• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TENTANG ABORSI

D. Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan

1. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang

Dalam pasal 38 UU No. 1 / 1974 tentang perkawinan disebutkan beberapa hal yang bisa dijadikan alasan putusnya hubungan perkawinan sebagaimana berikut :

a. Kematian

13

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Hajimasagung, 1993), h. 81

14

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 57

b. Perceraian dan c. Putusan pengadilan

Dalam pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974 menyatakan, bahwa:

a. perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

b. Untuk Melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagaimana suami istri.

c. Tata cara sidang di depan sidang pengadilan diatur dalam perundang-undangan tersebut.

2. Putusnya Perkawinan Menurut KHI

Dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebab-sebab putusnya perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

29

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

3. Putusnya Perkawinan dalam Pandangan Ulama’ Fiqih

Menurut hukum Islam putusnya hubungan perkawinan melalui perceraian dapat terjadi karena talak, khulu’, syiqaq, faskh, ta’liq talak, dzihar,

ila’, dan li’an. Namun secara umum yang paling sering terjadi adalah cerai

talak dan cerai gugat, berikut ini akan coba penulis jelaskan mengenai dua jenis perceraian tersebut, yaitu:

a. Cerai Talak

Cerai talak ini adalah cerai yang datang atas inisiatif dari pihak suami. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 117 diterangkan bahwa

“Talak” adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang

menjadi salah satu sebab putusnya hubungan perkawinan dengan cara

sebagaimana pasal 129, 130, 131”.15

Cerai talak ini hanya dapat dilakukan oleh suami, karena suamilah yang berhak untuk mentalak istrinya sedangkan istri tidak berhak mentalak suaminya.

15

Talak jika dari boleh tidaknya suami rujuk kembali pada istrinya setelah istri ditalak adalah:

1) Talak raj”i, adalah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak ruju’

selama istri dalam masa iddah. (pasal 118 KHI)

2) Talak ba‟in, talak ba’in ini terbagi menjadi dua macam:

a) Talak ba‟in shughra yaitu talak yang tidak boleh diruju’ tetapi

boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah (pasal 119 KHI)

b) Talak ba‟in kubra yaitu talak yang menghilangkan hak suami untuk menikah kembali kepada istrinya, kecuali kalau bekas istrinya itu telah menikah lagi dengan orang lain dan telah berkumpul lag sebagai suami istri secara nyata dan sah (pasal 120 KHI).

Sedangkan talak jika ditinjau dari waktu menjatuhkannya dibagi menjadi dua macam:

a) Talak Sunni, yaitu talak yang diperbolehkan dalam artian talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu sucinya tersebut (pasal 121 KHI).

b) Talak bid‟i, yaitu talak yang dilarang dalam artian talak yang dijatuhkan kepada istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci namun sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 122 KHI)

31

b. Cerai gugat

Cerai gugat adalah cerai yang inisiatifnya datag dari pihak istri. Dalam Islam cerai seperti ini dikenal dengan istilah khulu‟. Khulu‟ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.16 Hukum Islam memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu‟, sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan talak.17 Hukum Acara di Indonesia, khulu‟ ini biasa disebut dengan cerai gugat atau talak tebus.

Menurut istilah syari’at, khulu‟ adalah perpisahan wanita dengan ganti rugi dengan kata-kata khusus.18 Dalam khulu‟ ganti rugi dari pihak istri merupakan unsur penting, unsur inilah yang membedakannya dengan cerai biasa19. Dasar hukum disyaria’atkannya khulu‟ adalah firman Allah SWT dalam surat Al-baqarah (2): 229 yang berbunyi:

إف ل ح يقي اأ ف ي أ اإ ً يش تيتآ ذخأت أ كل ّحي ا

اف ل ح ك ت ب تف يف ي ع ح ج اف ل ح يقي اأ ت خ

تعت

ل ّحت اف ق ط إف , ل ّل ك ـل أف ل ح عتي

أ ظ إ عج تي أ ي ع ح ج اف ق ط إف يغ ًج حك ت ىتح عب

16

A. Mukri Arto , Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Cet. 5, h. 234.

17

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 220

18

Syaikh Muhammad Al-Usaimin, Shahih Fiqh Wanita, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009), Cet.-2 h. 340.

19

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) cet. Ke-3, jilid5, h. 57.

ح ك ت ل ح يقي

عي قل ي ي ل

Arinya: “Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu dari yang telah kamu

berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dzalim”.

Akibat dari khulu‟ ini sama dengan akibat hukum dari talak ba‟in

shughra, yaitu suami tidak punya hak untuk merujuk kembali bekas istrinya kecuali dengan perkawinan yang baru dan akad yang baru berdasarkan persetujuan dari masing-masing pihak.

33

Dokumen terkait