VALUASI KEANEKARAGAMAN HAYATI TUMBUHAN
DALAM HETEROGENITAS SPASIAL: STUDI KASUS
KAMPUNG ADAT CIKONDANG JAWA BARAT
BILLYARDI RAMDHAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ‘Valuasi Keanekaragaman Hayati Tumbuhan dalam Heterogenitas Spasial: Studi Kasus Kampung Adat Cikondang Jawa Barat’ adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Billyardi Ramdhan
RINGKASAN
BILLYARDI RAMDHAN. Valuasi Keanekaragaman Hayati Tumbuhan dalam Heterogenitas Spasial: Studi Kasus Kampung Adat Cikondang Jawa Barat. Di bawah bimbingan TATIK CHIKMAWATI dan EKO BAROTO WALUYO.
Kampung Adat Cikondang terletak di Selatan Kota Bandung merupakan satu dari delapan kampung adat yang ada di Jawa Barat. Pengetahuan dan interaksi masyarakat Sunda pada Kampung Adat Cikondang dengan alam sekitar terutama hutan Gunung Tilu diperlihatkan dengan adanya tata aturan pengelolaan lanskap. Kearifan masyarakat Cikondang dalam mengelola lingkungan beserta sumber daya tumbuhannya melahirkan unit-unit lanskap seperti: pertanian, kebun, dan pekarangan. Beberapa lanskap dijadikan wilayah adat yang mengikat masyarakat untuk selalu patuh pada wasiat leluhur agar tetap terjaga. Upaya melindungi dan melestarikan daerah adat tersebut ada kaitan dengan kebutuhaan akan sumber daya yang ada pada wilayah tersebut. Tulisan ini mengulas tentang keanekaragaman dan nilai tumbuhan pada setiap lanskap di wilayah adat di Kampung Adat Cikondang Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat.
Penelitian dilakukan di Kampung Adat Cikondang, yang secara administratif termasuk dalam Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Kampung Adat Cikondang berada di kaki Gunung Tilu dengan ketinggian tempat sekitar 700 m dpl berada pada koordinat 6 43’ 0” S, 107 13’ 33” E. Metode penelitian yang dilakukan adalah eksplorasi yang didasarkan atas pendekatan emik dan etik. Pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan tumbuhan dalam kehidupannya diperoleh melalui wawancara kepada responden sebanyak 30% dari 290 Kepala Keluarga (KK) yaitu 87 KK, tokoh adat, dan informan kunci melalui wawancara tidak terencana (unstandardized interview), dan wawancara sambil lalu (casual interview) menggunakan lembar wawancara
Semistructured Interview dan Structured Interview.
Data primer tentang konsepsi dan keanekaragaman lanskap yang dipahami masyarakat lokal, spesies tumbuhan yang dimanfaatkan pada setiap lanskap, dan spesies tumbuhan yang bernilai dikumpulkan menggunakan lembar wawancara. Selain itu juga dilakukan pengambilan sampel tumbuhan. Data lanskap dibuat deskripsi dan pemetaan wilayahnya. Data tumbuhan selanjutnya dianalisis secara deskripsi. Valuasi tumbuhan untuk menentukan nilai atau manfaat dari satu spesies tumbuhan dianalisis dengan ICS yang menggunakan kategorisasi nilai kegunaan etnobotani dan LUVI. Identifikasi spesies tumbuhan dilakukan berdasarkan buku
Flora of Java dan divalidasi dengan spesimen acuan koleksi di Herbarium Bogoriense.
untuk makanan pokok, makanan tambahan dan bumbu (camilan, lauk pauk, bumbu, penyedap), material utama (kayu untuk bangunan), material sekunder (untuk bahan perkakas), obat-obatan, dan ritual. Dari ke sembilan lanskap, tumbuhan bermanfaat paling banyak ditemukan pada lanskap Kebon (104 spesies), sedangkan yang paling sedikit ditemukan tumbuhan bermanfaat adalah lanskap Sawah adat dan pesawahan (23 spesies).
Hasil valuasi terhadap tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat adat, menempatkan pare (Oryza sativa) sebagai tumbuhan yang memiliki nilai yang paling tinggi berdasarkan ICS dan LUVI. Beberapa tumbuhan lain, yang termasuk sembilan besar dari penilaian ICS adalah bawang beureum (Alium cepa), cabe (Capsicum annuum), tomat (Solanum lycopersicum), cau (Musa paradisiaca), kalapa (Cocos nucifera), Honje (Etlingera elatior), jagong (Zea mays), kopi (Coffea sp. ), dan suuk (Arachis hypogaea). Penilaian ICS yang didasarkan atas gender, menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara laki-laki dengan perempuan. Laki-laki lebih menempatkan tumbuhan yang memiliki komoditas ekonomi (Oryza sativa, Alium cepa, Capsicum annuum) pada jajaran tumbuhan yang paling penting, sedangkan perempuan menempatkan tumbuhan pada jajaran ICS tinggi untuk tumbuhan yang paling sering dimanfaatkan khususnya untuk memasak (Oryza sativa, Solanum lycopersicum, Etlingera elatior).
Sebaran tumbuhan yang memiliki nilai ICS dan LUVI yang tinggi lebih dominan ditemukan pada lanskap-lanskap yang sudah dikelola secara intensif oleh masyarakatnya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah mampu mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ada dan tidak banyak bergantung pada sumber daya tumbuhan di Hutan Gunung Tilu, sehingga kearifan lokal masyarakat dalam menjaga kelestarian alam masih dipertahankan dengan baik.
SUMMARY
BILLYARDI RAMDHAN. Valuation of Plant Biodiversity in Spatial Heterogeneity: A Case Study of Cikondang Indigenous Village in West Java. Supervised by TATIK CHIKMAWATI and EKO BAROTO WALUYO.
Cikondang Indigenous Village located in the southern part of Bandung City is one of eight indigenous villages in West Java. Knowledge and interaction of Sundanese community in Cikondang Indigenous Village toward its surrounding nature especially forest of Mt. Tilu shown by having the rules of landscape management. The ability of Cikondang community in maintaining the environment along with its plant resources creates landscape units such as: farm, garden and yard. Some of the landscape become indigenous area that bind the community to obey and keep the will of the ancestors. The efforts in protecting and preserving that indigenous area related to their needs of resources that are exist in that area. This Thesis explains about the diversity and plants value in each landscape in Indigenous area of Cikondang Indigenous Village Bandung West Java.
The research was conducted in Cikondang Indigenous Village, a part of Lamajang Village, Pangalengan Subdistrict, Bandung Regency. Cikondang indigenous village lies between 6 43’ 0” S, 107 13’ 33” E, located at the foot of Mt. Tilu, in the altitude of 700 m above sea level. The research method was conducted exploratively through emic and ethical approaches. The knowledge of the community in using plants for herb was gained by having interviews to the respondent as many as 87 families (30% of total families), respondents and key informant, through unstandardized interview and casual interview using Semistructured Interview and Structured Interview.
Primary data including landscape and diversity according local community conception, plant species used in each landscape, and valuable plant species were collected using interview form of Index Cultural Significance (ICS) and Local Users Value Index (LUVI). In addition, plant samples were also collected. Landscape data was descripted and mapped. Plant data was then descriptively analysed. Plant valuation was analysed based on ICS using ethnobotany and LUVI categorization. Identification of plant species was done based on Flora of Java book and verified using collection reference specimens in Herbarium Bogoriense.
The result of valuation towards plants used by Cikondang indigenous community showed that pare/ rice plant (Oryza sativa) has the highest value based on ICS and LUVI. The nine plant species with high ICS value are bawang beureum/shallot (Alium cepa), cabe/chilli (Capsicum annuum), tomat/tomato (Solanum lycopersicum), cau/banana (Musa paradisiaca), kalapa/coconut (Cocos nucifera), Honje (Etlingera elatior), jagong/corn (Zea mays), kopi/coffee (Coffea sp.), and suuk/ground nut (Arachis hypogaea). Based on gender, there is different perception between men and women. Men considered plants having economic value (Oryza sativa, Alium cepa, Capsicum annuum) as the most important plant, while women considered important plants when they used them mostly for cooking (Oryza sativa, Solanum lycopersicum, Etlingera elatior).
Plants with high ICS and LUVI value were found in intensively managed landscapes indicated that the Cikondang community was able to optimally utilize the existing land with no dependence on plant resources in Mt. Tilu forest. It is suggested that the ability of local community to preserve the nature should be well maintained .
©
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugika kepentingan IPB
VALUASI KEANEKARAGAMAN HAYATI TUMBUHAN
DALAM HETEROGENITAS SPASIAL: STUDI KASUS
KAMPUNG ADAT CIKONDANG JAWA BARAT
BILLYARDI RAMDHAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 sampai Februari 2014 ini adalah etnobotani, dengan judul Valuasi Keanekaragaman Hayati Tumbuhan dalam Heterogenitas Spasial: Studi Kasus Kampung Adat Cikondang Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Tatik Chikmawati, M.Si., dan Prof. Dr. Eko Baroto Waluyo, M.Sc. selaku pembimbing, serta Penguji Luar Komisi Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, M.Sc., dan Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan Dr. Ir. Miftahudin, M.S. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ilin Darsyah sebagai sesepuh adat Cikondang, dan Bapak Engkan Karsono sebagai Ketua Kelompok Tani Desa Lamajang, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, anakku dan seluruh keluarga, serta rekan kerja, atas doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 4
Keanekaragaman Hayati, Lanskap dan Etnosains 4
Kampung Adat Cikondang 7
Penelitian Etnobotani pada Masyarakat Sunda 13
METODE PENELITIAN 15
Waktu dan Lokasi 15
Teknik Pengambilan Sampel 16
Koleksi Data 16
Analisis Data 16
HASIL DAN PEMBAHASAN 19
Satuan Lanskap dalam Konsepsi Masyarakat Cikondang 19 Sejarah Transformasi Lanskap dan Filosofi Tumbuhan 24 Kekayaan dan Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Setiap
Satuan Lanskap
28
Pemanfaatan Tumbuhan pada Masyarakat Kampung Adat Cikondang
38
Kearifan Lokal Masyarakat di Kampung Adat Cikondang 49
SIMPULAN 51
DAFTAR PUSTAKA 53
LAMPIRAN 57
DAFTAR TABEL
1 Jumlah Penduduk Kampung Adat Cikondang Berdasarkan Jenis Kelamin
10
2 Urutan 10 Spesies tumbuhan dengan nilai ICS tertinggi di Kampung Adat Cikondang
39
3 Perbandingan nilai ICS tertinggi berdasarkan preferensi Jenis Kelamin di Kampung Adat Cikondang
42
4 Daftar Spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh Masyarakat Adat Cikondang berdasarkan nilai LUVI di Kampung Adat Cikondang
43
5 Perbandingan Urutan Terpenting Nilai LUVI secara Kumulatif dan Jenis Kelamin di Kampung Adat Cikondang
44
6 Sebaran Spesies tumbuhan bernilai pada setiap lanskap di Kampung Adat Cikondang
44
DAFTAR GAMBAR
1 Wilayah perkampungan Masyarakat Adat Cikondang dengan berbagai penggunaan lanskap menjadi Hutan Awisan ( ), Rumah
Adat ( ), Sawah Adat ( ), Makam ( ), Perkampungan ( ),
Jalan ( ), Sungai ( ), dan Sawah ( ) (Sumber: Ilustrasi Peneliti).
8
2 Beberapa pohon yang bernilai sejarah di Kampung Adat Cikondang, sampel herbarium Lame (Alstonia scholaris) (a), pohon Lame (Alstonia scholaris) sebagai batas kampung (b), dan Kondang (Ficus variegata) sebagai asal usul nama kampung (c)
10
3 Peta Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung dan wilayah Kampung Adat Cikondang ( ) (Sumber: Arsip Kantor Desa Lamajang)
15
4 Rupa bumi wilayah Kampung Adat Cikondang (a) dan sebaran pemetaan setiap lanskap di Kampung Adat Cikondang (b)
20
5 Manajemen pengelolaan lahan berdasarkan perspektif masyarakat Kampung Adat Cikondang yang didasarkan atas tipe lahan (kuning), satuan lanskap (biru), fungsi lahan (jingga), dan kepemilikian (abu-abu)
24
6 Proses terbentuknya satuan lanskap serta transformasi di Kampung Adat Cikondang
25
7 Topografi satuan lanskap dan karakteristik lahan Kampung Adat Cikondang.
26
8 Filosofi kehidupan masyarakat Kampung Adat Cikondang dalam mengelola pertanian secara baik ( ) dan tidak baik ( ).
28
9 Sebaran Spesies tumbuhan yang bermanfaat pada setiap lanskap di Kampung Adat Cikondang.
29
10 Pemanfaatan tumbuhan di lanskap Hutan Gunung Tilu oleh Masyarakat Adat Cikondang untuk makanan tambahan ( ), obat-obatan ( ), material utama ( ), ritual ( ), dan material sekunder ( ).
30
11 Pemanfaatan tumbuhan pada lanskap Hutan Bukaan-Tutupan oleh Masyarakat Adat Cikondang untuk makanan tambahan ( ), obat-obatan ( ), material utama ( ), ritual ( ), dan material sekunder ( )
31
12 Jumlah Spesies yang ditemukan di lanskap Gn. Tilu ( ), dan Hutan Bukaan-Tutupan ( ) serta ditemukan pada kedua lanskap ( ) Kampung Adat Cikondang.
32
13 Pemanfaatan tumbuhan pada lanskap Parabon oleh Masyarakat Adat Cikondang untuk makanan tambahan ( ), material utama ( ), material sekunder ( ), obat-obatan ( ), dan ritual ( ).
33
14 Famili dengan jumlah Spesies ditanam petani pada lanskap kebon di Kampung Adat Cikondang.
34
15 Proporsi/ komposisi tumbuhan yang ada di lanskap lamping berdasarkan a) habitus, seperti herba ( ), pohon ( ), perdu ( ), semak ( ) dan b) berdasarkan sistem perakaran, seperti serabut ( ), rhizoma ( ), tunggang ( ).
35
16 Sebaran tumbuhan yang biasa digunakan dalam doa ritual pada setiap lanskap di Kampung Adat Cikondang.
36
17 Perbandingan jumlah spesies tumbuhan pada lanskap sawah adat ( ) dan Pesawahan ( ) di Kampung Adat Cikondang
38
18 Tumbuhan di Kampung Adat Cikondang yang memiliki nilai budaya,
Allium cepa (a); Musa acuminata (b); dan Achasma walang (c)
47
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jumlah Penduduk Kampung Adat Cikondang berdasarkan jenis kelamin dan strata umur
58
2 Nilai kegunaan suatu Spesies tumbuhan menurut kategori Etnobotani (Turner 1988)
59
3 Kategori Spesies yang menggambarkan intensitas penggunaan (Intensity of Use) jenis tumbuhan berguna (Turner 1988).
61
4 Kategori yang menggambarkan eksklusivitas penggunaan (Intensity of Use) jenis tumbuhan berguna (Turner 1988)
62
5 Daftar Tumbuhan Bermanfaat di Kampung Adat Cikondang 63
6 Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap Hutan Gn. Tilu Kampung Adat Cikondang
66
7 Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap Hutan Bukaan-Tutupan Kampung Adat Cikondang
67
8 Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap parabon Kampung Adat Cikondang
69
9 Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap kebon Kampung Adat Cikondang
70
10 Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap lamping Kampung Adat Cikondang
73
11 Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap hutan awisan Kampung Adat Cikondang
74
12 Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap sawah adat Kampung Adat Cikondang
75
13 Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap perkampungan Kampung Adat Cikondang
76
14 Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap pesawahan Kampung Adat Cikondang
78
15 Publikasi Ilmiah 79
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bangsa Indonesia diberi anugerah hamparan pulau-pulau dengan jumlah
lebih dari 17000 pulau di sekitar garis khatulistiwa. Kepulauan ini diapit dua
samudera dan dua benua, serta bentangan alam yang berbukit dan gunung-gunung
yang mencapai ketinggian lebih dari 3000 mdpl (Hadi 2008). Potensi geografi dan
topografi tersebut menyebabkan tingginya keanekaragaman ekosistem yang
mencapai lebih dari 47 jenis ekosistem. Bermacam ekosistem laut dalam dan
terumbu dimiliki negara kita, bahkan negara kita merupakan salah satu di antara
tiga kawasan di dunia yang mempunyai gletser di daerah tropis. Setiap ekosistem
memiliki karakter yang khas karena dipengaruhi oleh jenis tanah, suhu dan faktor
klimatik lain yang termasuk faktor abiotik serta tentunya dipengaruhi juga faktor
biotik. Keberagaman faktor-faktor tersebut melahirkan corak vegetasi penutup yang
berbeda-beda walaupun pada ekosistem yang sama.
Kondisi di atas menjadikan bangsa ini kaya akan sumber daya alam hayati,
sehingga faktor tersebut tidaklah menjadi hambatan dalam kehidupan manusia.
Kekayaan sumber daya alam dan daya dukung alam yang kondusif menjadikan
berkembangnya ratusan kelompok suku beserta adat istiadatnya. Setiap suku
menempati wilayah yang berbeda, dan setiap suku memiliki tatacara serta kebiasaan
hidup yang berbeda-beda dalam memanfaatkan dan mengelola kekayaan alam yang
ada di lingkungannya (Waluyo 2008).
Perkembangan peradaban suku adat tidak pernah terlepas dari keberadaan
flora dan fauna di sekitarnya yang menjadi penopang kehidupan manusia. Manusia
banyak mengambil manfaat alam untuk bahan bangunan, air, sumber pangan,
sumber obat-obatan, dan sumber bahan kerajinan untuk kehidupan sehari-hari
(Sastrapradja 1979). Aktivitas tersebut dalam perspektif keilmuan disebut
etnobotani. Status etnobotani sebagai ilmu tidak banyak masalah, akan tetapi status
objek penelitiannya sangat rawan karena cepatnya laju erosi sumber daya alam,
terutama flora dan pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan dari suku
Pengetahuan masyarakat lokal terhadap lingkungan alam sekitarnya
merupakan produk sampingan dari salah satu upaya dalam mempertahankan
kelangsungan hidup serta mengembangkan keturunannya (Waluyo et al. 1991). Proses pemenuhan kebutuhan melalui seleksi dan upaya mengenal tumbuhan yang
bermanfaat menjadi pengetahuan yang terus dijaga dan diteruskan secara turun
temurun. Setiap waktu, pengetahuan yang dibentuk leluhurnya akan terus dicek
kebenarannya sehingga akan terus disempurnakan oleh generasi-generasi berikut
sebagai bagian dari budaya. Begitupula besarnya peranan sumber daya alam bagi
masyarakat lokal memaksa mereka untuk membentuk suatu sistem tata kelola
sumber daya alam yang ada. Sistem tata kelola yang dibuat oleh masyarakat adat
menjadi suatu kebiasaan adat, hukum adat, atau wasiat adat. Hal ini yang menjadi
bagian penting dari pengetahuan masyarakat. Karena itu menurut Waluyo (2009)
etnobotani harus mampu mengungkapkan keterkaitan hubungan budaya
masyarakat, terutama tentang persepsi dan konsepsi masyarakat dalam memahami
sumber daya nabati di sekitar mereka bermukim, sehingga sistem pengetahuan yang
dimiliki suatu suku bangsa tertentu perlu diungkap melalui system of knowledge and cognition (Sturtevant 1961).
Kampung Adat Cikondang terletak di Selatan Kota Bandung merupakan
satu dari sembilan kampung adat yang ada di Jawa Barat. Pengetahuan dan interaksi
masyarakat Sunda pada Kampung Adat Cikondang dengan alam sekitar terutama
hutan Gunung Tilu diperlihatkan dengan adanya tata aturan pengelolaan lanskap
ekosistem yang bertingkat yang mencerminkan kearifan terhadap lingkungan, serta
aturan-aturan yang mengikat masyarakat yang didasarkan atas dasar “Pamali”
(hukum dosa). Dengan tatanan seperti ini, masyarakat tidak banyak
mengeksploitasi hutan, akan tetapi dituntut untuk terbiasa menanam sendiri di
lingkungan sekitar tempat tinggal, bahkan harus terus menjaga kelestarian hutan
sebagai bagian dari wasiat leluhur “gunung tilu tetep lestari kaian, lahan lamping awian, lahan rata datar imahan, lahan legok balongan, lahan lebak sengkedan sawahan, jeung piara jalan cai solokan” (Gunung Tilu tetap lestari dengan pohon kayu, lahan miring tanam bambu, lahan rata dibuat rumah, lahan cekungan dibuat
kolam, lahan lembah dibuat sengkedan untuk persawahan, dan untuk memelihara
Kearifan Masyarakat Adat Cikondang dalam mengelola lingkungan beserta
sumber daya tumbuhannya akan berakibat pada pola pengembangan lahan-lahan
pertanian, kebun, dan pekarangan. Beberapa daerah dijadikan wilayah adat yang
mengikat masyarakat untuk selalu patuh pada wasiat leluhur agar tetap terjaga.
Upaya melindungi dan melestarikan daerah adat tersebut ada kaitan dengan
kebutuhaan akan sumber daya yang ada pada wilayah tersebut. Atas dasar
pertimbangan tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
keanekaragaman dan nilai tumbuhan pada setiap lanskap di wilayah adat di
Kampung Adat Cikondang Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memvaluasi keanekaragaman tumbuhan yang
tersebar pada setiap satuan lanskap dan menentukan tumbuhan yang memiliki nilai
dalam pola-pola spasial sebagai hasil dari kegiatan Masyarakat Kampung Adat
Cikondang, dan proses-proses ekologi terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan
TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman Hayati, Lanskap dan Etnosains
Tumbuhan telah memainkan peranan yang sangat penting dalam sejarah
perkembangan manusia untuk membentuk budaya mereka. Suku-suku bangsa yang
mendiami suatu wilayah telah mengembangkan sendiri dalam beradaptasi terhadap
lingkungan mereka masing-masing, antara lain tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di
sekitarnya yang merupakan keperluan pokok mereka akan pangan, sandang, papan
dan keperluan lainnya (Sukarman dan Riswan 1992).
Indonesia diperkirakan dihuni lebih kurang 100-150 famili tumbuhan yang
meliputi 25. 000-30.000 Spesies tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di hutan-hutan.
Dari jumlah ini diperkirakan separuhnya mempunyai potensi yang dapat
dimanfaatkan untuk kayu dan buah-buahan, dan masih banyak lagi yang belum
diketahui manfaatnya. Kazahara dan Mangunkawatja (1986) membuat daftar 7500
Spesies tumbuhan Indonesia yang dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai
obat. Pengetahuan setiap suku bangsa sangat beragam, tergantung pada tipe
ekosistem tempat mereka tinggal, iklim terutama curah hujan, adat, tatacara,
perilaku, pola hidup kelompok atau singkatnya pada tingkat kebudayaan suku
bangsa tersebut (Waluyo et al. 1991).
Pengetahuan masyarakat sebagai konsepsi dan persepsi dalam memahami
sumber daya nabati di tempat mereka bermukim harus mampu dikemas menjadi
konsep yang praktis bagi kelangsungan hidup masyarakat secara luas. Namun
tentunya, sebelum pengetahuan masyarakat (emik) diterapkan secara luas, perlu
adanya pembuktian yang diperoleh dari latar belakang ilmiah (etik). Pendekatan
emik dan etik menjadi pondasi dalam pengembangan penelitian etnobotani. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Waluyo (2009) yang menegaskan bahwa
etnobotani harus mengungkapkan kaidah konseptual, kategori, kode dan aturan kognitif “tempatan” (emik) untuk kemudian dibuktikan dengan kategori konseptual yang diperoleh dari latar belakang ilmiah (etik). Melalui pendekatan ini etnobotani
mampu mempersandingkan dan menguak pengetahuan masyarakat sebagai dasar
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga etnobotani dapat
menyebabkan bidang ini terus berkembang, sehingga muncul bidang turunannya
seperti etnoekologi, etnomikologi, etnomedicine, etnofarmakologi, dan
etnotaksonomi (Waluyo 2008).
Secara ekologi, ekosistem tempat manusia hidup sangat berperan dalam
ekonomi, sosial, dan budaya bagi penghuninya. Oleh karena itu, masyarakat yang
bermukim di sekeliling hutan memiliki seperangkat pengetahuan yang secara turun
temurun telah melembaga menjadi sistem sosial budaya (Waluyo 2009).
Satuan-satuan wilayah menurut konsepsi masyarakat menjadi salah satu produk budaya
melalui pengalaman empirik dan kepercayaan yang turun temurun. Satuan wilayah
ini disebut Lanskap. Pengelolaan dan pengorganisasian satuan-satuan Lanskap
tersebut dilandasi atas keyakinan bahwa alam semesta dengan segala isinya adalah
ciptaan Yang Maha Agung sehingga harus dipelihara, dimanfaatkan, dan dikelola
secara baik. Cara pandang ini kemudian menjadi paradigma keilmuan yang disebut
etnoekologi. Dalam konteks ini, keseluruhan satuan Lanskap secara ekologi
dikelompokkan ke dalam satuan ekosistem alami, ekosistem buatan, dan ekosistem
suksesi. Setiap ekosistem ini memiliki kekayaaan hayati yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat.
Etnobotani dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk
mendokumentasikan pengetahuan masyarakat tradisional, masyarakat awam yang
telah menggunakan berbagai macam jasa tumbuhan untuk menunjang
kehidupannya (Suryadarma 2008). Tumbuhan digunakan untuk kepentingan
makanan, pengobatan, bahan bangunan, upacara adat, budaya, bahan pewarna dan
lainnya. Semua kelompok masyarakat sesuai karakter wilayah dan adatnya
memiliki ketergantungan pada berbagai tumbuhan, paling tidak untuk sumber
pangan. Dalam kehidupan modern telah dikenal lebih dari 100 Spesies tumbuhan
untuk sumber makanan, tetapi sebenarnya semua itu adalah hasil pengetahuan dari
masyarakat tradisional berbagai etnik di seluruh belahan bumi.
Harshberger (1896) mendefinisikan Etnobotani sebagai ilmu tentang
pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku-suku yang masih primitif atau
terbelakang. Pei and Xiu (2002) mendefinisikannya lebih sederhana yaitu sebagai
ilmu interdisiplin yang mendokumentasikan pengetahuan lokal dan hubungan di
tumbuhan dan lingkungan (Waluyo, 2004). Etnobotani mempelajari bagaimana
mengungkap keterkaitan budaya masyarakat dengan sumberdaya tumbuhan di
lingkungannya secara langsung ataupun tidak langsung. Ilmu ini menekankan pada
hubungan mendalam budaya manusia dengan alam nabati sekitarnya, dan
mengutamakan persepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat dalam
mengatur sistem pengetahuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam lingkup
hidupnya.
Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat lokal kehilangan sumberdaya
alam baik flora dan fauna bahkan intelektualitas lokalnya. Salah satu penyebabnya
adalah laju modernitas yang menghilangkan potensi hayati oleh pembangunan dan
beralihnya pola fikir sehingga menggeser pengetahuan masyatakat lokal. Sukarman
dan Riswan (1992) menegaskan bahwa kerusakan lingkungan terjadi dikarenakan
oleh rusak dan berubahnya habitat dari masyarakat asli dan tumbuhan yang ada,
juga karena kurang bijaksana pengelolaan sumber daya alam yang ada. Oleh karena
itu, perkembangan penelitian dalam bidang etnobotani berpacu dengan waktu
seiring dengan erosi objek penelitiannya. Hilangnya pengetahuan orang kampung
tentang pengelolaan sumber daya alam berarti hilangnya kearifan tradisional dan
berarti pula awal dari kehancuran budaya bangsa (Aliandi 2002). Dengan demikian
etnobotani adalah salah satu cara mendokumentasikan pengetahuan masyarakat
lokal agar budaya bangsa tetap terjaga.
Penelitian Etnobotani dilakukan secara multidisiplin (Martin 1998). Empat
hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian etnobotani yaitu:
1. Mendokumentasikan pengetahuan masyarakat tentang tumbuhan dalam
kehidupan sehari-harinya.
2. Penilaian kuantitatif tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya nabati
terutama tumbuhan.
3. Penilaian tentang keuntungan yang dapat diperoleh dari tumbuhan untuk
kebutuhan sendiri atau tujuan komersil.
4. Pengeksploitasian untuk memaksimalkan nilai yang dapat diperoleh dari
penduduk di suatu kawasan berdasarkan ilmu ekologi dan botani.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian
budaya masyarakat, terutama tentang persepsi dan konsepsi masyarakat dalam
memahami sumberdaya nabati di sekitar tempat mereka bermukim (Rifai and
Waluyo 1992).
Kampung Adat Cikondang
Menurut Kamus Bahasa Indonesia pengertian kampung adalah desa, dusun
atau kelompok rumah yang merupakan bagian kota dan biasanya
rumah-rumahnya kurang bagus. Kampung Adat merupakan suatu komunitas tradisional
dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan tradisi, dan merupakan satu kesatuan
wilayah di mana para anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan
sosial dan tradisi yang ditata oleh suatu sistem budaya (Surpha 1994).
Sistem budaya mengacu pada perasaan bersama pada kelompok etnis.
Kelompok etnik dipahami sebagai populasi orang atau penduduk yang memiliki ciri
ciri yang unik, yang diakui oleh etnik lainnya. Barth (1988) menjelaskan etnik
tercermin pada ciri-ciri berikut: (1) mampu berkembangbiak dan bertahan secara
biologis, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa
kebersamaan, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi, (4) memiliki ciri
kelompok tersendiri yang diterima oleh kelompok lain, sehingga dapat dibedakan
dengan kelompok lainnya. Keseluruhan masalah etnik mengacu pada aspek
biologis, kepercayaan, pengetahuan budaya, bahasa, adat istiadat yang diwarisi dan
keagamaan.
Kampung Adat Cikondang berada di Desa Lamajang, Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung. Batas daerah Desa Lamajang dari utara
perbatasan dengan Desa Cipinang Kecamatan Cimaung, dari selatan Hutan
Lindung Gunung Tilu dan Desa Pulau Sari Kecamatan Pangalengan, dari timur Sub
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisangkuy Desa Cikalong dan Desa Tribakti, sebelah
Barat Desa Suka Maju Kecamatan Cimaung, dan Barat Laut Hutan Gunung Tilu
berbatas Perkebunan Teh Pasir Jambu Gambung (Gambar 1).
Secara administratif, kampung ini terdiri dari dua RW, yaitu RW 03 dan 04.
Dua hal yang paling unik dari kampung ini, adalah keberadaan hutan keramat yang
di dalamnya berisi Spesies-spesies tumbuhan yang ada di hutan Gunung Tilu
upacara syukuran di saluran air pesawahan yang menjadi tumpuan sumber air bagi
pertanian.
Gambar 1. Wilayah perkampungan Masyarakat Adat Cikondang dengan berbagai penggunaan lanskap menjadi Hutan Awisan ( ),
Rumah Adat ( ), Sawah Adat ( ), Makam ( ), Perkampungan ( ), Jalan ( ), Sungai ( ), dan Sawah
Wilayah Kampung Adat Cikondang secara Monografi terbagi menjadi
beberapa wilayah keramat, antara lain :
1. Keramat Embah Dalem Lamajang, dengan luas lahan 0. 25 Ha. yang
merupakan miniatur Hutan Gunung Tilu.
2. Keramat Talun, dengan luas lahan 0,15 Ha.
3. Keramat Bojong, dengan luas lahan 0,10 Ha.
4. Keramat Jamandingan, dengan luas lahan 0,25 Ha.
5. Keramat Eyang Balung Tunggal, dengan luas lahan 0,25 Ha. digunakan
sebagai lokasi kolam tando Cikalong PLTA sektor Saguling.
6. Keramat Ciguriang, dengan luas lahan 0,10 Ha.
7. Keramat Cikondang seluas dua Ha.
8. Lahan Sawah dan Palawija seluas satu Ha.
Sejarah
Menurut sejarahnya, Masyarakat Adat Cikondang termasuk masyarakat
peladang padi ‘huma’ yang selalu berpindah-pindah. Letak perkampungan berawal dari daerah batu nanjeb (sebelah utara kampung sekarang, antara Desa
Cipinang-Cikalong), kemudian berpindah ke wilayah kedua adalah daerah embah dalem
(miniatur Gunung Tilu) yang ditandai dengan adanya Batu Nanceb dan Pohon Lame
(Alstonia scholaris), dan akhirnya pindah ke tempat yang sekarang dihuni. Di Kampung Adat Cikondang terdapat seke (mata air) yang ditumbuhi pohon besar yang bernama Pohon Kondang (Ficus variegata) (Gambar 2). Oleh karena itu selanjutnya tempat ini dinamakan Cikondang atau kampung Cikondang. Nama itu
perpaduan antara sumber air dan Pohon Kondang. "Ci" berasal dari kependekan kata "cai" artinya air (sumber air), dan "kondang" adalah nama pohon Ficus variegata (Darsyah 2012 April 12, komunikasi pribadi).
Untuk menyatakan kapan dan siapa yang mendirikan Kampung Adat
Cikondang sangat sulit untuk dipastikan. Namun, masyarakat meyakini bahwa
karuhun (leluhur) mereka adalah salah seorang wali yang menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. Mereka memanggilnya dengan sebutan Uyut Pameget dan
Uyut Istri yang diyakini membawa berkah dan dapat ngauban (melindungi) anak
a b c
Gambar 2. Beberapa pohon yang bernilai sejarah di Kampung Adat Cikondang, sampel herbarium Lame (Alstonia scholaris) (a), pohon Lame (Alstonia scholaris) sebagai batas kampung (b), dan Kondang (Ficus variegata) sebagai asal usul nama kampung (c)
Profil Sosial Budaya Masyarakat
Keadaan Penduduk Kampung Adat Cikondang yang terdiri dari RW 03 dan
04 berjumlah 991 jiwa dengan jumlah perempuan lebih banyak dibanding laki-laki
(Tabel 1).
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kampung Adat Cikondang Berdasarkan Jenis Kelamin
RW Jenis Kelamin Total Penduduk
Jumlah KK Laki-laki Perempuan
3 176 179 355 105
4 311 325 636 185
Total 487 504 991 290
Sumber: Data Sensus 2012
Masyarakat Kampung Adat Cikondang menganut agama Islam. Sumber
kehidupan Masyarakat Kampung Adat Cikondang adalah pertanian. Komoditas
banyaknya anggota masyarakat yang berpendidikan sampai perguruan tinggi.
Keadaan sosial ekonomi Kampung Adat Cikondang relatif makmur karena tingkat
pendapatan yang relatif cukup, hal tersebut dapat dilihat dari fisik bangunan rumah
masyarakat yang sebagian besar sudah bangunan permanen dan layak, sehingga
keadaan sosial Kampung Adat Cikondang relatif sejahtera. Suku bangsa yang
menghuni Kampung Adat Cikondang bersifat heterogen, namun mayoritas
warganya adalah orang sunda.
Pola permukiman masyarakat di Kampung Adat Cikondang adalah
mengelompok dengan jarak antar rumah rapat, hanya dipisahkan oleh gang atau
jalan setapak. Rumah-rumah penduduk sebagian permanen dan sisanya semi
permanen. Letak dan orientasi bangunan pada umumnya menghadap ke jalan desa
atau gang. Di tengah perkampungan terdapat dua buah mesjid yang merupakan
bangunan modern. Sarana jalan berupa jalan desa, melintasi kampung di bagian
utara. Adapun jalan-jalan setapak atau gang banyak dijumpai di sudut-sudut
kampung (BKDJB 2009) (Gambar 1).
Bumi Adat dan Beberapa Situs Budaya
Darsyah (2012 April 12, komunikasi pribadi) menjelaskan bahwa Bumi
Adat diperkirakan telah berusia 200 tahun. Jadi, Uyut Pameget dan Uyut Istri
diperkirakan mendirikan pemukiman di kampung Cikondang kurang lebih pada
awal abad ke-XIX atau sekitar tahun 1800. Pada awalnya bangunan rumah asli di
Kampung Adat Cikondang memiliki pola arsitektur tradisional seperti yang
digunakan pada bangunan Bumi Adat (Gambar 1). Menurut informasi dari
masyarakat setempat, pada tahun 1940-an, rumah di kampung ini berjumlah kurang
lebih 60 rumah. Namun demikian pada tahun 1942 disebutkan pernah terjadi
kebakaran besar yang menghanguskan semua rumah kecuali Bumi Adat. Namun,
penyebab kebakaran itu tidak diketahui secara pasti. Kampung Adat Cikondang
diduga dulunya dijadikan persembunyian atau markas para pejuang yang berusaha
membebaskan diri dari cengkeraman Belanda, dan lokasi itu kemungkinan
diketahui oleh Belanda dan dibumihanguskan.
Secara rinci Darsyah (2012 April 12, komunikasi pribadi) mendeskripsikan
bahwa orientasi bumi adat mengarah ke utara, kemudian hutan keramat terletak di
keasliannya sehingga pohon-pohon tidak boleh ditebang secara sembarangan.
Hutan keramat dibagi dalam lima area (halaman), dan dikelilingi pagar bambu serta
sebuah pintu masuk yang terletak di tengah halaman (kandang jaga). Di bagian
halaman yang teratas, terletak pemakaman keramat dan pemakaman umum. Posisi
makam keramat membujur dari arah utara-selatan dengan orientasi ke arah utara
(Gambar 1).
Keramat Embah Dalem Lamajang merupakan situs budaya kedua yang
masih dikeramatkan oleh masyarakat. Daratan berbukit seluas 0,25 Ha merupakan
miniatur Hutan Gunung tilu, karena sebagian besar Spesies yang ada di Hutan
Gunung Tilu terdapat pula di Keramat Embah Dalem Lamajang. Pada awalnya,
daerah ini adalah perkampungan pertama sebelum Masyarakat Adat Cikondang
menempati lokasi sekarang. Wilayah ini ditandai dengan adanya batu nanceb dan pohon Lame (Alstonia scholaris).
Sawah dan Kebon Adat adalah lahan yang ditanami padi dan berbagai
palawija. Lahan seluas 1 Ha ini ditanami beberapa varietas padi, ketan putih, ketan
hitam, dan ketan merah yang ditanam secara berulang, sehingga menjadi kultivar
lokal yang tidak dapat digantikan oleh kultivar dari luar. Begitu pula dengan
palawija. Hasil dari lahan ini menjadi hak dari ketua adat dan dimaksudkan untuk
mendukung logistik upacara adat.
Potensi Wisata Alam dan Kesenian
Beberapa obyek wisata yang terdapat di wilayah Kampung Adat
Cikondang, ialah: 1) Penyulingan Air dari Turbin PLTA Cikalong oleh Perusahaan
Air Minum (PDAM) untuk Kotamadya Bandung. 2) Turbin Generator PLTA
Cikalong. 3) Situs Batu Eon di tengah kolam Tando PLTA Cikalong. 4) Air terjun
Curug Cimalawindu, Cisadawindu, dan Curug Ciruntah. 5) Lokasi Panjat Tebing
di Cadas Gantung Batu Korsi, serta obyek wisata kesenian yang terdiri dari
kesenian tradisional dan modern. Adapun jenis-jenis kesenian yang dijumpai di
kampung ini adalah Seni Gamelan, Seni Tarawangsa, Seni Beluk Pupuh Wawasan
Berkah, dan Seni Pencak Silat. Beberapa upacara adat yang menjadi daya tarik
wisata adalah:
3. Ngaruat Kandang Hayam.
4. Rasulan.
5. Ngabungbang.
6. Tirakatan. 7. Tujuh Bulanan. 8. Ngalahirkeun. 9. Marhabaan. 10.Upacara Kematian.
11.Upacara bertani dan panen
Penelitian Etnobotani pada Masyarakat Sunda
Penelitian etnobotani pada masyarakat Sunda terhitung masih sedikit.
Dokumentasi pengetahuan lokal masyarakat Sunda yang tersebar pada sembilan
kampung adat (BKDJB 2009) belum seluruhnya dieksplorasi. Penelitian
Etnobotani pada Masyarakat Adat Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat melaporkan bahwa
Masyarakat kampung Naga memanfaatkan 118 Spesies tanaman yang termasuk ke
dalam 50 famili. Dari keseluruhan tumbuhan yang dimanfaatkan tersebut, 35
Spesies diantaranya dimanfaatkan sebagai tanaman obat, 61 Spesies sebagai
tanaman pangan, 40 Spesies sebagai bahan bangunan dan kayu bakar, 3 Spesies
tanaman hias, dan 16 Spesies untuk upacara adat (Yulianingsih 2002). Penelitian
serupa di Masyarakat Adat Kampung Dukuh, Garut, Jawa Barat mencatat sebanyak
137 Spesies tumbuhan dari 52 Genera dimanfaatkan oleh penduduk Kampung
Dukuh untuk mengobati penyakit biasa, penyakit karena magis dan penyakit karena
makanan (Santhyami dan Sulistyawati 2008).
Beberapa penelitian etnobotani di masyarakat Sunda mengkaji pula tentang
pengetahuan masyarakat di luar kampung adat, seperti kajian Struktur Komunitas
dan Profil Vegetasi dalam Sistem Pekarangan Di Desa Jabon Mekar, Kecamatan
Parung, Bogor (Prasetyo 2006). Penelitian komparatif yang bermaksud
membandingkan dua kelompok masyarakat Jawa dan Sunda di Brebes-Jawa
Tengah memperlihatkan bahwa masyarakat Sunda relatif kurang maksimal
memanfaatkan lahan pekarangan (Yuniati 2004). Pada masyarakat pasundan
yang bertanam Spesies-spesies yang bernilai ekonomi atau produktif. Hal tersebut
diperkuat oleh hasil penelitian Prasetyo (2006) yang memperlihatkan bahwa
struktur vegetasi pekarangan masyarakat Sunda di Desa Jabon didominasi oleh
tanaman hias.
Banyak penelitian etnobotani di berbagai daerah dengan kelompok
masyarakat tertentu selalu mengindikasi bahwa modernisasi menyebabkan semakin
melemahnya pengetahuan lokal masyarakat dalam mengelola lingkungannya. Oleh
karena itu sesegera mungkin perlu dilakukan penelitian untuk membuktikan bahwa
pengetahuan masyarakat lokal yang dilakukan secara empiris dari waktu kewaktu
terbukti secara ilmu pengetahuan dapat dipertanggungjawabkan.
Walaupun penelitian di Kampung Adat Cikondang telah dilakukan oleh
para ahli, terutama para pakar ilmu-ilmu sosial, namun penelitian etnobotani belum
pernah dilakukan. Penelitian tentang Rumah Adat Cikondang mengungkapkan
bentuk rumah adat berupa vernakuler telah beradaptasi dengan terhadap bahaya
gempa (Triyadi et al. 2008). Masyarakat Adat Cikondang memiliki ikatan budaya yang cukup kuat untuk mempersatukan masyarakatnya ditengah globalisasi dan
arus budaya luar (Andriana 2011). Kearifan lokal Masyarakat Adat Cikondang
memiliki peranan penting dalam menjaga lingkungan hidup agar tetap dalam
kondisi yang baik didasarkan atas nilai leluhur yang senantiasa menjaga
keseimbangan antara manusia dengan sesama dan manusia dengan lingkungan (Sari
2012). Kalaupun ada penelitian etnobotani mengungkap bahwa masyarakat
disekitar CA Gunung Tilu memanfaatkan tumbuhan obat-obatan yang diracik
sendiri untuk kepentingan kesehatan sehari-hari (Oktaviana 2008), akan tetapi
dalam penelitian tersebut tidak memasukkan Kampung Adat Cikondang sebagai
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara eksploratif dengan menggunakan pendekatan
emik dan etik. Pendekatan emik dilakukan untuk menggali dan mendapatkan data
tentang pengetahuan masyarakat atas obyek yang sedang diamati dari sudut
pandang dan bahasa mereka (Waluyo 2004). Selanjutnya melalui system of knowledge and cognition, pengetahuan masyarakat yang berupa kaidah konseptual, kategori, kode, dan aturan kognitif (emik) dibahas dan dianalisis berdasarkan
kategori konseptual yang diperoleh dengan latar belakang ilmiah (etik).
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan pada bulan November Tahun 2012 sampai dengan
bulan Mei Tahun 2013 di Kampung Adat Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung (Gambar 3). Identifikasi tumbuhan dan analisis
data dilakukan di Herbarium Bogoriense Bogor Puslit Biologi LIPI.
Teknik Pengambilan Sampel
Masyarakat Kampung Adat Cikondang yang menjadi objek penelitian ini
berjumlah 290 KK dengan total penduduk 991 jiwa (Lampiran 1). Jumlah sampel
untuk responden adalah 30 % (Waluyo 2004) dari total 290 Kepala Keluarga (KK),
yaitu 87 KK (Tabel 1). Kriteria penetapan responden dilaksanakan dengan cara
sampling kuota untuk menentukan target responden pada setiap Rukun Warga
(RW) dan sampling insidental untuk menentukan responden yang akan
diwawancara di wilayah RW tersebut. Selanjutnya responden yang didapat,
dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, dan pekerjaan, sedangkan informan
kunci adalah tokoh adat serta masyarakat biasa yang memiliki pengetahuan yang
lebih yang ditentukan oleh ketua adat. Sampling keanekaragaman sumber daya
tumbuhan di lahan adat didasarkan atas informasi yang berasal dari masyarakat,
informan kunci, dan eksplorasi.
Koleksi Data
Pengumpulan data primer mengenai pengetahuan masyarakat lokal
dilaksanakan melalui teknik wawancara berencana (standardized interview) untuk dijadikan sebagai dasar dalam analisis Indeks Signifikasi Kultural (ICS) dan Nilai
Indeks Kepentingan Lokal (LUVI) agar didapatkan nilai kegunaan untuk setiap
Spesiesnya. Wawancara tidak berencana (unstandardized interview) dilaksanakan untuk memperoleh data tentang pengolahan dan pemanfaatan lain. Data sekunder
tentang pengolahan dan pemanfaatan tumbuhan dikumpulkan dengan
menggunakan wawancara sambil lalu (casual interview) dengan menggunakan lembar wawancara Semistructured Interview dan Structured Interview (Waluyo 2004).
Analisis Data
Identifikasi Spesies tumbuhan dilakukan berdasarkan spesimen acuan di
Herbarium Bogoriense dan kemudian memanfaatkan buku Flora of Java (Backer and Van den Brink 1963, 1965, 1968) untuk memperkaya diskripsi tumbuhannya,
sedangkan validasi nama ilmiah dicek melalui IPNI. Data sosial budaya diuraikan
secara deskriptif. Valuasi tumbuhan dilakukan untuk dapat menentukan nilai atau
informasi penting tentang potensi dan arah pengembangan pertanian dan
agroforestry. Analisis penilaian tumbuhan dilakukan dengan ICS dan LUVI. Data pemanfaatan tumbuhan dibuat kategori nilai kegunaan etnobotani menurut Turner
(1988) untuk selanjutnya dihitung Indeks Signifikasi Kultural (ICS) melalui
formula di bawah ini.
�� = ∑� � × � × � ��
�=1 Keterangan:
ICS : indeks signifikasi cultural
i : nilai intensitas (intensity value), menunjukkan nilai 1 hingga ke n secara berurutan.
q : Nilai kualitas (quality value)
e : Nilai eksklusivitas (exclusivity value)
Catatan : nilai intensitas (i), nilai kualitas (q), dan nilai eksklusivitas (e)
menggunakan kategori nilai guna menurut Turner (1988)
(Lampiran 2-4).
Dalam mengaplikasikan rumus di atas, tiga tahapan dilakukan sebagai
berikut:
a. Dilakukan wawancara tentang tumbuhan apa saja yang dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk menentukan daftar Spesies yang dimanfaatkan.
b. Setiap Spesies yang dimanfaatkan dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai
manfaat (q), intensitas pemanfaatan (i), dan ada tidakya alternatif pengganti
(e).
c. Setelah diketahui nilai intensitas (i), nilai kualitas (q), dan nilai eksklusivitas
(e) maka diaplikasikan ke dalam rumus ICS untuk setiap Spesiesnya.
Perhitungan Nilai Indeks Kepentingan Lokal (LUVI) menggunakan rumus
dari Sheil et. al (2004) yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan karakter responden. Kepentingan suatu jenis atau indeks nilai bagi kepentingan lokal
merupakan jumlah keseluruhan dari nilai Gij suatu jenis, dengan rumus sebagai
Keterangan
LUVI : nilai indeks kepentingan lokal
i : Spesies
j : kegunaan
Gij : nilai individu
RWj : bobot yang diberikan untuk kelas kegunaan di mana kegunaan tertentu
(j) berada
Rwij : bobot relatif dalam kategori j dalam pemanfaatan Spesies (i) yang
memenuhi syarat anggota j.
Dalam mengapalikasikan rumus tersebut dilakukan tiga langkah sebagai
berikut:
a. Menentukan bobot kelas kegunaan dengan cara perhitungan distribusi PDM
yang dimodifikasi untuk berbagai kelas kategori. Misalnya untuk kelas
makanan pokok bernilai 8 dari skor total 100, maka skor makanan pokok
berarti 8/100.
b. Menentukan untuk Spesies tumbuhan dengan cara perhitungan distribusi PDM
yang dimodifikasi untuk 10 Spesies tumbuhan. Misalnya Oryza sativa dinilai oleh masyarkat sebesar 21 dari total skor 100, maka skor Spesies tumbuhannya
adalah 21/100.
c. Setelah diketahui bobot kelas kegunaan dan bobot relatif Spesies dalam
HASIL DAN PEMBAHASAN
Satuan Lanskap dalam Konsepsi Masyarakat Adat Cikondang
Kampung Adat Cikondang berada pada koordinat 6 43’ 0” S, 107 13’ 33” E. Masyarakat kampung tersebut mengenali lanskap sebagai wilayah atau ruang
terbuka yang memiliki fungsi tertentu untuk menyokong kehidupan sehari-hari,
selain itu juga memiliki sejarah yang berkaitan erat dengan keberadaan Masyarakat
Adat Cikondang. Dalam mengenali tempat, masyarakat mampu membedakan
satuan lanskap dari fungsi, ciri vegetasi dan kepemilikannya. Setiap satuan lanskap
memiliki makna yang besar bagi kehidupan Masyarakat Adat Cikondang, baik
untuk menopang kehidupan mereka ataupun sebagai bentuk pengabdian dan
identitas jati dirinya. Masyarakat Adat Cikodang mengenal empat lanskap, yaitu:
Hutan Gunung Tilu, Lamping, Perkampungan, dan Pesawahan. Selain lanskap
tersebut, masyarakat mengenal wilayah yang menjadi identitas dan warisan adat,
yaitu: hutan awisan, dan sawah adat. Seiring dinamika masyarakat dalam
berinteraksi dengan lingkungannya, maka lahir pula beberapa satuan lanskap
seperti hutan bukaan tutupan, parabon, dan kebon (Gambar 4). Lebih lengkapnya
tentang sifat, fungsi, ciri vegetasi, dan tumbuhan indikator pada setiap lanskap
diuraikan sebagai berikut:
1. Hutan Gunung Tilu
Hutan Gunung Tilu berupa hutan alami seluas 8.000 Ha yang pengelolaannya
di bawah Departemen Kehutanan. Fungsi hutan ini sebagai Cagar Alam (CA)
yang tidak boleh diekploitasi dan dikormersialisasi (MP 1978). Ciri hutan ini
memiliki kerapatan tumbuhan yang tinggi dengan kanopi pohon-pohon tinggi
seperti Mala (Altingia excelsa), Puspa (Schima wallichii), Sarangan (Castanea argentea), dan Handalaksa (Podocarpus neriifolius), sedangkan bagian dasar didominasi oleh Keluarga Jahe-jahean (Zingiberaceae). Kawasan CA Gunung Tilu merupakan salah satu sisa hutan alam di Jawa Barat yang relatif masih
utuh. Masyarakat memanfaatkan tumbuhan obat di sekitar CA Gunung Tilu
(Oktaviana 2008). Aktivitas masyarakat adat yang diperbolehkan adalah untuk
a
Gambar 4. Rupa bumi wilayah Kampung Adat Cikondang (a) dan sebaran pemetaan setiap lanskap di Kampung Adat Cikondang (b)
2. Hutan Bukaan-Tutupan
Hutan ini merupakan bagian dari Hutan Gunung Tilu seluas 25 Ha yang
dikelola oleh Perhutani sebagai hutan produksi dan hutan penyangga (buffer zone). Dalam rangka peran serta masyarakat dan turut menjaga kelestarian CA Gunung Tilu, maka Perhutani membuat program hutan rakyat. Melalui
Parabon
Hutan Gn. Tilu
Pesawahan
Perumahan
SawahAdat
HutanAdat
Lamping Kebon
Ht. Bukaan-Tutupan
b
program ini, masyarakat mengolah lahan dengan menanam Pinus (Pinus merkusii), dan Kopi (Coffea sp.). Pola pengelolaan yang sama menghasilkan vegetasi hutan homogen dengan tutupan kanopi yang renggang dari Pinus
(Pinus merkusii), sedangkan bagian dasar cukup rapat ditutupi perdu dari Kopi (Coffea sp.). Hutan Bukaan-Tutupan ini dikenal oleh kelompok adat Ciptagelar sebagai hutan bukaan. Marina dan Dharmawan (2011) menjelaskan bahwa
masyarakat Ciptagelar mengenal tiga jenis hutan yang dikategorikan oleh adat,
yaitu Leuweung tutupan (hutan tutupan), Leuweung titipan (hutan titipan), dan
Leuweung bukaan (hutan bukaan). Pemeliharaan hutan melalui penyediaan
hutan bukaan-tutupan memberikan pengaruh positif, antara lain: 1) Menjaga
stabilitas dan perlindungan tanah dari erosi, 2) Mencegah banjir dan
menyediakan tanah subur, 3) Mengatur suhu udara pada daerah sekitarnya, 4)
Pemeliharaan serta tempat hidup dan berkembang biaknya Spesies hewan yang
dilindungi maupun yang tidak dilindungi, 5) Menghindari pendangkalan
sungai, danau, waduk dan lain-lain (Berthe & Freidberg 1995).
3. Parabon
Parabon (paranti ngebon) artinya tempat berkebun, dimaksudkan sebagai lahan berkebun bagi kepala desa. Lahan ini merupakan lanskap transformasi
dari hutan produksi yang diserahkan kepada pemerintahan Desa Lamajang
sebagai inventaris desa. Pemerintah desa tidak langsung menggarapnya, akan
tetapi disewakan kepada masyarakat, dan hasil penyewaanya sebagai bagian
kas pemasukan desa. Vegetasi Parabon berupa tanaman herba kecil musiman
yang ditanam serempak seperti Kentang (Solanum tuberosum), Tomat
(Solanum lycopersicum), Bawang Beureum (Allium cepa), dan beberapa komoditas sayuran musiman lainnya.
4. Kebon
Kebon merupakan lanskap yang dimiliki masyarakat yang digunakan sebagai
tempat berkebun, menanam sayuran, buah-buahan, dan palawija. Vegetasi
untuk kebon ada dua tipe. Pertama, kebon sayuran memiliki vegetasi tanaman herba kecil musiman seperti halnya di Parabon. Kedua, Kebon dengan vegetasi semak, perdu dan pohon yang umurnya tahunan sebagai komoditas
5. Lamping
Lanskap ini merupakan lahan miring yang curam dengan sudut kemiringan
lebih dari 45o. Lamping dikelola oleh masyarakat sesuai dengan aturan adat
ditanami bambu, sehingga vegetasi yang terbentuk berupa semak-semak
diselingi rumput dengan beberapa rumpun bambu. Tepian sungai yang
bertopografi miring hingga curam juga merupakan tempat penanaman bambu
(Arinasa 2005). Beberapa Spesies bambu yang ditanam pada lanskap ini
seperti Haur (Bambusa tuldoides), Awi Koneng (Bambusa vulgaris), Awi Tali (Gigantochloa apus), Awi Temen (Gigantochloa atter), dan Awi Gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea).
6. Hutan Awisan
Hutan Awisan merupakan hutan adat yang di dalamnya terdapat bumi adat,
Leuit (lumbung padi), Lisung (alat penumbuk padi), pancuran (sumber air jamban), Tampian (jamban), dan Balong (kolam) yang sifatnya ‘nu pondok tong disambung nu panjang tong dipotong’ (tidak boleh dirubah, ditambah, dan dihilangkan) serta di bagian paling atas dataran hutan awisan ini terdapat
makam adat. Luas hutan Awisan sekitar 3 Ha termasuk dengan Sawah adat.
Hutan Awisan telah dijadikan cagar dan warisan budaya Masyarakat Adat
Cikondang tidak berani merubah bentuk dan tatanan di dalamnya, sehingga
kebun belakang rumahnya menjadi belantara seakan-akan seperti hutan. Dari
sinilah masyarakat menyebutnya sebagai Hutan Awisan yang bermakna
sebagai hutan yang harus dijaga. Hutan awisan ini milik adat, dan sumber daya
di dalamnya digunakan untuk kegiatan upacara adat. Hutan awisan ini
memiliki vegetasi seperti hutan dengan tutupan kanopi yang rapat sedangkan
di bagian dasar hanya terdapat beberapa semai dan tiang dari Spesies
pohon-pohon yang besar. Beberapa pohon-pohon yang terdapat di Hutan awisan adalah
Teureup (Artocarpus elastic), Kadu (Durio zibethinus), Jambe (Areca catechu), Jangkurang (Schefflera scanden), dan Kawung (Arenga pinnata).
7. Sawah Adat
Lanskap ini merupakan bagian dari lahan adat yang terdapat di samping Hutan
pelaksanaan upacara adat dan kesejahteraan pemangku adat. Vegetasi yang
terbentuk berupa hamparan pesawahan yang terdiri dari beberapa kultivar padi.
8. Perkampungan
Wasiat Uyut Pameget sebagai leluhur Cikodang telah menetapkan bahwa
untuk membuat rumah senantiasa pada lahan yang datar, sedangkan lahan yang
cekung menampung air digunakan untuk membuat kolam. Perumahan dan
kolam berada pada satu wilayah lanskap Perkampungan. Perkampungan
tersusun atas 991 orang penduduk yang tersebar pada 290 KK, dua RW dan
delapan RT. Pemukiman penduduk cukup rapat dan terkumpul pada satu
wilayah perkampungan. Hampir setiap rumah memiliki pekarangan dan
beberapa memiliki kolam.Vegetasi kampung dibentuk dari taman dan
pekarangan yang didominasi oleh tanaman hias dan beberapa pohon
buah-buahan.
9. Pesawahan
Lahan sebelah bawah kampung dibuat sengkedan membentuk terasering untuk
lahan pesawahan. Terasering pada sawah mengikuti garis kontur dan petak
yang hampir datar serta pematang berfungsi untuk menahan air (Soemarwoto
1983). Pesawahan ini milik masyarakat dengan sistem pertanian semi organik.
Vegetasi yang terbentuk berupa hamparan sawah yang berpola terasering
dengan beberapa tumpang sari dengan Spesies lain seperti Jagong (Zea mays),
Cabe (Solanum annum), dan Kalapa (Cocos nucifera) yang ditanam pada pematang sawahnya.
Atas dasar sembilan satuan lanskap di atas, secara garis besar manajemen
pengelolaan lahan berdasarkan perspektif masyarakat Kampung Adat Cikondang
digambarkan pada Gambar 5.
Masyarakat Kampung Adat Cikondang memiliki konsepsi bahwa terdapat
empat tipe lahan yang terdiri dari Hutan, Lahan Adat, Kampung, dan Lahan
Garapan. Setiap tipe lahan memiliki nama, fungsi dan pengelolaan yang lebih
spesifik yang dikemudian oleh peneliti ditetapkan sebagai satuan lanskap yang
berjumlah sembilan lanskap. Fungsi lahan yang ada menunjukkan cara masyarakat
dapat menjadi dasar masyarakat dalam memberikan nama atau mengelola
lanskapnya.
Gambar 5. Manajemen pengelolaan lahan berdasarkan perspektif masyarakat Kampung Adat Cikondang yang didasarkan atas tipe lahan (kuning), satuan lanskap (biru), fungsi lahan (jingga), dan kepemilikian (abu-abu)
Sejarah Transformasi Lanskap dan Filosofi Tumbuhan
Masyarakat Adat Cikondang merupakan masyarakat yang sehari-hari
bekerja sebagai petani yang cukup handal. Kegiatan bertani masyarakat yang
tradisional serta turun termurun mampu melahirkan lanskap-lanskap yang baru
serta filosofi bertani tentang tumbuhan dan lingkungannya.
Proses Transformasi Lanskap
Dinamika kehidupan masyarakat dengan lingkungan merupakan cerminan
transformasi lanskap yang menjadi jati diri Kampung Adat Cikondang sampai saat
ini. Masyarakat Adat Cikondang mengenal empat tipe lahan (Hutan, Lahan Adat,
Lahan Garapan, dan Pemukiman) yang terdiri dari atas sembilan satuan lanskap
(Hutan Gunung Tilu, Hutan Bukaan-Tutupan, Hutan Awisan, Sawah adat, Parabon,
kontribusi yang penting bagi kehidupan masyarakat karena terdapat pola hubungan
dinamika masyarakat dan satuan lanskap (Gambar 6).
Gambar 6. Proses terbentuknya satuan lanskap serta transformasi di Kampung Adat Cikondang
Gambaran hubungan di atas menunjukkan bahwa setiap lanskap memiliki
peranan dalam kehidupan masyarakat adat. Kemunculan beberapa lanskap terjadi
karena cara pengelolaan yang dilakukan. Munculnya lanskap hutan bukaan-tutupan
sebagai proses tranformasi/ perubahan dari sebagian lanskap hutan Gunung Tilu
yang terjadi setelah bergulirnya program hutan rakyat dari pemerintah. Begitupun
Parabon, sebagai hasil perubahan dari beberapa bagian lanskap hutan
bukaan-tutupan yang dipindah wewenangkan dari Departemen Kehutanan ke Departemen
kegiatan ekonomi dan sosial budaya, aturan baru dari pemerintah dan kemajuan
teknologi melahirkan satuan-satuan lanskap yang berbeda antara satu tempat
dengan tempat lainnya (Rahayu et. al 2005; Waluyo 2000).
Pola transformasi dan lahirnya lanskap di Kampung Adat Cikondang yang
diatur oleh adat disesuaikan dengan topografi lingkungan. Sebaran lanskap ditinjau
dari topografinya diuraikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Topografi satuan lanskap dan karakteristik lahan Kampung Adat Cikondang.
Posisi Hutan Bukaan-Tutupan dan Parabon merupakan lanskap yang paling
dekat dengan lanskap Hutan Gunung Tilu (Gambar 7). Lanskap Hutan
Bukaan-Tutupan dan Parabon memiliki topografi yang miring. Ciri lahan miring tersebut
menunjukkan ciri dari kaki gunung yang telah bertransformasi. Lanskap lainnya
berada pada topografi yang sesuai dengan aturan adat, seperti lamping berada pada
topografi yang curam, kebun berada pada topografi yang terjal, hutan awisan tepat
berdekatan dengan perkampungan yang datar, dan pesawahan dengan topografi
Filosofi Tumbuhan dan Pengelolaannya
Masyarakat Kampung Adat Cikondang sebagai masyarakat petani yang hidup
di kaki Gunung Tilu memiliki filosofi bahwa kehidupan di bumi terdiri dari tiga
unsur, yaitu ‘mahluk cicing’ (tidak bergerak), ‘mahluk nyaring’ (bangun bergerak), dan ‘mahluk eling’ (sadar). ‘Makhluk cicing’ adalah tumbuhan, sebagai mahluk yang tidak bisa bergerak. ‘Makhluk nyaring’ adalah Hewan, sebagai makhluk yang bangun dan bergerak bebas dan berkeliara, sedangkan ‘Mahluk eling’ adalah manusia, sebagai makhluk yang memiliki kesadaran yang dilandasi pikiran dan
nurani.
Masyarakat Adat Cikondang mengelompokkan tumbuhan berdasarkan
pemanfaatannya menjadi tumbuhan nabati, dan rohani. Nabati berasal dari kata ‘dina-batina’ yang berarti “didalam hasilnya”. Tumbuhan Nabati terdiri dari tumbuhan yang memiliki umbi dan dimanfaatkan umbinya, sedangkan tumbuhan
rohani tersusun atas tumbuhan yang memiliki buah dan dimanfaatkan buahnya.
Hewan memiliki peranan memanfaatkan sumber daya tumbuhan. Apabila
tidak dikelola dengan baik maka hewan akan menjadi hama, namun apabila
dikelola dengan baik maka hewan akan turut membantu manusia dalam mengelola
pertanian. Karakter manusia sebagai mahluk eling dituntut untuk menjaga
keseimbangan antara mahluk cicing dan mahluk nyaring, antara lain dengan
melakukan pertanian yang ramah lingkungan. Dalam pertanian, Masyarakat Adat
Cikondang bergantung pada empat unsur, yaitu Amarah, Loamah, Syawiyah, dan
Mutmainah. Amarah berarti cahaya, loamah berarti angin, syawiyah berarti bumi,
mutmainah berarti air. Empat unsur ini merupakan bagian dari filosofi Islam Sunda
Wiwitan, yaitu Insan, Syawiyah, Loamah, Amarah, Mutmainah, dan insan itu
Gambar 8. Filosofi kehidupan masyarakat Kampung Adat Cikondang dalam mengelola pertanian secara baik ( ) dan tidak baik ( ).
Dasar pengelolaan bumi (tanah) dan air oleh masyarakat Kampung Adat
Cikondang jelas tersurat dalam filosofi yang mengatakan harus menjaga Gunung
Tilu agar tetap lestari, konservasi lahan miring dengan ditanam bambu, perumahan
dibuat lahan yang datar, kolam-kolam dibuat di lahan cekungan, dan lahan lembah
di bawah perumahan untuk persawahan, serta adanya ketentuan harus menjaga
saluran air. Unsur angin dianggap penting karena masyarakat sudah memiliki
pengetahuan bahwa sebagian besar reproduksi tumbuhan dibantu oleh angin atau
secara ilmiah disebut anemogami. Unsur cahaya diyakini Masyarakat Adat
Cikondang terdiri dari warna merah, kuning, putih, dan hitam yang akan terlihat
dari warna-warna buah-buahan yang senantiasa berwarna merah, kuning, putih, dan
hitam.
Kekayaan dan Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada setiap Satuan Lanskap
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa Masyarakat Adat Cikondang
memanfaatkan tumbuhan sebanyak 144 Spesies (Lampiran 5). Secara umum, setiap
lebih dari satu. Masyarakat Adat Cikondang mengelompokkan tumbuhan
berdasarkan manfaatnya, yaitu tumbuhan makanan pokok, makanan tambahan dan
bumbu (makanan camilan, lauk pauk atau makanan selain makanan pokok serta
bumbu dan penyedap rasa), material utama (batang sebagai kayu berkualitas untuk
bagunan), material sekunder (batang sebagai kayu untuk perkakas), obat
(obat-obatan dan sarana penyembuhan), dan ritual (kegiatan adat kampung atau adat ritual
individu). Secara keseluruhan sebaran jumlah tumbuhan yang berguna pada setiap
lanskap di Kampung Adat Cikondang berbeda antar lanskap (Gambar 9).
Gambar 9 Sebaran Spesies tumbuhan yang bermanfaat pada setiap lanskap di Kampung Adat Cikondang.
Berdasarkan Gambar 9 di atas, lanskap kebon memiliki keanekaragaman
Spesies tumbuhan yang bermanfaat tertinggi (104 Spesies) dibandingkan tipe
lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat adat sudah memiliki sistem
pertanian yang baik. Beberapa lanskap memiliki jumlah Spesies bermanfaat yang
sedikit, seperti Hutan Gunung Tilu (29 Spesies), sawah adat (23 Spesies), dan
pesawahan (23 Spesies). Ditinjau dari tingkat keanekaragaman tumbuhan, Hutan
Gunung Tilu yang merupakan ekosistem alami memiliki tingkat keanekaragaman
tumbuhan yang tinggi, namun tidak semua tumbuhan di lahan ini dimanfaatkan oleh
masyarakat. Keanekaragaman di sawah adat terjadi karena adanya campur tangan
leluhur Masyarakat Adat Cikondang sehingga jumlah Spesies tumbuhan yang
ditanam disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan leluhur. Pada Lanskap
pesawahan lebih banyak ditanami padi sebagai komoditas utama sehingga tidak
mengherankan jika tingkat keanekaragamaan tumbuhan yang bermanfaat di lahan
ini rendah. Beberapa tumbuhan yang sering dijumpai pada setiap lanskap antara
lain: Kawung (Areca catechu) dan Cau (Musa paradisiaca) yang terdapat di delapan lanskap kecuali pada Lanskap Hutan Gunung Tilu dan Parabon, Eurih
(Imperata cylindrica) terdapat di tujuh lanskap kecuali lanskap Hutan Gunung Tilu, Hutan Embah Dalem, dan Hutan Awisan. Lebih jelasnya, berikut disampaikan
keanekaragaman dan pemanfaatan dari setiap lanskap.
Hutan Gunung Tilu memiliki ciri ‘Pupuhunan anu tetep lestari kaian’
(Pepohonan yang tetap lestari). Pada lanskap ini terdapat 29 Spesies tumbuhan yang
termasuk ke dalam 27 Genera dan 22 Famili tumbuhan yang dimanfaatkan oleh
warga kampung adat (Lampiran 6). Berdasarkan kategori pemanfaatannya
tumbuhan di lahan ini dikelompokkan ke dalam bahan makanan tambahan dan
bumbu berjumlah 10 Spesies, material utama satu Spesies, material sekunder 11
Spesies, obat-obatan 15 Spesies, dan ritual adat lima Spesies (Gambar 10).
Gambar 10 Pemanfaatan tumbuhan di lanskap Hutan Gunung Tilu oleh Masyarakat Adat Cikondang untuk makanan tambahan ( ), obat-obatan ( ), material utama ( ), ritual ( ), dan material sekunder ( ).
Sampai saat ini masyarakat adat memanfaatkan potensi Gunung Tilu
sebagai kawasan untuk mendapatkan bahan obat-obatan, walaupun belum seluruh
potensi tumbuhan obat digunakan oleh masyarakatnya. Hutan Gunung Tilu sebagai
cagar alam banyak menyimpan potensi bahan obat-obatan, ada lebih dari 100
Spesies tumbuhan (TCAGT 2007). Akan tetapi masyarakat baru dapat
memanfaatkan 15 Spesies yang berada di wilayah kaki Gunung Tilu yang