• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA

A. Sarana Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan menurut Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and

punishment by mass media).

Dengan demikian kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral, ada keseimbangan sarana “penal” dan “non penal”.

37

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan melalui sarana penal biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.

Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud M.D. menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan politik huku sebagai kebijakan hukm yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencaakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang adal dibelakang perbuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperaatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi-materi dan pasal-pasal maupun dalam implementasi dan penegakannnya.38

38

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Menurut M. Solly Lubis, politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.39

Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.40

Jika demikian halnya, maka menurut Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pasa suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.41

Pandangan Sudarto di atas, sejalan dengan Marc Ancel, menurutnya in

modern science has primery three essencial componens: criminology, criminal law, and penal policy. Criminology, mempelajari kejahatan dalam semua aspek.

Selanjutnya, Criminal law menjelaskan dan menerapkan peraturan-peraturan positif atas reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan. Penal policy baik sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis, utamanya untuk memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan menjadi petunjuk tidak hanya kepada legislator yang merancang peraturan perundang-perundangan pidana, tetapi juga pengadilan di mana peraturan-peratuan itu

39 Ibid. 40 Ibid. 41 Ibid, h. 14

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

diterapkan dan penyelenggarakan pemasyarakatan (prison administration) yang memberi pengaruh praktis terhadap putusan pengadilan.42

1) formulasi (kebijakan legislatif);

Dengan demikian, penal policy atau politik/kebijakan hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif).

Upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal

policy” atau “penal law enforcement policy” yang

fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

2) aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial); 3) eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).43

Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif tersebut menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi atau operasioanalisasi hukum pidana berikutnya.44

Dengan adanya tahap “formulasi” maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya pencegahan dan

42

Ibid, h. 16

43

Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 75.

44

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

penanggulangan melalui “penal policy”. Oleh karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.45

Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.46

Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kriminalisasi” yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana.47

Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut maslah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut:48

1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan

nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

45

Barda Nawawi Arief, Loc.Cit

46

Teguh Prasetyo, Op. Cit, h. 22

47

Ibid, h. 23

48

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,: yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat;

3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle);

4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari bahan-bahan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).49

Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada Agustus 1980 di Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan bahwa masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminil yang dianut oleh bangsa Indonesa, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.50

Masalah penentuan sanksi apa yang dikenakan kepada pelanggar, harus memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Ted Honderich sebagaimana yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, berpendapat bahwa suatu pidana dapat

49

Ibid, h. 24

50

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical deterrents) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) pidana itu sungguh-sungguh mencegah;

2) pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih

berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan;

3) tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan

bahaya/kerugian yang lebih kecil.51

Menurut Bassiouni sebagaimana yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, tujuan-tujuan yang ingi dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi, yaitu antara lain:

1) Pemeliharaan tertib masyarakat;

2) Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;

3) Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para penegak hukum;

4) Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.52

Pendekatan humanistik diatas menuntut pula diperhatikannya ide individualisasi pidana dalam kebijakan hukum pidana yang antara lain mengandung beberapa karakteristik sebagai berikut:

51

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1996, h. 38.

52

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

1) pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal); 2) pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas);

3) pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi)dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.53

Dokumen terkait