• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi indonesia periode 1999 2006

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi indonesia periode 1999 2006"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

MUHAMMAD ILHAM RIYADH

SEKOLAH PASCAS ARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Inflasi Indonesia Periode 1999 – 2006 (RINA OKTAVIANI, sebagai ketua, HERMANTO SIREGAR, sebagai anggota Komisi Pembimbing).

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah menyebabkan rupiah terdepresiasi secara tajam terhadap dollar Amerika. Nilai rupiah yang sebelum krisis berada pada kisaran Rp. 2500/US dollar menurun drastis hingga pernah mencapai Rp. 15000/US dollar dan saat ini bekisar 9300/US dollar. Keadaan ini menyebabkan otoritas moneter lebih mengefektifkan kebijakan moneter dalam menstabilkan nilai tukar rupiah dan meredam tingkat pertumbuhan inflasi.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon variabel Industrial Production Index (IPI), uang beredar dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai tukar dan inflasi. Menganalisis apakah IPI, tingkat inflasi, uang beredar dan perbedaan sukubunga dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi dan merumuskan implikasi kebijakan moneter dalam menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi.

Berdasarkan hasil analisis impuls respon dapat disimpulkan bahwa depresiasi dari guncangan nilai tukar rupiah akan direspon dengan meningkatnya jumlah uang beredar, kenaikan tingkat harga, penurunan industrial production index. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan besarnya laju depresiasi yang terjadi, bank sentral seyogyanya melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI sehingga mendorong terjadinya capital inflow yang pada akhirnya dapat menstabilkan nilai tukar rupiah. Sedangkan Guncangan harga akan direspon oleh bank sentral, dengan menaikan sukubunga SBI sehingga terjadi penurunan jumlah uang beredar, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi dan menurunnya industrial production index.

Hasil forecast error variance decomposition menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah (DLER) secara dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu mencapai sebesar 95.49 persen. Inflasi juga secara dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu sebesar 75.15 persen, diikuti dengan Sukubunga SBI memberikan kontribusi sebesar 9.88 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai tukar rupiah cenderung bersifat eksogen sehingga sulit untuk dapat dikendalikan secara langsung, sedangkan inflasi masih relatif memungkinkan dikendalikan melalui guncangan sukubunga SBI.

Implikasi kebijakannya adalah berdasarkan hasil analisis Impulse Response Functions dan Forecast Error Variance Decomposition, instrumen kebijakan moneter untuk pencapaian kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi adalah sukubunga SBI. Dengan demikian, dalam rangka pencapaian target inflasi, Bank Indonesia dapat melaksanakannya dengan instrumen sukubunga SBI sebagaimana yang memang telah digunakan selama ini akan menjadi lebih baik apabila Bank Indonesia dapat menciptakan stabilitas fundamental ekonomi, terutama mengurangi kesenjangan permintaan dan penawaran valuta asing, sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah dan mengendalikan terjadinya aliran modal keluar (capital outflow).

(3)

saya yang berjudul :

ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI

INDONESIA PERIODE 1999-2006

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenaranya.

Bogor, September 2007

(4)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2007

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(5)

MUHAMMAD ILHAM RIYADH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCAS ARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Nama Mahasiswa : Muhammad Ilham Riyadh Nomor Pokok : A. 151040111

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS

(7)
(8)

Penulis lahir tanggal 05 Pebruari 1979 di Medan, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Kamalluddin M Noer dan Hanifah. Pada tahun 1991 Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya pada SDN 060884, di Medan, dan tiga tahun kemudian menamatkan sekolah lanjutan pertamanya pada SMPN 6 Medan. Pada tahun 1997, Penulis lulus dari SMU SWASTA KARTIKA I-1 di Medan dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh pada tahun 2001 pada program studi Sosial Ekonomi Pertanian. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(9)

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul ”Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi Indonesia Periode 1999-2006.

Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam penulisan Tesis Program Magister (S2) di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis me ngucapkan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam terutama kepada Ibu Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan berbagai masukan dan arahan yang sangat konstruktif bagi penyempurnaan tulisan ini.

Selanjutnya pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc, sebagai dosen penguji luar komisi pada ujian tesis, selalu menekankan kelayakan sebuah tesis. Terima kasih atas segala saran dan kritikan yang diberikan.

2. Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, beserta jajarannya yang telah mempermudah dalam kelancaran urusan akademik.

3. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta staf yang telah memberikan berbagai kemudahan selama mengikuti kegiatan akademis.

(10)

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bahan-bahan (literatur) dan memberikan data yang penulis perlukan serta bantuan dana penelitian untuk dapat menyelesaikan tesis pada studi program Magister Sains. 6. Sahabat-sahabatku yang sangat baik terutama Iwan Hermawan, Mbak Herny

Kartika Wati, Aristo Edward P, Ria Kusumaningrum, Mbak Handayani Boa, Adi Hadiyanto, Mas Yuhka Sundaya, Enny (TPP), Wiwin (STK), Budi Darmansyah (TIP) dan David Talumewo yang telah memberi masukan, kritikan, semangat dan bantuan serta wawasan yang luas terhadap penyelesaian penyusunan tesis ini. 7. Ayahnda Kamalluddin M.Noer/ Ibunda Hanifah, kakaknda Devy Kemala Sari

ST, dan adik-adiku dr.Rahmat Ghazali, Sked dan Sri Rezekika, Ssi yang telah memberikan dukungan, perhatian, kasih sayang dan doa yang tulus ikhlas sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

8. Rekan – rekan di Sekolah Pascasarjana IPB, Khususnya rekan-rekan EPN yang telah memberikan dukungan dan motivasinya.

Besar harapan penulis agar berbagai pemikiran yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah, khususnya dalam menyikapi berbagai fenomena moneter di Indonesia. Penulis menyadari, sebagai bagian dari suatu proses tentunya dalam tesis ini masih ditemui berbagai kekurangan.

Bogor, September 2007

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... ... iii

DAFTAR GAMBAR ... ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Kegunaan Penelitian ... 11

1.5. Batasan Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Tukar ... 14

2.2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas ... 15

2.3. Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia ... 18

2.4. Pendekatan Moneter ... 20

2.4.1. Teori Keseimbangan Pasar Uang ... 20

2.4.2. Paritas Daya Beli ... 21

2.4.2.1. Hukum Satu Harga ... 21

2.4.2.2. Purchasing Power Parity ... 21

2.4.3. Teori Paritas Suku Bunga ... 24

2.4.4. Ekspektasi Rasional ... 27

2.5. Kebijakan Moneter ... 29

2.5.1. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter ... 29

2.5.2. Instrumen Kebijakan Moneter ... 30

2.5.3. Sasaran Operasional ... 33

2.5.4. Sasaran Antara ... 35

2.5.5. Sasaran Akhir ... 36

(12)

3.2. Pasar Uang ... 47

3.3. Hipotesis Penelitian ... 53

IV. METODE PENELITIAN ... 56

4.1. Data ... 56

4.1.1. Sumber Data ... 56

4.1.2. Jenis Data ... 56

4.1.3. Sampel Data ... 56

4.1. Metode Analisis ... 57

4.2.1. Uji Stasioneritas Data ... 59

4.2.2. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive .. 61

4.2.3. Uji Unit Root ... 61

4.3. Analisis Vector Autoregressive ... 66

4.4. Granger Causality Test ... 70

4.5. Analisis Impulse Response Function dan Forecast Error Variance Decomposition ... 71

4.5.1. Impulse Response Function ... 71

4.5.2. Forecast Error Variance Decomposition ... 72

V. PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN MAKROEKONOMI INDONESIA ... 74

5.1. Awal Krisis Asia ... 74

5.2. Sekilas Kondisi Perekonomian di Asia ... 77

5.3. Gambaran Umum Perekonomian Indonesia ... 78

5.4. Gambaran Perkembangan Makroekonomi Indonesia ... 80

VI. PENGUJIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN ... 86

6.1. Uji Sifat Time Series Data ... 86

6.2. Kestasioneran Data ... 86

6.3. Pengujian Lag Optimum ... 88

(13)

6.5.1. Impulse Response Function... 92

6.5.1.1. Respon Variabel Makroekonomi Terhadap Nilai Tukar Rupiah ... 92

6.5.1.2. Respon Variabel Makroekonomi Terhadap Inflasi... 99

6.5.2. Forecast Error Variance Decomposition... 105

6.6. Rumusan Implikasi Kebijakan Terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi ... 108

VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 112

7.1. Simpulan ... 112

7.2. Implikasi Kebijakan ... 113

7.3. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117

(14)

Nomor Halaman

1. Kerangka Secara Umum Sistem Operasi Kebijakan Moneter ... 33

2. Variabel, Indikator dan Satuan Data ... 57

3. Sistem Nilai Tukar Negara ASEAN+3 ... 76

4. Beberapa Indikator Makroekonomi Indonesia ... 81

5. Uji Akar Unit Level ... 87

6. Uji Akar Unit First Different ... 88

7. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive ... 88

8. Granger Causality Test ... 90

9. Pengaruh Cholesky (d.f. adjusted) One Standard Deviation Nilai Tukar Rupiah (DLER) Innovation ... 93

10. Pengaruh Cholesky (d.f. adjusted) One Standard Deviation Inflasi (DLCPI) Innovation ... 100

11 . Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Nilai Tukar Rupiah ... 106

12. Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Tingkat Inflasi ... 107

(15)

1. Perkembangan Nilai Tukar Bulan Juli Tahun 1993 – Desember

Tahun 2006 ... 5

2. Perkembangan Consumer Price Index Bulan Januari Tahun 1999 – Desember Tahun 1999 ... 7

3. Time Path Asumsi Tingkat Harga Fleksibel ... 28

4. Time Path Asumsi Tingkat Harga Sticky ... 29

5. Skema Kerangka Pemikiran ... 52

6. Respon Sukubunga Dunia Terhadap Nilai Tukar Rupiah ... 94

7. Respon Industrial Production Index Terhadap Nilai Tukar Rupiah ... 95

8. Respon Inflasi Terhadap Nilai Tukar Rupiah ... 96

9. Respon Nilai Tukar Rupiah ... 97

10. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar Rupiah ... 98

11. Respon Sukubunga SBI Terhadap Nilai Tukar Rupiah ... 99

12. Respon Sukubunga Dunia Terhadap Inflasi ... 100

13. Respon Industrial Production Index Terhadap Tingkat Inflasi ... 101

14. Respon Inflasi ... 102

15. Respon Nilai Tukar Terhadap Tingkat Inflasi... 103

16. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Tingkat Inflasi ... 104

17. Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Tingkat Inflasi ... 105

18. Dekomposisi Variasi Nilai Tukar Rupiah ... 107

(16)

Nomor Halaman

1. Data Asli yang telah di Logaritma ... 121

2. Data First Difference... 123

4. Uji Stasioner Pada Level ... 127

5. Hasil Vector Autoregressive Pada Tingkat Lag Optimal ... 131

6. Analisis Impulse Respon Function ... 135

7. Forecast Error Variance Decomposition... 137

(17)

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1998 telah membawa dampak dalam perkembangan perekonomian nasional baik dalam sektor moneter maupun sektor riil. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menjadi sangat besar pada awal penerapan sistem tersebut. Hal ini membuat meningkatnya derajat ketidakpastian pada aktivitas bisnis dan ekonomi di Indonesia. Banyak faktor, baik yang bersifat non ekonomi maupun ekonomi, yang diduga menjadi penyebab dari bergejolaknya nilai tukar tersebut.

Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dollar Amerika merupakan salah satu indikator penting dalam menganalisis perekonomian Indonesia, karena dampaknya yang luas terhadap makroeko nomi agregat, seperti pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga dan tingkat inflasi, oleh karena itu pergerakan nilai tukar selalu menjadi perhatian serius oleh otoritas moneter untuk selalu memantau dan mengendalikannya. Oleh karena itu untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan, bank sentral sebagai otoritas moneter merasa perlu untuk melaksanakan stabilisasi agar dapat memberikan kepastian bagi dunia usaha, dan pada gilirannya dapat memberikan kemantapan bagi pengendalian perekonomian secara makro (Samiun, 1998).

(18)

mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Amanat ini memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian single objective-nya.

Menurut Haryono (2000), Kestabilan nilai rupiah tersebut mencakup pengertian; (1) kestabilan secara internal, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi, dan (2) kestabilan secara eksternal, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain yang diukur dengan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain tersebut. Karenanya undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa pengendalian inflasi dan nilai tukar harus dilakukan sebagai suatu paket kebijakan.

Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dalam hal ini, Bank Indonesia hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dan lain-lain) sepenuhnya berada diluar pengendalian Bank Indonesia.

(19)

Memahami kebijakan moneter merupakan suatu pengetahuan yang sangat penting karena kebijakan moneter tersebut mempengaruhi variabel – variabel nominal seperti jumlah uang beredar, suku bunga, nilai tukar dan output yang kesemuanya itu kemudian mempengaruhi inflasi dan tingkat aktivitas perekonomian. Semakin besar pengaruh suatu variabel moneter terhadap perilaku perekonomian secara runtun waktu, maka kebijakan moneter akan semakin efektif.

Dengan telah ditentukan tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga, maka proses selanjutnya adalah menentukan sasaran antara, apakah menggunakan aggregat moneter ataukah tingkat suku bunga. Kebutuhan akan variabel sasaran antara semakin meningkat, karena instrumen dan sasaran akhir dari suatu kebijakan mo neter tidak memiliki hubungan secara langsung. Hal ini berarti bahwa otoritas moneter tidak memiliki kemampuan langsung untuk mengontrol pencapaian sasaran kebijakan moneter oleh karena itu muncul kebutuhan akan adanya variabel sasaran antara yang memadai untuk melakukan berbagai kebijakan moneter.

(20)

antara, terdapat suatu fitur utama dari strategi kebijakan moneter yakni nominal anchor. Nominal anchor adalah suatu variabel nominal yang dipergunakan oleh

pembuat kebijakan sebagai sasaran antara untuk mencapai sasaran akhir.

Pada tahun 1999 hingga sekarang, Bank Indonesia mulai menentapkan suatu kerangka Inflation targetting di Indonesia. Inflation targetting adalah kebijakan moneter dengan menjadikan inflasi sebagai sasaran tunggal atau sasaran akhir. Maksud dari Inflation targetting adalah bahwa Bank Indonesia mempunyai tujuan tunggal yaitu mencapai laju inflasi yang rendah dan stabil sehingga diharapkan dapat mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

Disisi lain, framework inflation targetting yang bersifat forward looking, mensyaratkan kemampuan bank sentral untuk memprediksi perkembangan inflasi kedepan. Dalam hal ini perlu dilakukan identifikasi dan analisis terhadap sejuml ah indikator yang paling dominan (the best indicator) mempengaruhi tingkat inflasi kedepan. Berdasarkan hasil studi Yuda Agung (2002), nilai tukar merupakan the best indicator. Nilai tukar memberikan efek langsung terhadap inflasi oleh karena

itu volatilitas nilai tukar merupakan salah satu tantangan utama bagi Indonesia yang menjalankan kebijakan inflation targetting.

Tingkat inflasi yang tinggi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian nasional diantaranya dapat menurunkan daya beli masyarakat berpendapatan tetap dan rendah, dapat menurunkan gairah investor untuk berinvestasi, dapat menimbulkan alokasi sumber daya yang tidak efisien dan lain sebagainya. Inflasi ini tidak hanya berasal dari faktor dalam negeri (internal pressure) namun juga faktor luar negeri (external pressure), faktor eksternal dapat

(21)

maupun dari fluktuasi nilai tukar misalnya dengan adanya depresiasi rupiah akan mengakibatkan harga barang impor menjadi lebih mahal didalam negeri.

Perkembangan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir terutama setelah terjadinya krisis keuangan pada tahun 1997 di tandai dengan terjadinya depresiasi rupiah yang sangat besar sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Dari gambar dibawah terlihat bahwa nilai tukar Indonesia sejak pertengah tahun 1997 diwarnai dengan gejolak yang sangat tajam dan disertai dengan tekanan depresiasi yang sangat kuat. Menyebarnya pengaruh krisis nilai tukar di Thailand ke negara-negara ASEAN lainnya termasuk Indonesia menyebabkan merosotnya kepercayaan asing terhadap Indonesia sehingga terjadi pelarian modal ke luar negeri. Akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia.

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000

1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006

Exchange Rate Rp/Dollar US

Tahun

Gambar 1. Perkembangan Nilai Tukar Bulan Juli Tahun 1993 – Desember Tahun 2006

(22)

Selain itu memburuknya kondisi fundamental ekonomi dalam negeri dan munculnya krisis kepercayaan terhadap perbankan juga menjadi pemicu utama merosotnya rupiah hingga menembus batas atas kisaran intervensi Bank Indonesia yang menyebabkan semakin maraknya kegiatan spekulatif, semakin kuatnya tekanan terhadap rupiah menyebabkan pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem mengambang bebas.

Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar rupiah terlihat semakin bergejolak hingga me ncapai titik terendah Rp. 15 000 per US$ pada bulan Juni 1998, Meskipun kemudian mulai bergerak menguat kembali karena adanya bantuan finansial dari International Monetary Fund dan lembaga internasional lain serta mulai membaiknya kondisi makro ekonomi, namun kondisinya masih sangat rawan terhadap berbagai sentimen negatif dipasar.

Pada tahun 1999 Indonesia melakukan Pemilihan Umum. Gejolak nilai tukar selama periode tersebut cenderung apresiatif. Nilai tukar rupiah dari Januari sebesar Rp 8 000/US$ menguat terus hingga mencapai Rp 6 500/US$. Setelah itu nilai tukar mengalami depresiasi yang cukup besar pada akhir tahun 1999 hingga tahun 2000. Fluktuasi nilai tukar rupiah yang tajam mempunyai dampak yang luas terhadap kondisi perekonomian. Hal tersebut juga mempengaruhi kebijakan moneter yang diterapkan oleh Bank Indonesia mengingat dampak pergerakan nilai tukar terhadap inflasi baik secara langsung maupun tidak langsung (direct and indirect pass-through effect).

(23)

jangka panjang merupakan agenda utama yang perlu diupayakan secara sungguh-sungguh oleh Bank Indonesia hal tersebut bertolak dari argumen bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil akan meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh perekonomian. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.

70 80 90 100 110 120 130 140 150

99 00 01 02 03 04 05 06

CPI

Tahun index

Gambar 2. Perkembangan Consumer Price Index Bulan Januari Tahun 1999 - Desember Tahun 2006

Framework inflation tergetting yang diterapkan, masih menggunakan

besaran moneter sebagai sasaran antara, dalam praktek, sasaran inflasi yang diumumkan tersebut digunakan untuk menghitung target uang primer dengan menggunakan quantity theory of money (MV=PY) secara spesifik implementasi kebijakan moneter Bank Indonesia dilakukan dengan mene tapkan sasaran operasional, yaitu uang primer dan mengendalikan jumlah uang beredar (M1 dan M2) sebagai sasaran antara. Langkah selanjutnya adalah mengamati perkembangan indikator-indikator yang memberikan tekanan terhadap tingkat harga dan nilai tukar rupiah melalui piranti instrumen moneter seperti operasi

(24)

pasar terbuka (OPT) penentuan tingkat diskonto dan penetapan Giro Wajib Minimum bagi perbankan (Haryono, 2000).

Berkaitan dengan penawaran uang, otoritas moneter melalui instrumen kebijakan moneter mempunyai kekuasaan dalam mengendalikan jumlah uang beredar, kebijakan moneter yang ekspansif, menyebabkan tingkat inflasi domestik meningkat dan jumlah uang beredar meningkat, selanjutnya nilai tukar rupiah mengalami penurunan sedangkan berkaitan dengan permintaan uang pendapatan dan tingkat bunga merupakan faktor yang mempengaruhui nilai tukar. Aktivitas ekonomi domestik yang meningkat dapat menyebabkan permintaan uang domestik meningkat dan selanjutnya rupiah menguat sementara kenaikan dalam tingkat bunga menyebabkan jumlah uang beredar menurun dan selanjutnya tingkat inflasi domestik menurun.

Studi dari penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai tukar dan inflasi selama periode tahun 1999-2006 dimana model yang lebih tepat untuk ini adalah menggunakan pendekatan moneter. Perubahan dalam variabel moneter menyebabkan efek penting terhadap nilai tukar dan inflasi. Kebijakan pengendalian terhadap pergerakan nilai tukar rupiah yang dilakukan oleh pemerintah melalui otoritas moneter. Sejak pemerintah menetapkan penggunaan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate).

1.2. Perumusan Masalah

(25)

tukar mengambang sebagai pengganti regim nilai tukar terkendali (crawling peg). Perubahan sistem nilai tukar tersebut, diikuti dengan ketidakstabilan nilai tukar dan berakibat pada pergerakan indeks harga di dalam negeri yang tajam. Dampak fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap laju inflasi tercermin pada perkembangan inflasi kelompok barang yang diperdagangkan secara internasional (traded) yang terus mengalami peningkatan seiiring depresiasi rupiah. Selain itu fluktuasi perubahan nilai tukar (nominal dan riil), suku bunga maupun inflasi di Indonesia kurun waktu bulan Januari 1999 sampai Desember 2000 masih sangat tinggi dibandingkan dengan Korea, Malaysia dan Thailand. Begitu juga, dampak depresiasi nilai tukar rupiah terhadap inflasi tahun 2001 mengalami depresiasi sebesar 17.7 persen, index harga traded mencapai 11.73 persen (y-o-y) (Bank Indonesia, 2002).

Menurut Winata (2006) Indonesia sebagai salah satu small open economy masih memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dibanding negara – negara disekitarnya. Rata-rata inflasi Indonesia selama periode tahun 2000-2004 adalah sekitar 8.08 persen. Sementara itu, pada periode yang sama tingkat inflasi rata-rata di Malaysia, Singapura dan Thailand adalah masing-masing 1.62 persen, 1.23 persen dan 1.66 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengendalian tingkat inflasi dan stabilitas makroekonomi merupakan tantangan bagi pemerintah dan bank sentral.

(26)

bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainly) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

Dengan adanya tekanan pada nilai rupiah dan perubahan rezim nilai tukar serta pelaksanaan kebijakan inflation targetting yang telah dijalani oleh Bank Indonesia, maka menarik untuk menganalisis kebijakan moneter perihal uang beredar, suku bunga dan nilai tukar adalah variabel yang dapat dipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter dan bertindak sebagai sasaran antara sedangkan tingkat harga atau output dipertimbangkan sebagai sasaran akhir dari kebijakan moneter di Indonesia Oleh karena itu dalam studi ini, permasalahan yang akan diuji adalah :

1. Bagaimanakah respon variabel industrial production index, uang beredar dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai tukar dan inflasi.

2. Sejauh mana variabel – variabel makro dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi

(27)

I.3. Tujuan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui fluktuasi nilai tukar dan inflasi di Indonesia dengan tujuan sebagai berikut :

1. Menganalisis respon variabel industrial production index, uang beredar dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai tukar dan inflasi.

2. Menjelaskan secara empiris variabel-variabel makro yaitu industrial production index, tingkat inflasi, uang beredar dan perbedaan suku bunga

dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi di Indonesia 3. Merumuskan implikasi kebijakan moneter dari hasil-hasil analisis dalam

rangka menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi.

I.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dalam memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan studi empiris pendekatan moneter di Indonesia. Karena jika penelitian ini menghasilkan suatu hasil estimasi yang dapat dipercaya secara statistik dan didukung oleh teori yang tepat, maka pendekatan moneter dapat di gunakan dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar dan harga.

Dengan melakukan estimasi terhadap mata uang Amerika Serikat diharapkan kita dapat memperkirakan perubahan yang terjadi pada sektor moneter khususnya dan indikator ekonomi makro lainnya secara keseluruhan dari negara – tersebut.

(28)

paling dominan dan paling signifikan dalam mempengaruhi nilai tukar. Dengan demikian otoritas moneter dapat melakukan kebijakan yang bersifat antisipasi lebih awal. Apabila kondisi ini terjadi, maka biaya pengendalian moneter dapat diminimalkan.

1.5. Batasan Penelitian

1. Penelitian menggunakan data bulanan periode Januari 1999 – Desember 2006. Alasan utamanya dimana pada saat itu Indonesia menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas.

2. Nilai tukar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai tukar nominal rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat yang dilihat secara bulanan (monthly).

3. Pendapatan Nasional riil yang digunakan di Indonesia di proxy ke Industrial Production Index dimana metode ini mengukur output dari industri-industri

suatu negara yang diukur dalam bulanan. Indikatornya adalah peningkatan jumlah produksi dibanding periode sebelumnya yang dinyatakan dalam index.

4. Tingkat inflasi yang digunakan Indonesia adalah Consumer Price Index dengan tahun dasar 2002:100.

5. Suku bunga sebagai instrumen kebijakan moneter dalam penelitian ini adalah suku bunga SBI jangka waktu satu bulan dalam persen, sedangkan Amerika Serikat menggunakan US Prime 1 bulan karena pasar uang lebih mudah dalam menangkap sinyal kebijakan moneter melalui suku bunga. 6. Data yang digunakan dalam bentuk nominal dan data yang tidak dalam

(29)

7. Dalam penelitian ini tidak melihat faktor pengaruh langsung maupun tidak langsung baik dari impor maupun ekspor.

8. Pemodelan dilakukan untuk melihat pengaruh variabel moneter terhadap perekonomian dengan analisis Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) serta uji Granger

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Tukar

Pemilihan rezim nilai tukar pada umumnya didasarkan atas beberapa pertimbangan, (Goeltom dan Zulverdi, 1998) antara lain preferensi suatu negara terhadap keterbukaan ekonominya, apakah suatu negara lebih cenderung menerapkan kebijakan ekonomi yang terbuka atau tertutup. Jika suatu negara lebih cenderung menganut ekonomi yang lebih tertutup dan mengisolasikan gejolak keuangan dari negara lain (contagion effect) maka fixed exchange rate merupakan prioritas utama, sementara apabila suatu negara lebih condong terbuka, pilihan nilai tukar yang lebih fleksibel merupakan pilihan utama karena dengan sistem ini capital inflow dapat disterilisasi melalui sistem tersebut.

Tingkat kemandirian suatu negara dalam melaksanakan kebijakan ekonomi misalnya dalam hal melaksanakan kebijakan moneter yang independen maka sistem nilai tukar fleksibel merupakan pilihan utama. Kegiatan perekonomian suatu negara jika kegiatan suatu negara semakin besar, maka kegiatan volume transaksi ekonomi semakin meningkat, sehingga menyebabkan permintaan uang juga semakin bertambah. Dalam hal ini, sistem yang tepat digunakan adalah sistem nilai tukar fleksibel karena jika negara tersebut memiliki sistem nilai tukar tetap maka dibutuhkan cadangan devisa yang sangat besar untuk menjaga kredibilitas sistem nilai tukar tersebut.

(31)

besar dari gejolak di pasar uang (LM) maka pilihannya yang lebih baik adalah fixed exchange rate. Dalam hal keduanya tidak ada yang dominan maka kebijakan

yang terbaik adalah managed floating.

2.2. Sistem Nilai Tukar Mangambang Bebas

Sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system) adalah sistem nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing yang nilai tukarnya ditentukan melalui mekanisme pasar, yaitu melalui kekuatan tarik menarik antara permintaan dan penawaran terhadap valuta asing di pasar valuta asing pada waktu tertentu. Dengan kata lain, melalui sistem ini kecenderungan suatu mata uang mengalami apresiasi ataupun depresiasi relatif terhadap mata uang lainnya. Hal tersebut akan sangat tergantung pada minat pasar untuk memegang mata uang yang bersangkutan, tanpa adanya pembatasan maupun intervensi secara langsung dari pihak-pihak tertentu, termasuk intervensi langsung dari pemegang otoritas moneter suatu negara. Jadi dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar mata uang terhadap mata uang lainnya akan dibiarkan mengambang bebas, dalam arti fluktuasinya dibiarkan bebas tanpa dibatasi atau dikendalikan secara langsung. Sama seperti sistem nilai tukar yang lain, sistem nilai tukar mengambang bebas ini memiliki berbagai konsekuensi yang khas, baik yang positif maupun negatif, bagi perekonomian negara yang menerapkannya. Adapun konsekuensi positif (kelebihan) yang akan didapat oleh perekonomian suatu negara akibat menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sebagai berikut, (Sloman and Sutcliffe, 1998):

(32)

secara bebas menuju tingkat keseimbangannya di pasar valuta asing. Dalam hal ini ketidakseimbangan neraca pembayaran secara otomatis terkoreksi tanpa memerlukan kebijakan ekonomi pemerintah secara khusus.

2. Cadangan valuta asing suatu negara relatif utuh, dalam arti tidak digunakan untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing demi stabilisasi kurs. Karena, nilai tukar mata uang nasional secara otomatis akan segera disesuaikan dengan tingkat nilai tukar di pasar valuta asing.

3. Relatif lebih memiliki daya lindung terhadap fluktuasi perekonomian dunia. Negara yang menerapkan sistem ini tidak akan terikat secara langsung terhadap suatu kemungkinan munculnya gejolak inflasi dunia yang tinggi. Hal ini juga merupakan suatu perlindungan yang lebih luas dari goncangan dan fluktuasi ekonomi dunia.

4. Pemerintah memiliki kebebasan (otonomi) yang lebih besar dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi di dalam negerinya. Artinya, pemerintah dapat secara bebas memilih berapapun tingkat permintaan domestik yang dikehendaki, dan dengan mudah membiarkan pergerakan nilai tukar menyelesaikan berbagai permasalahan yang terdapat pada neraca pembayarannya.

5. Kondisi asimetri dan ketidakadilan ala Bretton Wood dapat dihilangkan. Setiap negara memiliki peluang dan kedudukan yang relatif sama, paling tidak menurut hitungan teoritis, untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang – mata uang asing lainnya.

(33)

1. Para pembuat keputusan, dalam hal ini bank sentral dan pemerintah, tidak lagi dibebani oleh kekuatiran terhadap berkurangnya cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar, dengan demikian dapat menyebabkan diterapkannya kebijaksanaan fiskal dan moneter yang terlalu ekspansif, yang bisa berakibat jatuhnya negara tersebut ke dalam perangkap inflasi. Atau dengan kata lain, dapat menyebabkan timbulnya kekurangan disiplinan pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan ekonominya.

2. Munculnya destabilizing speculation (spekulasi perusak stabilitas) dan gangguan terhadap pasar uang. Spekulasi perusak stabilitas ini cenderung memperbesar gejolak nilai tukar mata uang dalam jangka panjang daripada yang seharusnya terjadi sebagai akibat dari gangguan ekonomi yang tidak terduga. Hal ini akan membawa ketidakpastian pada bidang perdagangan dan investasi, khususnya dalam segala hal yang berkaitan dengan pembayaran luar negeri.

3. Timbulnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak terkoordinasi dengan baik. Masing-masing negara akan lebih berpeluang untuk menerapkan kebijaksanaan ekonomi sepihak yang menguntungkan dirinya sendiri, tanpa menghiraukan dampak negatif kebijakan tersebut terhadap negara lainnya. 4. Timbulnya ilusi tentang otonomi yang lebih besar. Para pembuat kebijakan

(34)

mengambang bebas dapat mempercepat reaksi harga terhadap kenaikan penawaran uang (sistem nilai tukar mengambang bebas tidak benar-benar memperkuat pengendalian terhadap tingkat penawaran riil uang).

Mengingat konsekuensi negatif yang mungkin terjadi, teruta ma dalam menghadapi destabilizing speculation (spekulasi perusak stabilitas) dan gangguan terhadap pasar uang domestik, maka wajar saja bila dalam praktek belum pernah ada sistem nilai tukar mengambang bebas yang diterapkan secara murni, dalam arti benar-benar terbebas dari intervensi yang sifatnya tidak langsung dari pemegang otoritas moneter.

2.3. Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia

Penentuan sistem nilai tukar merupakan suatu hal penting bagi perekonomian suatu negara karena hal tersebut merupakan satu alat yang dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengisolasikan perekonomian suatu negara dari gejolak perekonomian global.

Sesuai dengan undang-undang No 13 tahun 1968 tentang bank sentral salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah secara garis besar, sejak tahun 1970 Indonesia telah menerapkan sistem nilai tukar yaitu, (Goeltom dan Zulverdi, 1998):

1. Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rates 1970-1978)

Sesuai dengan undang-undang No. 32 tahun 1964, Indonesia menganut

sistem nilai tukar tetap dengan kurs resmi Rp. 250/USD (sebelum Rp. 45/USD) sementara kurs mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai

(35)

tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp. 415/USD, pada tanggal 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp. 625/USD.

2. Sistem Nilai tukar Mengambang Terkendali (1978-Juli 1997)

Pada sistem ini nilai tukar dilambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket of currencies) negara – negara mitra dagang utama Indonesia. Kebijakan ini diimplimentasikan bersamaan dengan dilakukan devaluasi rupiah pada tahun 1978 sebesar 33.6 persen Dengan sistem tersebut pemerintah menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak dipasar dengan spreed tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah dari spreed.

3. Sistem nilai tukar mengambang bebas (14 Agustus 1997)

(36)

2.4. Pendekatan Moneter

2.4.1. Teori Keseimbangan Pasar Uang

Didalam pendekatan moneter diasumsikan bahwa tingkat harga secara penuh ditentukan oleh perubahan permintaaan dan penawaran uang didalam perekonomian, dan dinyatakan sebagai berikut :

) , (i Y L

M P

S

IN = ...(2.1)

Atau

) , (i Y L P MS

= ...(2.2)

dimana :

P = tingkat harga domestik MS = uang beredar domestik L = permintaan uang domestik i = suku bunga nominal domestik Y = pendapatan nasional riil domestik

Persamaan (2.1) menunjukkan bahwa tingkat harga itu ditentukan oleh suku bunga, tingkat penawaran uang domestik dan tingkat output riil. Keseimbangan tingkat harga jangka panjang adalah nilai Pd yang memenuhi kondisi yang ditunjukkan oleh persamaan (2.1) dimana suku bunga dan output berada pada tingkat jangka panjang yang konsisten dengan full employment. Bila pasar uang berada pada kondisi keseimbangan, maka tingkat harga akan tetap bertahan apabila penawaran uang, fungsi permintaan uang dan nilai – nilai jangka panjang i dan Y tidak berubah.

(37)

Jika semua kondisi lainya tetap, kenaikan jumlah penawaran uang akan mengakibatkan kenaikan tingkat harga secara proposional.

Dengan demikian persamaan (2.2) dapat menjelaskan bahwa permintaan uang riil tidak akan meningkat sehubungan dengan kenaikan uang beredar (MS) yang tidak mengubah suku bunga (i) dan tingkat output (Yd), apabila penawaran uang riil juga tetap, agar penawaran uang riil (MS/P) tetap maka tingkat harga (P) harus mengalami kenaikan secara proposional dengan kenaikan uang beredar (MS).

2.4.2. Paritas Daya Beli 2.4.2.1.Hukum Satu Harga

Hukum satu harga (The law of one prices) menyatakan bahwa harga produk yang sama/ identik di dua negara yang berbeda akan sama pula bila dinilai dalam currency atau mata uang yang sama. Teori ini dikenal sebagai Purchasing Power Parity (PPP) absolut. Misalnya harga barang di Amerika adalah Pusa harga barang tersebut dalam rupiah dapat dituliskan PIN = PUS x Rp/USD dengan demikian nilai tukar adalah Rp/USD = PIN/PUS.

2.4.2.2. Purchasing Power Parity

(38)

negara lain akan mengalami apresiasi, ceteris paribus. Demikian sebaliknya, penurunan tingkat harga disuatu negara (kenaikan daya beli mata uang domestik) akan dibarengi dengan apresiasi secara proprosional, cateris paribus. Sedangkan nilai mata uang negara lainnya mengalami depresiasi.

Asumsi utama yang mendasari teori Purchasing Power Parity adalah bahwa pasar komoditi merupakan pasar yang efisien dilihat dari alokasi, operasional, penentuan harga, dan informasi (Tucker, et al, 1991). Secara implisit ini berarti: (1) semua barang merupakan barang yang diperdagangkan di pasar internasional (tradable goods) tanpa dikenal biaya transportasi sepersen pun, (2) tidak ada bea masuk, kuota, ataupun hambatan lain dalam perdagangan internasional, (3) barang luar negeri dan barang domestik adalah homogen secara sempurna untuk masing-masing barang, dan (4) adanya kesamaan indeks harga yang digunakan untuk menghitung daya beli mata uang asing dan domestik, terutama tahun dasar yang digunakan dan elemen indeks harga.

Oleh karena itu bila indeks harga di kedua negara identik, hukum satu harga menjustifikasi Purchasing Power Parity (Bailie and Mac Mahon, 1990) artinya bila produk/ jasa yang sama dapat dijual dipasar yang berbeda dan tidak ada hambatan dalam penjualan maupun biaya transportasi, maka harga produk/ jasa cenderung sama di kedua pasar tersebut. Bila kedua pasar tersebut adalah dua negara yang berbeda, harga produk/jasa tersebut biasanya dinyatakan dalam mata uang yang berbeda, namun harga produk /jasa tetap masih sama. Perbandingan harga hanya memerlukan satu konversi satu mata uang ke mata uang lain misalnya.

P S x

(39)

Dimana P* adalah harga produk luar negeri, dikalikan kurs spot/konversi (S) misalnya rupiah perdollar US), sama dengan harga produk dalam negeri (P) sebaliknya, bila harga kedua produk dinyataka n dalam mata uang lokal, dan pasar adalah efisien. Maka kurs valas dapat dinyatakan dalam harga lokal produk tersebut;

* /P P

S= ...(2.4) Dimana S adalah kurs spot dollar AS per rupiah. Bila hukum satu harga berlaku untuk segala jenis barang dan jasa, kurs Purchasing Power Parity dapat dijumpai pada sejumlah harga. Dalam teori PPP dikenal dua versi Purchasing Power Parity, yaitu : versi absolut dan versi relatif. Purchasing Power Parity versi

absolut mengatakan bahwa kurs valas dinyatakan dalam nilai harga di dua negara *

/ t

t

t P P

S = ...(2.5)

Dimana Pt dan Pt* masing-masing adalah harga rata-rata tertimbang dari komoditi di dua negara (tanda * menunjukkan luar negeri) dengan kata lain, Purchasing Power Parity absolut menerangkan bahwa kurs spot ditentukan oleh harga relatif

dari sejumlah barang yang sama (ditunjukkan oleh indeks harga) misalnya, katakanlah tingkat harga saat ini di Indonesia Rp. 110/USD sedang di AS sebesar Rp. 105/USD. Jika kurs awal dollar adalah Rp. 2 500 maka menurut Purchasing Power Parity, kurs rupiah yang dinilai dalam dollar AS seharusnya meningkat

(40)

tinggi seharusnya mengurangi nilai mata uangnya relatif terhadap mata uang dengan tingkat inflasi yang lebih rendah.

Sementara itu Purchasing Power Parity yang relatif mengatakan persentase perubahan kurs nominal akan sama dengan perbedaan inflasi diantara kedua negara, dinyatakan dalam konteks mendatang (ex ante terms), harapan perubahan kurs valas sama dengan harapan perbedaan inflasi

*

e t t e

t p p

S =∆ −∆

∆ ...(2.6)

Dimana ? Ste = harapan perubahan kurs spot (Set+1-St) ; ? pte = harapan perubahan inflasi, (pet+1 - pt) notasi yang dinyatakan dalam huruf kecil berarti dinyatakan dalam bentuk logaritma natural (misal ; S = Ln S ) tanda * diatas variabel menunjukkan negara asing. Baik Purchasing Power Parity versi absolut maupun relatif dapat dinyatakan dalam nilai kurs Purchasing Power Parity riil (real exchange rate, StPPP) sebagai berikut:

t t t PPP

t S P P

S = */ ...(2.7)

Dimana mendefenisikan kurs riil dalam nilai daya beli antara dua kelompok konsumsi barang dengan kata lain, Purchasing Power Parity absolut dapat dinyatakan sebagai StPPP =1 ; dan Purchasing Power Parity relatif dapat nyatakan dalam = St+1 PPP = StPPP.

2.4.3. Teori Paritas Suku Bunga

Teori berikutnya adalah berlakunya teori paritas suku bunga (Interest Rate Parity), yang menyatakan bahwa pasar valuta asing berada dalam kondisi

(41)

antara kurs dimasa mendatang dengan nilai tukar spot relatif terhadap nilai tukar spot. Kondisi demikian menunjukkan bahwa masyarakat tidak akan memperoleh

keuntungan apapun bila menginvestasi dananya diluar negeri secara matematis, teori Interest Rate Parity dinyatakan sebagai berikut :

US

Pada bagian kanan persamaan (2.8) menunjukkan keuntungan atau kerugian yang diperolehkan bila menyimpan aset dalam mata uang domestik jika suku bunga rupiah lebih tinggi daripada suku bunga dollar (iIN>iUS) berarti ada keuntungan yang akan diperoleh bila menyimpan aset domestik. Dengan demikian akan banyak investor berusaha untuk mengalihkan portofolio asetnya kedalam rupiah, sehingga akan terjadi capital inflow. Adanya capital inflow nantinya akan menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar mengalami apresiasi. Sebaliknya apabila iIN < iUS, berarti ada keuntungan yang akan diperoleh bila menyimpan aset dalam dollar Amerika Serikat. Hal ini akan mendorong terjadinya capital outflow sehingga rupiah nantinya mengalami depresiasi terhadap dollar Amerika Serikat. Sedangkan bagian kiri persamaan (2.9) menunjukkan adanya resiko yang akan ditanggung ataupun keuntungan yang akan diperoleh bila terjadi perubahan nilai tukar. Apabila (iIN >iUS) > (SeRp/$ > SRp/$), maka akan lebih menguntungkan bila menyimpan aset domestik, demikian pula sebaliknya.

(42)

yang harus diimbangi dengan penurunan tingkat bunga dalam negeri. Persamaan (2.8) selanjutnya dituliskan kembali sebagai berikut:

e iUS = suku bunga simpanan dollar (luar negeri) pertahun

SeRp/$ = perkiraan nilai tukar pada waktu yang akan datang (Forward) SRp/$ = nilai tukar yang berlaku saat ini (Spot)

? e = ekspektasi depresiasi nilai tukar

Sedangkan penentuan nilai tukar antara rupiah dan dollar berdasarkan pendekatan moneter dimulai dengan fungsi permintaan uang nominal dari Indonesia (MdIN) dan Amerika Serikat (MdUS) dalam keseimbangan, jumlah uang yang diminta sama dengan jumlah uang yang ditawarkan. Jadi MdIN=MsUS. Kemudian persamaan (2.9) tersebut dapat kita subtitusikan kedalam persamaan money market equilibrium (2.10) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :

)

Selanjutnya menurut teori Purchasing Power Parity pada persamaan (2.5) maka persamaan nilai tukar dapat diturunkan sebagai berikut :

)

(43)

untuk melihat hubungan antara nilai tukar, jumlah uang beredar, output, suku bunga dan tingkat harga.

2.4.4. Ekspektasi Rasional

Asumsi lain untuk melengkapi analisis ini adalah berlakunya Rational Expectation yaitu bahwa semua agen ekonomi mengetahui bekerjanya mekanisme

perekonomian. Dalam hal ini apabila dinyatakan eadalah nilai tukar

keseimbangan, maka dapat diasumsikan bahwa SeRp/$=e~hal ini dapat

menggambarkan arah perkembangan perekonomian yaitu dengan menganalisis hubungan antara tingkat harga dan nilai tukar yang memenuhi persamaan (2.9 dan 2.10) (Ickes,2004)

Dalam jangka panjang ?e=0, maka persamaan (2.9) dapat dituliskan menjadi sebagai berikut :

) (US, IN

IN S

IN L i Y

P M

= ...(2.13)

Berapapun besarnya nilai tukar akan selalu konsisten dengan money market equilibrium, sebaliknya dalam jangka pendek ?e ? 0 misalnya apabila ?e > 0

dimana nilai tukar diharapkan akan mengalami depresiasi sesuai dengan persamaan (2.8) maka suku bunga di Indonesia lebih tinggi daripada suku bunga di Amerika Serikat, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan permintaan uang agregat. Untuk menjaga kondisi keseimbangan pasar uang pada jumlah uang beredar yang tertentu, maka tingkat harga domestik harus mengalami penurunan jadi dalam hal ini untuk menjaga money market equilibrium terdapat hubungan negatif antara nilai tukar dengan tingkat harga.

(44)

sangat penting. Berdasarkan pendekatan moneter, dapat diperoleh gambaran mengenai hubungan antara uang beredar, suku bunga, nilai tukar, output, tingkat harga didalam perekonomian.

Apabila tingkat harga di asumsikan fleksibel (Holod D ,2000), dimana tingkat harga merespon secara langsung atau on impact perubahan jumlah uang beredar. Ekspansi moneter akan mengarahkan terjadinya kenaikan tingkat harga dengan berlakunya Purchasing Power Parity dalam jangka pendek. Maka kenaikkan tingkat harga pada gilirannya kemudian akan me nyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar. Time path tingkat harga dan nilai tukar yang di harapkan mengikuti adanya kebijakan ekspansi moneter pada asumsi tingkat harga fleksibel dapat digambarkan sebagai berikut :

a) Time Path Tingkat Harga Setelah b) Time Path Nilai Tukar setelah

Terjadinya Ekspansi Moneter Terjadinya Ekspansi Moneter Gambar 3. Time Path Asumsi Tingkat Harga Fleksibel

Sebaliknya, apabila tingkat harga sticky dimana Purchasing Power Parity tidak berlaku dalam jangka pendek, kebijakan moneter beroperasi melalui jalur suku bunga. Positif shock pada kebijakan moneter domestik akan meningkatkan real money supply, karena tingkat harga sticky dalam jangka pendek maka

peningkatan jumlah uang beredar ini akan menurunkan suku bunga domestik dengan berlakunya Interest Rate Parity, maka pembuat kebijakan melakukan

PIN

(45)

antisipasi dengan apresiasi mata uang domestik didalam jangka panjang dengan turunya suku bunga domestik dan terjadinya apresiasi mata uang domestik menyebabkan nilai aset domestik tidak menarik, sehingga terjadi aliran modal domestik keluar dan mata uang domestik terdepresiasi.

a) Time Path Tingkat Harga Setelah b) Time Path Nilai Tukar Setelah Terjadinya Ekspansi Moneter Terjadinya Ekspansi Moneter

Gambar 4. Time Path Asumsi Tingkat Harga Sticky

2.5. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekono mian yang di inginkan yaitu stabilitas ekonomi makro yang antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (laju inflasi) dan pertumbuhan ekonomi (Warjiyo, 2003).

2.5.1. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter

Kerangka operasional kebijakan moneter yang diterapkan oleh bank sentral di berbagai negara pada dasarnya memiliki konsep yang sama. Di satu sisi, bank sentral ingin mencapai sasaran – sasaran akhir yang menjadi tugas pokok nya seperti laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Namun di sisi lain, bank sentral hanya mampu mempengaruhi beberapa instrumen kebijakan yang secara langsung di bawah pengendaliannya.

(46)

Karena itu diperlukan sasaran operasional sebagai sasaran segera yang hendak dicapai dari penggunaan instrumen tersebut dan dengan suatu mekanisme tertentu yang diasumsikan dapat mempengaruhi sasaran antara. Pada dasarnya pencapaian sasaran antara ini diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir yang di inginkan. Jadi alur mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia adalah instrumen kebijakan moneter, kemudian sasaran operasional, sasaran antara, dan terakhir adalah sasaran akhir (Hascaryo, 2003).

2.5.2. Instrumen Kebijakan Moneter

Dalam mencapai tujuannya, bank sentral memiliki beberapa instrumen kebijakan moneter yaitu operasi pasar terbuka (open market operation), cadangan minimum (reserve requirement), dan kebijakan diskonto (discount policy).

1. Operasi Pasar Terbuka

Operasi pasar terbuka (Miskhin, 2001) merupakan intervensi yang dilakukan bank sentral untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar dengan membeli atau menjual surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang . Sertifikat Bank Indonesia merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sedangkan Surat Berharga Pasar Uang diterbitkan oleh perusahaan atau bank. Kedua instrumen ini dikeluarkan pada saat bank sentral ingin membekukan likuiditas.

(47)

moneter dan terkadang digunakan sebagai alternatif investasi (Agung, 1998). Bank sentral akan melakukan kebijaka n moneter yang bersifat kontraksi dengan menjual surat berharga dan melakukan kebijakan ekspansif dengan membeli surat berharga.

Terdapat beberapa keuntungan kebijakan moneter dengan menggunakan instrumen pasar terbuka, (Miskhin, 2001) diantaranya : (1) Operasi Pasar Terbuka merupakan kebijakan moneter yang muncul atas inisiatif dari bank sentral untuk mengontrol jumlah uang beredar, (2) Operasi Pasar Terbuka dapat digunakan secara luas, fleksibel dan tepat, (3) Operasi Pasar Terbuka sangat mudah dikoreksi atau dibetulkan jika terdapat kesalahan dalam pengambilan suatu kebijakan, dan (4) Operasi Pasar Terbuka dapat diterapkan secara cepat.

2. Giro Wajib Minimum

Giro Wajib Minimum atau cadangan minimum bank merupakan dana yang harus disimpan oleh perbanka n pada bank sentral. Besarnya Giro Wajib Minimum merupakan cerminan dari kebijakan bank sentral dalam menentukan besarnya jumlah uang uang beredar. Giro Wajib Minimum jarang digunakan sebagai instrumen kebijakan.

Kelebihan menggunakan instrumen Giro Wajib Minimum (Miskhin, 2001) adalah memiliki dampak yang sama ke semua bank dan sangat berpengaruh terhadap jumlah uang beredar. Kekurangan penggunaan Giro Wajib Minimum adalah peningkatan Giro Wajib Minimum secara cepat akan mengakibatkan masalah likuiditas bagi bank – bank yang memiliki excess reserves yang rendah. 3. Tingkat Diskonto

(48)

digunakan. Kebijakan ini hanya bisa dipakai oleh bank, berkaitan dengan fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort, artinya bank sentral sebagai alternatif terakhir bagi bank untuk memperoleh dana jika kekurangan likuiditas. Biasanya Bank Indonesia akan mengenakan suku bunga di atas rata-rata.

Kekurangan menggunakan instrumen ini sebagai kebijakan moneter (Miskhin, 2001) yaitu; (1) menimbulkan kebingungan bagi bank sentral untuk menetapkan tujuan ketika perubahan tingkat diskonto diumumkan, dan (2) ketika bank sentral menetapkan tingkat diskonto pada level tertentu, akan terjadi fluktuasi antara suku bunga pasar dengan tingkat diskonto (i-id) sebagai perubahan suku bunga pasar.

Secara umum, kebijakan moneter yang sehat memiliki karakteristik – karakteristik sebagai berikut, (Nugroho, 2002):

1. Bersifat antisipatif (forward looking) karena adanya lag kebijakan moneter 2. Hanya memiliki satu nominal anchor, sehingga sasaran kebijakan akan lebih

terfokus.

3. Mengikatkan diri pada suatu rule namun cukup fleksibel dalam operasionalnya (constrained discretion).

4. Sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate government, yaitu memiliki tujuan yang jelas, transparan dan berakuntabilitas.

(49)

kecenderungan bahwa sasaran akhir kebijakan moneter adalah kestabilan harga yang artinya memfokuskan pada sasaran tunggal.

Kebijakan moneter dengan sasaran tunggal pada umumnya menggunakan pendekatan harga (price-based structure), sementara kebijakan moneter dengan sasaran multi menggunakan pendekatan kuantitas (quantitas-base structure). Tugas pokok Bank Indonesia sebagai otoritas moneter adalah merencanakan dan membuat program moneter (moneter programming) yang intinya adalah melakukan perencanaan kebijakan pengendalian uang beredar (moneter) seperti yang diterangkan pada Tabel 1. Dalam penyusunan program moneter, penentuan sasaran operasional dilakukan dengan memperhitungkan beberapa asumsi berikut: 1. Kebijakan dan perkembangan sektor-sektor lain (fiskal, perdagangan dan

investasi, dan lain-lain) akan berjalan seperti ditetapkan.

2. Adanya hubungan yang stabil antara uang primer (sebagai sasaran operasional) dengan uang beredar (sebagai sasaran antara). Kondisi ini mensyaratkan adanya stabilitas perkembangan money multiplier.

Tabel 1. Kerangka Secara Umum Sistem Operasi Kebijakan Moneter

Pendekatan Sistem Operational

a. Pendekatan harga Instrumen Sasaran Operasional Sasaran Akhir

- Langsung - Suku bunga PUAB - Stabilitas harga - Tidak langsung

b. Pendekatan Kuantitas

Intrumen Sasaran Sasaran Antara Sasaran Akhir Operasional

- Langsung - monetary base -Besaran moneter - Stabilitas harga - Tidak Langsung seperti: seperti : - Pertumb.Ekonomi

• Uang Primer o MI,M2 - Kesemptan Kerja

• Reserve bank o Suku bunga - Keseimbangan o Nilai Tukar BOP

0Kredit Perbankan

Sumber : Ascarya, 2002

2.5.3. Sasaran Operasional

(50)

suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan tingkat diskonto surat Berharga Pasar Uang (SBPU) merupakan tiga pilihan suku bunga jangka pendek yang dapat digunakan sebagai sasaran operasional. Pemilihannya didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, seberapa cepat perubahan masing-masing suku bunga jangka pendek tersebut ditransmisikan ke perubahan suku bunga deposito atau kredit dan perubahan nilai tukar. Kedua, seberapa jauh perubahan suku bunga jangka pendek tersebut dapat dipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Ketiga jenis suku bunga jangka pendek tersebut mempunyai kelebihan sekaligus kekurangan masing-masing. Suku bunga SBI dan tingkat diskonto SBPU mempunyai kelebihan karena dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia. Bahkan kedua suku bunga ini dapat sekaligus menjadi instrumen dan sasaran operasional kebijakan moneter. Perbedaanya terletak pada pandangan perbankan bahwa SBI sebagai alternatif investasi, sementara SBPU sebagai alternatif pendanaan. Karena itu tingkat diskonto SBPU sering diyakini lebih dekat hubungannya dengan suku bunga deposito dan kredit.

Sementara itu, suku bunga PUAB mempunyai kelebihan karena lebih menggambarkan kondisi pasar uang sebagai salah satu alternatif pendanaan dan penanaman modal jangka pendek perbankan. Karena langsung mempengaruhi return dan risk perbankan maka perubahan suku bunga ini diperkirakan lebih

(51)

2.5.4. Sasaran Antara

Tercapainya sasaran akhir kebijakan moneter seperti laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi akan sangat bergantung pada kemampuan Bank Indonesia dalam mempengaruhi permintaan agregat baik konsumsi, investasi, maupun transaksi berjalan. Untuk itu bank Indonesia dapat menggunakan model ekonomi makro yang telah ada untuk memperkirakan seberapa besar permintaan agregat yang dianggap aman dan sesuai dengan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. sasaran tersebut diperlukan untuk dipergunakan sebagai acuan dalam memperkirakan besarnya demand pressure atau output gap yang dapat ditolerir dan perlu dikendalikan melalui kebijakan moneter yang dilakukan.

Langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu indikator yang dapat dipergunakan sebagai sasaran antara dalam pengendalian permintaan agregat tersebut. Dalam hubungan ini, Indikator Kondisi Moneter (IKM) yang ditempuh oleh Kanada, Selandia Baru, dan Australia kiranya dapat digunakan sebagai acuan penerapannya di Indonesia. IKM pada dasarnya mengukur pengaruh suku bunga dan nilai tukar terhadap aggregate demand pressures yang dicerminkan pada besarnya output gap sebagai berikut:

(52)

Parameter a dan ß diperoleh melalui penaksiran fungsi permintaan agregat dengan variabel suku bunga dan REER sebagai varaibel bebas. Dengan demikian suatu rasio IKM yang dicerminkan dengan a/ß menunjukkan seberapa kuatnya pengaruh sukubunga terhadap permintaan agregat relatif terhadap pengaruh REER. Rasio IKM ½ artinya bahwa 1 persen pengaruh kenaikkan suku bunga sama dengan 2 persen apresiasi nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan agregat. Dengan kata lain, agar permintaan agregat tidak mengalami perubahan maka kenaikan suku bunga sebesar 1 persen harus diimbangi dengan depresiasi nilai tukar sebesar 2 persen. Semakin rendah rasio IKM berarti bahwa untuk mempengaruhi permintaan agregat diperlukan fluktuasi nilai tukar yang lebih besar.

Karena IKM dinyatakan dalam perubahan relatif terhadap periode dasar maka perkembangan IKM dari waktu ke wkatu menunjukkan semakin besar/tidaknya agregate demand pressures. Kenaikan IKM menggambarkan semakin besarnya pengaruh suku bunga dan nilai tukar dalam mengurangi tekanan permintaan agregat tersebut. Dengan kata lain, gerakan IKM menunjukkan ketat/tidaknya stance dari kebijakan moneter yang ditempuh. Apabila bank Indonesia ingin mengetatkan pengendalian untuk mengantisipasi tekanan permintaan agregat yang semakin besar maka IKM diupayakan untuk dapat ditingkatkan dari waktu kewaktu.

2.5.5. Sasaran Akhir

(53)

Berbagai perubahan mendasar terutama perubahan sistem nilai tukar tetap menjadi sistem nilai tukar yang fleksibel mengharuskan Indonesia untuk memikirkan kembali tentang bagaimana kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Suatu hal yang pasti adalah dalam sistem nilai tukar fleksibel, gerakan nilai tukar akan berfluktuasi sesuai dengan kekuatan pasar sehingga tidak lagi dapat diarahkan untuk mencapai suatu sasaran tingkat depresiasi tertentu untuk mendorong ekspor.

Dengan demikian, dalam sistem nilai tukar fleksibel, kebijakan moneter lebih difokuskan pada pengendalian permintaan agregat. Lebih jelasnya bahwa kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan tekanan-tekanan permintaan (aggregate demand pressures) yang disebabkan oleh tingginya kesenjangan antara permintaan agregat dengan output potensial (output gap). Hal ini mengingat besarnya output gap tersebut menentukan tingkat laju inflasi dan laju pertumbuhan dalam ekonomi. Semakin tinggi output gap, laju pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi, akan tetapi akan dibarengi dengan laju inflasi yang lebih tinggi pula. Bank Indonesia harus menentukan seberapa jauh output gap tersebut akan diperkecil untuk menentukan imbangan antara sasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap paling optimal.

2.6. Hasil Penelitian Terdahulu

(54)

Pengendalian moneter dalam kerangka inflation targetting dapat dilakukan dengan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank overnight sebagai kandidat utama sasaran operasional dan (Monetary Condition Index) sebagai sasaran antara, sementara underlying inflation sebagai sasaran akhir tunggal. Sementara penggunaan Monetary Condition Index sebagai sasaran antara tidak dilakukan secara kaku (policy rules) tetapi dimungkinkan terjadinya discretionary policy sepanjang shock terhadap inflasi dan nilai tukar berasal dari supply shock

dan bersifat sementara. Disamping itu masih kuatnya hubungan langsung antara monetary aggregate dengan inflasi maka pengalihan kebijakan moneter dari

quantity targetting ke price targeting bukan merupakan substitusi penuh.

Monetary aggregate masih tetap digunakan sebagai variabel indikator untuk

mendeteksi tekanan terhadap inflasi.

Studi empiris mengenai mekanisme transmisi moneter di Indonesia yang menjelaskan mengenai sumber – sumber fluktuasi makroekonomi di Indonesia telah dilakukan oleh Siregar and Ward (2002). Penelitian ini mengemukakan bahwa shock kebijakan moneter mempengaruhi output melalui suku bunga domestik kepada nilai tukar. Namun shock nilai tukar lebih penting dan menandakan bahwa adanya keterbatasan dari kebijakan moneter dalam upaya menstabilkan fluktuasi makroekonomi Indonesia. Selain itu, diinformasikan pula bahwa shock General Spending Balance atau nilai tukar rupiah riil terhadap nilai tukar riil dan permintaan uang ternyata mempunyai pengaruh nyata sehingga efek guncangan tersebut terhadap output lebih besar.

(55)

fiskal kendala utamanya adalah pemerintah menanggung beban hutang dan tekanan memperbaiki pengeluaran pembangunan. Sementara pada sisi moneter bagaimana mengupayakan tingkat inflasi yang rendah dan kebutuhan bagaimana memelihara likuiditas untuk mendorong perekonomian yang resesi. Didukung dengan adanya kompleksitas permasalahan moneter dan fiskal menyebabkan pengambilan kebijakan saling bertolak belakang dan sulit terkoordinasi dengan baik. Kajian mengenai hal tersebut menghasilkan suatu model trade off antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan bahwa inflasi yang tinggi namun sampai pada batas tertentu masih berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

(56)

dimana P* adalah tingkat harga luar negeri, ? * adalah expected rate of inflation, M adalah stok uang nominal dan e adalah nilai tukar.

Model ini menyatakan bahwa inflasi yang terlalu diantisipasi dapat meningkatkan tingkat bunga nominal yang selanjutnya menyebabkan nilai tukar spot menurun, yang berarti mata uang domestik mengalami apresiasi, interpretasi

lain untuk pendekatan ini menyatakan bahwa tingkat bunga tinggi menurunkan pengeluaran dan menyebabkan surplus dalam neraca pembayaran, yang selanjutnya menurunkan nilai tukar spot.

Dornbusch (1976) telah menunjukkan bahwa nilai tukar fleksibel tidak memberikan penyekatan dari gangguan harga luar negeri, dalam jangka pendek, harga atau ekspektasi adalah lambat untuk menyesuaikan. Ia juga membedakan antara komoditi yang diperdagangkan dan yang tidak diperdagangkan. Dornbusch memberikan fungsi logaritmik sebagai berikut :

*) *)( (

*)

( − + − φ −φ

= M M L L

e ...(2.14)

dimana:

M = pertumbuhan kuantitas nominal uang domestik M* = pertumbuhan kuantitas nominal uang luar negeri L = permintaan keseimbangan riil domestik

L* = permintaan keseimbangan luar negeri

φ −φ*= Harga relatif barang yang diperdagangkan domestik dan asing.

(57)

kedua menjelaskan efek perubahan permintaan uang riil. Jadi kenaikan dalam permintaan uang riil akan menyebabkan apresiasi dalam mata uang domestik. Bentuk terakhir menjelaskan efek perubahan dalam harga struktur relatif atas nilai tukar.

Frangkel (1979) menemukan faktor untuk versi harga kaku (the sticky price). Frangkel (1984), kembali mengestimasi suatu variasi struktur model nilai

tukar yang berbeda dari versi harga fleksibel dan kaku dari pendekatan moneter. Ia menemukan beberapa point kritik dalam model moneter seperti pergeseran dalam fungsi permintaan uang dan nilai tukar dalam jangka panjang.

Dibawah pendekatan moneter, proses penyesuaian dimana pendekatan tingkat keseimbangan nilai tukar aktual didefenisikan dengan baik untuk sistem nilai tukar tetap dan fleksibel. Untuk mengantisipasi gangguan terhadap neraca pembayaran, suatu negara dapat : 1) meng-peg kan nilai tukarnya dari pengaruh fluktuasi pasar valas, atau 2) ia dapat membolehkan nilai tukar untuk menyesuaikan dan menjaga tingkat cadangan konstan atau 3) ia dapat melakukan beberapa kombinasi perubahan cadangan dan nilai tukar.

Kombinasi model nilai tukar nominal dan riil memberikan suatu kerangka yang luas untuk menganalisa perekonomian terbuka. Tetapi disebabkan upah dan harga adalah fleksibel ia dapat menjelaskan deviasi dari purchasing power parity hanya untuk memperluas gangguan yang berasal dalam sektor riil. Cagan (1984) telah memodifikasi modelnya dengan memperkenalkan harga dinamis. Dengan harga secara sesaat kaku, gangguan moneter dapat menyebabkan deviasi sesaat dari Purchasing Power Parity dan overshooting nilai tukar akan terjadi.

Gambar

Gambar 1.  Perkembangan Nilai Tukar Bulan Juli Tahun 1993 – Desember  Tahun 2006
Gambar 2.  Perkembangan Consumer Price Index Bulan Januari
Gambar 3.  Time Path Asumsi Tingkat Harga Fleksibel
Gambar 4. Time Path Asumsi Tingkat Harga Sticky
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melihat keempat faktor tersebut antara IHSG, Suku Bunga Bebas Risiko, Inflasi dan Nilai Tukar Rupiah yang berkaitan terhadap kinerja portofolio Reksa Dana, maka penulis

terdahulu yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini atau yang akan diteliti debgan judul “Pengaruh Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dan Devisa Terhadap Neraca

Kedua, dari hasil olahan data ditemukan bahwa suku bunga kebijakan bank sentral, dan jumlah uang beredar berpengaruh positif terhadap nilai tukar rupiah selama

Sistem nilai tukar adalah sistem yang digunakan untuk pembentukan harga mata uang rupiah terhadap mata uang asing, sistem ini diberlakukan mulai periode tahun 1970, dalam hal ini

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Inflasi, Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), dan Nilai Tukar Rupiah, terhadap Nilai Aktiva Bersih (NAB)

Nilai Tukar Rupiah Mempunyai Pengaruh Yang Positif Terhadap Ekspor Dari hasil perhitungan diperoleh nilai t hitung untuk variabel nilai tukar rupiah adalah sebesar 3,460

Indra Suhendra (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Faktor Fundamental, Faktor resiko dan Ekspektasi Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar Rupiah (Terhadap

Berbagai penelitian diatas menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda dari variabel BI Rate, Inflasi, Nilai Tukar Rupiah, dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah SBIS terhadap indeks saham