• Tidak ada hasil yang ditemukan

oleh Coppock et al. (1971). Penelitiannya bertujuan untuk mengidentifikasi bentangan lahan, air dan pemandangan alam yang dapat dimanfaatkan untuk rekreasi di luar rumah. Bentangan lahan tersebut diperuntukan bagi kegiatan (1) berkemah, karavan dan piknik yaitu semua kawasan pedesaan dengan jarak 400 meter dari jalan utama, (2) berkuda, didaerah ketinggian 300 meter dengan dibuat jalur-jalur jalan dan pengekang kuda, (3) jalan-jalan, ketinggian 450 meter dengan dibuat jalur untuk jalan kaki, (4) panjang tebing, semua tebing dengan ketinggian minimal 30 meter, dan (5) ski, daerah ketinggian minimal 25 meter, berelief dan musim saljunya lebih dari tiga bulan.

Bentangan air untuk (1) kegiatan memancing, pada sungai dan kanal yang tidak ada polusi, dengan lebar minimal delapan meter, danau/genangan air dengan luas minimal lima hektar, (2) aktifitas air lainnya, air tidak terpolasi, panjang minimal satu kilometer, lebat 200 meter atau luas 20 hektar, (3) informasi rekreasi yang berorientasi ke air, airnya tidak terpolusi dengan jarak minimal 400 meter dari jalan utama, (4) aktifitas sepanjang pantai, pantainya bersih, berpasir, dan badan pantai berjarak minimal 400 meter dengan jalan. Pamandangan alam dapat dinikmati di daerah dataran rendah dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut (dpl). Plato lebih dari 1.500 meter dpl, bukit 500 sampai 1.500 meter dpl, pegunungan lebih dari 2.000 meter dpl.

Skala perencanaan untuk wisata menurut Nelson et al. (1993) dapat dibedakan atas tiga skala yaitu (1) skala situs (site scale), (2) skala daerah tujuan wisata (destination scale), dan (3) skala region (regional scale). Skala situs berhubungan dengan pengalokasian ruang daerah-daerah tujuan wisata sesuai dengan tujuan obyek wisata seperti tempat parkir, taman, ruang peristirahatan, hotel, restoran, obyek wisata utama dan pelengkap. Skala destinasi melihat keterkaitan antara beberapa obyek wisata di suatu darah tujuan wisata yang saling melengkapi dan menunjang dalam dalam memberikan variasi wisata, sedangkan skala regional melihat keterpaduan kawasan wisata dalam lingkup yang lebih luas misalnya satu propinsi. Metode yang sering diterapkan dalam perencaan wilayah yaitu mengidentifikasi, menyeleksi, mengevaluasi wilayah dan mengukur potensi wisata. Elemen pengembangan pariwisata terdiri atas atraksi, transportasi,

akomodasi, fasilitas pendukung dan infrastruktur. Pemetaan dan overlay peta menjadi alat yang penting untuk menghasilkan potensi-potensi tersebut sehingga layak untuk dikembangkan.

Gunn (1979) mengadakan kajian mengenai struktur geografis dengan pendekatan kartografi untuk mengidentifikasi kawasan wisata yang potensial untuk automobile touring. Diawali dengan mengidentifikasi variabel fisik yang terdiri dari (1) air dan margasatwa, (2) topografi, tanah dan geologi, (3) penutupan vegetasi, hama, (4) iklim, atmosfer, (5) keindahan, (6) atraksi, industri, institusi, (7) sejarah, etnik, arkeologi, legenda, adat istiadat, (8) pusat pelayanan, dan (9) transpotasi dan akses. Pembobotan dilakukan untuk merefleksikan pentingnya setiap kenampakan, sehingga jumlah total skornya 100. Setiap skor dibagi menjadi lima kelompok skala yaitu sangat lemah, lemah, sedang, kuat dan sangat kuat. Akumulasi dari skor tersebut dapat diidentifikasi daerah yang potensial kuat, baik, sedang, cukup lemah dan lemah. Analisis dilakukan dengan overlay

sembilan tema peta yang memuat variabel diatas, dan hasilnya berupa peta potensi wisata. Indeks skala untuk wisata automobile touring yang dipergunakan terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Indeks skala untuk wisata automobile touring

No Faktor Skor

Skala Sangat

Lemah Lemah Sedang Kuat

Sangat Kuat

1. Air dan margasatwa 8 0 1-2 3-4 5-6 7-8

2. Topografi, tanah dan

geologi 10 0-1 2-3 4-6 7-8 9-10

3. Penutupan vegetasi, hama 7 0 1-2 3-4 5-6 7

4. Iklim, atmosfer 3 0 1 1 2 3

5. Keindahan 13 0-1 2-4 5-7 8-10 11-13

6. Atraksi, industri, institusi 10 0-1 2-3 4-6 7-8 9-10 7. Sejarah, etnik, arkeologi,

legenda, adat istiadat 9 0-1 2-3 4-5 6-7 8-9

8. Pusat pelayanan 15 0-2 3-5 6-9 10-12 13-15

9. Transportasi dan akses 25 0-4 5-9 10-15 16-20 21-25 100

Sumber : Gunn, 1979.

Healey et al. (1988) melakukan proses buffer untuk menganalisa layak atau tidaknya suatu area adalah untuk pengembangan di Taman Nasional Scotlandia. Keberadaan batasan di dalam pemandangan digunakan untuk membatasi yang area itu tak serasi, atau kurang pantas, untuk pengembangan tertentu. Buffering

18 dilakukan untuk mengidentifikasi area dan penggunaan daratan untuk hunian dan rekreasi pendidikan formal dan fasilitas wisatawan yang berdekatan dengan danau sehingga tidak terjadi gangguan akibat kebisingan dari suara perahu motor. Untuk itu telah ditentukan jarak hunian dari danau dengan menggunakan buffer 250m - 500m dari danau. Karena jarak 250 m – 500 m merupakan batas toleransi kebisingan yang ditimbulkan oleh perahu motor.

Satuan Kawasan Wisata

Gunn (1979) mengidentifikasikan sejumlah prinsip perencanaan pariwisata untuk dijadikan acuan proyek pembangunan pariwisata, salah satunya yaitu pengelompokkan. Pengelompokkan fasilitas dan daya tarik pada satu kawasan akan membuat wisatawan lebih nyaman. Pengelompokkan juga terbukti lebih efisien dalam provisi infrastruktur dan biaya per-unit fasilitas pengelolaan lebih rendah pada fasilitas yang di kelompokkan.

Satuan Kawasan Wisata (SKW) dikenal sebagai salah satu istilah pengelompokan obyek-obyek wisata dalam satu rencana pengembangan daerah yang bertujuan untuk kemudahan pembangunan serta pengelolaannya. Satuan- satuan kawasan wisata tersebut merupakan kawasan yang memiliki pusat-pusat kegiatan wisatawan dan mempunyai keterkaitan sirkuit atau jalur wisata. Pada suatu daerah administrasi dibagi menjadi beberapa satuan kawasan wisata. Pembagian ini tidak baku untuk seluruh daerah namun pada hakekatnya SKW merupakan pengelompokan obyek-obyek wisata dalam satu kesatuan kawasan tujuan wisata berdasarkan kedekatan, kemiripan daya tarik dan kemudahan aksesibilitasnya (Raksadjaya, 2002). Salah satu daerah yang telah mengelompokkan beberapa obyek wisata menjadi satu kawasan wisata yaitu Kabupaten Garut. Penyatuan satuan kawasan wisata di Kabupaten Garut ini berdasarkan batasan wilayah administrasi yang ada.

Peran Pariwisata dalam Pengembangan Wilayah

Pariwisata mempunyai peranan yang cukup penting dalam proses pengembangan suatu wilayah, salah satunya pengembangan wilayah di Provinsi Jawa Barat. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi

Jawa Barat menerangkan bahwa pengembangan kepariwisataan Jawa Barat tidak terlepas dari munculnya berbagai isu strategis pembangunan. Ketimpangan pembangunan poros utara-tengah-selatan, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, optimalisasi kinerja pemerintah daerah, lemahnya sinergitas antar unit kerja, pelibatan masyarakat, maupun pengembangan sumber daya manusia merupakan beberapa isu khusus yang juga berpengaruh terhadap perkembangan kepariwisataan Provinsi Jawa Barat (Bapeda Prop. Jawa Barat, 2005)

Kebijakan, strategi, serta program pembangunan mengisyaratkan bahwa pengembangan dan pembangunan sektor pariwisata memegang peranan penting dalam pengembangan wilayah. Melalui pengembangan kawasan-kawasan andalan yang terdapat di Provinsi Jawa Barat, secara internal pengembangan sektor kepariwisataan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dan secara eksternal diharapkan mampu menjadi sektor utama yang memberikan dampak menyebar pada wilayah sekitarnya demi menciptakan pemerataan wilayah.

RIPPDA tingkat provinsi seyogyanya memfokuskan pada perencanaan satu atau beberapa daerah tujuan wisata yang memang menjadi, atau akan menjadi, unggulan provinsi. Daerah tujuan wisata tersebut kemudian menjadi kawasan wisata unggulan provinsi. Pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi diharapkan nantinya akan berdampak ganda terhadap pengembangan kawasan- kawasan wisata lainnya maupun sektor-sektor lain di daerah-daerah lain. Pariwisata menjadi alat dalam pengembangan wilayah, sebagai penggerak kegiatan perekonomian wilayah, dan memberikan kontribusi terhadap pemecahan permasalahan kewilayahan, termasuk ketimpangan perkembangan wilayah. Kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk pengembangan pariwisata di Provinsi Jawasa Barat adalah:

1. RIPPDA Provinsi Jawa Barat memfokuskan pada pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi dan kawasan wisata unggulan kabupaten/kota untuk memperkuat daya saing pariwisata Jawa Barat

2. Pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi didasarkan pada daya tarik wisata unggulan yang membentuk suatu tema atau konsep yang berbeda antar

20 kawasan, dalam kerangka saling melengkapi dan memperkuat daya tarik yang ditawarkan, dengan tidak memandang batas administratif daerah.

3. Pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi dan penyediaan sarana prasarana penunjang pariwisata diprioritaskan di daerah yang relatif belum berkembang, dalam hal ini adalah Jawa Barat bagian selatan, dalam kerangka mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.

4. Pusat pengembangan pariwisata di setiap kawasan wisata unggulan provinsi berfungsi sebagai pusat kegiatan wisata kawasan dan penyedia fasilitas, serta sebagai pusat penyebaran pengembangan kegiatan wisata ke wilayah lain yang masih termasuk dalam satu kawasan wisata.

Subandra (2007) menyebutkan bahwa pembangunan kepariwisataan memberikan dampak terhadap pengembangan wilayah Desa Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar. Desa Serangan sebagai salah satu obyek pariwisata di Bali tak luput dari perhatian banyak pihak terutama yang berniat untuk mengembangkan pariwisata dengan melihat potensi yang dimiliki desa Serangan. Jika dilihat secara fisik, sebelum adanya proyek pengembangan pulau Serangan, luas keseluruhan pulau serangan adalah seluas awalnya adalah 112 hektar Sejak adanya proyek pengembangan pulau Serangan oleh PT. Bali Turtle Island Development (BTID) maka ada perubahan yang sangat jelas yang terjadi pada bentuk pulau Serangan tersebut Hal ini disebabkan adanya penambahan luas daratan melalui reklamasi sebanyak 379 hektar sehingga luas seluruhnya setelah direklamasi menjadi 491 hektar. Proyek yang dibangun dengan mega proyek dan investasi yang menelan biaya ratusan milyard tersebut telah merubah wajah pulau kecil tersebut dengan cara mereklamasi pantai di sebelah timur, selatan, barat daya, dan sebagian di utara pulau Serangan

Sebelum adanya proyek tersebut, Pulau Serangan dengan jelas masih terpisah dari pulau Bali. Sedangkan sejak adanya pengembangan, maka pulau Serangan telah betul-betul terhubung menjadi satu dengan pulau Bali. Maka secara fisik tidak hanya pulau Serangan yang mengalami perubahan, akan tetapi juga pulau Bali itu sendiri. Dampak positif dari pengembangan ini terlihat bahwa masyarakat desa setempat menjadi lebih mudah dalam melakukan kegiatan

kepariwisataan atau kegiatan ekonomi lainnya melalui transportasi darat dimana waktu tempuh menuju daratan pulau Bali akan lebih cepat dan lebih mudah.

Disamping dari sisi transportasi, dampak fisik dari pengembangan pulau Serangan adalah juga memberikan peluang kepada penduduk untuk memperluas areal pemukiman, prasarana pariwisata, areal lahan pariwisata pembangunan sarana keagamaan, dan mendukung pelestarian benda cagar budaya. Oleh karena pantai disekitar pulau Serangan adalah pantai yang pasang surut, maka pengurukan atau reklamasi pantai serangan yang dilakukan secara besar-besaran memberikan manfaat positif terhadap perluasan tempat tinggal.

Serangan selanjutnya menempati wilayah reklamasi di Banjar Dukuh dan Banjar Kawan. Demikian juga pada pembangunan prasarana pemerintahan khususnya tempat pembangunan Kantor Kepala Desa di Banjar Tengah, dengan pembangunan tersebut menyebabkan lahan pembangunan kantor Kepala Desa tersebut menjadi sangat layak dan lebih baik dari sebelumnya. Dilihat dari kepentingan pariwisata, sejak diadakannya reklamasi secara fisik di pulau Serangan telah memberikan peluang yang lebih luas dan nyaman untuk kegiatan pariwisata seperti untuk memancing, menyaksikan pelestarian penyu serta kegiatan wisata lainnya.

METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian

Upaya untuk penentuan satuan kawasan wisata merupakan suatu pengalokasian beberapa obyek wisata untuk pengembangan wilayah. Dimana hakekatnya SKW merupakan pengelompokan obyek-obyek wisata dalam satu kesatuan kawasan tujuan wisata berdasarkan kedekatan, kemiripan daya tarik dan kemudahan aksesibilitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan obyek- obyek wisata yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dan dikelompokkan menjadi suatu kawasan wisata. Untuk penentuan obyek wisata aktual terdefenisi tersebut terdapat tiga aspek yang menjadi dasar awal evaluasi yaitu aspek spasial, aspek fisik, aspek kelembagaan dan ekonomi dari obyek-obyek wisata. Aspek spasial lahan merupakan lahan atau areal yang menjadi posisi berdasarkan hamparan wilayah atau topografi dari suatu obyek wisata. Hasil survey dan wawancara terhadap wisatawan dilakukan untuk mengetahui persepsi dan kecenderungan keinginan wisatawan terhadap obyek wisata yang diminati.

Untuk mendapatkan obyek-obyek wisata yang dapat dikembangkan, maka terlebih dahulu dilakukan proses evaluasi dari obyek-obyek wisata berdasarkan aspek fisik dan aspek kelembagaan dan ekonomi yang menjadi pendukung dari suatu obyek wisata. Adapun kriterianya yaitu: (1) jarak suatu obyek wisata dari pusat kota/pertumbuhan; (2) aksesibilitas dari jalan utama (jalan negara, jalan propinsi, jalan kabupaten); (3) sarana prasarana pendukung dari obyek wisata (hotel/penginapan, bank, rumah makan, pasar, dan lain-lain); dan (4) daya tarik obyek wisata itu sendiri. Aspek kelembagaan dan ekonomi obyek wisata yaitu adanya pengelola obyek wisata, atraksi dan hiburan, keamanan dan adanya tempat penjualan souvenir, makanan/minuman dari suatu obyek wisata.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan salah satu dokumen perencanaan pembangunan yang harus dijadikan pedoman dalam perencanaan pembangunan dan pengembangan wilayah. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan pariwisata dapat berlangsung secara efisien dan dapat menciptakan keterpaduan dalam pencapaian tujuan pembangunan. Dalam penelitian ini juga dilakukan proses pencocokan (match) antara posisi obyek wisata dengan rencana tata ruang

yang telah ada. Berdasarkan proses pencocokan tersebut diperoleh suatu sinergi yang bisa menunjang proses perencanaan pembangunan yang telah disusun. Untuk menentukan suatu kawasan wisata yang sesuai secara spasial, fisik dan RTRW maka juga dilakukan penetrasi dari kebijakan-kebijakan yang ada, agar bisa terdefinisi secara konkrit dan bisa mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Diagram alir pendekatan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2 dan matrik pendekatan penelitian terlampir (Lampiran 2).

Gambar 2 Diagram alir pendekatan penelitian

Potensi Sumberdaya Wilayah

Penentuan Satuan Kawasan Wisata (SKW) Rencana Tata Ruang Wilayah Kebijakan Pemerintah Survey dan Wawancara Potensi Daerah Pariwisata Obyek Wisata Aktual Terdefinisi

Kriteria fisik obyek wisata :

1.Jarak 2.Aksesibilitas 3.Sarana Prasarana 4.Daya Tarik

Kriteria kelembagaan, sosial budaya dan ekonomi obyek wisata:

1.Pengelola

2.Atraksi/hiburan kesenian 3.Keamanan

4.Penjualan Souvenir, Makanan/ Minuman

Karakteristik Wilayah

24 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat dimana obyek dan daya tarik wisata (ODTW) tersebar di 14 kecamatan dari 15 kecamatan yang ada. Pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan bulan Juni - Agustus 2007.

Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder bersumber dari dinas/instasi yang terkait seperti Bappeda, BPS, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Agamdan pihak- pihak terkait lainnya. Selain itu juga digunakan peta-peta seperti Peta Administrasi Kabupaten, Peta Obyek Pariwisata, Peta Jaringan Jalan, Peta Sarana Prasarana, Peta Penggunaan Lahan, Peta Lereng, Peta Sungai, Peta RTRW.

Untuk data primer dilakukan pengamatan langsung ke lapangan. Unsur- unsur yang dilihat meliputi aspek daya tarik obyek wisata, kondisi fisik obyek wisata seperti sarana prasarana penunjang, jalan, aksesibilitas, dan hubungan antar obyek wisata. Data karakteristik wisatawan diperoleh melalui wawancara dan penyebaran kuesioner.

Metode pengambilan sampel dari konsumen/pengunjung dilakukan dengan pendekatan non-probability sampling melalui metode convenience sampling, yaitu ketika responden yang dijadikan sampel sedang berada di lokasi penelitian dan mau diwawancarai. Ada screening di awal kuesioner dimana pengunjung yang dijadikan responden adalah pengunjung yang sudah pernah berkunjung sebelumnya ke tempat wisata ini minimal satu kali. Ukuran sampel yang akan diambil, mengacu pada pendapat Slovin (Umar, 2005) sesuai dengan rumus seperti sebagai berikut:

) ( 1 Ne2 N n + =

dimana : n = ukuran sampel N = ukuran populasi

e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir

Ukuran populasi mengacu pada data jumlah kunjungan yang diperoleh dari data Dinas Pariwisata, Budaya dan Seni Kabupaten Agam, yakni data kunjungan tahun 2006 yaitu sebanyak 30.869 orang dan persen kelonggaran yang ditentukan adalah sebesar 10 persen. Berdasarkan data kunjungan yang dimasukkan ke dalam rumus Slovin, maka diperoleh jumlah sampel yang akan diambil adalah:

) 1 , 0 30869 ( 1 30869 2 × + = n ) 01 , 0 30869 ( 1 30869 × + = n 69 , 309 30869 = n n=99,68

Untuk memudahkan perhitungan maka jumlah sampel yang diambil dibulatkan menjadi 100 orang.

Mengenai kelengkapan data dan jenis obyek dan daya tarik wisata di Kabupaten Agam terlihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5 Jenis dan kelengkapan data

No. Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

1. Kebijakan Pemerintah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kepmen, RTRW, Renstra

Bappeda, Dinas Pariwisata, Internet

2. Peta Thematik Peta Administrasi, Peta Obyek Wisata, Peta RTRW, Peta Jar. Jalan, Peta Sarana Prasarana, dll

Bappeda

3. Karakteristik ODTW Jumlah, jenis dan sebaran obyek wisata

Dinas Pariwisata, BPS, Survey Lapang 4. Karakteristik Wisatawan Data jumlah, asal

wisatawan

Dinas Pariwisata, BPS, Wawancara, Quesioner 5. Karakteristik Wilayah Data Potensi Desa BPS, Dinas terkait

26 Tabel 6 Jenis Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di Kabupaten Agam

No. Jenis Wisata Jumlah Obyek

1. Wisata Alam - Pantai

- Danau, Air Terjun, Pemandian - Pegunungan, Perbukitan - Goa

- Flora dan Fauna

4 16 11 5 3 2. Wisata Budaya dan Sejarah

- Tugu/Benteng perang - Mesjid/Surau

- Museum/Rumah Adat/Rumah pejuang - Makam pahlawan - Candi 9 21 5 15 1 3. Wisata Minat Khusus

- Olah Raga 4

Jumlah 94

Sumber : Dinas Pariwisata, Budaya dan Seni Kab. Agam

Analisis Spasial

Untuk menganalisis keruangan pariwisata di Kabupaten Agam digunakan perangkat lunak SIG (Sistem Informasi Geografis)/Arc View 3.2 yang mampu menyederhanakan berbagai jenis data menjadi satu bentuk informasi yang baku dan komprehensif. Evaluasi potensi sumberdaya untuk pengembangan pariwisata dilakukan dengan kriteria – kriteria hasil modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian ini.

Pengevaluasian sumberdaya yang ada dibagi menjadi dua kriteria yaitu kriteria fisik obyek wisata dan kriteria kelembagaan, sosial budaya dan ekonomi obyek wisata. Ada empat parameter fisik yang dinilai yaitu jarak obyek wisata dari pusat pelayanan pariwisata, aksesibilitas obyek dari jalan nasional, jalan propinsi dan jalan kabupaten, daya tarik obyek wisata, dan fasilitas pendukung obyek wisata itu sendiri. Untuk aspek kelembagaan sosial budaya dan ekonomi parameter yang digunakan yaitu pengelola obyek wisata, atraksi dalam obyek wisata, keamanan dan penjualan makanan, cendramata dan sarana di dalam obyek wisata.

Penilaian potensi wisata ini dilakukan dengan model pengharkatan (scoring model) yang diacu dari model penelitian Coppock et al. (1971) dan Gunn (1979). Metode ini mengkuantitatifkan kenampakan setiap obyek wisata seperti jaringan

jalan dalam bentuk jarak obyek dari pusat pelayanan, sarana prasarana penunjang (hotel/penginapan, rumah makan,bank/ATM, pasar, rumah sakit/puskesmas, terminal), jenis/daya tarik obyek wisata, ada tidaknya pengelola, frekwensi pengadaan atraksi di obyek wisata, ada tidaknya petugas keamanan dan jumlah penjual cendramata dan makanan/minuman yang ada di obyek wisata. Sehingga dapat dilihat obyek yang mempunyai potensi untuk dikembangkan melalui akumulasi skor atau nilai. Masing-masing faktor dinilai dengan ketentuan seperti disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Skoring kelas potensi pariwisata

No Kelas Potensi Skor

1. Potensi Sangat Lemah 1

2. Potensi Lemah 2

3. Potensi Sedang 3

4. Potensi Kuat 4

5. Potensi Sangat Kuat 5

Proses analisis dalam memetakan kondisi fisik dan lingkungan obyek wisata dengan SIG untuk kemudian diseragamkan dalam fomat yang sama dan diolah lebih lanjut dengan mempergunakan tools Arc View yang sesuai dengan tujuan analisis. Adapun tools Arc View yang dipergunakan untuk penentuan obyek wisata yang dapat dikembangkan dalam penelitian ini yaitu:

1. Buffer atau penyangga.

Buffer merupakan suatu metode analisis yang berbentuk wilayah atau zona dari suatu jarak tertentu di sekitar entitas fisik, seperti titik, garis atau poligon yang telah terdefenisi. Dalam penelitian ini, pemakaian buffer digunakan untuk memetakan posisi kelas potensi obyek wisata berdasarkan aksesibilitas dari jalan negara, jalan propinsi dan jalan kabupaten. Semakin dekat suatu obyek wisata terhadap jalan, maka skoring obyek tersebut semakin tinggi, begitu juga sebaliknya.

2. Logical Query

Logical Query adalah suatu proses memilih feature yang atributnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Dalam hal ini, fungsi query diterapkan untuk penentuan jauh dekatnya suatu obyek dari pusat kota dengan memakai kriteria jarak, pengelola obyek wisata, atraksi, hiburan dalam obyek wisata, keamanan

28 dan ada tidaknya tempat penjualan cendramata, makan/minuman dalam suatu obyek wisata.

3. Spatial Overlay

Spatial Overlay adalah operasi penggabungan feature dari dua layer ke dalam layer baru serta penggabungan secara relasional tabel atribut feature-nya. Overlay digunakan dalam penelitian ini untuk proses pencarian posisi obyek- obyek wisata dalam bentangan suatu wilayah atau topografi wilayah, posisi obyek wisata di dalam satuan wilayah administrasi, posisi sungai, jalan, sarana prasarana, dan proses matching antara posisi obyek wisata dengan RTRW yang telah ada.

4. Identify Feature Within a Distance

Identify Feature Within a Distance adalah operasi untuk menghitung dan mengidentifikasi obyek pembanding dengan jarak tertentu dari masing-masing input obyek dalam satu tema. Proses ini digunakan untuk penentuan potensi obyek wisata dengan parameter jumlah sarana prasarana pendukung yang ada di sekitar suatu obyek wisata.

Penilaian terhadap suatu obyek wisata dipisahkan menjadi dua kelompok yaitu berdasarkan parameter fisik yang berjumlah 4 (empat) parameter dan parameter kelembagaan, sosial budaya dan ekonomi dengan jumlah 4 (empat) parameter. Masing-masing parameter diberikan pembobotan yang didapat dari hasil penyebaran kuesioner kepada responden di lapang. Nilai bobot didapat dengan mengakumulasikan persentase jumlah responden yang memilih suatu parameter dari parameter-parameter fisik dan parameter-parameter kelembagaan, sosial budaya dan ekonomi menjadi parameter utama dalam melakukan kunjungan wisata. Setelah didapatkan bobot dari masing-masing parameter, maka dilakukan penilaian potensi pariwisata terhadap obyek wisata. Adapun untuk pembagian kriteria penilaian potensi pariwisata berdasarkan parameter fisik terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Kriteria penilaian potensi pariwisata berdasarkan parameter fisik (Modifikasi model Gunn, 1979 dan Coppock, 1971)

No Parameter

Nilai Potensi Sangat

Lemah (1) Lemah (2) Sedang (3) Kuat (4) Sangat Kuat (5) 1. Jarak (J) > 60 km 45.01-60 km 30.01-45 km 15.01 – 30 km <= 15 km 2. Sarana Prasarana (SP) Tidak terdapat sarana prasarana radius 1 km Terdapat 1 jenis sarana prasarana radius 1 km Terdapat 2-3 jenis sarana prasarana radius 1 km Terdapat 4 jenis sarana prasarana radius 1 km Terdapat lebih dari 4 jenis sarana prasarana radius 1 km 3. Aksesibilitas (A) >1000 m dari jalan kabupaten 500-1000 m dari jalan

Dokumen terkait