• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KAJIAN TEORI

B. Novel

2. Sastra Sejarah

Berbicara tentang sastra memang tidak akan bisa terlepas dari disiplin ilmu lainnya. Sastra tidak bisa lahir begitu saja tanpa ada campur tangan dari ilmu lain atau setidaknya kehidupan yang mendukungnya. Sastra yang sudah terlahir dapat dikatakan sebagai cerminan dari kehidupan-kehidupan yang secara tidak sengaja telah lahir dan hidup subur dan sengaja diamati oleh penciptanya, yaitu pengarang.

Dewasa ini dunia kesusastraan dibanjiri oleh beragam disiplin ilmu yang mentranformasikan wujudnya ke dalam karya sastra. Katakanlah sebuah novel yang banyak menampung berbagai ide dan terbuka bagi semua disiplin ilmu. Di dalamnya banyak dijumpai unsur-unsur ilmu alam yang mendominasi dan menjadi alur, latar bahkan tokohnya pun terarah kepada keilmuan alam tersebut. Tidak hanya ilmu alam saja yang kian menyerbu dunia kesusastraan, ilmu sosiologi dan antropologi pun ikut menjamur dan ambil bagian dalam pembuatan sebuah novel. Namun, ada satu disiplin ilmu yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut dalam dunia sastra, yakni sejarah.

Sejarah, pada hakikatnya adalah sebuah disiplin ilmu yang bertanggung jawab penuh terhadap pewartaan tiap kejadian di masa lalu untuk dikaji di masa kini dan diambil pelajaran yang terdapat dalam tiap kisahnya. Seringkali, sejarah hanya dianggap sebuah bentuk penceritaan yang tidak bisa diganggu gugat, seperti membaca sebuah kabar dari surat kabar hari ini. Sebagai disiplin ilmu, sejarah berfungsi mengubah pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang posisinya layak disejajarkan dengan ilmu alam dan sosial lainnya seperti geografi. Seperti disiplin ilmu lainnya, seorang sejarawan tidak bertanggung jawab terhadap permasalahan bahasa, meskipun untuk memberitakannya kepada khalayak luas, bahasa adalah satu-satunya media yang tepat untuk itu. Mereka, para ilmuwan, sejarawan dan filsuf termasuk di dalamnya, hanya memiliki tanggung jawab terhadap esensi isi dari sejarah yang ia paparkan. Itulah yang menyebabkan seringnya teks sejarah menjadi

sebuah teks yang membosankan dan merumitkan pembacanya karena belum tentu seorang sejarawan atau arkeolog yang lihai menggali fakta-fakta sejarah di masa lampau juga lihai dalam mengolah kata.

Pada posisi inilah sastrawan mendapat peran ganda yang tak semua ilmuwan mendapatkannya. Seorang sastrawan, selain ia bertanggung jawab terhadap penampilan sebuah cerminan masyarakat, juga terhadap pengeksploitasian bahasa yang tepat untuk tujuan yang pertama tadi.

Keterkaitan antara sastra dengan sejarah bukanlah barang baru dalam sejarah kesastraan. Tercatat bahwa Aristoteles pun pernah memperdebatkan masalah sastra dengan sejarah. Pokok permasalahanya adalah bahasa sejarah bermain dalam ranah lampau dan sastra berada di wilayah penceritaan yang mungkin saja terjadi. Selain itu, “sejarah hanya menceritakan masa lalu tanpa pernah bisa menceritakan masa yang akan datang, seperti halnya sastra yang terkadang juga bisa menceritakan hal yang belum terjadi”.63

Sastra dan sejarah juga saling berkaitan jika ditinjau dari segi etimologisnya. “Padanan kata sejarah dalam bahasa Inggris adalah history dan sastra yang diwakili oleh kata cerita memiliki berpadanan dengan story dalam bahasa yang sama”.64 Historia berarti cerita, sejarah, penelusuran fakta atau peristiwa. Kira-kira sekitar tahun AD 1700, ilmu sejarah berkembang sebagai ilmu pengetahuan tersendiri, khususnya berkembang dengan kritik dan data. Akibatnya di dunia barat nampaknya sejarah dan sastra makin terlihat jelas bedanya, yang satu menjelaskan fakta-fakta yang sungguh terjadi dan yang satu lagi bermain dalam imajinasi walaupun juga terkadang digunakan fakta sebagai bahan untuk menciptakan karya.65 Misalnya saja, kisah sejarah Gajah Mada sendiri tentunya berbeda dengan Pentalogi Gajah Mada karangan Langit Kresna Hariadi meskipun Langit sendiri untuk membuatnya memerlukan

63Ibid

, h. 331. 64

A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 244.

34

waktu yang tak sebentar dalam melakukan riset atas validitas data yang hendak diolahnya. Dalam karya sejarah yang paling ilmiah pun masih terdapat unsur subjektivitas pengarang yang tidak terhindar karena untuk kasus ini, posisi sejarah sama dengan sastra yang multitafsir, meskipun sifatnya masih tetap lebih besar kemultitafsiran sastra.

Sebagai hasil dari keterkaitan antara sejarah dengan sastra adalah

“hadirnya tiga aspek terpenting dalam sastra, yaitu sejarah sastra, sastra sejarah dan novel sejarah”.66 Sejarah sastra berfungsi untuk mencatat rangkaian peristiwa sastra sejak lahir hingga sekarang yang dengan sendirinya tersusun secara kronologis. Sastra sejarah adalah karya sastra (hikayat) yang mengandung unsur-unsur sejarah, seperti babad (Babad Buleleng, Babad Tanah Jawi), hikayat (Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Raja Malaka). Sastra sejarah juga sering disebut teks historis atau teks genealogis. Ia tumbuh subur pada masyarakat yang belum dapat membedakan secara jelas antara rekaan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Teks historis ini ada hampir di seluruh tanah nusantara.

Konsep yang dihadirkan dalam sastra sejarah dengan novel sejarah berbeda. Sebagai peninggalan kebudayaan masyarakat lampau, sastra sejarah merupakan refleksi sekaligus sebagai dokumen yang memandang bahwa seni dan ilmu memiliki tugas yang sama, menghibur sekaligus mendorong perkembangan masyarakat. Dilihat dari bagaimana keduanya lahir juga berbeda. Sastra sejarah lahir sebagai akibat dari adanya kearifan budaya masyarakat setempat sedangkan novel sejarah lahir sebagai genre tradisi sastra modern. Selain itu, sastra sejarah lebih bersifat dokumen atau prasasti yang dianggap memiliki nilai magis dan bernilai sejarah yang tinggi sedangkan novel sejarah tidak lebih dari bersifat fiksional.

66

Lebih ringkas dijelaskan bahwa novel sejarah adalah “novel yang memaparkan kejadian atau tokohnya dalam konteks sejarah yang jelas, dan ia bisa pula memasukkan tokoh-tokoh rekaan dan nyata dalam rangkaian ceritanya”.67 Dalam sumber lain, novel sejarah lebih mengutamakan penceritaannya pada peristiwa atau tokoh sejarah tertentu. Sebagai karya fiksi, semata-mata unsur itulah yang bersifat sebagai fakta sejarah, sedangkan bagaimana unsur-unsur tersebut kemudian disusun menjadi sebuah cerita, sepenuhnya merupakan imajinasi. Karya sastra berperan sebagai refleksi dari sebuah kejadian yang di dalamnya terdapat periode sejarah tertentu, sesuai dengan sejarah apa yang hendak diketengahkan oleh pengarangnya. Ciri-ciri novel sejarah bukan semata-mata pada tokoh sejarah, tema, dan latar sebagai penunjuk waktu tertentu, tetapi lebih kepada unsur-unsur psikologi dan sikap sehingga peristiwa dan tokoh-tokoh merupakan representasi dari masa tertentu. “Dialektika antara ciri-ciri dengan sikap pengarang inilah yang menimbulkan kualitas estetis”.68

Dokumen terkait