• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

7. Sawah Adat

Lanskap ini merupakan bagian dari lahan adat yang terdapat di samping Hutan Awisan bagian lembah. Pengelolaan sawah adat ditujukan untuk kesejahteraan

pelaksanaan upacara adat dan kesejahteraan pemangku adat. Vegetasi yang terbentuk berupa hamparan pesawahan yang terdiri dari beberapa kultivar padi.

8. Perkampungan

Wasiat Uyut Pameget sebagai leluhur Cikodang telah menetapkan bahwa untuk membuat rumah senantiasa pada lahan yang datar, sedangkan lahan yang cekung menampung air digunakan untuk membuat kolam. Perumahan dan kolam berada pada satu wilayah lanskap Perkampungan. Perkampungan tersusun atas 991 orang penduduk yang tersebar pada 290 KK, dua RW dan delapan RT. Pemukiman penduduk cukup rapat dan terkumpul pada satu wilayah perkampungan. Hampir setiap rumah memiliki pekarangan dan beberapa memiliki kolam.Vegetasi kampung dibentuk dari taman dan pekarangan yang didominasi oleh tanaman hias dan beberapa pohon buah-buahan.

9. Pesawahan

Lahan sebelah bawah kampung dibuat sengkedan membentuk terasering untuk lahan pesawahan. Terasering pada sawah mengikuti garis kontur dan petak yang hampir datar serta pematang berfungsi untuk menahan air (Soemarwoto 1983). Pesawahan ini milik masyarakat dengan sistem pertanian semi organik. Vegetasi yang terbentuk berupa hamparan sawah yang berpola terasering dengan beberapa tumpang sari dengan Spesies lain seperti Jagong (Zea mays),

Cabe (Solanum annum), dan Kalapa (Cocos nucifera) yang ditanam pada pematang sawahnya.

Atas dasar sembilan satuan lanskap di atas, secara garis besar manajemen pengelolaan lahan berdasarkan perspektif masyarakat Kampung Adat Cikondang digambarkan pada Gambar 5.

Masyarakat Kampung Adat Cikondang memiliki konsepsi bahwa terdapat empat tipe lahan yang terdiri dari Hutan, Lahan Adat, Kampung, dan Lahan Garapan. Setiap tipe lahan memiliki nama, fungsi dan pengelolaan yang lebih spesifik yang dikemudian oleh peneliti ditetapkan sebagai satuan lanskap yang berjumlah sembilan lanskap. Fungsi lahan yang ada menunjukkan cara masyarakat dalam mengelola lanskap tersebut, begitupun status kepemilikan setiap lanskap

dapat menjadi dasar masyarakat dalam memberikan nama atau mengelola lanskapnya.

Gambar 5. Manajemen pengelolaan lahan berdasarkan perspektif masyarakat Kampung Adat Cikondang yang didasarkan atas tipe lahan (kuning), satuan lanskap (biru), fungsi lahan (jingga), dan kepemilikian (abu-abu)

Sejarah Transformasi Lanskap dan Filosofi Tumbuhan

Masyarakat Adat Cikondang merupakan masyarakat yang sehari-hari bekerja sebagai petani yang cukup handal. Kegiatan bertani masyarakat yang tradisional serta turun termurun mampu melahirkan lanskap-lanskap yang baru serta filosofi bertani tentang tumbuhan dan lingkungannya.

Proses Transformasi Lanskap

Dinamika kehidupan masyarakat dengan lingkungan merupakan cerminan transformasi lanskap yang menjadi jati diri Kampung Adat Cikondang sampai saat ini. Masyarakat Adat Cikondang mengenal empat tipe lahan (Hutan, Lahan Adat, Lahan Garapan, dan Pemukiman) yang terdiri dari atas sembilan satuan lanskap (Hutan Gunung Tilu, Hutan Bukaan-Tutupan, Hutan Awisan, Sawah adat, Parabon, Kebon, Lamping, Pesawahan, dan Pemukiman). Setiap satuan lanskap memberi

kontribusi yang penting bagi kehidupan masyarakat karena terdapat pola hubungan dinamika masyarakat dan satuan lanskap (Gambar 6).

Gambar 6. Proses terbentuknya satuan lanskap serta transformasi di Kampung Adat Cikondang

Gambaran hubungan di atas menunjukkan bahwa setiap lanskap memiliki peranan dalam kehidupan masyarakat adat. Kemunculan beberapa lanskap terjadi karena cara pengelolaan yang dilakukan. Munculnya lanskap hutan bukaan-tutupan sebagai proses tranformasi/ perubahan dari sebagian lanskap hutan Gunung Tilu yang terjadi setelah bergulirnya program hutan rakyat dari pemerintah. Begitupun Parabon, sebagai hasil perubahan dari beberapa bagian lanskap hutan bukaan-tutupan yang dipindah wewenangkan dari Departemen Kehutanan ke Departemen Dalam Negeri. Dinamika perubahan penduduk, seperti pertambahan penduduk,

kegiatan ekonomi dan sosial budaya, aturan baru dari pemerintah dan kemajuan teknologi melahirkan satuan-satuan lanskap yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya (Rahayu et. al 2005; Waluyo 2000).

Pola transformasi dan lahirnya lanskap di Kampung Adat Cikondang yang diatur oleh adat disesuaikan dengan topografi lingkungan. Sebaran lanskap ditinjau dari topografinya diuraikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Topografi satuan lanskap dan karakteristik lahan Kampung Adat Cikondang.

Posisi Hutan Bukaan-Tutupan dan Parabon merupakan lanskap yang paling dekat dengan lanskap Hutan Gunung Tilu (Gambar 7). Lanskap Hutan Bukaan-Tutupan dan Parabon memiliki topografi yang miring. Ciri lahan miring tersebut menunjukkan ciri dari kaki gunung yang telah bertransformasi. Lanskap lainnya berada pada topografi yang sesuai dengan aturan adat, seperti lamping berada pada topografi yang curam, kebun berada pada topografi yang terjal, hutan awisan tepat berdekatan dengan perkampungan yang datar, dan pesawahan dengan topografi yang terjal di bawah perkampungan.

Filosofi Tumbuhan dan Pengelolaannya

Masyarakat Kampung Adat Cikondang sebagai masyarakat petani yang hidup di kaki Gunung Tilu memiliki filosofi bahwa kehidupan di bumi terdiri dari tiga unsur, yaitu ‘mahluk cicing’ (tidak bergerak), ‘mahluk nyaring’ (bangun bergerak), dan ‘mahluk eling’ (sadar). ‘Makhluk cicing’ adalah tumbuhan, sebagai mahluk yang tidak bisa bergerak. ‘Makhluk nyaring’ adalah Hewan, sebagai makhluk yang bangun dan bergerak bebas dan berkeliara, sedangkan ‘Mahluk eling’ adalah manusia, sebagai makhluk yang memiliki kesadaran yang dilandasi pikiran dan nurani.

Masyarakat Adat Cikondang mengelompokkan tumbuhan berdasarkan pemanfaatannya menjadi tumbuhan nabati, dan rohani. Nabati berasal dari kata ‘dina-batina’ yang berarti “didalam hasilnya”. Tumbuhan Nabati terdiri dari tumbuhan yang memiliki umbi dan dimanfaatkan umbinya, sedangkan tumbuhan rohani tersusun atas tumbuhan yang memiliki buah dan dimanfaatkan buahnya.

Hewan memiliki peranan memanfaatkan sumber daya tumbuhan. Apabila tidak dikelola dengan baik maka hewan akan menjadi hama, namun apabila dikelola dengan baik maka hewan akan turut membantu manusia dalam mengelola pertanian. Karakter manusia sebagai mahluk eling dituntut untuk menjaga keseimbangan antara mahluk cicing dan mahluk nyaring, antara lain dengan melakukan pertanian yang ramah lingkungan. Dalam pertanian, Masyarakat Adat Cikondang bergantung pada empat unsur, yaitu Amarah, Loamah, Syawiyah, dan Mutmainah. Amarah berarti cahaya, loamah berarti angin, syawiyah berarti bumi, mutmainah berarti air. Empat unsur ini merupakan bagian dari filosofi Islam Sunda Wiwitan, yaitu Insan, Syawiyah, Loamah, Amarah, Mutmainah, dan insan itu sendiri adalah Manusia (Gambar 8).

Gambar 8. Filosofi kehidupan masyarakat Kampung Adat Cikondang dalam mengelola pertanian secara baik ( ) dan tidak baik ( ).

Dasar pengelolaan bumi (tanah) dan air oleh masyarakat Kampung Adat Cikondang jelas tersurat dalam filosofi yang mengatakan harus menjaga Gunung Tilu agar tetap lestari, konservasi lahan miring dengan ditanam bambu, perumahan dibuat lahan yang datar, kolam-kolam dibuat di lahan cekungan, dan lahan lembah di bawah perumahan untuk persawahan, serta adanya ketentuan harus menjaga saluran air. Unsur angin dianggap penting karena masyarakat sudah memiliki pengetahuan bahwa sebagian besar reproduksi tumbuhan dibantu oleh angin atau secara ilmiah disebut anemogami. Unsur cahaya diyakini Masyarakat Adat Cikondang terdiri dari warna merah, kuning, putih, dan hitam yang akan terlihat dari warna-warna buah-buahan yang senantiasa berwarna merah, kuning, putih, dan hitam.

Kekayaan dan Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada setiap Satuan Lanskap

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa Masyarakat Adat Cikondang memanfaatkan tumbuhan sebanyak 144 Spesies (Lampiran 5). Secara umum, setiap Spesies tumbuhan ditemukan di dalam lebih dari satu lanskap dan memiliki manfaat

lebih dari satu. Masyarakat Adat Cikondang mengelompokkan tumbuhan berdasarkan manfaatnya, yaitu tumbuhan makanan pokok, makanan tambahan dan bumbu (makanan camilan, lauk pauk atau makanan selain makanan pokok serta bumbu dan penyedap rasa), material utama (batang sebagai kayu berkualitas untuk bagunan), material sekunder (batang sebagai kayu untuk perkakas), obat (obat-obatan dan sarana penyembuhan), dan ritual (kegiatan adat kampung atau adat ritual individu). Secara keseluruhan sebaran jumlah tumbuhan yang berguna pada setiap lanskap di Kampung Adat Cikondang berbeda antar lanskap (Gambar 9).

Gambar 9 Sebaran Spesies tumbuhan yang bermanfaat pada setiap lanskap di Kampung Adat Cikondang.

Berdasarkan Gambar 9 di atas, lanskap kebon memiliki keanekaragaman Spesies tumbuhan yang bermanfaat tertinggi (104 Spesies) dibandingkan tipe lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat adat sudah memiliki sistem pertanian yang baik. Beberapa lanskap memiliki jumlah Spesies bermanfaat yang sedikit, seperti Hutan Gunung Tilu (29 Spesies), sawah adat (23 Spesies), dan pesawahan (23 Spesies). Ditinjau dari tingkat keanekaragaman tumbuhan, Hutan Gunung Tilu yang merupakan ekosistem alami memiliki tingkat keanekaragaman tumbuhan yang tinggi, namun tidak semua tumbuhan di lahan ini dimanfaatkan oleh masyarakat. Keanekaragaman di sawah adat terjadi karena adanya campur tangan leluhur Masyarakat Adat Cikondang sehingga jumlah Spesies tumbuhan yang ditanam disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan leluhur. Pada Lanskap pesawahan lebih banyak ditanami padi sebagai komoditas utama sehingga tidak mengherankan jika tingkat keanekaragamaan tumbuhan yang bermanfaat di lahan

0 20 40 60 80 100 120 Pesawahan Perkampungan Garapan Adat Hutan Awisan Lamping Kebon Parabon Hutan Bukaan Tutupan Hutan Gunung Tilu

23 82 23 40 37 104 30 42 29 Jumlah Spesies

ini rendah. Beberapa tumbuhan yang sering dijumpai pada setiap lanskap antara lain: Kawung (Areca catechu) dan Cau (Musa paradisiaca) yang terdapat di delapan lanskap kecuali pada Lanskap Hutan Gunung Tilu dan Parabon, Eurih (Imperata cylindrica) terdapat di tujuh lanskap kecuali lanskap Hutan Gunung Tilu, Hutan Embah Dalem, dan Hutan Awisan. Lebih jelasnya, berikut disampaikan keanekaragaman dan pemanfaatan dari setiap lanskap.

Hutan Gunung Tilu memiliki ciri ‘Pupuhunan anu tetep lestari kaian’ (Pepohonan yang tetap lestari). Pada lanskap ini terdapat 29 Spesies tumbuhan yang termasuk ke dalam 27 Genera dan 22 Famili tumbuhan yang dimanfaatkan oleh warga kampung adat (Lampiran 6). Berdasarkan kategori pemanfaatannya tumbuhan di lahan ini dikelompokkan ke dalam bahan makanan tambahan dan bumbu berjumlah 10 Spesies, material utama satu Spesies, material sekunder 11 Spesies, obat-obatan 15 Spesies, dan ritual adat lima Spesies (Gambar 10).

Gambar 10 Pemanfaatan tumbuhan di lanskap Hutan Gunung Tilu oleh Masyarakat Adat Cikondang untuk makanan tambahan ( ), obat-obatan ( ), material utama ( ), ritual ( ), dan material sekunder ( ).

Sampai saat ini masyarakat adat memanfaatkan potensi Gunung Tilu sebagai kawasan untuk mendapatkan bahan obat-obatan, walaupun belum seluruh potensi tumbuhan obat digunakan oleh masyarakatnya. Hutan Gunung Tilu sebagai cagar alam banyak menyimpan potensi bahan obat-obatan, ada lebih dari 100 Spesies tumbuhan (TCAGT 2007). Akan tetapi masyarakat baru dapat memanfaatkan 15 Spesies yang berada di wilayah kaki Gunung Tilu yang berbatasan langsung dengan wilayah kampung adat.

Hutan Bukaan-Tutupan merupakan hutan milik Perhutani yang bersifat hutan produksi dan berperan sebagai hutan penyangga. Pengelolaan hutan ini bersifat kemitraan dengan warga dan komoditas utama yang ditanam adalah tanaman kopi. Secara keseluruhan tumbuhan yang dimanfaatkan warga kampung adat pada lanskap ini berjumlah 42 Spesies yang termasuk ke dalam 39 Genera 30 Famili. Tumbuhan dari lanskap ini dimanfaatkan untuk bahan makanan tambahan dan bumbu (20 Spesies), material utama (10 Spesies), material sekunder (11 Spesies), obat-obatan (21 Spesies), dan ritual adat (5 Spesies) (Lampiran7)

Gambar 11 Pemanfaatan tumbuhan pada lanskap Hutan Bukaan-Tutupan oleh Masyarakat Adat Cikondang untuk makanan tambahan ( ), obat-obatan ( ), material utama ( ), ritual ( ), dan material sekunder ( )

Hutan Bukaan-Tutupan memiliki tumbuhan berpotensi yang banyak dimanfaatkan untuk obat-obatan sebanyak 31 % (Gambar 11). Walaupun dilihat secara ekologi, tutupan vegetasi pada lanskap Hutan Bukaan-Tutupan didominasi oleh tanaman produksi seperti Pinus (Pinus merkusii) dan Kopi (Coffea sp), Masyarakat Adat Cikondang memanfaatkan banyak tumbuhan obat-obatan hutan yang biasanya juga ditemukan di Gunung Tilu. Banyaknya kemiripan Spesies tumbuhan yang bermanfaat antara lanskap Hutan Gunung Tilu dengan Hutan Bukaan Tutupan tidaklah mengherankan, karena Hutan bukaan-tutupan merupakan lanskap hasil transformasi dari hutan alami Gn.Tilu. Total tumbuhan dari kedua lanskap adalah 71 Spesies (29 Spesies dari Gn. Tilu dan 42 Spesies dari HBT), dan sebanyak 15 Spesies ditemukan pada kedua lanskap (Gambar 12).

Gambar 12 Jumlah Spesies yang ditemukan di lanskap Gn. Tilu ( ), dan Hutan Bukaan-Tutupan ( ) serta ditemukan pada kedua lanskap ( ) Kampung Adat Cikondang.

Campur tangan manusia dalam mengolah lanskap Hutan Bukaan-Tutupan menjadi lahan produktif menyebabkan keberadaan beberapa tumbuhan introduksi yang sengaja dibudidayakan seperti Kawung (Arenga pinnata), Duren (Durio zibethinus), Manggu (Garcinia mangostana), Gadog (Bischofia javanica), Peteuy (Parkia speciosa), Nangka (Artocarpus integra), Cau (Musa paradisiaca), Kopi (Coffea sp), dan Jati (Tectona grandis). Spesies introduksi tersebut ditanam untuk tujuan komersil karena memiliki nilai jual.

Parabon merupakan lahan milik desa sebagai inventaris Kepala Desa. Pengelolaan lahan ini dilakukan oleh warga dengan status sewa kepada Kantor Desa dan biaya sewa digunakan sebagai pemasukan kas Desa. Sistem pertanian dalam Parabon adalah tumpang sari yang merupakan sistem pertanian berbasis local wisdom and knowledge yang mampu menjaga kesuburan tanah dan tahan terhadap serangan hama (Suprihati et. al 2013). Pada lahan ini didominasi oleh tumbuhan yang memiliki nilai jual, namun ada sejumlah tumbuhan liar lainnya yang juga dimanfaatkan masyarakat. Sebanyak 30 Spesies termasuk dalam 19 Genera dan 15 Famili tumbuhan yang dimanfatkan oleh warga kampung adat. Tumbuhan dari lanskap ini dimanfaatkan untuk bahan makanan tambahan dan bumbu (25 Spesies), material utama (satu Spesies), material sekunder (tiga Spesies), obat-obatan (15 Spesies), dan ritual adat (dua Spesies) (Lampiran 8).

27 spesies 14

spesies 15 spesies

Gambar 13 Pemanfaatan tumbuhan pada lanskap Parabon oleh Masyarakat Adat Cikondang untuk makanan tambahan ( ), material utama ( ), material sekunder ( ), obat-obatan ( ), dan ritual ( ). Lanskap Parabon memiliki 83% (25 Spesies) tumbuhan sebagai makanan tambahan, seperti sayuran, dan bumbu masakan (Gambar 13). Dari seluruh tumbuhan yang termasuk kategori makanan tambahan juga memiliki manfaat lain, yaitu sebagai bahan obat 40%, contohnya Alpuket (Persea Americana), material sekunder 12% contohnya Peuteuy (Parkia speciosa), material utama 4% contohnya Nangka (Artocarpus integra), dan manfaat ritual 8% contohnya Cabe (Capsicum annum). Banyaknya tumbuhan sayuran dan bumbu yang dapat juga bermanfaat sebagai obat-obatan tidaklah mengherankan, karena tanaman obat keluarga selain digunakan sebagai obat juga memiliki beberapa manfaat lain, misalnya penambah gizi keluarga, bumbu atau rempah-rempah masakan, dan menambah keindahan (estetis) di pekarangan (Karo-karo 2009)

Kebon merupakan lahan milik warga yang digunakan untuk bertani oleh masyarakat desa. Beberapa komoditas pertanian pada lahan kebon ini tidak jauh berbeda dengan parabon, antara lain Bawang Beureum, cabe, tomat dan sayuran. Secara keseluruhan pada lahan ini terdapat 104 Spesies tumbuhan termasuk dalam 86 Genera dan 42 Famili yang dimanfatkan oleh warga kampung adat. Tumbuhan dari lanskap ini dimanfaatkan untuk bahan makanan pokok berjumlah tiga Spesies, bahan makanan tambahan dan bumbu 64 Spesies, material utama 18 Spesies, material sekunder 26 Spesies, obat-obatan 50 Spesies, dan ritual adat 10 Spesies (Gambar 14).

10 Spesies 5 Spesies 3 Spesies

2 Spesies 1 Spesies

Gambar 14 Famili dengan jumlah Spesies ditanam petani pada lanskap kebon di Kampung Adat Cikondang.

Petani dalam mengelola kebon menentukan Spesies tumbuhan yang memiliki nilai jual tinggi. Dari sekian banyak komoditas pertanian, Masyarakat Adat Cikondang paling banyak menanam tumbuhan dari Famili Fabaceae (10 Spesies) contohnya Peuteuy (Parkia speciosa), Roay (Phaseolus lunatus), Kacang Beureum (Phaseolus vulgaris), Kacang Hejo (Vigna radiate), Kacang Panjang (Vigna sinensis) (Lampiran 9). Selanjutnya komoditas pertanian yang banyak ditanam oleh petani termasuk dalam Poaceae (9 Spesies), Solanaceae (8 Spesies) dan Zingiberaceae (8 Spesies) (Gambar 14).

Lamping merupakan lahan miring. Darsyah (2013 Maret 13, komunikasi pribadi) mengatakan bahwa ‘lamping prak awian supaya teu longsor’ (lahan miring harus ditanam bambu supaya tidak longsor). Pada lahan ini terdapat tanda batas berupa pohon lame (Alstonia scholaris) sebagai tanda batas luar perkampungan ke arah Hutan Gunung Tilu. Penggunaan tumbuhan sebagai batas wilayah dilakukan juga oleh Masyarakat Adat Ciptagelar, objek batas yang digunakan berupa pohon Hanjuang (Cordyline sp) dan Pohon Botol (Mascarena lagenicaulis) (Wisudawanto 2008). Lamping didominasi oleh tumbuhan bambu, namun ada beberapa tumbuhan lain juga tumbuh. Warga kampung adat memanfaatkan 37 Spesies yang termasuk

10 9 8 8 5 5 4 4 0 2 4 6 8 10 12 Ju m lah Sp esies Famili

dalam 32 Genera 20 Famili tumbuhan. Masyarakat memanfaatkan tumbuhan dari lansekap ini untuk bahan makanan tambahan dan bumbu (11 Spesies), material utama (10 Spesies), material sekunder (14 Spesies), obat-obatan (19 Spesies), dan ritual adat (8 Spesies) (Lampiran 10).

a b

Gambar 15 Proporsi/ komposisi tumbuhan yang ada di lanskap lamping berdasarkan a) habitus, seperti herba ( ), pohon ( ), perdu ( ), semak ( ) dan b) berdasarkan sistem perakaran, seperti serabut ( ), rhizoma ( ), tunggang ( ).

Lahan lamping memiliki kemiringan yang terjal mengakibatkan tanah menjadi labil mudah terjadi pergerakan, sehingga diperlukan cara pengelolaan yang tepat agar tidak terjadi erosi dan supaya dapat memberikan hasil. Dari Gambar 15a diketahui bahwa pada lanskap lamping, tumbuhan dengan habitus pohon lebih dominan (46%), diikuti oleh habitus herba (43%). Akan tetapi tumbuhan pada lanskap ini memiliki prosentasi sistem perakaran yang hampir sama antara tunggang (35%), rizoma/ rimpang (35%) dan serabut (30%) (Gambar 15b). Morfologi tumbuhan dengan habitus pohon dan sistem perakaran tunggang mampu menjadi pancang bagi tanah di bagian dalam, sedangkan habitus herba dan perakaran rimpang dan serabut menjadi pengikat di tanah bagian atas. Pengelolaan lanskap dengan cara tersebut sudah menjadi ketentuan adat agar tidak terjadi erosi. Di Hutan Awisan terdapat 40 Spesies tumbuhan yang dimanfaatkan yang termasuk kedalam 33 Genera dan 20 Famili. Tumbuhan dari lanskap ini dimanfaatkan untuk bahan makanan pokok satu Spesies, bahan makanan tambahan dan bumbu 20 Spesies, material utama tujuh Spesies, material sekunder 20 Spesies, obat-obatan 23 Spesies, dan ritual adat 11 Spesies (Lampiran 11). Pemanfaatan

tumbuhan pada lanskap ini diatur oleh ketentuan adat. Pemanfaatan dengan cara tersebut juga dilakukan oleh Masyarakat Adat Kampung Naga yang memanfaatkan hutan keramat untuk kebutuhan bersama terutama untuk upacara adat dan syukuran (Yulianingsih 2002). Besarnya pemanfaatan sumber daya tumbuhan di hutan adat untuk upacara dan ritual diuraikan pada perbandingan sebaran tumbuhan untuk ritual adat pada setiap lanskap (Gambar 16).

Gambar 16 Sebaran tumbuhan yang biasa digunakan dalam doa ritual pada setiap lanskap di Kampung Adat Cikondang.

Hutan awisan sebagai jati diri dari kebudayaan dan ritual Masyarakat Adat Cikondang bukan lanskap yang menyimpan potensi tumbuhan ritual paling banyak (11 Spesies) dibandingkan lanskap perkampungan (12 Spesies). Akan tetapi, lanskap hutan awisan memiliki tumbuhan yang spesifik dan eksklusif untuk ritual, seperti Cariang (Homalomena rubra) untuk upacara ‘mitembian’ yang dilakuan pada saat mengawali menanam padi, Walang (Achasma walang) untuk upacara seren tahun sebagai salah satu bumbu masak yang harus ada, dan Waregu (Rhapis flabelliformis) digunakan sebagai batas wilayah untuk makam karamat.

Sawah adat merupakan lahan adat yang hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan pemangku adat dan kegiatan upacara adat. Pada lanskap ini terdapat 23 Spesies tumbuhan yang dimanfaatkan yang termasuk kedalam19 Genera dan 14 Famili. Tumbuhan dari lanskap ini dimanfaatkan untuk bahan makanan pokok tiga Spesies, bahan makanan tambahan dan bumbu 16 Spesies, material utama dua Spesies, material sekunder 12 Spesies, obat-obatan 14 Spesies, dan ritual adat tujuh

5 5 2 10 8 11 7 12 5 0 2 4 6 8 10 12 14 Gn. Tilu H. Bukaan-Tutupan Parabon Kebon Lamping H. Awisan Sawah Adat Pemukiman Pesawahan

Jumlah Spesies Tumbuhan

L a ns k a p

Spesies (Lampiran 12). Ditinjau dari pengamatan vegetasi, lanskap ini didominasi oleh Spesies Pare Beas (Oryza sativa), Pare Ketan (Oryza sativa glotinosa), dan Pare Ketan Beureum (Oryza sativa glotinosa var merah). Padi ini menjadi bagian yang harus ada dalam pelaksaan upacara”wuku tahun”, sehingga senantiasa ditanam setiap musim dengan pola dan bibit yang sama oleh adat dan dipastikan tidak ada Spesies padi lain masuk ke lahan adat ini.

Uyut Pameget sebagai leluhur Cikodang telah membuat wasiat yang menetapkan bahwa untuk membuat rumah senantiasa pada lahan yang datar dan dibuat kolam di lahan yang cekung. Pada lanskap perkampungan hampir setiap rumah memiliki pekarangan dan beberapa memiliki kolam. Pada lanskap perkampungan ditemukan 82 Spesies yang termasuk dalam 66 Genera 38 Famili tumbuhan yang dimanfaatkan oleh warga kampung adat. Tumbuhan dari lanskap ini dimanfaatkan untuk bahan makanan pokok (dua Spesies), makanan tambahan dan bumbu (51 Spesies), material utama (sembilan Spesies), material sekunder (21 Spesies), obat-obatan (45 Spesies), dan ritual adat (12 Spesies) (Lampiran 13).

Lanskap perkampungan memiliki Spesies tumbuhan yang dimanfaatkan lebih banyak, yaitu 82 Spesies dengan 140 manfaat dibandingkan dengan Spesies tumbuhan di lanskap kebon dengan 104 Spesies memiliki 170 manfaat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekarangan mampu memberi manfaat yang lebih banyak dan efektif, artinya dengan jumlah Spesies yang lebih sedikit tapi memberi manfaat yang lebih banyak. Pemilihan tumbuhan yang paling banyak manfaat untuk ditanam pada lanskap ini karena perkampungan sebagai lanskap yang digunakan untuk beraktivitas paling banyak dan dekat dengan aktivitas sehari-hari masyarakat, membuat pekarangan menjadi sangat penting untuk menyediakan sumber daya hayati yang bersifat praktis bagi kehidupan masyarakat. Pekarangan ditanami masyarakat dengan tumbuhan yang dianggap paling banyak manfaatnya serta memiliki intensitas tinggi dalam penggunaannya.

Pesawahan didominasi oleh tumbuhan padi, namun beberapa ada tumpang sari dengan palawija dan beberapa pohon besar di pematang sawah. Lanskap pesawahan memiliki 23 Spesies yang termasuk ke dalam 21 Genera 13 Famili tumbuhan yang dimanfaatkan oleh warga kampung adat (Lampiran 14). Tumbuhan dari lanskap ini dimanfaatkan untuk bahan makanan pokok (dua Spesies), makanan

tambahan dan bumbu (18 Spesies), material utama (satu Spesies), material sekunder (delapan Spesies), obat-obatan (15 Spesies), dan ritual adat (lima Spesies). Walaupun jumlah Spesies pada lanskap ini sama dengan lanskap sawah adat, akan tetapi macam Spesies, pemanfaatan dan status tumbuhannya (budidaya atau liar) berbeda (Gambar 17).

Gambar 17 Perbandingan jumlah spesies tumbuhan pada lanskap sawah adat ( ) dan Pesawahan ( ) di Kampung Adat Cikondang

Selain menanam padi, masyarakat juga menanam tumbuhan yang berguna pada pematang sawahnya, seperti Sampeu (Manihot esculenta), Kalapa (Cocos nucifera), Taleus (Colocasia esculenta), Waluh (Sechium edule), dan beberapa Spesies kacang-kacangan. Pengelolaan lanskap pesawahan dikelola lebih efektif dibandingkan dengan lanskap sawah adat. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya ketentuan adat yang menyebabkan petani tidak bebas dalam mengelola lahan tersebut (Gambar 17).

Pemanfaatan Tumbuhan pada Masyarakat Kampung Adat Cikondang

Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat Kampung Adat Cikondang melahirkan deretan Spesies tumbuhan, manfaat, cara memanfaatkan, jumlah pemanfaatan, dan tingkat manfaatnya. Dari hal tersebut dapat ditentukan Spesies tumbuhan mana yang memiliki nilai yang sangat penting bagi kehidupan Masyarakat Adat Cikondang.

11 12 6 17 0 5 10 15 20 Liar Ditanam J um la h Sp esies Status tumbuhan Budidaya

Nilai Kegunaan Menurut ICS

Pemanfaatan tumbuhan oleh Masyarakat Kampung Adat Cikondang menunjukkan adanya kepentingan dan nilai yang disematkan pada setiap Spesies tumbuhan. Dukungan sumber daya tumbuhan di Kampung Adat tersebut menjadi bagian yang berharga bagi masyarakatnya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, Masyarakat Kampung Adat memanfaatkan 144 Spesies tumbuhan (Lampiran 5). Tumbuhan yang memiliki manfaat lebih banyak akan memiliki nilai ICS yang lebih besar, yang termasuk kategori manfaat yang utama akan lebih

Dokumen terkait