• Tidak ada hasil yang ditemukan

7. Pemberian Imunisasi Campak

2.2 Sanitasi Lingkungan

2.2.2 Ruang Lingkup Kesehatan Lingkugan

2.2.2.4 Sarana Pembuangan Sampah

Sampah adalah semua zat/benda yang sudah tidak terpakai lagi baik berasal dari rumah-rumah maupun sisa-sisa proses industri (Enjang, 2000). Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak di pakai lagi oleh manusia, atau benda yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang (Slamet, 2009).

Sampah erat kaitanya dengan kesehatan masyarakat karena dari sampah tersebut akan hidup berbagai mikroorganisme penyebab penyakit dan juga binatang serangga sebagai pemindah/penyebar penyakit (vektor).

a) Jenis-Jenis Sampah

Sampah padat dapat dibagi menjadi berbagai jenis, yaitu:

1. Berdasarkan zat kimia yang terkandung di dalamnya, sampah dibagi menjadi :

a. Sampah an-organik, adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk, misalnya logam/besi, pecahan gelas, plastik, dan sebagainya.

b. Sampah organik adalah sampah yang umumnya dapat membusuk, misalnya sisa-sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan, dan sebagainya.

a. Sampah yang mudah terbakar, misalnya kertas, karet, kayu, plastik, kain bekas, dan sebagainya.

b. Sampah yang tidak mudah terbakar, misalnya kaleng, besi, gelas, dan sebagainya.

3. Berdasarkan karakteristik sampah (Chandra, 2007) :

a. Garbage, yaitu terdiri atas zat-zat yang mudah membusuk dan dapat terurai dengan cepat, khususnya jika cuaca panas. Sampah jenis ini dapat ditemukan di tempat pemukiman, rumah makan, rumah sakit, pasar, dan sebagainya.

b. Rubbish, terbagi menjadi 2 yaitu:

1. Yang mudah terbakar terdiri atas zat-zat organik, seperti kertas, kayu, karet, daun kering, dan sebagainya.

2. Yang tidak mudah terbakar terdiri atas zat-zat anorganik, seperti kaca, kaleng, dan sebagainya.

c. Ashes (abu), adalah semua sisa pembakaran dari industri.

d. Street sweeping (sampah jalanan), adalah sampah dari jalan atau trotoar akibat aktivitas mesin atau manusia.

e. Sampah industri, adalah sampah yang berasal dari pertanian, perkebunan, dan industri.

f. Dead animal (bangkai binatang), adalah segala jenis bangkai binatang besar (anjing, kucing, dan sebagainya) yang mati akibat kecelakaan atau secara alami.

g. Abandoned vehicle (bangkai kendaraan), adalah sampah yang berasal dari bangkai kendaraan.

h. House hold refuse, adalah jenis sampah campuran (misalnya, garbage, ashes, rubbish) yang berasal dari perumahan.

i. Demolision waste, sampah yang berasal dari sisa pembangunan gedung, seperti tanah, batu, dan kayu.

j. Santage solid, adalah sampah yang terdiri atas benda-benda solid atau kasar yang biasanya berupa zat organik, pada pintu masuk pusat pengolahan limbah cair.

k. Sampah khusus, adalah sampah yang memerlukan penanganan khusus seperti kaleng dan zat radioaktif.

b) Transmisi Penyakit Melalui Sampah

Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat di kelompokkan menjadi efek langsung dan tidak langsung. Yang dimaksud dengan efek langsung adalah efek yang disebabkan karena kontak yang langsung dengan sampah tersebut. Misalnya, sampah beracun, sampah yang korosif terhadap tubuh, yang karsinogenik, teratogenik, dan lainnya. Selain itu ada pula sampah yang mengandung kuman pathogen, sehingga dapat menimbulkan penyakit. Sampah ini bisa berasal dari sampah rumah tangga selain sampah industri.

Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan masyarakat akibat proses pembusukan, pembakaran, dan pembuangan sampah. Efek tidak langsung lainnya berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak di dalam sampah. Sampah bila ditimbun sembarangan dapat dipakai sarang lalat dan tikus. Seperti kita

ketahui, lalat adalah vektor berbagai penyakit perut. Demikian juga halnya dengan tikus, selain merusak harta benda masyarakat, tikus juga sering membawa pinjal yang dapat menyebarkan penyakit pest (Slamet, 2009).

Menurut Kusnoputranto (2000), beberapa jenis pengaruh sampah yang tidak dikelola dengan baik terhadap kesehatan adalah:

1. Penyakit-penyakit saluran pencernaan (diare, cholera, thypus, dan lain-lain) dapat meningkatkan angka kesakitannya karena banyaknya lalat yang hidup berkembang biak di lingkungan, terutama di tempat-tempat sampah.

2. Penyakit demam berdarah (haemorhagic fever) meningkat insidennya karena banyanya vektor penyakit tersebut (aedes aegipty) yang hidup berkembang biak di lingkungan yang pengelolaan sampah kurang baik (banyak kaleng-kaleng dengan genangan-genangan air dan lain-lain). 3. Banyaknya insiden penyakit jamur (penyakit kulit atau parasit yang lain)

di masyarakat yang penyebab penyakitnya hidup dan berkembang biak di tempat pengumpulan dan pembuangan sampah yang kurang baik. Baik penularannya melalui kontak langsung ataupun melalui udara.

4. Adapun penyakit-penyakit yan ditularkan melalui binatang, misalnya taenia (cacing pita). Hal ini dapat terjadi bila sampah untuk makanan ternak tidak melalui pengolahan yang telah ditentukan, sehingga sisa-sisa makanan/potongan garbage yang masih mengandung bibit penyakit ikut terus dalam mata rantai penularan (sapi,babi).

5. Potongan besi, kaleng, seng serta pecahan-pecahan beling dapat menyebabkan kasus kecelakaan pada pekerja atau masyarakat.

c) Syarat Tempat Sampah Yang Sehat Syarat-syarat tempat sampah antara lain :

1. Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, kedap air dan tidak mudah rusak.

2. Mempunyai tutup,mudah dibuka, dikosongkan isinya serta dibersihkan, sangat dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori tangan.

3. Mudah diangkut oleh satu orang. 2.2.2.5 Angka Kepadatan Lalat

a) Kepadatan Lalat

Cara penilaian baik buruknya suatu lokasi adalah dilihat dari angka kepadatan lalatnya. Dalam menentukan kepadatan lalat, pengukuran terhadap populasi lalat dewasa lebih tepat dan bisa diandalkan daripada pengukuran populasi larva lalat. Tujuan dari pengukuran angka kepadatan lalat adalah untuk mengetahui tingkat kepadatan lalat, sumber-sumber tempat berkembang biaknya lalat, dan jenis-jenis lalat (Depkes RI, 1992).

Lalat merupakan serangga dari Ordo Diptera yang mempunyai sepasang sayap biru berbentuk membran. Semua bagian tubuh lalat bisa berperan sebagai alat penular penyakit (badan, bulu pada tangan dan kaki, feces, dan muntahannya). Kondisi lingkungan yang kotor dan berbau dapat merupakan tempat yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan bagi lalat rumah (Widyati, dan

Yuliarsih, 2002). Saat ini terdapat sekitar ±60.000-100.000 spesies lalat, tetapi tidak semua spesies perlu diawasi karena beberapa diantaranya tidak berbahaya terhadap kesehatan masyarakat (Santi, 2001).

Menurut Sembel (2009), selain dapat mengganggu ketenteraman dalam rumah, lalat juga dapat menularkan sekitar 100 jenis patogen yang dapat mengakibatkan penyakit pada manusia atau hewan. Di antaranya adalah diare, tipoid, kolera, disentri, tuberculosis, antraks, berbagai jenis cacing, dan patogen-patogen penyakit lainnya. Patogen penyakit biasanya terbawa oleh lalat dari berbagai sumber seperti sisa-sisa kotoran, tempat pembuangan sampah, pembuangan kotoran manusia, dan sumber-sumber kotoran yang lain, kemudian patogen-patogen yang melekat pada mulut dan bagian-bagian tubuh lainnya dipindahkan ke makanan manusia. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengukuran kepadatan lalat untuk mengetahui tingkat kepadatan lalat dan upaya pengendalian populasi lalat.

Dalam pengukuran angka kepadatan lalat, sangat penting untuk menentukan lokasi pengukuran. Lokasi pengukuran kepadatan lalat adalah yang berdekatan dengan kehidupan/ kegiatan manusia karena berhubungan dengan kesehatan manusia, antara lain (Depkes RI, 1992):

a. Pemukiman penduduk

b. Tempat-tempat umum (pasar, terminal, rumah makan, hotel, dan sebagainya). c. Lokasi sekitar Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah yang

d. Lokasi sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang berdekatan dengan pemukiman.

Ada beberapa cara yang digunakan untuk mengukur tingkat kepadatan lalat antara lain (Depkes RI, 1992):

1. Scudder grille

Scudder grille dapat dipakai untuk mengukur tingkat kepadatan lalat dengan cara diletakkan diatas umpan, misalnya sampah atau kotoran hewan, lalu dihitung jumlah lalat yang hinggap diatas scudder grille itu dengan menggunakan hand counter (alat penghitung).

2. Sticky trap

Pemasangan sticky trap dilakukan untuk menjebak lalat dalam pemantauan populasi dan keberadaan lalat di lapangan. Pemasangan sticky trap dilakukan selama 24 jam. Populasi lalat yang tertangkap pada sticky trap dihitung dengan menggunakan hand counter (alat penghitung).

3. Fly Grill

Fly Grill dipakai apabila lalat yang dijumpai pada daerah yang disurvei secara alamiah tertarik untuk hinggap pada alat tersebut. Jadi pemakaian fly grill ini didasarkan pada sifat lalat yang cenderung hinggap pada tepi-tepi alat tersebut yang bersudut tajam.

Fly grill ini dapat dibuat dari bilahan kayu yang lebarnya 2 cm dan tebalnya 1 cm, dengan panjang masing-masing 80 cm sebanyak 16-24 buah. Bilahan-bilahan kayu tersebut hendaknya di cat berwarna putih. Bilahan-bilahan yang telah disiapkan dibentuk berjajar dengan jarak 1-2 cm pada kerangka kayu yang telah

disiapkan dan sebaiknya pemasangan bilahan pada kerangkanya mempergunakan kayu sekrup sehingga dapat dibongkar pasang setelah dipakai.

Cara pengoperasian fly grill adalah sebagai berikut :

a. Letakkan fly grill di tempat yang akan dihitung kepadatan lalatnya.

b. Dipersiapkan stopwatch untuk menentukan waktu perhitungan selama 30 detik.

c. Dihitung banyaknya lalat yang hinggap selama 30 detik dengan menggunakan

counter. Lalat yang terbang dan hinggap lagi dalam waktu 30 detik tetap dihitung.

d. Jumlah lalat yang hinggap dicatat.

e. Lakukan perhitungan secara berulang sampai 10 kali dengan cara yang sama. f. Dari lima kali perhitungan yang mendapatkan nilai tertinggi dihitung rata

ratanya, maka diperoleh angka kepadatan lalat pada tempat tersebut.

Menurut Depkes RI (2001), penghitungan kepadatan lalat menggunakan

fly grill sudah mempunyai angka recommendation control yaitu : 0-2 : Tidak menjadi masalah (rendah).

3-5 : Perlu dilakukan pengamatan terhadap tempat-tempat berkembangbiak lalat seperti tumpukan sampah, kotoran hewan, dan lain-lain (sedang). 6-20 : Populasi padat dan perlu pengamatan lalat dan bila mungkin

direncanakan tindakan pengendaliannya (tinggi).

>21 : Populasi sangat padat dan perlu diadakan pengamanan terhadap tempat berkembangbiaknya lalat dan tindakan pengendalian (sangat tinggi/sangat padat).

b) Bionomik Lalat

1. Tempat Perindukan

Tempat yang disenangi lalat adalah tempat basah, benda-benda organik, sampah basah, kotoran manusia, kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan busuk, dan kotoran yang menumpuk secara kumulatif (di kandang) (Santi,2001).

2. Jarak Terbang

Jarak terbang lalat sangat tergantung pada adanya makanan yang tersedia. Jarak terbang efektif adalah 450-900 meter. Lalat tidak kuat terbang menantang arah angin, tetapi sebaliknya lalat akan terbang mencapai 1 km (Depkes RI, 1992).

3. Kebiasaan Makan

Lalat dewasa sangat aktif sepanjang hari terutama pada pagi hingga sore hari. Serangga ini sangat tertarik pada makanan manusia sehari-hari seperti gula, susu, makanan olahan, kotoran manusia dan hewan ,darah serta bangkai binatang. Sehubungan dengan bentuk mulutnya, lalat hanya makan dalam bentuk cairan, makanan yang kering dibasahi oleh lidahnya terlebih dahulu baru dihisap air merupakan hal yang penting dalam hidupnya, tanpa air lalat hanya hidup 48 jam saja. Lalat makan paling sedikit 2-3 kali sehari (Santi, 2001).

4. Tempat Istirahat

Pada Waktu hinggap lalat mengeluarkan ludah dan tinja yang membentuk titik hitam. Tanda-tanda ini merupakan hal penting untuk mengenal tempat lalat istirahat. Pada siang hari lalat tidak makan tetapi beristirahat di lantai dinding, langit-langit, rumput-rumput dan tempat sejuk, juga menyukai tempat yang berdekatan dengan makanan dan tempat berbiaknya, serta terlindung dari angin dan matahari yang terik. Didalam rumah, lalat istirahat pada pinggiran tempat makanan, kawat listik dan tidak aktif pada malam hari. Tempat hinggap lalat biasanya pada ketinggian kurang dari 5 meter (Santi, 2001).

5. Lama Hidup

Lama kehidupan lalat sangat tergantung pada makanan, air dan temperature. Pada musim panas berkisar antara 2-4 minggu, sedangkan pada musim dingin bisa mencapai 70 hari (Depkes RI, 1992).

6. Temperatur dan Kelembaban

Lalat mulai terbang pada temperatur 15°C dan aktivitas optimumnya pada temperatur 21°C. Pada temperatur dibawah 7,5°C tidak aktif dan di atas 45°C terjadi kematian pada lalat. Kelembaban erat hubungannya dengan temperatur setempat. Dimana kelembaban ini berbanding terbalik dengan temperatur. Jumlah lalat pada musim hujan lebih banyak daripada musim panas. Lalat sensitif terhadap angin kencang, sehingga kurang aktif untuk keluar mencari makan waktu kecepatan

angin tinggi (Depkes RI, 1992). 7. Fluktuasi Jumlah Lalat

Lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik (menyukai cahaya). Pada malam hari tidak aktif, namun bisa aktif dengan sinar buatan. Efek sinar pada lalat tergantung sepenuhnya pada temperatur dan kelembaban. jumlah lalat akan meningkat jumlahnya pada temperatur 20 º C – 25 º C dan akan berkurang jumlahnya pada temperatur < 10 º C atau > 49 º C serta kelembaban yang optimum 90 % (Depkes RI, 1992). 8. Warna dan Aroma

Lalat tertarik pada cahaya terang seperti warna putih, lalat juga takut pada warna biru. Lalat tertarik pada bau-baun yang busuk, termasuk bau busuk dan esen buah. Bau sangat berpengaruh pada alat indra penciuman, yang mana bau merupakan stimulus utama yang menuntun serangga dalam mencari makanannya, terutama bau yang menyengat. Organ komoreseptor terletak pada antena, maka serangga dapat menemukan arah datangnya bau (Depkes RI, 1992).

Dokumen terkait