BAB III : PEMBAHASAN
B. Analisis Unsur Intrinsik
2. Sudut Pandang
Untuk menceritakan rangkaian peristiwa yang terjadi dalam novel ini, LKH mengambil sudut pandang orang ketiga maha tahu dan diambil dari sudut pandang seorang pujangga kenamaan di zaman Majapahit yang sampai sekarang masih kita rasakan hasilnya, yakni kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca. Di dalam novel, Mpu Prapanca disebut Pancaksara.
Pilihan menggunakan Pancaksara sebagai pencerita LKH lakukan agar semua kisah yang akan ia sampaikan tidak hanya tergambarkan dari sudut pandang yang subjektif dari tokoh utamanya saja. Misalnya, jika LKH menggunakan sudut pandang pertama pelaku pertamanya Gajah Mada, maka pembaca akan disuguhkan sebuah sajian kisah dari pikiran Gajah Mada saja, sedangkan yang diinginkan oleh pengarang adalah menyajikan gambaran kisah yang utuh kepada pembaca agar tidak dipengaruhi subjektivitas dari manapun. Hal ini dipandang sangat perlu diperhatikan lebih mendalam oleh pengarangnya mengingat novel yang ia karang adalah sebuah kisah yang berlatarbelakang sejarah yang pada adegan tertentu harus sangat hati-hati menulisnya karena jika tidak akan menimbulkan sentimen pada hal-hal tertentu, seperti yang ada dalam seri Gajah Mada: Perang Bubat.
Juga, alasan mengapa LKH memilih menuliskan cerita ini lewat penuturan seorang Pancaksara adalah karena ia dalang sekaligus penulis Kitab Negarakertagama, sebuah kitab yang berisikan tentang kehidupan kerajaan Majapahit dari sisi istananya. Dengan begitu, LKH menempatkan novelnya kali ini seolah-olah seluruh hasil pengamatan Pancaksara pada zaman dahulu untuk kemudian ditulisnya dalam Negarakertagama. Lewat cara inilah nilai historis yang ditampilkan oleh novel ini lebih kental, mendukung latar waktu dan tempat yang digunakan pengarang.
Pancaksara memulainya dengan mengulang kisah wafatnya Raden Wijaya, raja pertama Majapahit. Bukti kutipannya adalah sebagai berikut:
Ada banyak hal yang dicatat Pancaksara, banyak sekali.Kesedihan kali ini bagai pengulangan peristiwa sembilan belas tahun yang lalu, yang ditulisnya berdasar kisah yang dituturkan ayahnya, Samenaka, karena peristiwa itu terjadi Pancaksara masih belum bisa dibilang dewasa.9
9Ibid. , h. 3.
52
Lewat kutipan tersebut pembaca bisa mengetahui bahwa apa yang tengah dilakukan oleh Pancaksara adalah sebuah lemparan kenangan ke masa lalu sedangkan ia berada di waktu sekarang, saat kabar tentang Jayanegara masih simpang siur. Pancaksara dalam cerita ini disebut sebagai orang ketiga dan sudut pandang yang digunakan LKH adalah maha tahu. Selain itu, di beberapa adegan, cerita ini mengambil pola cerita berbingkai. 3. Latar
Novel pentalogi seri kedua ini mengambil latar waktu abad XIV-XV masehi. Dengan begitu, baik dari segi latar tempat yang digunakan disesuaikan dengan latar waktu yang digunakan. Penggunaan latar ini berkaitan erat dengan muatan sejarah yang LKH ambil sebagai tema.
3.1.Latar Tempat
Latar tempat yang ia gunakan secara umum adalah di sebuah wilayah Jawa Timur yang bernama Trowulan, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Mojokerto. Beberapa adegan di kisah ini mengambil latar di wilayah Jawa Timur lainnya seperti Ujung Galuh yang sekarang bernama Surabaya, Padas Payung, dan Karang Watu. Penggunaan wilayah-wilayah yang sekarang tercangkup dalam daerah Jawa Timur ini dikarenakan pusat kebudayaan dan kerajaan Majapahit pada zaman itu terletak di wilayah timur Pulau Jawa dan saat itu Majapahit dihadapkan pada masa peralihan kekuasaan setelah wafatnya Sang Prabu dan siapa penggantinya. Juga, pada abad empat belas, Majapahit disibukkan dengan usaha memadamkan makar yang kerap terjadi di masa Jayanegara dan juga sedang tidak melancarkan ekspansi ke daerah mana pun.
Selain wilayah-wilayah sekitar Jawa Timur, novel ini juga mengambil beberapa latar tempat yang berada di dalam dan sekitar istana Majapahit.
3.1.1.Istana Sekar Kedaton Dyah Wiyat Bukti kutipan:
Hanya berdua di dalam bilik dibantu Dyah Menur, Maharajasa berdandan menyamarkan diri.10
3.1.2.Istana Sekar Kedaton Kiri Bukti Kutipan:
Istana yang kini menjadi kediaman Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardhani atau Sri Gitarja tak kalah megah dari istana utama.11
3.1.3.Antawulan Bukti Kutipan:
Tua, muda, laki-laki, dan perempuan terpanggil menjadikan makam Antawulan tumplek blek berjejal-jejal seperti tidak memberi ruang yang cukup.12
3.1.4.Alun-alun Istana Majapahit Bukti Kutipan:
Bergetar alun-alun itu karena Patih Daha Gajah Mada berbicara langsung pada pokok permasalahan.13
3.1.5.Balai Prajurit Bukti Kutipan: 10Ibid. , h. 472. 11Ibid. , h. 227. 12Ibid. , h. 356. 13Ibid. , h. 20.
54
Balai Prajurit mendadak dibersihkan dan dengan mendadak dipersiapkan untuk sebuah acara penghormatan menggunakan tata cara keprajuritan.14 3.1.5.Bale Shakuntala
Bukti Kutipan:
Adakah ruangnya yang murung atau para ratu sedang murung menyebabkan ruang Bale Shakuntala tampak berbeda dari biasanya, terlihat ikut suram.15
3.1.6.Padas Payung Bukti Kutipan:
Padas Payung, dinamai demikian karena tebing yang memayungi jalan.16
3.1.7.Karang Watu Bukti Kutipan:
Tebing bebatuan Karang Watu menjulang tinggi dan sangat terjal.17
3.2.Latar Waktu
Untuk mendukung dan memperkuat penceritaan, waktu yang digunakan pun juga diperhatikan sedemikian rupa oleh penulis. Disesuaikan dengan masalah yang diangkat, siapa yang harus dijadikan penguasa Majapahit, novel ini menggunakan latar waktu tahun 1328, tahun di mana Majapahit sempat diguncang oleh kematian rajanya dan puncak kepemimpinan diambil alih oleh ratu kembar setelah sebelumnya dipimpin oleh seorang biksuni, yakni Gayatri.
14Ibid. , h. 130. 15Ibid. , h. 383. 16Ibid. , h. 345. 17Ibid. , h. 447.
LKH menceritakan semua permasalahan mulai dari matinya Jayanegara di tangan Ra Tanca, terbunuhnya beberapa pendukung Raden Kudamerta satu per satu oleh Rangsang Kumuda, terbongkarnya rahasia Kudamerta, pemberontakan di Karang Watu, hingga terbongkarnya semua permasalahan ini hanya dalam hitungan hari. Hal ini dibuat untuklebih menonjolkan sisi cekatan Gajah Mada beserta pasukan Bhayangkaranya yang terkenal sigap.