• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sarana-sarana Sastra

Dalam dokumen BAB II ANALISIS DATA. A. Analisis Struktural (Halaman 88-102)

Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode pengarang memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena denganya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi. (Stanton, 2007: 46-50). Judul, sudut pandang, gaya dam tone, simbolisme dan ironi merupakan unsur yang termasuk dalam sarana-sarana cerita.

a. Judul

Judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentkuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu. Sebuah judul kerap memiliki tingkatan makna (Stanton, 2007: 52).

Judul cerbung ini adalah Mulih Ndesa. Mulih berarti pulang dan Ndesa berarti desa. Mulih Ndesa dapat diartikan kembali atau pulang ke desa. Tokoh dalam

cerbung Mulih Ndesa ini mengalami mulih ndesa pulang kembali ke desa. Tokoh Sekarwangi sebagai tokoh utama yang perjuangan meraih cita-cita harus kembali lagi ke desa setelah bekerja di kota Jakarta.

Sekarwangi bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Pak Pratama yang juga berasal dari Klaten. Pekerjaannya hanya tentang urusan belanja dan memasak. Setelah lama bekerja di keluarga tersebut tiba-tiba muncul masalah dan Sekarwangi harus kembali ke desa. Terbukti dalam kutipan berikut:

“Elingku durung genep telung tahun kowe ana kene,”ujare Tumninah.”ana apa kok kowe keburu mulih ndesa?”

“Ana perkara sing njalari aku enggal ninggalake Jakarta. Liya wektu dak critani. Lan maneh, sing penting kanggoku dudu bab telung tahun apa durung, ning dhuwit simpenanku wis cukup kanggo pawitan apa durung.” “lan saiki wis cukup ya?” takone Tuminah

“alhamdulillah uwis”

“aku bungah banget, Sekar. Aku yakin kowe bakal kasil duwe rumah makan sing kondhang ing dhaerahe dhewe kana. Nek ngono tenan, mbesuk aku dak mulih ndesa. Trima dadi pembantu ing rumah makanmu wae.”(episode 12:19)

Terjemahan:

“seingatku belum genap tiga tahun kamu ada di sini,”ucap Tuminah.” Ada apa kok kamu keburu pulang kampung?”

Ada masalah yang menyebabkan aku segera meninggalkan Jakarta. Lain waktu saya ceritakan. Dan lagi, yang penting untukku bukan perkara tiga tahun apa belum, tetpi uang simananku sudah cukup untuk modal apa belum.” “dan sekarang sudah cukup?”tanya Tuminah

“alhamdulillah sudah”

“aku senang sekali, Sekar. Aku yakin kamu bakal brrhasil punya rumah makan yang terkenal di daerah kita sana. Kalau memang begitu, besuk aku tak pulang kampung. Trima menjadi pelayan di rumah makanmu saja.”

Judul cerbung Mulih Ndesa ini dimaksudkan pengarang karena semua tokoh yang diceritakan di dalam cerbung mengalami peristiwa Mulih Ndesa atau kembali atau pulang ke desa atau kampung. Semua tokoh dalam cerbung ini berasal dari

daerah Klaten yang merantau di Jakarta. Masing-masing tokoh menjalani hidupnya di Jakarta, setelah beberapa waktu beberapa tokoh mengalami masalah pada kehidupannya yang akhirnya mengharuskan untuk pulang kampung atau mulih ndesa. Berdasarkan kutipan dan uraian di atas dapat ditarik kesumpulan bahwa judul Mulih Ndesa dipilih pengarang karena cebung ini berisikan tentang perjuangan hidup para tokoh untuk meraih cita-cita di perantauan meninggalkan desa tercinta tetapi pada akhirnya kembali lagi kampung halaman. Pengarang juga penyampaikan pesan bahwa sesuatu tidak ada yang mustahil untuk diwujudkan, asalkan ada kemauan, usaha dan tekad yang tinggi untuk mewujudkannya.

b. Sudut Pandang

Sudut pandat adalah pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita. Posisi ini memiliki hubungan yang berbeda dengan tiap peristiwa dalam tiap cerita: di dalam atau di luar satu karakter, menyatu atau terpisah secara emosional. Sudut pandang yang digunakan dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS. adalah orang ketiga tidak terbatas. Sudut pandang orang ketiga tidak terbatas adalah pengarang mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berfikir atau saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir. Hal ini terbukti dalam kutipan berikut:

Beda lakone Marsanti, kancane Sekarwangi. Bareng mangkate, padha sedyane. Nanging seje dalane. Sawise rong sasi mider-mider golek gaweyan ing Jakarta dheweke kentekan sangu. Mung kari ana dhuwit limang lembar puluhan ewon ing dhompete. Rahayune Marsanti ketemu kanca, padha-padha bocah saka Cawas, aran Marta. Banjur dijak jajan bakso ing warung langganane.(episode 3:19)

Terjemahan:

Beda jalan hidup Marsanti, temannya Sekarwangi. Bareng berangkatnya, sama siapnya. Tetapi beda jalannya. Sesudah dua bulan mencari pekerjaan di Jakarta dia kehabisan uang. Hanya tinggal uang lima lembar puluhan ribu di dompetnya. Beruntungnya Marsanti bertemu teman, sama-sama orang dari Cawa, namanya Marta. Kemudian diajak jajan bakso di warung langganannya.

Sudut pandang orang ketiga tak terbatas ini juga membuat pengarang mengetahui keadaan sekitar yang dialami masing-masing tokoh. Misalnya pengarang menggambarkan sosok Sekarwangi sebagai gadis yang sangat cantik alami. Terbukti dalam kutipan berikut:

Pancen bener, tanpa pupur, praupane Sekar katon kuning mencorong linekeran jilbab warna jambon. Ing lathine katon abang asli tanpa lipstik sumunggging esem kang tulus tanpa digawe-gawe.(episode 10:20)

Terjemahan:

Memang benar, tanpa bedak, wajah Sekar terlihat kuning bersinar berbalutkan jilbab warna merah muda. Di bibirnya merah asli tanpa lipstik dengan senyum tulus tanpa dibuat-buat.

Kutipan-kutipan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS adalah orang ketiga tidak terbatas, yaitu pengarang mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga.

c. Gaya dan Tone

Gaya adalah cara pengarang menggunakan bahasa. Campuran dari berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek, kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora (dengan kadar tetentu). Gaya juga bisa terkait dengan maksud dan tujuan sebuah cerita. Seorang pengarang mugkin tidak memilih gaya yang sesuai dengan dirinya akan tetapi gaya tersebut justru pas dengan tema cerita.

Gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam cerbung Mulih Ndesa ini mudah untuk dipahami, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa yang menarik, memunculkan undha-usuk berbahasa Jawa, bahasa indonesia dan bahasa masa kini. Penggunaan bahasa dalam cerbung Mulih Ndesa memang menyesuaikan kondisi saat ini untuk menarik minat para pembaca. Pengarang juga menyelipkan beberapa bait puisi atau gurit sebagai bentuk ungkapan dan penguat suasana yang dialami tokoh dalam cerita. Selain itu terdapat perumpamaan yang digunakan oleh pengarang dalam cerbung Mulih Ndesa.

1. Kaya kere ucul ing kutha gedhe

Pengarang menggunakan ungkapan tersebut untuk menggambarkan keadaan Bu Rusti yang sedang marah kepada Sekarwangi. Dia menganggap bahwa Sekarwangi dulunya hanyalah gelandangan kemudian diangkat menjadi pembantunya. Terbukti dalam kutipan berikut:

“Sekarwangi” celuke Bu Rusti kanthi swara santak, njalari Sekar rada kaget. “kowe biyen teka kene kaya kere ucul ing kutha gedhe.”(episode 14:20)

Terjemahan:

“Sekarwangi” panggil Bu Rusti dengan suara yang keras, membuat Sekar sedikit kaget.” Kamu dulu sampai di sini seperti gelandangan lepas di kota besar.

2. Dadi brindil kaya piyik durung tukhul wulune

Pengarang menggunakan ungkapan tersebut untuk menggambarkan keadaan Bu Rusti yang memprihatinkan. Harta yang dimiliki diambil oleh negara karena Pak Pratama terbukti korupsi dan akhirnya masuk penjara. Terbukti dalam kutipan berikut:

Saiki Bu Rusti wis dadi brindhil kaya piyik durung thukul wulune. Isih begja dene isih ana darbeke sing ora katut dirampas negara. (episode 17:20).

Terjemahan:

Sekarang Bu Rusti sudah menjadi tanpa daya sepeti anak burung belum tumbuh bulunya. Masih beruntung masih ada yang tidak ikit dirampas negara.

Pengarang menggunakan ungkapan tersebut untuk menggambarkan keadaan yang dialami oleh Damarjati. Dia merasakan kecewa karena tidak dapat bertemu dengan Sekarwangi. Terbukti dalam kutipan berikut:

Wis mantep, mupus marang pepesthen. Siyaga nampani takdir, sanadyan ati rasane remuk rempu kaya diremet-remet dhemit jaratan.(episode 26:19)

Terjemahan:

Sudah mantap, memutuskan kepastian. Bersiap menerima takdir, walaupun hati rasanya remuk. Seperti diremat-remat oleh setan kuburan.

Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantik, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan. Ketika seorang pengarang mampu berbagi perasaan dengan sang karakter dan ketika perasaan itu tercermin pada lingkungan, tone menjadi identik dengan atmosfer. Pada porsi tertentu tone dimunculkan oleh fakta (Stanton, 2007: 61-63).

Tone yang ditampilkan dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS. Adalah tone yang cenderung tegang, romantis, dan bahagia karena yang dibicarakan adalah tentang perjuangan perempuan. Tone romantis ditunjukkan dengan beberapa adegan romantis antara Sekarwangi dan Damarjati. Terbukti dalam kutipan berikut:

Mobil mlaku maneh. Mandheg ing ngarep omahe Sofi. Wong loro padha mudhun. Nalika iku Sofi lagi lungguhan ana teras. Weruh tekane Damarjati,

dheweke ngadeg arep methukake. Dhestun ing saat iku Sekarwangi olehe mlaku rada mepet. Tangane gondhelan lengene Damarjati.(episode 10:50)

Terjemahan:

Mobil berjalan lagi. Berhenti di depan rumah Sofi. Dua orang itu turun. Ketika itu Sofi sedang duduk di teras. Melihat datangnya Damarjati, dia berdiri akan menjemput. Di saat itu Sekarwangi jalannya sedikit mepet. Tangannya menggandeng lengan Damarjati.

Tone tegang yang ada dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS yaitu saat Sekarwangi di usir oleh Bu Rusti. Karena Bu Rusti tidak suka dengan sikap Sekarwangi yang melarang Damarjati menjadi pegawai Negri. Sekarwangi dihina, dicaci maki dan akhirnya ia dipecat dan diusir dari rumah itu. Terbukti dalam kutipan berikut:

Lan juragane putri iku terus laju anggone nyuntak emosine,”Sekarwangi, nek kudune kowe ki syukur marang pangeranmu, matur nuwun marang juraganmu. Ing atasane mung sak kowe, bocah bodho longa-longo mlarat arat-arat saka desa kesa-kesa dakkukub kaya sampah dakdadekke babu, malah njur are dakpek mantu, dak entukke anak lanang ontang-anting insinyur Damarjati bin bapak Pratama sing suhig brewu, jebul durung-durung wis gedhe endhase, wani nyecamah bendarane. Nelingana , Sekar. Kowe ki paribasan kere munggah bale, batur mungggah kasur. Nek patrapmu ngono kuwi, aja maneh kok dadi mantuku, dadi babuku wae aku ora guman. Omahku iki kaduk apaik kanggo manungsa kaya kowe. Mula rungakna: wiwit dina iki, jam iki, kowe dak copot olehmu dadi babu ana kene. Enggal ringkesana barang-barangmu, lan tinggalen omah iki, lunga menyang endi sakarepmu.(episode 14:20)

Terjemah:

Dan majikan perempuan itu terus melanjutkan meluapkan emosinya, “Sekarwangi, seharusnya kamu bersyukur pada tuhanmu, bersyukur pada

majikanmu. Yang dulunya kamu hanya bocah bodoh orang miskin dari desa tak ambil seperti sampah taknjadikan pembantu, malah mau tak jadikan menantu mendapatkan anak semata wayang insinyur Damarjati bin bapak Pratama yang sangat kaya. Ternyata belum-belum kamu sudah besar kepala. Berani mencramahi majikan. Ingatlah, Sekar. Kamu paribahasa orang susah dibantu menjadi lebih baik. Kalau kelahuanmu seperti itu. Jangankan menjadi menantuku, menjadi pembantuku saja aku tak mau. Rumahku tak patut untuk orang sepertimu. Maka dengarlah: mualai hari ini, jam ini kamu tak pecat jadi pembantu di sini. Cepat beresi barang-barangmu, dan tinggalkan rumah ini. Pergi terserah maumu.

Tone bahagia yang ada dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS yaitu saat Sekarwangi mendatangi rumah Damarjati. Dia datang untuk menemui dan meminta maaf kepada Damarjati. Damarjati merasa sangat bahagia karena harapannya untuk hidup bersama Sekarwangi bisa terwujud. Terbukti dalam kutipan berikut:

Sekar merem tenan, let sedhela kaget, krasa awake dirangkul kenceng, malah pipine diarasi, nganti awake mrinding kabeh. Nanging Sekar ora suwala, Sekar ngerti wiwit damar pengen ngesorke rasa tresna lan kangene, sawise telung tahun kedharang-dharang nggoleki. Sekar ngerti, yen tresnane Damar iku tulus. (episode 26:50)

Terjemahan:

Sekar beneran tutup mata, jarak sebentar terkejut, berasa dirinya dipeluk erat, mala pipinya di elus, sampai dirinya merinding semua. Tetapi Sekar tidak menolak, Sekar tahu mulai Damar pengin meluapkan rasa cinta dan kangennya, sesudah tiga tahun merana mencari. Sekar tahu, kalau cintanya Damar tulus.

Kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengarang menggunakan tone romantis, tone tegang dan tone bahagia karena adanya masalah yang muncul terkait tema cerbung yaitu tentang perjuangan hidup.

d. Simbolisme

Salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi agar tampak nyata adalah dengan menggunakan simbol. Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Simbol dapat berwujud apa saja, dari sebutir telur hingga latar cerita seperti satu obyek bertipe sama, subtansi fisis, bentuk, gerakan, warna, suara, atau keharuman. Semua hal tersebut dapat menghadirkan satu fakta terkait kepribadian seseorang manusia, ambisi yang semu, kewajiban manusia, atau romantisme masa muda (Stanton, 2007: 46).

Simbolisme yang terdapat dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS. Antara lain:

1. Nyecep madumu

Simbol nyecep madumu digunakan oleh pengarang untuk melukiskan keadaan yang terjadi antara Pak Jolang dan Marsanti. Pak Jolang ingin merasakan nyecep madu yang dapat diartikan megenggut keperawanan Marsanti. Pak Jolang ingin melakukan hal tersebut dikarenakan Pak Jolang suka dengan Marsanti karena kecantikannya. Terbukti dalam kutipan berikut:

“sing ana mung aku lan kowe, Santi. Ora ketang sacecepan, rilanana aku nyecep madumu. Muga kowe ngerti karepku, Santi cah ayu.”(episode 4:44)

Terjemahan:

“yang ada Cuma aku dan kamu, Santi. Setidaknya satu kecup, ikhlaskan

aku kecup madumu. Semoga kamu mengerti yang aku maksud, Santi anak cantik.

2. Ngubal-ngubal geni

Simbol ngubal-ngubal geni digunakan oleh pengarang untuk melukiskan keadaan yang dialami Pak Jolang. Setelah lama bersama Pak Jolang merasakan cinta pada Marsanti, dia suka dengan kecantikan dan tubuh Marsanti. Ngubal-ngubal geni diartikan dengan Marsanti menambah dan membangkitkan nafsu Pak Jolang untuk merenggut keperawanannya. Terbukti dalam kutipan berikut:

Marsanti babar pisan ora nglegawa lamun patrape kang mengkono iku saya ngubal-ubal geni kang wi murub ing ruwang dhadhane Jolang. (episode 4:44)

Terjemahan:

Marsanti sama sekali tidak pasrah namun wajah yang seperti itu semakin membuat api yang hidup di dada Jolang menjadi jadi.

Simbol wedi banyu digunakan pengrang untuk melukiskan keadaan Marsanti setelah hilang harga dirinya. Dia merasa bahwa harga dirinya sudah tidak ada maka dari itu dia berniat dan tidak takut menjadi wanita panggilan. Terbukti dalam kutipan berikut:

Manungsa pancen darbe watak angkara, kalebu Marsanti. Sanadyan simpenane milyaran, nanging kepengen luwih akeh maneh. Mula dheweke kepengen ngadani usaha liya. Aku wis kebacut nyemplung kali, ngono ujare marang awake dhewe. Kebacut kecemplung kali, sandhanganku teles. Geneya aku kudu wedi banyu?(episode 5:43)

Terjemahan:

Manusia memang mempunyai watak jahat, termasuk Marsanti. Walaupun simpanannya milyaran tetapi masih ingin lebih banyak. Makanya dia ingin usaha lain. Aku sudah terlanjur kecebur sungai, begitu ucap pada dirinya. Terlanjut kecebur sungai, pakaian basah, kenapa harus takut air?

e. Ironi

Secara umum ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi dapat ditemukan dalam hampir semua cerita (terutama yang dikategorikan bagus). Bila dimanfaatkan dengan benar ironi dapat memperkaya cerita seperti menjadikannya menarik. Menghadirkan efek-efek tertentu, humor atau pathos, memperdalam karakter, merekatkan struktur alur, menggambarkan sikap pengarang dan menguatkan tema

(Stanton, 2007: 71). Dalam dunia fiksi ada dua jenis ironi yang dikenal luas yaitu ironi dramatis dan tone ironi.

1. Ironi Dramatis

Ironi dramatis muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Ironi dramatis yang muncul dalam cebung Mulih Ndesa karya Suryadi WS adalah ketika Sekarwagi diusir oleh Bu Rusti dari rumah. Bu Rusti mengusir Sekar lantaran dia tidak suka kalau Sekar terlalu ikut campur urusan anaknya dan Bu Rusti tidak suka terhadap sikap Sekar yang melarang Damarjati untuk menjadi pegawai agar terhindar dari korupsi. kenyataannya Pak Pratama sendiri melakukan tindak korupsi yang merugikan negara dan Bu Rusti mengetahui hal tersebut. Karena takut akan dilaporkan polisi maka Bu Rusti mengusir Sekarwangi dari rumahnya. Terbukti dalam kutipan berikut:

Lan juragane putri iku terus laju anggone nyuntak emosine,”Sekarwangi, nek kudune kowe ki syukur marang pangeranmu, matur nuwun marang juraganmu. Ing atasane mung sak kowe, bocah bodho longa-longo mlarat arat-arat saka desa kesa-kesa dakkukub kaya sampah dakdadekke babu, malah njur are dakpek mantu, dak entukke anak lanang ontang-anting insinyur Damarjati bin bapak Pratama sing suhig brewu, jebul durung-durung wis gedhe endhase, wani nyecamah bendarane. Nelingana , Sekar. Kowe ki paribasan kere munggah bale, batur mungggah kasur. Nek patrapmu ngono kuwi, aja maneh kok dadi mantuku, dadi babuku wae aku ora guman. Omahku iki kaduk apaik kanggo manungsa kaya kowe. Mula rungakna: wiwit dina iki, jam iki, kowe dak copot olehmu dadi babu ana kene. Enggal ringkesana barang-barangmu, lan tinggalen omah iki, lunga menyang endi sakarepmu.(episode 14:20)

Terjemah:

Dan majikan perempuan itu terus melanjutkan meluapkan emosinya, “Sekarwangi, seharusnya kamu bersyukur pada tuhanmu, bersyukur pada

majikanmu. Yang dulunya kamu hanya bocah bodoh orang miskin dari desa tak ambil seperti sampah taknjadikan pembantu, malah mau tak jadikan menantu mendapatkan anak semata wayang insinyur Damarjati bin bapak Pratama yang sangat kaya. Ternyata belum-belum kamu sudah besar kepala. Berani mencramahi majikan. Ingatlah, Sekar. Kamu paribahasa orang susah dibantu menjadi lebih baik. Kalau kelahuanmu seperti itu. Jangankan menjadi menantuku, menjadi pembantuku saja aku tak mau. Rumahku tak patut untuk orang sepertimu. Maka dengarlah: mualai hari ini, jam ini kamu tak pecat jadi pembantu di sini. Cepat beresi barang-barangmu, dan tinggalkan rumah ini. Pergi terserah maumu.

2. Tone Ironis

Tone ironis atau ironis verbal digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan. Dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS. Tone ironis ditunjukkan ketika Sekarwangi dicaci maki dan hina oleh Bu rusti tetapi Sekarwangi tetap diam dan tersenyum meskipun hatinya sakit karena ucapan Bu Rusti.Sekarwangi malah mendoakan yang terbaik untuk majikannya itu. Terbukti dalam kutipan berikut:

Krungu tembunge sing nyangklak iku, Sekarwangi ngadeg jejeg mandeng pasuryane Bu Rusti, Guneme Sareh,” Bu Rusti. Kalih jam kepengker kula sampun dipun lereni. Dados kula sampun sanes babu malih. Mila kula ndongakaken ibu insyaallah donga kula mandi, awit kula kulina sujud ndedehepe ing Ngarsanipun, lan kula ucapaken kanthi tulusing manah mboten namung basa-basi. Mugi Bu Rusti tansah pinaringan bagas waras. (episode 14:42)

Terjemahan:

Mendengar ucapan yang menyakitkan itu, Sekarwangi berdiri melihat wajah Bu Rusti, ucapnya sabar,” Bu Rusti. Dua jam yang lalu saya sudah dipecat. Jadi saya sudh bukan pembantu lagi. Maka dari itu saya mendoakan ibu insyaallah doa saya terkabul, karena saya terbiasa sujud dihadapan-Nya, lan saya mengucapkan dengan tulus hati tidak hanya basa-basi. Semoga Bu Rusti sehat selalu.

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengarang menuangkan ekspresi bahagia dan kecewa karena harapan tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam dokumen BAB II ANALISIS DATA. A. Analisis Struktural (Halaman 88-102)

Dokumen terkait