• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V: PENUTUP

B. Saran

Dalam hal menanggulangi terlahirnya anak di luar perkawinan yang semakin banyak setelah berkembangnya zaman oleh karena itu menanggapi hal tersebut, penulis ingin menyampaikan beberapa saran yang insya allah bermanfaat. Adapun saran-saran yang ingin penulis ungkapkan adalah sebagai berikut:

1. Bagi Majelis Hakim agar dapat lebih teliti dan bijaksana dalam menangani perkara sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Dan juga mampu bersikap adil terhadap para pihak terutama bagi kepentingan anak.

2. Bagi Pengadilan Agama sebaiknya jangan terlalu fokus terhadap aturan hukum yang tertulis melainkan lebih memperhatikan ajaran agama, agar putusan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.

3. Bagi pemerintah diharapkan agar mampu membuat aturan yang lebih jelas lagi agar dapat membantu para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang masuk ke pengadilan dan diharapkan pula mampu membuat aturan sebelum kasus atau peristiwa sudah terjadi.

4. Kurangnya peran orang tua dalam mengawasi, mendidik dan memberi batasan kepada anak-anaknya sehingga anak-anak tersebut tidak terbuai dengan pergaulannya. Karena pembentukan kepribadian dimulai sejak dini. Oleh sebab itu maka perlu adanya bimbingan.

5. Bagi para pelaku diharapkan agar lebih memikirkan dan berhati-hati dalam melakukan sesuatu karena yang menjadi korban bukan para pelaku tetapi anak yang tidak bersalah.

73 Al-Quran dan Tarjamah

Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Putusan Nomor. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS A.W. Munawir, Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawir Indonesia-Arab Terlengkap,

Surabaya: Pustaka Progeresif, 2007.

Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh. Ilmu Waris, Tegal: Ash-Shaf, 2007.

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 10. Jakata: Gema Insani DarulFikri, 2011.

Bakry, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang Sakinah). Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993.

Djubaidah, Neng. Perzinaan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Furchan, Arief. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, suatu pendekatan fenomologis terhadap ilmu-ilmu sosial. Surabaya: Usaha Nasional, 1992.

Hasan, M. Ali. Hukum Warisan Dalam Islam. jakarta: Bulan Bintang, 1996. Irfan, Nurul. Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Amzah, 2012. Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir. Hukum waris. Jakarta Selatan:

Senayan Abadi Publishing 2004.

Komilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia,2007, cet. Ke-2

Lubis, K. Suhrawardi dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis). Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Malik, Muhammad Abduh. Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP. Jakarta: Bulan Bintang, 2003.

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Muhibbin, Moh dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan

Hukum Positif di Indonesian. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Nasution, Amir Taat. Rahasia Perkawinan dalam Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. 2004.

Parman, Ali. Kewarisan Dalam Al-Quran. Jakarta Utara: PT Raja Grafindo, 1995. Prodjodikoro, R.Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Sumur Bandung. Rahman, Fathur. Ilmu Waris. Bandung: PT Alma’arif, 1971.

Rofiq, Ahmad. Hukum Mawaris. Jakarta Utara: PT RajaGrafindo Persada, 1995. Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009.

Sabiq, Sayyid. Fiqh sunnah. Terjemahan: Drs. Moh Tholib. Bandung: PT.

Al-Ma’arif, 1990.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan). Jakarta: Kencana, 2006.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Admin, PA Jak-Sel, ”Struktur Organisasi” artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari

http://pa-jakartaselatan.go.id/v2/profil-pengadilan/struktur-organisasi-pa-jaksel.html

Dadang Muttaqien, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

Dalam Perspektif Sosiologi Hukum Artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari

http://yppei.blogspot.com/2009/03/undang-undang-nomor-3-tahun-2006.html

Media Informasi dan Transafaransi Agama Jakarta Selatan, Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan, diakses pada tanggal 13 Maret 2014 melalui

http://www.pa-jakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/sejarah.html

Sayed Usman,”Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, artikel diakses pada 13

Maret 2014 dari www.pa-jaksel.net.

http://kuagunungjati.blogspot.com/2012/03/polemik-mui-dan-mk-soal-anak-diluar.html. diunduh pada tanggal 10 mei 2014.

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2012/03/22/18307/fatwa-mui-tentang-

Mayang Pada tanggal 11 bukan April 2014 pada jam 10.34 – 11.10 WIB

Berikut beberapa pertanyaan yang diajukan kepada beliau serta jawaban dan tanggapan dari beliau, diantara sebagai berikut:

1. Menurut bapak hakim apakah anak zina berhak mandapatkan hak waris ?

Anak zina yang seperti apa yang dimaksud, ada anak zina sebelum lahir kemudian orang tuanya menikah, menurut fiqih 6 bulan setelah menikah anaknya sah menurut KHI anaknya sah apabila orang tua sudah menikah tetapi dalam kasus ini seorang anak lahir kemudian orang tuanya menikah. Menurut teorinya tentu anak tidak mendapat warisan karena dia tidak mempunyai nasab dengan ayahnya dia hanya dapat warisan dari ibunya tetapi sang anak bisa mendapat hubungan keperdataan dan mendapat sebatas wasiat wajibah, karena wasiat wajibah diberikan kepada kerabat yang tidak mendapat waris sepanjang anak zina ini dapat membuktikan bahwa dia adalah ayah biologis dari anak tersebut karena dalam Alquran disebutkan juga kata akrabin karena posisi anak zina disini akrabin dari ayah biologisnya karena merupakan akibat dari ayahnya lah maka anak tersebut bisa lahir sedangkan anak angkat bukan merupakan hasil dari akibat ayahnya melakukan hubungan karena dalam hukum seseorang itu akan dibebani dari akibat perbuatannya jadi apabila anak angkat mendapat wasiat wajibah maka anak zina lebih berhak mendapat wasiat wajibah karena merupakan akibat dari orang tua khususnya ayahnya dan dia tidak berhak mendapat warisan karena warisan hanya kepada mereka yang berhubungan nasab atau hubungan perkawinan.

2. Apakah memberikan wasiat wajibah kepada anak zina bukan merupakan deskriminasi terhadap anak itu ?

Kita kembali ke teori tujuan hukum Islam ialah maqhosid syari yang daruriah al khamsa yaitu pertama menjaga agama dan yang kedua menjaga keturunan (nasab) kalau semua ini disamakan maka bisa menjadi kabur nasab karena anak yang mana yang lahir setelah pernikahan dan mana sebelumnya maka lembaga perkawinan tidak ada artinya padahal perkawinan itu merupakan akad yang menghalalkan yang tadinya haram karena ikatan perkawinan merupakan mitsaqon gholidzon atau ikatan yang kuat yang tidak bisa disamakan degan ikatan yang lainnya kalau semua itu disamakan demi kepentingan anak

sama itu juga tidak adil dan itu juga disebut deskriminasi maka apabila membedakan sesuatu maka akibatnya juga berbeda. Menurut maslahatnya maqosidu syari merupakan maslahat umma bukan maslahat fardiyah mana yang banyak anak yang lahir dalam perkawinan atau anak yang lahir di luar perkawinan tentunya anak yang lahir dalam perkawinan maka yang banyak harus didahulukan dari pada yang sedikit atau jangan mementing seorang dan sekian banyak orang menjadi korban dan hukum itu bersifat mengatur dan tujuannya mengatur kalau menyamakan sesuatu yang berbeda maka ujungnya bisa tidak teratur dan tidak bisa dikatakan deskriminasi karena lebih mementingkan limaslahati umma.

3. Bagaimana menurut bapak hakim tentang putusan mahkamah konstitusi no. 46/PPU-VIII/2010 khususnya yang berkenaan dengan waris ?

Dalam putusan MK hanya mempunyai hubungan keperdataan dan hubungan keperdataan ini juga jangan dipahami dengan seluas-luasnya, hubungan keperdataan ini yakni sepanjang tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan hukum islam. Dan memiliki hubungan keperdataan jangan dipahami memiliki hubungan nasab dan mendapat waris. Menurut azzahirin pada pasal 29 ayat 1 negara indonesia berdasarkan ketuhanan yang maha esa artinya semua hukum yang ada di indonesia harus tidak bertentangan dengan ajaran agama maka putusan MK harus ditafsirkan dalam rangka agama apapun terlebih lagi agama islam yang mayoritas di Indonesia karena dalam demokrasi hukum siapa yang paling banyak maka dia yang menang oleh sebab itu maka kita banyak beragama islam maka harus tidak bertentangan dengan ajaran agama islam dalam pemahamannya maka putusan MK harus di pahami sepanjang yang dibolehkan oleh hukum Islam sebab karena kalau tidak putusan MK itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar setinggi-tingginya putusan MK tidak boleh bertentangan dengan UUD sedangkan UUD menetukan negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa maka tidak boleh bertentangan termasuk putusan MK maka hubungan keperdataan itu terbatas dan waris tidak boleh karena harus memiliki hubungan nasab dan hubungan perkawinan

Mungkin maksudnya yaitu dasar hukumnya. Hakim wajib menggali aturan hukum tertulis, pendapat ahli, yurisprudensi dan hukum yang hidup di masyarakat, kemudian untuk mencapai keadilan itu hakim bertanya kepada hati nuraninya adil atau tidak.

5. Bagaimana potensi hakim dalam menggunakan yurisprudensi ?

Pertama dalam pemahaman yurisprudensi yang seperti apa dulu ada teori hukum ada pendapat ahli dan putusan hakim terdahulu.Mengenai putusan hakim terdahulu atau yurisprudensi apakah hakim terikat dengan putusan MK itu. Sistem hukum di Dunia itu ada dua yaitu civil law sistem dan common law sistem dan Indonesia diantara keduanya, merupakan negara hukum atau berarti semua putusan berdasarkan hukum dan rasa keadilan. Dalan putusan MK yang merubah pasal itu merupakan aturan hukum dan apakah hakim terikat disitu pertama kalinya terikat sama seperti Undang-Undang lain kecuali pada kasus-kasus tertentu yang aturan itu tidak dapat menyelesaikan kasus itu secara konstruktif hakim dalam fungsi justmen law bisa diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk menafsirkan dan putusan MK tidak bisa dikatakan yurisprudensi melainkan sebuah aturan dimana dia merubah aturan menjadi sebuah aturan sendiri karena dia berkapasitas untuk menguji Undang-Undang. Yang dikatakan yurisprudensi menurut Yahya pertama putusan itu sudah ingkrah, bernilai keadilan, futuristik (kedepannya masih berlaku). Jadi putusan-putusan ini dalam teori antara kepastian hukum dan keadilan sesuatu hal yang harus berjalan seimbang, terlalu terpaku kepada kepastian maka keadilan bisa terabaikan, terlalu memikirkan keadilan kasus perkasus meninggalkan yurisprudensi sehingga mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dan semua itu menurut teori. Sebaiknya hakim itu terikat dengan yurisprudensi karena putusan hakim itu fungsinya desetel law standart (standart hukum itu berdasarkan putusan hakim) berikutnya desetel legal opinion (opini itu terbentuk berdasarkan putusan hakim) kalausetiap putusan itu berlainan maka susah untuk mendapat standar hukumnya dan legal opini yang bisa membuat masyarakat bingung. Bukan berarti hakim itu terikat atau terkungkung terhadap yurispreudensi tetapi keadilan kasus-perkasus yang harus di utamakan.

Dokumen terkait