikian rupa sehingga kedatangan atau penerimaan barang yang dipesan adalah tepat waktu, dimana persediaan di atas persediaan pengaman (safety stock) sama dengan nol atau saat mencapai nilai persediaan minimum.
Universitas Indonesia
Pada keadaan khusus (mendesak), dapat dilakukan pemesanan langsung tanpa harus menunggu hari pembelian yang telah ditentukan bersama antar apotek dan
suplier (Quick, 1997).
Rumus perhitungan ROP adalah (Quick, 1997) : ROP = SS + LT Keterangan :
ROP = Recoder point SS = Safety stock LT = Lead time
Gambar 2.5 Diagram Model Pengendalian Persediaan (Quick, 1997)
2.14.2 Penentuan Prioritas Pengadaan
Dalam melakukan pengadaan dibutuhkan penentuan prioritas barang yang akan dipesan. Pemilihan prioritas pengadaan dapat dilakukan dengan berbagai metode. Penyusunan prioritas dapat dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut (Quick, 1997):
a. Analisis VEN (Vital, Esensial, Non-esensial)
Metode ini mengelompokan obat berdasarkan nilai kepentingan dan vitalitas obat terhadap pelayanan kesehatan untuk melayani permintaan untuk pengobatan.
1. V (Vital)
Obat yang tergolong dalam kategori vital adalah obat untuk menyelamatkan hidup manusia atau untuk pengobatan karena penyakit yang mengakibatkan kematian. Pengadaan obat golongan ini diprioritaskan.
2. E (Esensial)
Kategori esensial digunakan untuk obat-obat yang banyak diminta untuk digunakan dalam tindakan atau pengobatan penyakit terbanyak di masyarakat. Dengan kata lain, obat-obat golongan ini adalah obat yang fast-moving. 3. N (Non-esensial)
Kategori non-esensial untuk obat-obat pelengkap yang sifatnya tidak esensial, tidak digunakan untuk penyelamatan hidup maupun pengobatan penyakit terbanyak, contohnya suplemen vitamin.
b. Analisis Pareto (ABC)
Analisa pareto disusun berdasarkan penggolongan persediaan yang mempunyai nilai harga yang paling tinggi. Pareto membagi persediaan berdasarkan atas nilai rupiah (volume persediaan yang dibutuhkan dalam satu periode dikalikan harga per unit). Kriteria kelas dalam klasifikasi ABC adalah: 1. Kelas A
Persediaan yang memiliki volume rupiah yang tinggi. Kelas ini mewakili sekitar 75-80% dari total nilai persediaan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 10-20% dari seluruh item. Kelas A memiliki dampak biaya yang tinggi terhadap biaya pengadaan. Pengendalian khusus dilakukan secara intensif (Quick, 1997).
2. Kelas B
Persediaan yang memiliki volume rupiah yang menengah. Kelas ini mewakili sekitar 15-20 % dari total nilai persediaan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 20-60% dari seluruh item (Quick, 1997).
Universitas Indonesia
Persediaan yang memiliki volume rupiah yang rendah. Kelas ini mewakili sekitar 5-10% dari total nilai persediaan, tapi terdiri sekitar 60-80% dari seluruh barang (Quick, 1997).
Analisis pareto dilakukan dengan menghitung nilai investasi dari tiap sediaan obat dengan cara :
a. Menghitung total investasi tiap jenis obat.
b. Pengelompokan obat berdasarkan nilai investasi dan diurutkan mulai dari nilai investasi terbesar hingga terkecil.
c. Analisis VEN-ABC
Metode analisis ini mengkombinasi kedua metode sebelumnya. Dalam metode ini pengelompokan barang berdasarkan volume dan nilai penggunaannya selama periode waktu tertentu. Analisa VEN-ABC menggabungkan analisa pareto dan VEN dalam suatu matriks sehingga analisis menjadi lebih tajam (Quick, 1997). Matriks dapat dibuat sebagai berikut :
V E N
A VA EA NA B VB EB NB C VC EC NC
Gambar 2.6. Matriks analisis VEN-ABC
Matriks tersebut dapat dijadikan dasar dalam menetapkan prioritas untuk menyesuaikan anggaran atau perhatian dalam pengelolaan persediaan. Semua obat vital dan esensial dalam kelompok A, B, dan C harus tersedia. Tetapi kuantitasnya disesuaikan dengan kebutuhan konsumen apotek. Untuk obat non-esensial dalam kelompok A tidak diprioritaskan, sedangkan kelompok B dan C pengadaannya disesuaikan dengan kebutuhan (Quick, 1997).
2.15 Strategi Pemasaran Apotek
Strategi pemasaran yang umumnya dilakukan oleh apotek adalah analisis AIDA (Attention, Interest, Desire, Action). Analisis AIDA merupakan suatu rangkaian proses dimulai dari menarik perhatian calon pembeli hingga pembeli memutuskan untuk membeli di apotek.
2.16.1 Attention
Strategi ini merupakan upaya apotek untuk dapat menarik perhatian pengunjung/konsumen, yang dapat dilakukan dengan:
a. Membuat desain eksterior apotek yang menarik, seperti papan nama yang besar dan memasang neon box agar mudah terlihat oleh orang yang lewat. b. Mendesain bangunan agar terlihat menarik dan juga memperhatikan kondisi
ekonomi di lingkungan tempat pendirian apotek. Jika apotek berada di lingkungan daerah menengah ke atas, maka desainnya dapat dibuat lebih mewah agar tampak meyakinkan pengunjung di lingkungan tersebut bahwa obat yang dijual lengkap dan berkualiatas. Namun sebaliknya, apabila apotek didirikan di lingkungan menengah ke bawah, maka desain yang dipilih tidak perlu mewah agar tidak membuat pengunjung merasa enggan atau ragu untuk datang karena memiliki sugesti obat yang dijual di apotek tersebut mahal.
c. Menggunakan kaca transparan pada sisi depan apotek agar desain interior apotek dapat terlihat dari luar.
2.16.2 Interest
Strategi ini bertujuan untuk menimbulkan keinginan pengunjung untuk masuk ke dalam apotek, dapat dilakukan dengan cara menyusun obat bebas dan bebas terbatas di ruang tunggu dengan menarik seperti memperhatikan warna kemasan dan disusun berdasarkan efek farmakologis. Hal tersebut dapat langsung terlihat oleh pengunjung saat memasuki apotek.
Universitas Indonesia
2.16.3 Desire
Langkah selanjutnya setelah pengunjung masuk ke dalam apotek adalah menimbulkan keinginan mereka untuk membeli obat. Upaya yang dapat dilakukan adalah melayani pengunjung dengan ramah, cepat tanggap dengan keinginan pelanggan, meningkatkan kelengkapan obat, dan memberikan harga yang bersaing.
2.16.4 Action
Setelah melalui beberapa tahap diatas, akhirnya pengunjung apotek tersebut memutuskan mengambil sikap untuk pembeli obat di apotek. Pada tahap ini pembeli akan merasakan sendiri pelayanan yang diberikan apotek. Pelayanan yang dapat diberikan antara lain dengan menunjukkan kecepatan pelayanan dan pemberian informasi yang diperlukan.
TINJAUAN UMUM PT KIMIA FARMA, Tbk
3.1 PT. Kimia Farma (Persero), Tbk 3.1.1 Sejarah Singkat
PT. Kimia Farma terbentuk sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.74/1957 yang menyebutkan bahwa para penguasa perang dapat mengambil alih dan menguasai semua perusahaan Belanda yang beroperasi di seluruh wilayah Republik Indosnesia. Semenjak ditetapkannya Undang-Undang tersebut, pada tahun 1958 perusahaan-perusahaan swasta milik Belanda yang berada di Republik Indonesia mengalami proses nasionalisasi dan dibentuk menjadi Bapphar (Badan Pusat Penguasaan Perusahaan Farmasi Belanda.
Berdasarkan UU no. 19/Prp/tahun 1960 tentang Perusahaan Negara (PN) dan PP No.69 Tahun 1961, Departemen Kesehatan mengubah Bapphar menjadi Badan Perusahaan Umum (BPU) Farmasi Negara dan membentuk beberapa Perusahaan Negara Farmasi (PNF) yaitu; Radja Farma (Jakarta), Nurani Farma (Jakarta), Nakula Farma (Jakarta), Bhineka Kina Farma (Bandung), Bio Farma (Bandung), Sari Husada (Jogyakarta) dan Kasa Husada (Jawa Timur).
Pada perkembangan selanjutnya, melalui PP No. 3 Tahun 1969 tanggal 23 Januari 1969, PNF Radja Farma, PNF Nakula Farma, PNF Sari Husada dan PNF Bhineka Kimia Farma digabungkan dan dilebur menjadi perusahaan Farmasi dan Alat Kesehatan Bhineka Kimia Farma. Pada tanggal 19 Maret 1971 pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1971, mengalihkan bentuk PN Farmasi Kimia Farma menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Pada tahun 1997 PT. Kimia Farma menjadi sebuah perusahaan terbuka (Tbk.) sehingga masyarakat ikut serta dalam kepemilikan saham di PT. Kimia Farma. Pada tanggal 4 Januari 2002 didirikan 2 anak perusahaan yaitu PT. Kimia Farma Apotek dan PT. Kimia Farma Trading and Distribution untuk dapat mengelola perusahaan lebih terarah dan berkembang dengan cepat. PT. Kimia Farma Apotek saat ini, memiliki 34 unit Bisnis Manajer (Business Manajer – BM) dan 397 Apotek yang tersebar di seluruh Indonesia, sedangkan PT. Kimia Farma
Universitas Indonesia
Trading and Distribution memiliki 2 wilayah pasar dan 42 cabang PBF (Pedagang Besar Farmasi).
3.1.2 Visi dan Misi 3.1.2.1. Visi
Komitmen pada peningkatan kualitas kehidupan, kesehatan dan lingkungan.
3.1.2.2. Misi
a. Mengembangkan industri kimia dan farmasi dengan melakukan penelitian dan pengembangan produk yang inovatif.
b. Mengembangkan bisnis pelayanan kesehatan terpadu (health care provider) yang berbasis jaringan distribusi dan jaringan apotek.
c. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia dan mengembangkan sistem informasi perusahaan.
3.1. 3. Struktur Organisasi
PT Kimia Farma (Persero) Tbk, dipimpin oleh seorang Direktur Utama yang membawahi empat Direktorat, yaitu Direktorat Pemasaran, Direktorat Produksi, Direktorat Keuangan, Direktorat Umum dan Personalia.
PT Kimia Farma (Persero) Tbk. mempunyai 2 anak perusahaan, yaitu PT Kimia Farma Trading & Distribution dan PT Kimia Farma Apotek yang masing-masing berperan dalam penyaluran sediaan farmasi, baik distribusi melalui PBF maupun pelayanan kefarmasian melalui apotek.
Dalam upaya perluasan, penyebaran, pemerataan, dan pendekatan pelayanan kefarmasian pada masyarakat, PT Kimia Farma Tbk. telah membentuk jaringan distribusi yang terorganisir, yaitu PT. Kimia Farma Trading &
Distribution (T&D) yang membawahi PBF yang tersebar di seluruh Indonesia.
Wilayah usaha PT Kimia Farma T & D dibagi menjadi dua wilayah pasar yang keseluruhannya membawahi 42 Cabang PBF di seluruh Indonesia. PBF mendistribusikan produk-produk baik berasal dari PT Kimia Farma (Persero) Tbk.,
maupun dari produsen-produsen yang lain ke apotek-apotek, toko obat dan institusi pemerintahan maupun swasta.
3.2 PT Kimia Farma Apotek
PT. Kimia Farma Apotek merupakan anak perusahaan dari PT Kimia Farma (Persero) Tbk, yang bergerak di bidang retail farmasi. PT. Kimia Farma Apotek didirikan pada 4 Januari 2002, hingga sekarang PT. Kimia Farma Apotek membawahi Apotek Kimia Farma dan wilayah usahanya terbagi menjadi 34 Unit Bisnis dan sekitar 42 pedagang Besar farmasi (PBF) yang menaungi kurang lebih 406 unit apotek yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.Tiap-tiap Unit Bisnis (Bisnis Manajer/BM) membawahi apotek pelayanan yang berada di wilayahnya.
3.2.1. Visi dan Misi 3.2.1.1. Visi
Menjadi perusahaan jaringan layanan Farmasi yang terkemuka di Indonesia
3.2.1.2. Misi
a. Memberikan jasa layanan prima atas ritel farmasi dan jasa terkait serta memberikan solusi jasa layanan kefarmasian bagi pelanggan.
b. Meningkatkan nilai perusahaan untuk pemegang saham dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan berdasarkan prinsip GCG (Good Corporate
Governance).
c. Mengembangkan kompetensi dan komitmen SDM yang lebih profesional untuk meningkatkan nilai perusahaan dan kesejahteraan SDM.
3.2.2. Logo PT Kimia Farma Apotek
Universitas Indonesia
a. Simbol Matahari
Paradigma baru : Matahari terbit adalah tanda memasuki babak baru kehidupan yang lebih baik.
Optimis : Matahari memiliki cahaya sebagai sumber energi, cahaya tersebut adalah penggambaran optimisme kimia farma dalam menjalankan bisnisnya.
Komitmen : Matahari selalu terbit dari timur dan tenggelam dari arah barat secara teratur dan terus-menerus memiliki makna adanya komitmen dan konsistensi dalam menjalankan segala tugas yang diemban oleh kimia farma dalam bidang farmasi dan kesehatan.
Sumber energi : Matahari sumber energi bagi kehidupan, dan kimia farma baru memposisikan dirinya sebagai sumber energi bagi kesehatan masyarakat.
Semangat yang abadi : Warna orange berarti semangat, warna biru adalah keabadian. Harmonisasi antara kedua warna tersebut menjadi satu makna yaitu semangat yang abadi.
b. Jenis Huruf
Dirancang khusus untuk kebutuhan Kimia Farma yang disesuaikan dengan nilai dan image yang telah menjadi energi bagi Kimia Farma, karena prinsip sebuah identitas harus berbeda dengan identitas yang telah ada.
c. Sifat Huruf
Kokoh :Memperlihatkan Kimia Farma sebagai perusahaan terbesar dalam bidang farmasi yang memiliki bisnis dari hulu ke hilir, dan merupakan perusahaan farmasi pertama yang dimiliki Indonesia. Dinamis :Dengan jenis huruf italic memperlihatkan kedinamisan dan
optimisme Kimia Farma dalam menjalankan bisnis kesehatan. Bersahabat :Dengan jenis huruf kecil dan lengkung, memperlihatkan
3.2.3. Struktur Organisasi
Sesuai dengan SK. Dir Kimia Farma Apotek No. KEP 023./ DIR-KFA/ VI/2005, tanggal 22 Juni 2005, PT. Kimia Farma Apotek dipimpin oleh seorang direktur (Direktur Utama). Direktur Utama dibantu oleh 2 Direktur Operasional dan Pengembangan serta direktur SDM dan keuangan. Struktur organisasi PT Kimia Farma Apotek dapat dilihat pada Lampiran 8.
Direktur Operasional dan pengembangan sendiri membawahi : Manajer Evaluasi operasional, Manajer Pengembangan Pasar, Manajer Pelayanan dan Logistik, dan Manajer Bisnis. Direktur SDM dan Umum membawahi Manajer SDM, dan Manajer Umum. Direktur Keuangan membawahi Manajer Keuangan, Manajer Teknologi Informasi, dan Manajer Akuntansi dan Perpajakan.
Organisasi Kimia Farma Apotek terdiri dari Bisnis Manajer (BM) dan Apotek Pelayanan. Bisnis Manajer membawahi beberapa Apotek Pelayanan yang berada dalam suatu wilayah. Bisnis Manajer bertugas menangani pengadaan, penyimpanan barang dan administrasi apotek pelayanan yang berada di bawahnya. Sedangkan apotek pelayanan hanya melaksanakan fungsi pelayanan.
Dengan adanya konsep BM diharapkan pengelolaan aset dan keuangan dari apotek dalam satu area menjadi lebih efektif dan efisien, demikian juga kemudahan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut antisipasi dan penyelesaian masalah.
Secara umum keuntungan yang diperoleh melalui konsep BM adalah : a. Koordinasi modal kerja menjadi lebih mudah.
b. Apotek pelayanan akan lebih fokus pada kualitas pelayanan, sehingga mutu pelayanan akan meningkat yang diharapkan akan berdampak pada peningkatan penjualan.
c. Merasionalkan jumlah SDM terutama tenaga administrasi yang diharapkan berimbas pada efisiensi biaya administrasi.
d. Meningkatkan bargaining dengan pemasok untuk memperoleh sumber barang dagangan yang lebih murah, dengan maksud agar dapat memperbesar range