• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak waris anak luar nikah pasca putusan Mahkamah Konstitusi No . 46/PUU-VIII/2010: (Analisis Putusan No. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hak waris anak luar nikah pasca putusan Mahkamah Konstitusi No . 46/PUU-VIII/2010: (Analisis Putusan No. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS)"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: Adi Guna Sakti NIM: 1110044200005

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

ABSTRAK

Adi Guna Sakti, NIM 1110044200005, “HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 (Analisis Putusan Nomor 0156/Pdt.P/2013/PA.JS)” Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. ix + 67 halaman + halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutus perkara Nomor. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS apakah telah sesuai dengan Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan ajaran agama Islam, faktor apa saja yang mempengaruhi putusan majelis hakim dalam memutus perkara Nomor. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS, serta bagaimana hak waris anak luar nikah pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dimana sampai saat ini masih adanya kekosongan hukum dalam peraturan pelaksanaannya.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu suatu analisis data yang terdiri dari data deskriptif yakni ucapan atau tulisan dan prilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan melihat objek hukum berkaitan dengan undang-undang serta penerapannya. Bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret yang dihadapi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim dalam memutus perkara waris anak luar nikah tidak mendapat waris karena hakim beralasan putusan Mahkamah Konstitusi sampai saat ini masih belum ada peraturan pelaksanaannya sehingga terdapat kekosongan, maka hakim melandaskan putusan berdasarkan poin-poin lain yang berkaitan pada putusan tersebut.

Kata Kunci : Waris, Anak Zina

Pembimbing : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H, M.A, M.H

(6)

v

KATA PENGANTAR











Segala puji, dan syukur diucapkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan taufik, hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 (Analisis Putusan Nomor 0156/Pdt.P/2013/PA.JS ).

Shalawat serta salam senantiasa tercurah untuk pemimpin umat manusia yang

revolusioner dimana oleh karenanyalah ilmu dan cahaya Islam bisa dirasakan sampai

akhir zaman.

Penulis bersyukur dengan tiada henti karena pada akhirnya tugas akhir dalam

jenjang pendidikan Strata Satu (s1) yang penulis hadapi telah selesai dikerjakan. Serta

tak lupa penulis minta maaf apabila ada penulisan dalam skripsi ini ada yang kurang

berkenan dihati pembaca.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena

mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan

rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A. selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

2. Dr. Phil. JM. Muslimin, M.A selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H, M.A, selaku ketua Jurusan Prodi SAS, dan Ibu

Hj. Rosdiana, M.A selaku sekretaris jurusan SAS yang telah memberikan

arahan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H, M.A, M.H selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah memberikan banyak waktunya dan bimbingannya sehingga penulis

(7)

vi

5. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Selaku Dosen Pembimbing Akademik dan

seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan.

6. Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menjadi objek penelitian skripsi ini

yang telah membantu dalam memberikan informasi yang dibutuhkan penulis

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Kepada kedua orang tua Ayahanda tercinta Asrahadi dan Ibunda tersayang

Dahriah Rahim, sujud abdiku kepada kalian atas doa, pengorbanan dan

memberikan motivasi terbesar kalian selama ini, “allahummagfirlii

waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani sogiro”. Abang dan kakakku

tersayang Mhd.Miftah Habibi, Khalidah Juniarti dan Wahyu Hidayat, serta

saudara-saudaraku yang selalu memberi support.

8. Seluruh teman AKI angkatan 2010 yang terkasih Mirza, Iqbal, Natasha

Nicola, Dini Aulia, Sukron Naim, Rian Wahyu Utomo, Ahmad Bukhari

Muslim dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas

segala canda tawa dan keluh kesah selama dikelas, maaf kalau banyak

kesalahan penulis baik yang disengaja maupun tidak dan tentunya kalian

adalah yang terindah selama pembelajaran di kelas.

9. Untuk teman satu kosan R.Usman Efendi dan Soprianto serta Lebis Preska

yang tidak pernah bosan memotivasi, memberikan arahan dan masukan

sehingga penulis dalam menyelesaikan skripsi

10. Untuk keluarga besar IKRH (Ikatan Keluarga Raudhatul Hasanah) secara

kolektif yang tidak mungkin disebutkan dalam kertas pendek ini. Penulis

merasa adanya transformasi baru untuk mengenal orientasi organisasi yang

lebih baik demi terwujudnya menusia madani yang tercerahkan.

11. Untuk yang tersayang Syarifah Fuzna yang merupakan simbol kekuatan

wanita yang tidak pernah lelah dalam bekerja serta mengingatkan penulis di

(8)

vii

12. Keluarga besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang telah

berbagi ilmu yang tidak ternilai, hingga penulis dapat menyelesaikan studi di

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

13. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah

memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan

sebagai rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun

sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini

selanjutnya.

Ciputat, 28 April 2014

(9)

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI. ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian ... 8

E. Review Studi Terdahulu ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II: HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH A. Hukum Waris ... 12

1. Pengertian Waris ... 12

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam ... 14

3. Rukun dan Syarat Waris ... 16

4. Sebab-Sebab Mewariskan ... 22

5. Waisiat Wajibah ... 25

B. Anak Luar Nikah ... 27

1. Perbedaan Anak Luar Nikah dengan Anak Zina ... 27

2. Pengertian Zina ... 29

3. Dasar Hukum dan Macam-macam Zina ... 31

4. Akibat Perbutan Zina ... 33

(10)

ix

BAB III: PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama ... 37

B. Strutur Organisasi Pengadilan Agama ... 43

C. Letak Geografis Pengadilan Agama ... 45

D. Duduk Perkara No. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS ... 47

BAB IV: HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.46/PUU-VIII/2010 A. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menetapkan Putusan ... 52

B. Faktor yang Mempengaruhi Putusan Hakim ... 59

C. Hak Waris Anak Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Pada Perkara No. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS.. ... 61

D. Analisis Putusan ... 63

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Surat Bimbingan Skripsi

2. Surat Wawancara ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan 3. Surat Keterangan Wawancara

4. Hasil Wawancara

(11)

1

A. Latar Belakang

Islam merupakan salah satu ajaran agama yang ada di dunia, di mana di dalam

agama Islam banyak ajaran-ajaran yang dapat diambil dan bahkan diamalkan.

Manusia dan segala alam lainnya yang merupakan ciptaan Allah SWT, merupakan

makhluk yang mempunyai nyawa dan terdiri dari dua jenis yang berpasang-pasangan.

Bagi alam nabati (tumbuh-tumbuhan) dan hewani, ada dua jenis bentuk yakni jantan

dan betina sedangkan pada makhluk alam insani (manusia) ada jenis yang sering

disebut dengan pria dan wanita1.

Islam memandang bahwa perkawinan adalah sebuah perjanjian yang agung

(mitsaqan ghalidzan) yang membawa konsekuensi suci atas pasangan laki-laki dan

perempuan. Di mana sesuatu yang sebelumnya haram, berubah menjadi halal dengan

sarana perkawinan.2

Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukan hanya urusan perdata semata,

bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan

peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah

1

Amir Taat Nasution. Rahasia Perkawinan dalam Islam. (Jakarta. Pedoman Ilmu Jaya, 1994),. Hal. 14

2

(12)

Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk

Nabi.3

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4

Pada umumnya, setiap orang yang akan melangsungkan kehidupan berumah

tangga mereka sama-sama mengimpikan dan mendambakan kebahagiaan seperti yang

digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, sering terjadi kebalikannya,

timbul penyesalan dan penderitaan di dalam diri.5

Kematian adalah suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan akibat

hukum berupa kewarisan yang melahirkan hak dan kewajiban antara pewaris dan ahli

waris. Di dalam Kompilasi Hukum Islam dituliskan bahwa ahli waris adalah orang

yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan

perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk

menjadi ahli waris. Dengan kata lain seorang anak yang lahir di luar pernikahan

dianggap bukan merupakan ahli waris.

Oleh sebab itu perlu adanya penetapan asal usul anak sehingga status anak

tersebut jelas dan anak tersebut mendapatkan hak yang semestinya diterimanya.

3

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undan-Undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana, 2006), h. 48.

4

Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

5

(13)

Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya

jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan

yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina

atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memilki hubungan nasab dengan

ibunya.

Apabila terjadi perkawinan antara suami dan istri secara sah, kemudian istri

mengandung dan melahirkan anaknya, maka suami dapat mengingkari kesahan anak

itu apabila:6

a. Istri melahirkan anak sebelum masa kehamilan.

b. Melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa

perceraian.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memberikan aturan-aturan yang

mirip untuk tidak mengatakan persis sama dengan aturan-aturan yang terdapat di

dalam Undang-Undang Perkawinan.7

Di mana dijelaskan tentang anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau

akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim

dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Selain itu, dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/UUP-VIII/2010; pada pokoknya merubah bunyi pasal 43 ayai (1) Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 yang menyatakan: “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya

6

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta. Prenada Media. 2004), Hal. 276,277

7

(14)

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” dirubah sehingga

anak tersebut juga memiliki hubungan perdata dengan bapak biologisnya.

Tapi, putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/ PUU-VIII/2010; menyatakan

di mana anak luar perkawinan juga memiliki hubungan perdata dengan bapak

biologisnya. Di mana maksud dari putusan itu memberikan hak anak sama seperti

anak yang lainnya yakni memberikan warisan sebagaimana semestinya karena anak

tersebut merupakan darah daging ayahnya dan semua itu dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat dijadikan bukti autentik

di depan meja pengadilan.

Dalam KUHPerdata dituliskan bahwa pada pasal 832 “Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah

maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama”.

Namun, pada penetapan perkara volountair (permohonan) Nomor

0156/Pdt.P/2013/PA JS tentang asal usul anak. Di mana hakim menetapkan anak

tersebut memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya sama seperti ibunya

dan dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan sebagaimana dengan putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.46/PUU-VIII/2010. Dan ini berarti

anak tersebut merupkan anak biologis yang sah dari ayahnya dan secara langsung

mempunyai hubungan nasab.

Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut setidaknya dapat

menolong anak-anak yang ada di Indonesia ini dengan mendapatkan status yang jelas

(15)

Tetapi, Pengadilan Agama Jakarta Selatan menetapkan anak tersebut hanya

mendapatkan hubungan perdata dengan ayahnya tetapi dalam pembagian harta, anak

tersebut hanya mendapatkan wasiat wajibah yakni 1/3 bukan hak waris.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam karya

tulis yang berjudul “HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 (Analisis Putusan Nomor.

0156/Pdt.P/2013/PA JS)”

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak

menimbulkan masalah baru serta peleberan secara meluas, penulis akan

membatasi permasalahan ini pada “Hak Waris Anak Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 (Analisis Putusan

Nomor. 0156/Pdt.P/2013/PA JS)”.

2. Perumusan Masalah

Menurut peraturan KUHPerdata pada pasal 832 dimana dikatakan

anak luar nikah berhak untuk menjadi ahli waris. Kenyataannya dalam

putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan anak luar nikah justru tidak

mendapatkan warisan dan diganti dengan wasiat wajibah. Rumusan masalah

tersebut, penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagamana majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam

(16)

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi putusan hakim pada perkara No.

0156/Pdt. P/2013/PA JS ?

3. Bagaimana hak waris anak luar nikah pasca putusan Mahkamah Konstitusi

No. 46/PPU-VIII/2010 pada perkara No. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan melihat pokok permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, maka

tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Untuk memahami pertimbangan hakim pengadilan agama dalam memutus

hak waris anak khususnya anak luar perkawinan pasca putusan Mahkamah

Konstitusi

2. Untuk mengetahui apa yang di jadikan faktor yang mempengaruhi hakim

pengadilan agama dalam menentukan putusan tersebut serta akibat putusan

tersebut.

3. Untuk mengetahui apakah hak waris anak luar nikah pasca putusan

Mahkamah Konstitusi mendapatkan warisan

Adapun manfaat yang akan didapatkan dalam penelitian diantaranya adalah:

1. Bagi Penulis

a. Mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh dan dapat memperluas

pengetahuan khususnya dalam bidang pernikahan dan waris.

b. Mengetahui kondisi yang terjadi di lapangan khusunya di dalam lingkup

(17)

c. Membandingkan teori yang telah ada dengan permasalahan yang

sebenarnya terjadi di masyarakat

2. Bagi Masyarakat

a. Memberikan informasi bagi semua kalangan masyarakat tentang status

anak luar kawin serta pembagian warisnya dan akibat hukumnya.

b. Memberikan informasi tentang analisa keputusan hakim pengadilan agama

mengenai penetapan hak waris anak luar perkawinan setelah keluarnya

putusan Mahmakah Konstitusi

3. Bagi Institusi

a. Memberikan informasi bagi institusi mengenai apa saja dasar hakim

pengadilan agama dalam memutuskan penetapan hak waris anak luar

perkawinan setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi.

4. Bagi Universitas

a. Menambah referensi bagi teman-teman dalam mempelajari hukum

perkawinan dan waris serta akibat hukumnya.

b. Mengetahui kemampuan mahasiswa dalam menerapkan ilmu

pengetahuannya.

c. Memberikan gambaran tentang kesiapan dan kelayakan mahasiswa dalam

(18)

D. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini bersifat kualitatif adalah prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif yakni ucapan atau tulisan dan prilaku yang dapat

diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri.8 Kemudian menganalisa isi

putusan, untuk melihat sejauh mana proses penyelesaian para hakim

menyelesaikan perkara hak waris anak luar perkawinan setelah keluarnya

putusan Mahkamah Konstitusi.

2. Sumber data dan proses pengumpulan data

a. Data primer

Data primer berbentuk putusan dan berita acara yang didapatkan

dari pengadilan agama.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet

dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara hak waris

anak luar perkawinan.

3. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan konten

analisis yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dengan mendeksripsikan

putusan dan menghubungkannya dengan hasil wawancara, serta analisa

yurispudensi hakim pengadilan agama.

8

(19)

4. Teknik penulisan

Teknik penulisan dalam penyusunan proposal ini secara teknik penulisan

berpedoman pada buku penulisan skripsi.

E. Review Studi Terdahulu

Dalam rangka perbandingan kajian skripsi yang penulis bahas dengan

beberapa skripsi yang telah dibahas sebelumnya, maka penulis mengambil

skripsi-skripsi yang memiliki kesamaan jenis masalah yang diteliti dari skripsi-skripsi yang ada di

perpustakaan Fakultas Syariah dan Perpustakaan Umum. Dari kedua perpustakaan

ini, penulis menemukan dua Skripsi yang dapat penulis jadikan sebagai Review Studi

Terdahulu. Skripsi-skripsi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Abdul Latif Prabowo Wijayandra tahun 2012, Peradilan Agama, dengan judul

skripsi “Perlindungan Anak Luar Nikah (Putusan Mahakamah Konstitusi No.

46/PPU-VIII/2010”, di mana dalam pembahasan skripsi tersebut membahas tentang perlindungan anak luar nikah pasca keluarnya putusan Mahkamah

Konstitusi.

2. Ridho Akmal Nasution tahun 2013, Peradilan Agama, dengan judul “Dampak Putusan Mahakamah Konstitusi No. 46/PPU-VIII/2010 tentang status anak

luar nikah prespektif hukum Islam dan hukum positif”, di mana dalam skripsinya membahas tentang status anak luar nikah pasca putusan Mahkamah

Konstitusi, pandangan hukum Islam dan positif terhadap putusan Mahkamah

(20)

Setelah melihat serta membandingkan antara skripsi-skripsi yang ada di atas,

banyak perbedaan yang terjadi antara skripsi-sripsi yang telah ada dengan skripsi

yang akan penulis susun. Dalam skripsi penulis ingin menganalisis pertimbangan,

faktor serta bagaimana hak waris anak luar nikah dalam perkara No.

0156/Pdt.P/2013/PA.JS pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010.

Dan penulis merasa ini sangat menarik.

F. SistematikaPenulisan

Skripsi ini terdiri dari lima (5) bab, di mana masing-masing bab berisikan

pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut;

Bab Pertama berisikan pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode

penelitian, studi review terdahulu, dan sistematika penelitian.

Bab Kedua menjelaskan tentang tinjauan umum tentang warisan yang terdiri dari pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat, sebab dapatnya waris dan anak luar

nikah yang terdiri dari, perbedaaan anak luar nikah dengan ank zina, pengertian anak

zina, dasar hukum, serta warisan yang diperolehnya.

Bab Ketiga akan Menjelaskan uraian diskripsi data berkenaan dengan gambaran umum Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang berkaitan dengan sejarah

dan struktur organisasinya serta duduk perkara putusan.

[image:20.612.112.529.189.553.2]
(21)

dalam memutus perkara serta akibat hukum dari putusan tersebut pasca putusan

Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.

Bab Kelima adalah bagian akhir dari penulisan skripsi ini, yang didalamnya akan berisikan kesimpulan dan saran yang bersifat kontribusi membangun dunia

(22)

12

HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH

A. Hukum Waris

1. Pengertian Waris

Adapun yang dimaksud dengan faraidh adalah masalah-masalah pembagian

harta warisan. Kata ئا فلا (al-fara’idh atau diindonesiakan menjadi faraidh) adalah

bentuk jamak dari ة فلا (al-faridhah) yang bermakna ة ف لا (al-mafrudhah) atau

sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.1

Menurut bahasa, lafal faridhah diambil dari kata فلا (al-fardh) atau

kewajiban yang memiliki makna etimologis dan terminologis. Secara etimologis, kata

al-faradh memiliki beberapa arti, di antaranya sebagai berikut.

a. عط لا (al-qath’) ketetapan atau kepastian.

b. تلا (at-taqdir) yang berarti suatu ketentuan.

c. لا اا (al-inzal) yang berarti penurunan.

d. تلا (at-tabyin) yang berarti penjelasan.

e. لاحاا (al-ihlal) yang berarti penghalang.

f. ء طعلا (al-„atha’)yang berarti pemberian.2

1

A.W. Munawir, Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawir Indonesia-Arab Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progeresif, 2007), h.257.

2

(23)

Keenam arti di atas dapat digunakan seluruhnya karena ilmu faraidh meliputi

beberapa bagian kepemilikan yang telah ditentukan secara tetap dan pasti. Tentang

setiap ahli waris yang menerima bagiannya masing-masing, semuanya merujuk pada

sebutan atau penamaan ilmu faraidh.

Sedangkan secara terminologi, fiqh mawaris adalah fiqh atau ilmu yang

mempelajari tentang siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak,

berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara menghitungnya.3 Selain itu faraidh

memiliki beberapa definisi, yakni sebagai berikut.

a. Penetapan kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan syara’ yang tidak bertambah, kecuali dengan radd (mengembalikan sisa lebih kepada para

penerima warisan) dan tidak berkurang, kecuali dengan ‘aul ( pembagian

harta waris, di mana jumlah bagian para ahli waris lebih besar daripada asal

masalahnya, sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar jumlah bagian-bagian

itu).

b. Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang

terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang

wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.

c. Disebut juga dengan fiqh al-mawaris “fiqh tenang warisan” dan tata cara menghitung harta waris yang ditinggalkan.

d. Kaidah-kaidah fiqh dan cara menghitung untuk mengetahui bagian setiap ahli

waris dari harta peninggalan.

3

(24)

e. Disebut juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengetahui ahli waris yang

dapat mewarisi dan yang tidak dapat mewarisi serta mengetahui kadar bagian

setiap ahi waris.4

Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting di dalamnya:

a. Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris.

b. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris dan

c. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan

pembagian harta waris.

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam

Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama Islam

adalah nash atau teks yang terdapat di dalam Al quran dan sunnah Nabi.5 Ayat-ayat

Alquran dan sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut antara

lain sebagai berikut.

a. Ayat-Ayat Alquran

QS. An-Nisaa ayat 7



























































ءاسنلا(

/

٤

:

(

4

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum waris, (Jakarta Selatan, Senayan Abadi Publishing 2004), h.13.

5

(25)

Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An-Nisaa/4:7)

Ketentuan dalam ayat di atas, merupakan landasan utama yang menunjukkan,

bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai hak

waris, dan sekaligus merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan

subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Tidak demikan halnya pada masa

Jahiliyah, dimana wanita dipandang sebagai objek bagaikan benda biasa yang dapat

diwariskan.

Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa Islam mengakui wanita sebagai

subjek hukum, dalam keadaan tertentu mempunyai hak waris, sedikit ataupun banyak

yang telah dijelaskan dalam beberapa ayat Alquran.

b. Al-Hadist

Hadist Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan

adalah sebagai berikut.

Hadist Nabi dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari

ا حْلأ ل ق مّ ّْع ّلا ّص لا ْ ع ْع ّلا

ع ْا ْ ع

ئا فْلا

ّْ أ

لج لْ أّف ف

) خ لا ا (

Artinya: Berikanlah faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan

selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki.6

6

Sahih Bukhori halaman 463 juz 20, dikutip dari Maktabah As-syamilah, bab Faraid. Matan Hadits: ْع ّلا ع ْا ْ ع أ ْ ع ط ْا ْ ع ْ ث ح ْ ح ْ ّْ ث ح

ا حْلأ ل ق مّ ّْع ّلا ّص لا ْ ع

ئا فْلا

(26)

3. Rukun dan Syarat Waris

a) Hak-hak yang dapat dikeluarkan sebelum harta waris dibagikan kepada ahli

waris

Ada beberapa hal yang berkaitan dengan pembagian waris yang harus

dipenuhi secara tertib, sehingga apabila hak yang pertama atau yang kedua

menghabiskan semua harta waris maka tidak lagi pindah kepada hak-hak yang

lain.

Sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan, terlebih dahulu sebagai

yang utama dari harta peninggalan itu harus diambil hak-hak yang segera

dikeluarkan untuk kepentingan-kepentingan berikut.

a. Tahjiz, atau biaya penyelenggaraan Jenazah

Tajhiz adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh seseorang yang

meninggal dunia mulai dari wafat sampai kepada penguburannya.7

Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa biaya yang diperlukan untuk

hal tersebut di atas dikeluarkan dari harta peninggalan menurut ukuran

yang wajar.8

b. Melunasi Utang

Utang merupakan sesuatu yang harus dibayar oleh orang yang meninggal,

apabila si mayit mempunyai hutang atau tanggungan belum dibayar ketika

7

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesian, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h.51.

8

(27)

masih hidup di dunianya, baik yang berkaitan dengan sesama manusia

maupun kepada Allah yang wajib diambilkan dari harta peninggalannya

setelah diambil keperluan tahjiz.

Para ulama mengklasifikasikan utang kepada dua macam yaitu :

a. Utang kepada sesama manusia, disebut dain al-‘ibad

b. Utang kepada Allah, disebut dain Allah.9

Pada prinsipnya bahwa pelunasan utang pewaris harus bersumber dari

kekayaan pewaris. Akan tetapi apabila utangnya melampaui jumlah harta

pusakanya, maka pelunasannya menurut alquran harus melalui zakat.10

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 175 ayat 1, kewajiban ahli waris

terhadap pewaris adalah:

a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai

b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan,

termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang.

c. Menyelesaikan wasiat pewaris.

d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

Sedangkan dalam pasal 175 ayat 2, tanggung jawab ahli waris terhadap

hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta

peninggalannya.

9

Ahmad Rofiq, Hukum Mawaris, (Jakarta Utara, PT RajaGrafindo Persada, 1995), h.38.

10

(28)

c. Melaksanakan atau Membayar Wasiat

Wasiat ialah pesan seseorang untuk memberikan sesuatu kepada orang

lain setelah ia meninggal dunia.11

b) Rukun Mewarisi

Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian

harta waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada

rukun-rukunya.12

Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam waris-mewarisi,

tiap-tiap unsur tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini

dalam kitab fiqh dinamakan rukun, dan persyaratan itu dinamakan syarat

untuk tiap-tiap rukun.

Sehebungan dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun

waris-mewarisi ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut.

1. Harta Peninggalan (mauruts) ialah harta benda yang ditinggalkan oleh si

mayit yang akan dipusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil

untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat.

Harta peninggalan dalam kitab fiqh biasa disebut tirkah, yaitu apa-apa

yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia.

11

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesian, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h.55.

12

(29)

2. Pewaris atau orang yang meninggalkan harta waris (muwarrits) adalah

orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris. Di dalam

kamus Indonesia disebut dengan istilah “pewaris”, sedangkan dalam kitab

fiqh disebut muwarist.

Bagi muwarist berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya

dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik menurut

fiqh kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarist menurut para

ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yakni

a. Mati haqiqy (sejati) ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula

nyawa itu sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan

oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.

b. Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan oleh adanya vonis

hakim, baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup,

maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Sebagai

contoh orang yang telah divonis mati, padahal ia benar-benar masih

hidup. Vonis ini dijatuhkan terhadap orang murtad yang melarikan diri

dan bergabung dengan musuh. Vonis mengharuskan demikian karena

menurut syariat selama tiga hari dia tiada bertaubat, harus dibunuh.

Demikian juga vonis kematian terhadap mafqud, yaitu orang yang

tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak

diketahui hidup dan matinya. Jika hakim telah menjatuhkan vonis mati

(30)

tanggal yang termuat dalam vonis hakim, walaupun larinya si murtad

atau kepergiannya si mafqud sudah 15 tahun sebelum vonis, dan harta

peninggalannya baru dapat diwarisi oleh ahli warisnya sejak tanggal

yang termuat dalam vonis itu.

c. Mati taqdiry ialah suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan

hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya

kematian seseorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi

pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum

racun. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan

keras, dapat juga disebabkan oleh yang lain, namun kuatnya perkiraan

atas akibat perbuatan semacam itu.

3. Ahli Warist (waarist) adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan

si Muwarrits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi.

Pengertian ahli waris di sini adalah orang yang mendapat harta waris,

karena memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun, tidak

semua keluarga dari pewaris dinamakan (termasuk) ahli waris. Demikian

pula orang yang berhak menerima (mendapat) harta waris mungkin saja di

luar ahli waris.

Dalam Alquran Surah An-Nisaa’ ayat 8, Allah berfirman :

(31)

Artinya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat(Kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka), anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (Pemberian sekedarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan) dan ucapkanlah kepada

mereka Perkataan yang baik.(An.Nisaa/4:8)

c) Syarat Mewarisi

Waris-mewarisi berfungsi sebagai pengganti kedudukan dalam

memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang

yang masih hidup yang ditinggalkannya (ahli waris). Oleh karena itu,

waris-mewarisi memerlukan syarat-syarat tertentu, yakni

1. Orang yang mewariskan (muwarrits) sudah meninggal

2. Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup

3. Tidak ada penghalang.13

Para ahli waris yang benar-benar masih hidup di saat kematian

muwarrits, baik matinya itu secara haqiqi, hukmy, ataupun taqdiry berhak

mewarisi harta peninggalannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 173 dijelaskan, seorang

terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat para pewaris.

13

(32)

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa

pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman

5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

4. Sebab-Sebab Mewariskan

Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab

seseorang itu mendapat warisan dari si mayit (ahli waris) dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

1. Perkawinan

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris)

disebabkan adanya hubungan perkawinan antar si mayit dengan seseorang

tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah suami atau istri dari si

mayit.14

Perkawinan yang menjadi sebab timbulnya hubungan kewarisan antara

suami dengan istri didasarkan pada dua syarat:

a. Perkawinan Sah menurut Syariat Islam

Artinya, syarat dan rukun perkawinan itu terpenuhi, atau antara

keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah

dilaksanakan dan telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta terlepas

dari semua halangan pernikhan walaupun belum kumpul (hubungan kelamin).

14

(33)

Ketentuan ini berlandasan pada keumuman ayat tentang mewarisi dan

tindakan Rasulullah SAW. Yang telah memberikan keputusan hukum tentang

kewarisan terhadap seorang suami yang sudah melakukan akad nikah, tetapi

belum melakukan persetubuhan dan belum menetapkan maskawinnya.

b. Perkawinannya Masih Utuh

Sesuatu perkawinan dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan itu

telah diputuskan dengan talak raj’i bagi seorang istri belum selesai.

Perkawinan tersebut di anggap masih utuh, karena di saat iddah masih

berjalan, suami masih mempunyai hak penuh untuk meruju’ kembali bekas istrinya yang masih menjalankan iddah, baik dengan perkataan maupun

dengan perbuatan, tanpa memerlukan kerelaan istri, membayar maskawin

baru, menghadirkan 2 orang saksi serta seorang wali.15

2. Kekerabatan

Salah satu sebab beralihnya harta, seorang yang telah meninggal dunia

kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau

kekerabatan antara keduanya. Yaitu hubungan nasab yang disebabkan oleh

kelahiran.

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang

mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan,

yaitu sebagai berikut.

a. Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mayit

(34)

b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asli) yang menyebabkan adanya si mayit.

c. Hawasyi’, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal dunia

melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak

turunnya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuan

3. Hubungan sebab Wala’

Wala’ adalah wala’-nya seorang budak yang dimerdekakan yaitu ikatan antara dirinya dengan orang memerdekakannya dan ahli warisnya yang

mewarisi dengan bagian ‘ashobah dengan sebab dirinya (ashobah bin nafsi)

seperti ikatan antara orang tua dengan anaknya, baik dimerdekakan secara

sukarela atau karena wajib seperti karena nadzar atau zakat atau kafarah

berdasarkan keumuman sabda nabi.16

4. Hubungan sesama Islam

Hubungan Islam yang dimaksud di sini terjadi apabila seseorang yang

meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu

diserahkan kepada perbendaharaan umum atau yang disebut Baitul Maal yang

akan digunakan oleh umat Islam. Dengan demikian, harta orang Islam yang

tidak mempunyai ahli waris itu diwarsi oleh umat Islam.

Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 174 yakni,

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah

16

(35)

- Golongan laki terdiri dari: ayah, anak laki, saudara

laki-laki, paman dan kakek

- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara

perempuan dan nenek

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda dan janda

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan

hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

5. Wasiat Wajibah

Tidak ada definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem

hukum Islam di Indonesia. Wasiat wajibah secara tersirat mengandung unsur-unsur

yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

1. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau

sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.

2. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan

tetapi dilakukan oleh negara.

3. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh

melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris

Wasiat wajibah dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul untuk

menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya

anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya. Di negara Islam di daerah

Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah, lembaga wasiat wajibah

(36)

cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal terlebih dahulu

dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah di daerah tersebut digunakan oleh

negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau pergantian tempat.

Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari

anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris.

Dalam sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk wasiat wajibah

menjadi kompetensi absolut dari pengadilan agama berdasarkan Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama berhubungan dengan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Pengadilan Agama.

Dalam menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil, para hakim

pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana

dinyatakan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Secara yuridis formil

ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal 209 memahami bahwa

wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat dan orang tua angkat.

Kompleksitas masyarakat Indonesia membuat hakim harus keluar dari yuridis

formil yang ada yaitu dengn menggunakan fungsi rechtsvinding yang dibenarkan oleh

hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur. Kewenangan tersebut

diberikan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Selain itu Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 229 juga memberikan

(37)

sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga memberikan

putusan yang sesuai dengan rasa keadian.

Pada prinsipnya hakim memiliki kewenangan menggunakan fungsinya

sebagai rechtsvinding atau dalam hukum Islam disebut ijtihad sebagai alternatif.

Dalam hal wasiat wajibah yang sempit pada anak angkat dan orang tua angkat maka

hakim wajib menggunakan kewenangan fungsi rechtsvinding atau ijtihad-nya. Akan

menjadi sulit untuk menjalankan yuridis formil dalam Kompilasi Hukum Islam

terhadap orang-orang dekat pewaris di luar anak angkat dan orang tua angkat. Justru

apabila hakim tidak melakukan rehtvinding karena tidak ada hukum yang mengatur

(ius coria novit) maka hakim dapat diberikan sanksi (pasal 22 Algemen Bepallingen

van Wetgeving Voor ).17

B. Anak Luar Nikah (Zina)

1. Perbedaan Anak Luar Nikah dengan Anak Zina

Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan,

sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria

yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar kawin adalah hubungan seorang

pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan

mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama

yang dipeluknya.18

17

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

18

(38)

Pengertian anak luar nikah/kawin menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan,19 adalah anak yang dilahirkan dari akibat pergaulan/hubungan

seks antara pria dan wanita yang tidak dalam perkawinan yang sah antara mereka dan

dari perbuatan ini dilarang oleh pemerintah maupun Agama.

Dalam praktik hukum perdata pengertian anak luar kawin ada dua macam,

yaitu (1) apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat dengan perkawinan

ini, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dengan wanita atau pria lain yang

mengakibatkan hamil dan melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak zina,

bukan anak luar kawin, (2) apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama

bujang, mereka mengadakan hubungan seksual dan hamil serta melahirkan anak,

maka anak itu disebut anak luar nikah. Beda keduanya adalah anak zina dapat diakui

oleh orang tua biologisnya, sedangkan anak luar kawin dapat diakui oleh orang tua

bilogisnya apabila mereka menikah, dalam akta perkawinan dapat dicantumkan

pengakuan (erkennen) di pinggir akta perkawinannya.20

Hukum islam juga menetapkan anak di luar kawin adalah (1) anakmula’anah,

yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di-lian oleh suaminya.

Kedudukan anak mula’anah ini hukumnya sama dengan anak zina, ia tidak mengikuti

nasab suami ibunya yang me-lian, tetapi mengikuti nasab ibu yang melahirkannya,

ketentuan ini berlaku juga terhadap kewarisan, perkawinan dan lain-lain, (2) anak

19

Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.

20

(39)

syubhat, kedudukannya tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang menggauli

ibunya, kecuali kalau laki-laki itu mengakuinya.21

Kalau anak luar perkawinan ialah anak yang timbul dari pergaulan tidak sah

antara seorang pria dan wanita, hal ini berarti merupakan pelanggaran terhadap

ketentuan perkawinan, di mana anak tersebut sebenarnya tidak bersalah, tidak

berdosa dan tidak bernoda, sebab seluruh kesalahan yang berlaku adalah dari dua

manusia yang melakukan kesalahan itu. Dua manusia inilah yang berdosa, bersalah

dan bernoda, merekalah yang bertanggung jawab dan mereka pulalah yang menerima

ganjaran atas perbuatan mereka.22

2. Pengertian Zina

Kata zina secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata kerja

-yang berarti berbuat jahat, sedangkan secara terminologi zina berarti hubungan

seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui vagina bukan dalam

akad pernikahan atau yang menyerupai akad ini. Zina juga dapat didefinisikan

sebagai hubungan seksual antara laki-laki dan seorang wanita yang tidak atau belum

diikat oleh suatu perkawinan tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan seksual

tersebut dan tidak ada hubungan pemilikan, seperti tuan dan hamba sahaya wanita.23

Zina adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan

seorang perempuan yang tidak terikat dalam perkwainan yang sah secara syariah

21

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. Ke-1, h.83.

22

R.Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Sumur Bandung),h.69

23

(40)

Islam, atas dasar suka sama suka dari kedua belah pihak, tanpa keraguan (syubhat)

dari pelaku atau para pelaku zina bersangkutan.24

Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, zina adalah hubungan seksual antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak atau belum diikat dalam

perkawinan tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan seksual tersebut.

Menurut fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi, Zina adalah hubungan seksual

yang dilakukan seorang laki-laki secara sadar terhadap perempuan yang disertai nafsu

seksual dan di antara mereka tidak atau belum ada ikatan perkawinan secara sah atau

ikatan perkawinan syubhat, yaitu perkawinan yang diragukan keabsahannya, seperti

ikatan perkawinan tanpa wali nikah, tanpa saksi, atau tanpa kawin mut’ah.

Beberapa definisi lain tentang pengertian zina yang dikemukakan oleh

berbagai ulama mazhab menunjukkan pengertian yang hampir sama. Hanya seperti

ulama Hanabila dan ulama Zidiyah menambahkan jimak melalui dubur.25

Kesimpulannya adalah, secara ilmiah, perzinaan mengandung banyak

mudharat yang tidak diragukan lagi. Ia merupakan faktor utama yang penyebab

kerusakan dan amburadulnya moralitas. Selain itu, ia dapat menjadi penyebab

tersebarnya berbagai macam jenis penyakit dan mendorong laki-laki untuk

membujang, dan lebih senang berpacaran. Karena itu, ia merupakan faktor utama

24

Neng Djubaidah, Perzinaan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.119.

25

(41)

terjadinya kerusakan, tindakan yang melampaui batas, tersebarnya prostitusi, serta

timbulnya ragam tindak kriminal.26

3. Dasar Hukum dan Macam-Macam Zina

Dasar hukum tentang larangan zina terdapat dalam beberapa ayat dan

beberapa surat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadist Rasulullah saw. 1. Dasar Hukum dalam Al-Qur’an

Dasar hukum yang ditentukan dalam Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan utama dalam hukum Islam berdasarkan surat an-nisa ayat 59, didapati

beberapa surat dan ayat-ayat yang menentukan larangan melakukan perbuatan zina

dan perzinaan, serta hukuman yang secara pasti (qath’i) telah ditentukn dalam

ayat-ayat Allah, maupun dalam hadist Rasulullah saw sebagai sumber hukum yang kedua

setelah Al-Qur’an27. Dasar hukum keharaman zina di dalam Al-Quran, antara lain terdapat dalam surah An-Nur ayat 2:







































































رونلا)

/

٢٤:٢

(

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhir, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka

disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.(QS. An-Nur/24:2)

26

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h.231

27

(42)

Dalam hadist Rasulullah saw disebutkan bahwa zina termasuk salah satu perbutan dosa besar.

ّلا ْع ل ق

أ ّلا ل

لج ل ق

ْع ْ أ ْ لا

ل ق ّخ

اً ّل عْ ت ْ أ ل ق ّلا

ْ أ ل ق ْ أ مث ل ق عم معْط ْ أ ةف خم ل لتْ ت ْ أ مث ل ق ْ أ مث

ّلا ل ْأف جةّ ّح ا ت

ْ ت

.

ّحْل لإ ّلا م ح تلا ْف لا ّتْ ل خآ لإ ّلا عم عْ ل لا

ل

ْلا ل ْفع م ثأ ّّْ ل ْلعْف ْ م ْ

ا ع

.

Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud berkata ada seseorang bertanya kepada

Rasulullah Saw wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?

Beliau menjawab, kamu menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia-lah yang menciptakan kamu, lalu ia bertanya lagi, kemudian apalagi? Kamu membunuh anakmu karena takut tidak bisa memberinya makan, ia pun bertanya lagi, kemudian apalagi? Beliau menjawab, kamu berzina dengan istri tetanggamu, kemudian Allah

menurunkan ayat sebagai penegasan jawaban Rasulullah di atas, “Dan orang-orang

yang tidak menyembah Tuhan lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang bener dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu niscaya ia mendapatkan (pembalasan) dosanya sanksi hukumnya dilipatgandakan. (HR. Al-Bukhari, Muslim,

Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).28

Dari beberapa dalil nash di atas, baik yang terdapat dalam Alquran maupun

dalam hadist, dapat ditegaskan bahwa perzinaan merupakan perbuatan dosa dan

pelanggaran yang bersifat mutlak karena zina merupakan perbuatan yang dilarang

dalam Islam, maka bagi setiap muslim yang melanggar harus dikenai sanksi hukuman

hadd. Dapat berupa hukuman rajam dan dapat berupa hukuman dera, cambuk atau

28

Shahih Bukhori, Hadits No. 6978, dikutip dari Maktabah As-Syamilah Bab Zina halaman 62 juz 23. Matan Hadits: ْ ع لئا أ ْ ع ش ْعأْلا ْ ع ج ث ح ع ْ ة ْتق ث ح ل ْح ش ْ ْ ع

(43)

jilid seratus kali, tergantung apakah pelaku masuk dalam kategori zina muhsan atau

zina ghairu muhsan.29

2. Macam-Macam Zina

Apabila perzinahan dilakukan oleh meraka yang belum pernah menikah

secara sah, artinya status mereka masih perjaka atau gadis maka tindak pidana ini

disebut dengan zina ghairu muhshan. Sedangkan bila perzinaan oleh mereka yang

sudah pernah menikah atau pernah melakukan hubungan bada secara halal, baik

status mereka masih punya pasangan secara halal maupun sudah menduda atau

menjada, maka tindak pidana yang mereka lakukan disebut dengan zina muhshan.

4. Akibat Perbuatan Zina

Selain akibat yuridis berupa hukuman yang dikenakan kepada pelaku tindak

pidana perzinaan, para ulama juga mengemukakan beberapa persoalan yang timbul

akibat perzinaan tersebut, yaitu sebagai berikut.

1. Dalam Masalah Perkawinan

Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa orang mukmin tidak boleh

mengawini orang yang telah melakukan perzinaan. Hal ini didasarkan pada firman

Allah SWT dalam surah An-Nur ayat 3 yang artinya

















































رونلا)

/

٢٤:٢

(

29
(44)

Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yng berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-lkai yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (QS.An-Nur/24:3)

Atas dasar arti dalil diatas, ibnu Mas’ud sebagaimana dikutip oleh Asy

-Syaukani berpendapat bahwa laki-laki yang berzina dengan seorang wanita kemudian

menikahinya, maka keduanya selamanya dianggap berzina. Sebab ayat di atas sebagai

penegasan diharamkannya wanita pezina.30

2. Dalam Penentuan Mahram (Nasab)

Ulama mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat, bahwa hubungan seksual di luar nikah tidak pernah akan mengakibatkan hubungan mahram di antara

kedua belah pihak. Wanita yang berzina itu boleh kawin dari keluarga laki-laki yang

menzinainya. Sebaliknya laki-laki yang menzinainya itu boleh saja kawin dengan ibu

dan keluarga dari wanita yang dizinainya. Dalam persoalan ini, Imam Asy-Syafi’i konon berpendapat, bahwa zina memang tidak akan berpengaruh dalam masalah ada

atau tidak adanya hubungan kemahraman.

Oleh sebab itu, seorang ayah biologis, jika ia bersedia, tetap boleh menikah

dengan anak biologisnya yang memang darah dagingnya. Tentu saja hal ini tidak

mungkin atau sangat kecil sekali kemungkinannya terjadi. Jika terjadi pun, tentu

bukan pernikahan, melainkan persetubuhan paksa atau pemerkosaan bapak atas anak

perempunnya, hingga dapat terjadi kasus inses.

30

(45)

Akan tetapi, ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa apa yang diharamkan

dalam pernikahan yang sah, haram pula dalam hubungan seksual di luar nikah.oleh

karena itu, menurut mereka hubungan mahram dan muhrim berlaku bagi pasangan

tersebut sebagaimana berlaku dalam perkawinan yang sah. Sebab arti nikah secara

bahasa menurut Abu Hanifah adalah hubungan badan itu sendiri, bukan nikahnya.

Namun tetap saja, hak keperdataan anak tidak akan pernah diperoleh jika kontak

seksual yang terjadi tidak didasarkan atas akad nikah yang sah, baik sah menurut

agama, maupun secara negara.

5. Warisan Anak Zina

Adapun anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya melalui jalan yang

tidak syar’i, atau itu buah dari hubungan yang diharamkan.31

Masing-masing dari anak zina dengan anak lian tidak bisa mewarisi antara

anak itu, ayahnya dan kerabat ayahnya berdasarkan ijma ulama. Dia hanya mewarisi

dari garis ibu saja, sebab nasabnya dari arah ayah terputus. Maka dia tidak bisa

mewarisi melalui ayah, sementara dari arah ibu nasabnya terbukti. Maka, nasabnya

kepada ibunya pasti, sebab syara’ tidak menagnggap zina sebagai jalan yang legal

(syar’i) untuk membuktikan nasab dan juga karena anak li’an tidak terbukti nasabnya

dari ayahnya.

Kalau seorang mati meninggalkan ibu, saudara laki-laki ibu, saudara laki-laki

seayah ilegal, ibu memperoleh dua pertiga dari fardh dan radd, saudara laki-laki

31

(46)

seibu sepertiga baik fardh dan radd. Saudara laki-laki seayah tidak mendapatkan

apa-apa, sebab dia ilegal.

Jika anak zina atau anak li’an mati meninggalkan ibu, ayahnya ibu, dan

saudara laki-laki ibu, maka semua tirkah untuk ibu, yaitu sepertiga dengan fardh dan

sisa melalui radd. Ayah ibu (kakek anak itu dari ibunya) saudara ibu (paman anak itu)

tidak mendapatkan apa-apa karena keduanya dzawil arham.

Kalau salah seorang dari anak zina dan lian mati meninggalkan ibu, saudara

laki-laki seibu, maka ibu mendapatkan dua pertiga dengan fardh dan radd. Saudara

laki-laki seibu mendapatkan sepertiga melalui fardh dan radd.32

Menurut para pendapat yang dianut oleh Malik bin Anas, Syafi’i, dan Abu

Hanafiah beserta pengikutnya.

Apabila ibunya masih ada, maka ibunya mendapat sepertiga (1/3) bagian dan

selebihnya diserahkan ke baitulmal. Juga apabila dia mempunyai saudara-saudara

seibu, maka mereka inipun mendapat sepertiga (1/3) bagian. Selanjutnya apabila

semua ahli waris yang disebut tidak ada, maka semua harta warisan itu jatuh ke

Perbendaharaan Umum.33

32

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 10, (Jakata: Gema Insani DarulFikri, 2011), h.488.

33

(47)

37

BAB III

PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama

Pengadilan Agama telah ada sejak zaman kesultanan, Secara yuridis baru

diakui oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 19 Januari 1882 dengan

dikeluarkannya surat keputusan No. 24 Stb. 1882 No. 152. Lahirnya teori hukum adat

oleh Van Vollen Hoven dan Snouck Hurgroje dengan teori Receptie, keberadaan

Peradilan Agama mulai digugat yang menganggap Stb.1882 No.152 adalah suatu

kesalahan. Yang pada intinya diganti 262 yang berisikan “memperhatikan

Undang-undang Agama”.1

Setelah Indonesia merdeka, Presiden mempertegas lewat Peraturan Preseiden

No.2 Tanggal 10 Oktober 1945 dalam pasal I, dijelaskan: segala badan-badan

Neagara yamg ada sampai berdirinya Indonesia Tanggal 17 Agustus 1945 selama

belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar, maka tetap berlaku

asalkan tidak bertentangan dengan Undang-undang tersebut.

Padamulanya Pengadilan Agama di wilayah Jakarta terdapat tiga kantor

cabang, yaitu:

a. Kantor cabang Pengadila Agama Jakarta Utara

b. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah

1

Dadang Muttaqien, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Dalam

Perspektif Sosiologi Hukum Artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari

(48)

c. Kantor Agama istimewa Jakarta Raya sebagai Induk.

Ketiga kantor cabang di atas termasuk kedalam wilayah yurisdiksi hukum

cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta.

Pada tanggal 16 Desember 1976, istilah Mahkamah Islam Tinggi berkembang

menjadi Pengadilan Tinggi Agama atas surat keputusan Menteri Agama No.71 Tahun

1976, akan tetapi realisasi pelaksanaannya terjadi pada tanggal 30 Oktober 1987 lalu

secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta Menjadi

wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.2 Agar Perkembangan yang terjadi

dari masa kemasa terbentuklah Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai

perkembanagan masyarakat Jakarta.

Kantor pengadilan Agama selalu mengalami perpindahan tempat.Tahun 1976

kantor cabang pengadilan Agama pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan

dengan menempati serambi masjid Syarif Hidayatullah di mana sebutan cabang itu

dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan.3 Hal ini atas inisiatif kepala

Kandepag Jakarta Selatan yang waktu itu di jabat oleh Bapak Drs. H. Muhdi Yasin,4

namun penetapan kantor di serambi masjid ini tidak bertahan lama hanya sampai

tahun 1979.

2

Sayed Usman,”Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari www.pa-jaksel.net.

3

Sayed Usman,”Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari www.pa-jaksel.net.

4

(49)

Pada bulan September Tahun 1979 kantor pengadilan Agama di pindahkan

kembali di gedung baru jalan Ciputat Raya Pondok Pinang dengan status milik

PGAN Pondok Pinang yang dipimpin oleh Bapak H. Alim BA, kemudian pindah lagi

ke Jalan Rambutan VII No.48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan yang

diketuai oleh Drs. H. Djabir Manshur, SH.5 Di mana gedung ini merupakan hibah dari

PEMDA DKI Jakarta. Dan pada akhirnya berpindah terakhir di Jalan R.M Harsono

RT 07/05 Ragunan Jakarta Selatan di mana gedung ini merupakan gedung termewah

dan terbesar dibandingkan kantor pengadilan agama lainnya di Jakarta.

Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representative tersebut

di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam segala hal, baik

dalam pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam hal peningkatan IT yang

sudah semakin canggih disertai dengan program-program yang menunjang tugas

pokok, seperti Program SIADPA yang sudah berjalan dan terintegrasi dengan TV

Media Center, Touch Screen (KIOS-K) serta beberapa fitur tambahan dari situs Web

pa-jakartaselatan.go.id

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan

di dalampasal 24 ayat 2 bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan

peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama dengan badan

Peradilanlainnya di lingkungan Peradilan Umum. PTUN (Peradilan Tata Usaha

Negara) dan Peradilan Militer merupakan salah satu badan peradilan pelaku

5

Gambar

gambaran umum Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang berkaitan dengan sejarah
Grafika, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa nilai rata-rata hasil belajar siswa tentang penggunaan pendekatan konstruktivise untuk meningkatkan hasil

Murid akan dapat melakukan kemahiran bola sepak dalam permainan kecil dan sebagai aktiviti riadah.. NILAI Semangat pasukan -Kerjasama ABM Bola sepak Bola jaring

Sistem pendukung keputusan dirancang untuk menunjang seluruh tahapan pembuatan keputusan, yang dimulai dari tahap mengidentifikasi masalah, memilih data yang

KEDELAPAN : Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah (SKPD/UKPD) yang belum menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada diktum diktum KESATU, diktum KEDUA

Daya tarik wisata pantai yang menempati prioritas utama dalam pengembangan adalah Pantai Marina didasarkan pada skor potensi gabungan tertinggi, disusul dengan

kesempatan dari dokter spesialis karena dokter spesialis tidak selalu berada di lingkungan rumah sakit/ UGD selama 24 jam, maka untuk tindakan medik yang dilakukan atas

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penelitian ini telah mencapai tujuannya yaitu concurrency control dapat mengatur operasi-operasi di dalam semua transaksi yang

koloni yang tumbuh dan merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah. mikroba dalam suspensi tertentu