• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4. Pendekatan Moneter

2.5.5. Sasaran Akhir

Selama ini manajemen moneter di Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran akhir kestabilan ekonomi makro, yaitu laju inflasi yang cukup rendah, laju pertumbuhan ekono mi yang cukup tinggi, dan kemantapan neraca pembayaran.

Berbagai perubahan mendasar terutama perubahan sistem nilai tukar tetap menjadi sistem nilai tukar yang fleksibel mengharuskan Indonesia untuk memikirkan kembali tentang bagaimana kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Suatu hal yang pasti adalah dalam sistem nilai tukar fleksibel, gerakan nilai tukar akan berfluktuasi sesuai dengan kekuatan pasar sehingga tidak lagi dapat diarahkan untuk mencapai suatu sasaran tingkat depresiasi tertentu untuk mendorong ekspor.

Dengan demikian, dalam sistem nilai tukar fleksibel, kebijakan moneter lebih difokuskan pada pengendalian permintaan agregat. Lebih jelasnya bahwa kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan tekanan-tekanan permintaan (aggregate demand pressures) yang disebabkan oleh tingginya kesenjangan antara permintaan agregat dengan output potensial (output gap). Hal ini mengingat besarnya output gap tersebut menentukan tingkat laju inflasi dan laju pertumbuhan dalam ekonomi. Semakin tinggi output gap, laju pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi, akan tetapi akan dibarengi dengan laju inflasi yang lebih tinggi pula. Bank Indonesia harus menentukan seberapa jauh output gap tersebut akan diperkecil untuk menentukan imbangan antara sasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap paling optimal.

2.6. Hasil Penelitian Terdahulu

Santoso dan Iskandar (1999), dalam penelitian mengenai pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel menjelaskan bahwa pengujian empiris dengan menggunakan vector autoregression dan granger causality test versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan inflation targetting dapat digunakan di Indonesia khususnya setelah era sistem nilai tukar fleksibel.

Pengendalian moneter dalam kerangka inflation targetting dapat dilakukan dengan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank overnight sebagai kandidat utama sasaran operasional dan (Monetary Condition Index) sebagai sasaran antara, sementara underlying inflation sebagai sasaran akhir tunggal. Sementara penggunaan Monetary Condition Index sebagai sasaran antara tidak dilakukan secara kaku (policy rules) tetapi dimungkinkan terjadinya discretionary policy sepanjang shock terhadap inflasi dan nilai tukar berasal dari supply shock dan bersifat sementara. Disamping itu masih kuatnya hubungan langsung antara monetary aggregate dengan inflasi maka pengalihan kebijakan moneter dari quantity targetting ke price targeting bukan merupakan substitusi penuh. Monetary aggregate masih tetap digunakan sebagai variabel indikator untuk mendeteksi tekanan terhadap inflasi.

Studi empiris mengenai mekanisme transmisi moneter di Indonesia yang menjelaskan mengenai sumber – sumber fluktuasi makroekonomi di Indonesia telah dilakukan oleh Siregar and Ward (2002). Penelitian ini mengemukakan bahwa shock kebijakan moneter mempengaruhi output melalui suku bunga domestik kepada nilai tukar. Namun shock nilai tukar lebih penting dan menandakan bahwa adanya keterbatasan dari kebijakan moneter dalam upaya menstabilkan fluktuasi makroekonomi Indonesia. Selain itu, diinformasikan pula bahwa shock General Spending Balance atau nilai tukar rupiah riil terhadap nilai tukar riil dan permintaan uang ternyata mempunyai pengaruh nyata sehingga efek guncangan tersebut terhadap output lebih besar.

Studi mengenai pentargetan inflasi di Indonesia yang juga dilakukan oleh Chowdhury dan Siregar (2002). Studi tersebut menggaris bawah adanya kendala yang serius dalam pembuatan kebijakan makroekonomi di Indonesia. Pada sisi

fiskal kendala utamanya adalah pemerintah menanggung beban hutang dan tekanan memperbaiki pengeluaran pembangunan. Sementara pada sisi moneter bagaimana mengupayakan tingkat inflasi yang rendah dan kebutuhan bagaimana memelihara likuiditas untuk mendorong perekonomian yang resesi. Didukung dengan adanya kompleksitas permasalahan moneter dan fiskal menyebabkan pengambilan kebijakan saling bertolak belakang dan sulit terkoordinasi dengan baik. Kajian mengenai hal tersebut menghasilkan suatu model trade off antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan bahwa inflasi yang tinggi namun sampai pada batas tertentu masih berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pendekatan moneter dalam perekonomian terbuka telah memperluas analisisnya terhadap sistem nilai tukar fleksibel yang telah diadopsi negara negara didunia sejak tahun 1979. Model moneter untuk nilai tukar telah diformulasikan Dornbusch (1976). Model moneter Dornbusch telah melakukan suatu penyesuaian harga yang kaku (Sluggish price adjustment) dalam pasar barang, Frangkel (1976) ia telah mengembangkan suatu pandangan moneter tentang faktor-faktor yang menentukan nilai tukar. Pendekatan terbarunya menekankan pada pertimbangan yang berkaitan dengan permintaan uang dan the interest parity theory. Frangkel juga menekankan peranan ekspektasi dan menemukan suatu ukuran yang dapat di observasi secara langsung yang dibangun atas informasi yang termuat dalam data dari pasar dimuka (forward market) nilai tukar dan ditunjukkan secara konsisten dengan hipotesa sentral dari pendekatan moneter. Dalam model ini, analisis terdahulu telah menunjukkan asosiasi tertutup antara perkembangan moneter dan nilai tukar. Dari permintaan keseimbangan kas riil, md = g ( ? *) dan kondisi The Purchasing Power Parity, P = sP*, nilai tukar dapat ditulis seperti e = M/g (? *)

dimana P* adalah tingkat harga luar negeri, ? * adalah expected rate of inflation, M adalah stok uang nominal dan e adalah nilai tukar.

Model ini menyatakan bahwa inflasi yang terlalu diantisipasi dapat meningkatkan tingkat bunga nominal yang selanjutnya menyebabkan nilai tukar spot menurun, yang berarti mata uang domestik mengalami apresiasi, interpretasi lain untuk pendekatan ini menyatakan bahwa tingkat bunga tinggi menurunkan pengeluaran dan menyebabkan surplus dalam neraca pembayaran, yang selanjutnya menurunkan nilai tukar spot.

Dornbusch (1976) telah menunjukkan bahwa nilai tukar fleksibel tidak memberikan penyekatan dari gangguan harga luar negeri, dalam jangka pendek, harga atau ekspektasi adalah lambat untuk menyesuaikan. Ia juga membedakan antara komoditi yang diperdagangkan dan yang tidak diperdagangkan. Dornbusch memberikan fungsi logaritmik sebagai berikut :

*) *)( ( *) ( − + − φ −φ = M M L L e ...(2.14) dimana:

M = pertumbuhan kuantitas nominal uang domestik M* = pertumbuhan kuantitas nominal uang luar negeri L = permintaan keseimbangan riil domestik

L* = permintaan keseimbangan luar negeri

φ −φ*= Harga relatif barang yang diperdagangkan domestik dan asing. Bentuk pertama dari tingkat harga ini mencakup efek perubahan moneter atas nilai tukar, dengan asumsi faktor-faktor lain konstan, maka pertumbuhan moneter yang tinggi dalam suatu negara dapat menyebabkan depresiasi dalam mata uangnya. Bentuk khususnya ini mencakup perbedaan pengaruh dalam inflasi jangka panjang antara negara-negara dan refleksinya dalam nilai tukar. Bentuk

kedua menjelaskan efek perubahan permintaan uang riil. Jadi kenaikan dalam permintaan uang riil akan menyebabkan apresiasi dalam mata uang domestik. Bentuk terakhir menjelaskan efek perubahan dalam harga struktur relatif atas nilai tukar.

Frangkel (1979) menemukan faktor untuk versi harga kaku (the sticky price). Frangkel (1984), kembali mengestimasi suatu variasi struktur model nilai tukar yang berbeda dari versi harga fleksibel dan kaku dari pendekatan moneter. Ia menemukan beberapa point kritik dalam model moneter seperti pergeseran dalam fungsi permintaan uang dan nilai tukar dalam jangka panjang.

Dibawah pendekatan moneter, proses penyesuaian dimana pendekatan tingkat keseimbangan nilai tukar aktual didefenisikan dengan baik untuk sistem nilai tukar tetap dan fleksibel. Untuk mengantisipasi gangguan terhadap neraca pembayaran, suatu negara dapat : 1) meng-peg kan nilai tukarnya dari pengaruh fluktuasi pasar valas, atau 2) ia dapat membolehkan nilai tukar untuk menyesuaikan dan menjaga tingkat cadangan konstan atau 3) ia dapat melakukan beberapa kombinasi perubahan cadangan dan nilai tukar.

Kombinasi model nilai tukar nominal dan riil memberikan suatu kerangka yang luas untuk menganalisa perekonomian terbuka. Tetapi disebabkan upah dan harga adalah fleksibel ia dapat menjelaskan deviasi dari purchasing power parity hanya untuk memperluas gangguan yang berasal dalam sektor riil. Cagan (1984) telah memodifikasi modelnya dengan memperkenalkan harga dinamis. Dengan harga secara sesaat kaku, gangguan moneter dapat menyebabkan deviasi sesaat dari Purchasing Power Parity dan overshooting nilai tukar akan terjadi.

Untuk membentuk blok terakhir dari pendekatan moneter adalah perkiraan rasional (rational expectations) yang tanpanya tidak dapat menjamin efisiensi

pasar pertukaran luar negeri dalam konteks ini perkiraan rasional dapat didefenisikan sebagai penggunaan penuh dari semua informasi yang tersedia. Hal ini tidak dibutuhkan berkaitan dengan tinjauan kemasa depan yang sempurna (perfect forsight) diatas periode waktu yang terbatas tetapi jika pasar aset keuangan adalah proses informasi yang tidak efisien, maka tidak ada alasan untuk memperkirakan pasar ini daripada aliran pasar barang-barang dan jasa-jasa untuk memainkan peranan penting dalam penyesuaian nilai tukar terhadap exogenous shock. Pertimbangan ini mendukung bahwa suatu fungsi ekspektasi yang tepat suatu model harus memulai dengan perkiraan bahwa nilai tukar akan ceteris paribus, merespon satu persatu perubahan dalam perbedaan inflasi yang diperkirakan secara rasional (the rationally expected inflation differential).

Validasi model moneter harga fleksibilitas tergantung dari realistis tidaknya asumsi – asumsi yang mendasarinya. Pertama, Purchasing Power Parity dalam banyak kasus studi empiris tidak dipenuhi dalam jangka pendek, kedua, model harga fleksibel tidak memasukkan peranan harapan sehingga model ini gagal, menangkap karakteristik dinamik dari perilaku nilai tukar, ketiga, sampai taraf tertentu, suplai uang dan suku bunga merupakan faktor endogen, tergantung dari kebijakan moneter yang dianut dan perilaku perbankan. Pendekatan moneter tidak secara eksplisit membuat perbedaan ini dan keempat, obligasi domestik dan luar negeri diasumsikan saling mengganti secara sempurna. Oleh karena itu perbedaan suku bunga dihilangkan oleh harapan perubahan kurs.

McNown dan Wallace (1994), menggunakan metodologi kontemporer dari kontegrasi Johansen, menguji pendekatan moneter terhadap determinasi nilai tukar bagi tiga negara industri inflasi tinggi dalam periode yang berbeda: Israel (1979;01-1988;10), Chili (1973;06-1985;06) dan Argentina (1977;03-1986;12).

Dibawah sistem nilai tukar mengambang mereka menemukan bukti yang mendukung dalil purchasing power parity pada ketiga negara Amerika Latin tersebut dengan karakteristik tinggi pertumbuhan uang beredar dan besarnya perubahan nilai tukar nominal relatif terhadap AS. Untuk Chili, satu vektor kointegrasi diindikasikan oleh kriteria rasio kemungkinan maksimum (maximum likelihood) dengan spesifikasi uang Amerika M1 dan dua vektor kointegrasi ditemukan ketika variabel moneter Amerika M2. Sedangkan untuk Argentina, dua vektor kointegrasi dan untuk Israel tepat satu vektor kointegrasi. Namun bagi Israel kointegrasi tidak ditemukan dalam model reduksi.

Penelitian mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga pernah dilakukan oleh Warjiyo dan Zulverdi (1998). Studi ini mengadopsi mekanisme transmisi kebijakan moneter di Australia dan Selandia Baru yang disesuaikan dengan instrumen – instrumen pasar keuangan yang ada di Indonesia. Warjiyo dan Zulverdi menggunakan metode Granger Causality Test dalam penelitiannya dan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank sebagai sasaran operasional, suku bunga deposito dan nilai tukar sebagai sasaran antara, serta tingkat inflasi sebagai sasaran akhir.

Perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia/Suku Bunga Pasar Uang akan ditransmisikan ke suku bunga Pasar Uang Antar Bank, selanjutnya diteruskan ke suku bunga deposito dan nilai tukar. Dengan asumsi Indonesia menggunakan sistem nilai tukar mengambang, suku bunga deposito dan nilai tukar akan ditransmisikan ke sektor riil melalui tingkat output nasional. Perbedaan antara output aktual dengan output potensial akan mempengaruhi laju inflasi. Disamping itu penelitian mengenai transmisi kebijakan moneter di Indonesia melalui jalur nilai tukar pernah dilakukan oleh Benny Siswanto et al (2001)

dengan menggunakan metode analisis VAR. Hasil estimasi VAR menunjukkan bahwa selama periode sebelum krisis, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar tidak bekerja dengan baik, namun sebaliknya sejak diterapkannya sistem nilai tukar fleksibel ternyata peranan jalur transmisi ini menjadi sangat penting.

Atmadja (2001) menganalisis pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dengan non ekonomi seperti politik, hankam, konsistensi, dalam penegakan hukum, sosial budaya dan sebagainya dan variabel ekonomi seperti tingkat inflasi, tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, pendapatan nasional di Indonesia dan Amerika Serikat serta posisi neraca pembayaran internasional Indonesia dalam mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Dari analisis diperoleh bahwa hanya variabel jumlah uang beredar yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sedangkan variabel – variabel yang lainnya tidak.

Nuryadin dan Santoso (2004), menganalisis variabel – variabel yang menentukan nilai tukar rupiah selama periode tahun 1980;1-2000;4. Dalam mengaplikasikan model neraca pembayaran dan model moneter yang dikembangkan oleh Fullerton Calderon (2001), mereka menambahkan dua variabel dummy: variabel kebijakan (devaluasi) dan variabel krisis. Hasil uji kointegrasi berdasarkan Augmented Dickey Fuller (ADF) menunjukkan bahwa variabel – variabel yang dipilih pada kedua model mempunyai hubungan jangka panjang. Sementara hasil uji kointegrasi dalam kerangka analisis Vector Autoregression/ VAR (devaluasi dan krisis sebagai variabel eksogen) pada model moneter menunjukkan adanya vektor kointegrasi diantara variabel – variabel

dalam model tersebut, tetapi pada model neraca pembayaran tidak menunjukkan adanya vektor kointegrasi.

Namun demikian setelah dilakukan koreksi Reimers dalam penelitian tersebut tidak di temukan adanya vektor kointegrasi antar variabel pada kedua model. Secara umum variabel – variabel yang digunakan menunjukkan koefisien regresi dengan arah yang sesuai harapan teori, atau kesesuaian hipotesis pada model neraca pembayaran dan model moneter terpenuhi. Namun variabel cadangan internasional dan pendapatan nasional mengalami perbedaan arah hubungan antara masa sebelum krisis dan masa krisis. Pada masa sebelum krisis variabel cadangan internasional menunjukkan arah yang tidak konsisten dengan teori dan berubah arah pada masa krisis. Sedangkan variabel pendapatan nasional menunjukkan arah hubungan yang konsisten dengan teori pada masa sebelum krisis dan berubah arah pada masa krisis. Selanjutnya hasil estimasi Engle Granger – Error Correction Model (EG-ECM) pada kedua model mengindikasikan bahwa dampak dari perubahan variabel – variabel dalam mempengaruhi nilai tukar memerlukan koreksi antar waktu yang berbeda. Proses penyesuaian dari ketidakseimbangan menuju keseimbangan pada model neraca pembayaran lebih besar, 17.51 persen daripada model moneter 12.47 persen.

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Mekanisme transmisi moneter merupakan proses ditransmisikannya kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi secara riil dan harga – harga dimasa yang akan datang. Berdasarakan hasil empiris, dalam jangka pendek jumlah uang beredar hanya mempengaruhi perkembangan output riil. Selanjutnya jangka menengah pertumbuhan jumlah uang beredar akan mendorong pada kenaikan harga yang pada gilirannya menyebabkan penurunan perkembangan output riil menuju posisi semula. Dalam jangka panjang pertumbuhan jumlah uang beredar tidak berpengaruh pada perkembangan output riil tetapi mendorong kenaikkan laju inflasi secara proporsional. Proses transmisi kebijakan moneter sangat tergantung pada pendekatan yang dipilih sehingga tujuan kebijakan tercapai.

Mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga menekankan bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi permintaan agregat melalui perubahan suku bunga, dalam hal ini perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga jangka menengah dan jangka panjang melalui mekanisme penyeimbangan sisi permintaaan dan penawaran di pasar.

Apabila perubahan harga bersifat kaku (sticky price), perubahan suku bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral akan mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan panjang. Dengan kekakuan harga tersebut, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif, hal itu akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka pendek, yang selanjutnya akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka panjang. Begitupun jika kebijakan bank sentral bersifat kontraktif, kekakuan harga akan

menyebabkan meningkatnya suku bunga riil jangka pendek dan jangka panjang. Perkembangan suku bunga tersebut akan mempengaruhi cost of capital yang pada giliranya akan mempengaruhi pengeluaran investasi dan konsumsi yang merupakan komponen dari permintaan agregat.

Mekanisme transmisi melalui jalur nilai tukar menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan permintaan dan penawaran agregat, dan selanjutnya akan mempengaruhi output dan harga. Besar kecilnya pengaruh pergerakan nilai tukar tergantung pada sistem nilai tukar yang dianut oleh suatu negara.

Mekanisme transmisi melalui jalur ekspektasi menekankan bahwa kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi mengenai inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mempengaruhi perilaku agen-agen ekonomi dalam melakukan keputusan konsumsi dan investasi, yang pada gilirannya akan mendorong perubahan permintaan agregat dan inflasi.

3.2. Pasar Uang

Secara umum yang dimaksud dengan pasar uang adalah pasar dimana uang dana jangka pendek diperdagangkan dan merupakan tempat dimana terjadinya interaksi antara permintaan dan penawaran uang yang pada akhirnya menentukan tingkat bunga.

Dalam perekonomian terbuka, uang primer (Mo) terdiri dari dua komponen utama net foreign asset (NFA) dan net domestik credit (NDC) sehingga dapat dinyatakan sebagai berikut, (Dornbusch et.al, 2001):

NDC NFA M0 = + ...(3.1) NDC NFA M =∆ +∆ ∆ 0 ...(3.2)

Persamaan (3.2) menyatakan bahwa, perubahan uang stok primer sama dengan perubahan kepemilikan bank sentral atas foreign Asset ditambah dengan perubahan domestic credit expansion.

Perubahan kepemilikan bank sentral atas foreign asset (? NFA) merupakan equivalen rupiah dari perubahan international reserve (Kamin et al. 1997) dan dituliskan sebagai berikut :

R E NFA= ∆

∆ ...(3.3) Selanjutnya perubahan international reserve dapat dih itung dari neraca pembayaran, yaitu sebagai penjumlahan dari current account balance (CA) dengan capital account balance (KA) sebagai berikut :

KA CA R= + ∆ ...(3.4) ) (CA KA E NFA= + ∆ ...(3.5) Dengan mensubtitusikan persamaan (3.5) kedalam persamaan (3.3) maka diperoleh persamaan uang primer sebagai berikut:

NDC KA CA E M = + +∆ ∆ 0 ( ) ...(3.6) dimana:

CA = Current Account Balance KA = Capital Account Balance E = nilai tukar nominal

Penawaran uang atau uang beredar (Ms = Money Supply) adalah jumlah uang yang tersedia dalam suatu perekonomian. Pengertian uang beredar biasanya dibedakan sebagai uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang beredar dalam arti luas (M2). Uang beredar dalam arti sempit terdiri atas uang kartal dan uang giral (C) sedangkan uang beredar dalam arti luas adalah uang beredar dalam arti uang sempit ditambah dengan simpanan (D), di Indonesia terdiri dari tabungan

dan deposito, Dalam penelitian ini di pergunakan uang beredar dalam arti luas, sehingga dapat dinyatakan sebagai berikut :

D C

MS = + ...(3.7) Uang beredar juga dikaitkan dengan uang primer melalui money multiplier (mm), sebagai berikut :

0 M mm

MS = ...(3.8) Sehingga perubahan jumlah uang beredar yang merupakan pencerminan adanya perubahan didalam money multiplier dan uang primer, dapat dinyatakan sebagai :

0 0 mm mm M M MS = ∆ + ∆ ∆ ...(3.9) ] ) ( ) ( [ 0 mm mm E CA E KA NDC M MS = ∆ + + +∆ ∆ ...(3.10)

Sedangkan yang dimaksud dengan permintaan uang adalah jumlah uang yang diminta ( Md = Money Demand) oleh masyarakat untuk dipegang pada suatu waktu dan keadaan tertentu. Permintaan uang agregat dapat dirumuskan sebagai berikut : ) , ( *L i Y P Md = ...(3.11) Persamaan (3.11) me nyatakan tingkat uang agregat dalam perekonomian ditentukan oleh tingkat harga, suku bunga dan pendapatan nasional rill.

Kondisi keseimbangan dalam pasar uang terjadi apabila panawaran uang sama dengan permintaan uang, sehingga implikasi dari asumsi (i) dapat dinyatakan sebagai berikut :

) , ( *L iY P M MS = d = ...(3.12) Apabila kedua sisi persamaan (3.12) dibagi dengan tingkat harga, maka keseimbangan pasar uang dalam bentuk persamaan permintaan uang riil agregat, sebagai berikut :

) (iY L P M P MS = d = ...(3.13)

Terlepas dari tingkat harga (P) yang berlaku dan tingkat output (Y) yang ada, pasar senantiasa bergerak menuju suku bunga (i) dimana penawaran uang riil sama dengan permintaan uang riil. Jika pada awalnya terjadi kelebihan penawaran uang, maka suku bunga segera menurun, sedangkan bila pada awalnya terdapat kelebihan permintaan uang, suku bunga akan meni ngkat.

Namun pasar uang selalu bergerak menuju suatu keseimbangan, dimana tingkat harga (P), suku bunga (i) dan tingkat output (Y) berubah-ubah, sehingga persamaan keseimbangan pasar uang (3.13) dapat dituliskan kembali menjadi:

) , (i Y L M P S = ...(3.14)

Persamaan (3.14) merupakan persamaan keseimbangan tingkat harga jangka panjang menunjukkan tingkat harga ditentukan oleh jumlah uang beredar, suku bunga dan tingkat output riil, bila pasar uang berada kondisi keseimbangan dan semua faktor produksi terdaya gunakan secara penuh, maka tingkat harga akan tetap bertahan apabila penawaran uang, permintaan uang agregat dan nilai jangka panjang suku bunga dan tingkat output tetap. Bila semua kondisi lainya tetap, kenaikan tingkat peawaran uang akan mengakibatkan kenaikan tingkat harga secara proposional.

Sedangkan asumsi (ii) dan (iii) mengandung implikasi bahwa penurunan daya beli mata uang domestik, yang ditunjukkan oleh kenaikan tingkat harga domestik akan diikuti oleh depresiasi mata uangnya secara proposional dalam pasar valuta asing. Begitu juga sebaliknya, kenaikan daya beli mata uang

domestik akan disusul adanya apresiasi mata uangnya secara proposional. Purchasing Power Parity memprediksi kurs rupiah/dollar adalah

US IN Rp P P S /$ = ...(3.15)

Berdasarkan persamaan (3.14) tersebut, maka tingkat harga di Indonesia dan di Amerika Serikat dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :

) , (IN IN S IN IN Y i L M P = ...(3.16) ) , ($ $ $ $ Y i L M P S = ………...………(3.17)

Dengan mensubtitusi persamaan (3.16) dan (3.17) kedalam persamaan (3.15) maka diperoleh persamaan nilai tukar sebagai berikut :

) , ( ) , ( $ $ / IN IN US US S US IN Rp Y i L Y i L M M S = ...(3.18)

Persamaan (3.18) menunjukkan nilai tukar ditentukan oleh penawaran – penawaran relatif mata uang rupiah terhadap dolar serta permintaan- permintaan uang riil relatif dollar terhadap rupiah.

Terakhir asumsi (iv) menyatakan pasar valuta asing berada dalam kondisi keseimbangan apabila semua simpanan dalam berbagai valuta asing menawarkan imbalan yang sama secara matematis teori dapat dinyatakan sebagai berikut :

US IN Rp Rp e Rp i i S S S − = − $ / $ / $ / ...(3.19) Atau e i S S S i i US Rp Rp e Rp US IN = +∆ − + = $ / $ / $ / ...(3.20)

Selanjutnya dengan mensubtitusi persamaan (3.20) kedalam persamaan (3.16) maka diperoleh persamaan keseimbangan pasar uang di Indonesia sebagai berikut:

) , (US IN S IN IN Y e i L M P ∆ + = ...(3.21)

Berdasarkan hubungan – hubungan antara variabel-variabel pada persamaan diatas maka hubungan antara nilai Suku bunga Dunia (SBW), Industrial Production Index (IPI), Harga (CPI), Nilai tukar Rupiah (ER) ua ng beredar (M2,) suku bunga (SBI), dinyatakan dalam bagan sebagai berikut :

P=Ms/L(iY) MV=PY

Ms=M*M0

PPP

Gambar 5: Skema Kerangka Pemikiran Instrumen Kebijakan Moneter

Dokumen terkait