• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis interpretasi hakim terhadap cerai thalaq akibat istri aborsi ( studi putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis interpretasi hakim terhadap cerai thalaq akibat istri aborsi ( studi putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Analisis Interpretasi Hakim Terhadap Cerai Thalaq Akibat Istri Aborsi ( Studi Putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

ADE TAUFIK NIM : 108044100059

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)
(3)
(4)

iii Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 07 April 2015

(5)

iv

ABSTRAKSI

ADE TAUFIK,108044100049, Analisis Interpretasi Hakim Terhadap Cerai Thalaq Akibat Istri Aborsi ( Studi Putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt)

Perceraian di Pengadilan Agama tidak mudah untuk dilakukan, karena harus

ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya, baik Penggugat ataupun Pemohon. Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan disebutkan beberapa hal yang bisa dijadikan alsasan perceraian. Pasal

113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus karena: Kematian;Perceraian, dan

putusan pengadilan, sementara itu alasan-alasan perceraian termuat dalam pasal 116

KHI dan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974.

Alasan Aborsi dalam putusan ini yang diajukan oleh Pemohon tidak masuk

dalam alasan-alasan perceraian yang termaktub dalam pasal 116 KHI, sebagaimana

legal opinon/legal interpretation hakim dalam putusan ini. Melihat jauh dewasa ini banyakya kasus yang beragam dalam rumah tangga seharusnya menjadi kunci

dibukanya alasan-alasan perceraian di pengadilan agama, sehingga legal justice bisa ditetapkan.

Penulis menggunakan metode yuridis normative, pendekatan yang dilakukan

dalam penyusunan skripsi ini menggunakan: Tipe Pendekatan Kasus (Case Approach)

Kata kunci: Aborsi, perceraian, KHI,

(6)

v

Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini

dengan izin dan karunia Dzat yang selalu memberikan kekuatan kepada penulis;

Allah SWT. Shalawat teriring salam kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,

semoga syafaatnya senantiasa tercurah kepada pengikutnya kaum muslimin.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana

Syariah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga

(Akhwal Syakhsiyah), Universitas Islam Negeri Jakarta. Dalam penyusunan skripsi

ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga

ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag, M.H, Dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku

Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syahshiyyah Fakultas Syariah

dan Hukum.

3. Bapak JM. Muslimin, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis

(7)

vi

4. Bapak Dr. Ali Wafa, MA selaku pembimbing skripsi yang telah sabar

memBerikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini

5. Ayahanda tercinta Firdaus Ismail dan Ibunda tersayang Lismiati sujud

baktiku kepada ayah dan ibunda atas segala do’a dan pengorbanan kalian

selama ini, “Robbighfirlii Waliwaalidayya Warhamhumaa Kamaa

Robbayaanii Shoghiiroo”. Saudara-saudariku tercinta Dr. H. Linda Firdawati, S. Ag, MA, Deddy Suhenra, ST, Irma Yanti, AMd, Laili

Ramadhani, S.HI, Ferdian, SE, Novi Lidya, S.Tp, Zulvia Hidayani, S. Pd.

Terima kasih yang tak terhingga atas curahan dukungan dan kasih sayang

telah kalian berikan.

6. Sahabat-sahabatku: Moh. Rusdiana Noer Ridha, S.Sy. SH, IBM Andika,

S.Sy, H. Utsman, S.Sy, Muhammad Akbar Alfathtaa, S.Sy, Mukhammad Ali

Seto, S. Sy, Udi Wahyudi, S.Sy. Dhiyaul Akifin, S.Sy, Fachrur Rozy, S.Sy

Mawardi, S.Sy, Muhammad Daerobie, S.Sy, Muhammad Athoillah, S.Sy.

SH. Canda tawa kalian akan menjadi kenangan terindah dan tak terlupakan

sampai akhir hayat. Semoga Persahabatan ini akan tetap kekal terjalin

selama-lamanya.

7. Teman-teman Mahasiswa PA.B Angkatan 2008.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai

rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun

(8)

vii

Jakarta, 07 April 2015

(9)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Metode Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan ... . 13

BAB II TINJAUAN TENTANG ABORSI ... 15

A. Pengertian Aborsi (Abortus) ... 15

B. Macam-Macam Aborsi ... 18

C. Aborsi Dalam Pandangan Hukum ... 19

D. Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan………... 27

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA METRO ... 33

(10)

ix

BAB IV ABORSI, CERAI TALAK DALAM PANDANGAN HUKUM

ISLAM DAN HUKUM POSITIF ... 42

A. Aborsi Dalam Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif . 42 B. Aborsi Sebagai Alasan Putusnya Perkawinan ... ... . 50

C. Interpretasi Hakim Terhadap Cerai Talak Akibat Istri Aborsi 54

BAB V PENUTUP ... 59

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran-saran ... 60

(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi manusia, agar seorang

muslim dapat memikul amanat tanggung jawabnya yang paling besar dalam

dirinya. Pernikahan memiliki manfaat yang paling besar terhadap

kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu adalah memelihara

kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan, menjaga keselamatan

masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat membahayakan kehidupan

manusia serta menjaga ketenteraman jiwa.

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua

makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluknya untuk

berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.1

Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu

keluarga yang bahagia, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini

sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun

1974 pasal 1 bahwa:2 "Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan

1

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia), h. 9.

2

(12)

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Sesuai dengan rumusan itu, pernikahan tidak cukup dengan ikatan lahir

atau batin saja tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin

inilah perkawinan merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan

keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbuatan itu menimbulkan

akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagai

akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan

dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak

dahulu sudah memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus

dilaksanakan.

Perkawinan merupakan tujuan syariah yang dibawa Rasulullah Saw, yaitu

penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi. Dengan

pengamatan sepintas lalu, pada batang tubuh ajarah fikih, dapat dilihat adanya

empat garis dari penataan itu yakni: a). Rub‟al-ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk dengan khaliknya b). Rub‟al-muamalat, yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk

memenuhi hajat hidupnya sehari-hari, c). Rub‟ al-munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dalam lingkungan keluarga dan d). Rub‟ al-jinayat, yang menata pengamanannya dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin

ketentramannya.3

3

(13)

3

Zakiah Daradjat mengemukakan lima tujuan dalam perkawinan, yaitu:

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan;

2. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahtwatnya dan menumpahkan kasih

sayangnya;

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan;

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang

halal serta

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas

dasar cinta dan kasing sayang.4

Terkadang perencanaan terhadap pernikahan melalui banyak hambatan

sehingga konflik-konflik kecil terjadi dalam rumah tangga, kadang konflik itu

bisa diredam dengan saling perhatian antara suami dan istri, tetapi kadang juga

pertengkaran itu tidak bisa diredam dan berakhir pada perceraian..

Putusnya hubungan pernikahan pada dasarnya diakibatkan oleh adanya

perceraian, baik cerai kerena kematian maupun karena cerai hidup melalui 2 cara

yakni; cerai talak dan cerai gugat.5 Perceraian tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya. Cerai adalah terputusnya

hubungan perkawinan antara suami dan isteri.6

4

Zakiah Daradjat, Ilmu Fikih, (Jakarta, DEPAG RI, 1985) Jilid 3, h. 64. 5

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2003), h. 299.

6

(14)

Dalam KHI dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

disebutkan beberapa hal yang bisa dijadikan alasan perceraian Dalam Kompilasi

Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur putusnya

hubungan perkawinan sebagaimana berikut :

1. Pasal 113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus karena:

a. Kematian;

b. Perceraian, dan

c. putusan pengadilan.

2. Pasal 115 KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974 menyatakan, bahwa

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah

Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua

belah pihak.

3. Pasal 114 KHI menegaskan, bahwa Putusnya perkawinan yang disebabkan

karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan cerai.

Sementara itu alasan-alasan perceraian termuat dalam pasal 116 KHI dan

pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974, antara lain:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan

lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar

kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

(15)

5

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7. Suami melanggar taklik talak.

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan

dalam rumah tangga.

Dalam penelitian skripsi ini penulis ingin mengkaji tentang pertimbangan

hakim terhadap alasan yang diungkapkan Pemohon pada perkara Nomor 0749

/Pdt .G/ 2011 /PA.Mt yang mana dalam perkara ini Pemohon memberikan alasan

perceraian bahwa istri telah melakukan aborsi7 sehingga dengan alasan ini Pemohon mengajukan cerai thalaq di Pengadilan Agama Metro. Jika dilihat dari

7 Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”.

Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.

Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu: 1. Aborsi Spontan / Alamiah

2. Aborsi Buatan / Sengaja 3. Aborsi Terapeutik / Medis

(16)

Pasal 116 KHI dan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974, aborsi tidak termasuk dalam

alasan diajukannya perceraian.

Aborsi menurut Abdurrahman Al Baghdadi menyebutkan bahwa aborsi

dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan

setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan,

maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para

ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh.

Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.8

Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain

Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan

karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya

makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.9

Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar

(w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya`

Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir

berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka

aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang

mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang

bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi

8

Abdurrahman Al-Bagdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, (Jakarta, Gema Insani Press, 1998), h. 127-128.

9

(17)

7

eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah

janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari

kandungan sampai dibuang atau dibunuh.10

Dari pengertian diatas dan melihat fakta yang terjadi, maka Penulis ingin

mengkaji secara dalam mengenai pertimbangan hakim yang membolehkan

terjadinya suatu perceraian akibat istri melakukan aborsi. Berangkat dari

keingintahuan penulis inilah, penulis ingin mencoba meneliti dan menguraikan

bentuk penulisan skripsi dengan judul: Analisis Interpretasi Hakim Terhadap Cerai Thalaq Akibat Istri Aborsi ( Studi Putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt)

B. Pembatasaan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembahasan mengenai cerai thalaq akibat istri melakukan aborsi

merupakan sebuah perkara baru, maka dari permasalahan ini penulis

memberikan batasan pada Putusan Hakim Pengadilan Agama Metro Kelas 1a

mengenai Perkara cerai thalaq akibat istri aborsi Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011

/PA.Mt

2. Perumusan Masalah

Alasan-alasan mengenai perceraian termuat dalam pasal 116 KHI dan pasal

39 ayat 1 UU No. 1 / 1974, dalam alasan ini tidak termuat alasan aborsi yang

10

(18)

dilakukan oleh istri menjadi sebab terjadinya perceraian, Berdasarkan uraian

pokok permasalahan di atas, maka penulis mencoba memformulasikan dalam

rumusan penelitian ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

a. Bagaimana hukum Aborsi dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum

Positif di Indonesia?

b. Apakah Aborsi bisa menjadi alasan Putusnya suatu Perkawinan?

c. Bagaimana Interpretasi hakim terhadap cerai Thalaq akibat istri aborsi pada

putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana hukum Aborsi dalam Pandangan hukum Islam

dan hukum Positif di Indonesia.

2. Untuk mengetahui apakah alasan aborsi bisa djadikan sebagai sebab

terjadinya putusnya perkawinan.

3. Untuk mengetahui Bagaimana Interpretasi hakim terhadap cerai Thalaq akibat

istri aborsi pada putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini

(19)

9

b. Untuk menambah serta memperdalam ilmu pengetahuan penulis akan hal

hukum perkawinan.

c. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap pembuatan

penelitian yang serupa di masa mendatang

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas

mengenai aborsi.

b. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masayrakat implikasi

aborsi pada perkawinan.

c. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis serta

mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian ini penulis melakukan tinjauan pustaka

terdahulu atau penelusuran terhadap apakah pembahasan ini telah di bahas dalam

skripsi-skripsi terdahulu, dengan demikian, setelah penulis melakukan tinjauan

pustaka, maka penulis belum menemukan skripsi yang membahas tentang “Analisis Interpretasi Hakim Terhadap Cerai Thalaq Akibat Istri Aborsi ( Studi

Putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt)

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini,

(20)

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah:

a. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum

positif.11

b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku,

literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi inI

menggunakan tipe pendekatan kasus (Case Approach)12 dalam hal ini adalah pendekatan terhadap kasus aborsi yang dilakukan oleh termohon sehingga

menjadi dasar alasan Pemohon dalam mengahukan cerai thalaq Studi Putusan

Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt)

2. Sumber Bahan Hukum

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber data

yaitu:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan

peruang-undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan BW.

11

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.

12

(21)

11

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan

kepustakaan.13 Bahan hukum yang terdiri dari atas buku-buku (textbooks)

yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum,

yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan

topik penelitian skripsi ini

c. Bahan hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.14

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tersier, serta bagaimana bahan hukum

tersebut diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang

dibahas.

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode

sebagai berikut:

a. Metode Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan,

transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen,

13

Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51. 14

(22)

rapat, agenda, dan sebagainya.15

b. Metode Interview wawancara atau interview merupakan Tanya jawab

secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara lansung.

Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang

berbeda. Satu pihak sebagai berfungsi sebagai pencari informasi atau

interviewer sedangkan pihak lain baerfungsi sebagai pemberi informasi

atau informan (responden)16 Proses wawancara ini diajukan kepada beberapa nara sumber diantaranya Hakim Pengadilan Agama Metro.

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan

dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan

untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan hukum

hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap

bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi

terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan

analisis dan konstruksi.

Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain:

15

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 201.

(23)

13

a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur

tentang hukum aborsi dan sebab-sebab putusnya perkawinan dalam

peraturan perundang-undangan.

b. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut

sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu

5. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada

prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman

penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, Studi

review terdahulu, metode penelitian, teknik dan sistematika penulisan.

Kedua dalam Bab ini tinjauan tentang aborsi menjelaskan tentang

pengertian Aborsi (abortus) macam-macam aborsi, kemudian tentang Hukum Aborsi dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia dan

Sebab-sebab putusnya Perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Ketiga dalam bab ini penulis menjelaskan tentang Profil Pengadilan Agama

(24)

terakhir tentang Struktur organisasi Pengadilan Agama Metro.

Keempat dalam bab ini menjelaskan Analisis Aborsi bisa menjadi alasan

Putusnya suatu Perkawinan, kemudian tentang Analisis Interpretasi Hakim

Terhadap Cerai Thalaq Akibat Istri Aborsi (Studi Putusan Nomor 0749 /Pdt .G/

2011 /PA.Mt) dan yang terakhir Analisis Penulis.

Kelima dalam bab terakhir ini adalah penutup berisikan tentang kesimpulan

(25)

15

BAB II

TINJAUAN TENTANG ABORSI

A. Pengertian Aborsi (abortus) 1. Menurut Fiqih

Aborsi dalam literatur fiqih berasal dari bahasa Arab al-Ijhadh,

merupakan mashdar dari ajhadha atau juga dalam istilah lain bisa disebut

isqath al-haml, keduanya mempunyai arti perempuan yang melahirkan secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya. Secara bahasa disebut

juga lahirnya janin karena dipaksa atau dengan sendirinya karena belum

waktunya. Sedangkan makna gugurnya kandungan, menurut ahli fikih tidak

keluar dari makna bahasa, diungkapkan dengan istilah menjatuhkan (isqath),

membuang (tharh), melempar (ilqaa‟), dan melahirkan dalam keadaan mati

(imlaash).1

Aborsi dalam agama Islam jelas dan terang-terangan dilarang serta

diharamkan. Dikatakan bahwa membunuh sesama manusia itu sama saja

dengan membunuh seluruh manusia di muka bumi ini. Menurut Mazhab Syafi’i aborsi dalam Islam seorang wanita yang membuang janin pada saat

masa kehamilannya belum sempurna, sehingga janin tidak dapat merasakan

kehidupan di dunia ini. Di dalam kitab “Qodhayu fiqhiyyah al-Mu‟aassarah”.

Para pakar undang-undang fiqih kriminal menetapkan bahwa aborsi dalam

1 Maria Ulfa, “Fikih Aborsi, Wacana penguatan hak reproduksi perempuan”, (Jakarta:

(26)

Islam adalah menyingkirkan kehamilan secara sengaja tanpa sebab yang pasti,

dan berbahaya bagi wanita yang ingin menggugurkan janinnya.2

2. Menurut Medis

Dari segi medis sendiri, pengertian aborsi adalah keluarnya hasil

konsepsi (pembuahan) sebelum usia kehamilan 20 minggu (lima bulan)

dengan berat mudigah kurang dari 500 gram. Mudigah yang dikeluarkan dari

kandungan sebelum usia kandungan 20 minggu dapat dikatakan tidak punya

harapan hidup. Sedangkan keluarnya hasil konsepsi (pembuahan) setelah usia

kehamilan 20 minggu dapat dikatakan sebagai persalinan mengingat janin

yang dikeluarkan sudah mempunyai harapan hidup walaupun amat tipis.

Hanya saja, disini juga tetap dibedakan antara abortus yang terjadi karena

adanya campur tangan (provokasi) oleh manusia.3 Oleh karena itu dalam buku ini digunakan istilah abortus provocatus (dalam bahasa latin) untuk menyebut pengguguran kandungan yang disengaja oleh manusia. Penggunaan istilah ini

bertujuan untuk menunjukkan makna sebenarnya yang dimaksud penulis agar

tidak terjadi kerancuan makna dalam bahasa permasalahan yang ada,

mengingat bermacam-macamnya jenis abortus.

3. Menurut Undang-Undang

Menurut hukum positif di Indonesia mengenai aborsi, baik menurut

kitab undang-undang hukum pidana Indonesia, tindakan aborsi tidak selalu

2

http://www.anneahira.com/aborsi-dalam-islam.htm diakses tanggal 21-11-2013

3

(27)

17

merupakan perbuatan jahat atau merupakan tindakan pidana, hanya aborsi

provocatus criminalis saja yang dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak

pidana, adapun aborsi yang lainnya terutama yang bersifat spontan dan

medicalis bukan merupakan suatu tindak pidana.4

Abortus provocatus berasal dari bahasa latin yang berarti keguguran karena kesengajaan.5 Abortus Provocatus merupakan salah satu dari berbagai jenis macam abortus. Dalam kamus latin Indonesia sendiri, abortus diartikan

sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran.6 Pada dasarnya kata

abortus dalam bahasa latin sama artinya dengan kata aborsi dalam bahasa

Indonesia yang merupakan terjemahan dari kata abortion dalam bahasa Inggris. Jika ditelusri dalam kamus Inggris – Indonesia, kata abortion

memang mengandung arti keguguran anak.7

Kata Abortus atau aborsi diatas masih mengandung arti yang amat luas

sekali. Hal ini dengan jelas ditegaskan dalam Black „s Law Dictionary. Kata

Abortion (Inggris) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi aborsi mengandung dua arti sekaligus:

4

Mien Rukmini, “Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat Perkosaan”, (Badan Pembinaan Hukum Nasional Kehakiman dan HAM RI), h. 31

5

Suryono Ekotama dll, “ABORTUS PROVOCATUS”. Bagi korban perkosaan. Persvektif Viktimilogi, kriminalogi dan hukum pidana”, (Yogyakarta: Atmajaya, 2000), h. 31

6 K. Prent Cm dan Adisubarta, “Kamus Latin

- Indonesia”, (Yogyakarta:Kanisius,1969), h. 4

7

(28)

B. Macam-Macam Aborsi

Secara umum, Soerjano Soekanto mengemukakan beberapa istilah untuk

menyebut keluarnya hasil konsepsi/pembuahan sebelum usia 20 minggu yang

biasa disebut aborsi/abortion diantaranya :

1. Abortion Criminalis, yaitu hukum pengguguran kandungan bertentangan dengan hukum;

2. Abortion Eugenic, yaitu pengguguran kandungan untuk mendapatkan keturunan baik; Abortion induced / abortion provoked

3. Abortus provocatus, yaitu pengguguran kandungan disengaja; 4. Abortion Natural, yaitu pengguguran kandungan secara alamiah;

5. Abortus Spontaneus, yaitu pengguguran kandungan secara tidak disengaja; 6. Abortus Therapeutic; yaitu pengguguran kandungan dengan tujuan untuk

menjaga kesehatan sang ibu.8

7. Sementara itu Djoko Prakoso mengelompokkan macam-macam aborsi lebih

spesifik lagi. Menurtunya, dikenal dua macam aborsi:

Aborsi spontan yang terjadi tanpa usaha dari luar, dan aborsi buatan

(abortus provocatus) yang dilakukan karena kehamilan tidak diinginkan. Golongan kehamilan yang tidak diinginkan dirinci lebih lanjut :

1. Tidak diinginkan oleh dokter, karena kehamilan tersebut akan membahayakan

jiwa si ibu. Anak yang dilahirkan kemungkinan cacat berat. Abortus buatan

ini dapat dilakukan karena alasan medis dan biasa disebut sebagai abortus provocatus medicanilis.

(29)

19

2. Tidak diinginkan oleh wanita yang bersangkutan, suaminya, atau keluarganya,

karena :

a. Perkosaan

b. Hubungan kelamin di luar perkawinan

c. Alasan-alasan lainnya :

1) Sosio Ekonomis

2) Anak sudah cukup banyak

3) Belum mampu punya anak

Untuk Abortus jenis ke-2 ini, yang meminta untuk dilakukan abortus

bukan dokter, melainkan wanitanya sendiri, suaminya, atau keluarganya.

Abortus ini di negara kita dilarang dan dipandang sebagai perbuatan pidana

atau abortus provocatus criminalis.9

C. Aborsi Dalam Pandangan Hukum

1. Aborsi Dalam Pandangan Hukum Positif

Di Indonesia aborsi diatur dalam beberapa peraturan

perundang-undangan yang terpisah, misalnya dalam KUHPidana yang menjelaskan

bahwa segala macam aborsi dilarang, dengan tanpa pengecualian,

sebagaimana diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 29 KUHPidana

(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh seorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan

9 Djoko Prakoso, “Perkembangan delik

(30)

pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selama –lamanya empat tahun atau denda sebnyak-banyaknya empat puluh lima ribu rupiah.

(2) Kalau yang salah berbuat karena mencari keuntungan, atau melakukan kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau kalau ia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidana dapat ditambah sepertiganya.

(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.

Pasal 346 KUHPidana

Wanita yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dipidana penjara selama-lamanya empat tahun.

Pasal 347 KUHPidana

(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita tidak dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu berakibat wanita itu mati, ia dapat dipidana dengan pidana selama-lamanya loma belas tahun.

Pasal 349 KUHPidana

(31)

21

kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut haknya melakukan pekerjaannya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan itu.

Secara singkat dapat dijelas kan bahwa yang dapat dihukum, menurut

KUHPidana dalam kasus aborsi adalah:

a. Pelaksana aborsi, yakni tenaga medis atau dukun atau orang lain dengan

hukuman maksimal 4 tahun ditambah sepertiganya dan bisa dicabut hak

hak untuk berpraktek.

b. Wanita yang menggugurkan kandungannya, dengan hukuman maksimal 4

tahun.

c. Orang-orang yang terlibat secara langsung dan menjadi penyebab

terjadinya aborsi dihukum dengan hukuman bervariasi.

Sedangkan aborsi juga diatur dalam undang-undang kesehatan (UU

No. 23 Tahun 1992) adalah sebagai berikut:

Aborsi yang secara substansial berbeda dengan KUHPidana. Dalam

undang-undang tersebut aborsi diatur dalam pasal 15. Menurut undang-undang-undang-undang ini

aborsi dapat dilakukan apabila ada indikasi medis.

Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1992

(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

(32)

a. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggungjawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.

b. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.

c. Pada Sarana tertentu

Dalam penjelasan resmi ayat 1 itu dikatakan:

Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan, Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya, dapat diambil tindakan medis tertentu.

Adapun dalam Undang-undang no 36 tahun 2009 tentang reproduksi kesehatan

diantaranya dalam pasal 75 adalah:

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan

berdasarkan:

a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik

yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik

berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga

(33)

23

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi

korban perkosaan.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah

melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan

konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan

berwenang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Dan Dalam pasal 76 undang-undang reproduksi kesehatan

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid

terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang

memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh

Menteri.

Dalam pasal 77 undang-undang reproduksi kehamilan

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana

(34)

dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma agama dan

ketentuan peraturan perundangundangan.

Adapun Dalam PP (Peraturan Pemerintah) nomor 61 tahun 2014 kesehatan

reproduksi dalam pasal 31 yaitu:

(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:

a. Indikasi kedaruratan medis; atau

b. kehamilan akibat perkosaan.

(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat

puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Dalam pasal 32 PP (Peraturan Pemerintah) no 61 tahun 2014 disebutkan:

(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)

huruf a meliputi:

a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau

b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang

menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat

diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

(2) Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

(35)

25

2. Aborsi Dalam pandangan Hukum Islam

Islam menganut pandangan bahwa setiap bayi yang lahir ke dunia

adalah suci dari segala noda dan dosa. Pengguguran berarti merusak dan

menghancurkan janin, calon manusia yang dimuliakan oleh Allah, karena ia

berhak survive dan lahir dalam keadaan hidup, sekalipun melalui hubungan

yang tidak sah. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

سّ ي

ّ ي

ي

بأف

ط ل

ى ع

ل ي

ل

“Setiap anak dilahirkan berdasarkan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi.10

Maka jelas dari perspektif moral keislaman tindakan pengguguran

kandungan itu seperti praktek kaum jahiliyah yang menguburkan setiap balita

yang lahir karena takut miskin dan takut lapar, atau mereka sudah putus

harapan atas bencana kemiskinan parah yang melanda. Setelah Islam datang,

Islam mengharamkan adat keji nan buruk seperti ini, melalui turunnya Firman

Allah Ta’ala

ً ي ك ًطخ ك تق إۚ ك يإ ق ح ۖ

إ يشخ ك ل أ تقت ل

“Dan Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut

kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga

kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”

(Q.s. Al-Isra’ : 31)

Ulama sepakat untuk mengharamkan pengguguran kandungan yang

dilakukan pada waktu janin sudah diberi nyawa (nafkh al-ruh) perbuatan itu dipandang sebagai tindak pidana dalam Islam, karena pengguguran seperti itu

10 Hadist Riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Imam Muslim, “Shalih Muslim juz

(36)

sama dengan pembunuhan terhadap manusia yang telah sempurna wujudnya.

Sedangkan terhadap pengguguran kandungan di mana bayi telah diberi nyawa,

para ulama berbeda pendapat. Pada prinsipnya pengguguran kandungan dalam

Islam dilarang, namun demikian para jumhur ulama mazhab dan ulama

kontemporer diantaranya Mahmoud Syaltoun, dan Yusuf al-Qadrhawi.

Memperbolehkan pengguguran dalam keadaan terpaksa guna menyelamatkan

jiwa si ibu. Namun hal demikian itu hanya diperkenankan apabila kehamilan

terjadi secara sah, artinya kehamilan yang terjadi karena hubungan seksual

suamim istri yang sah. Namun bagaimana hubungan tidak sah?

Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthni mengatakan, haram

menggugurkan kandungan yang terjadi karena hubungan seksual diluar nikah.

Keharaman ini berlaku dalam keadaan apapun (termasuk aborsi akibat

perkosaan.11 Aborsi menurut Abdurrahaman Al Baghdadi menyebutkan aborsi

dalam sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah

ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua

ulama fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih

berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian

memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.12

Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain

11 Saifullah, ”Aborsi dan Persoalannya”, ibid 134 12

(37)

27

Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alas an

karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya

makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.13

Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu

Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya

Ihya’ Ulumuddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al

-Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum

(sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada

kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk

menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus

dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya,

jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi

dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau

dibunuh.14

D. Sebab – Sebab Putusnya Perkawinan

1. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang

Dalam pasal 38 UU No. 1 / 1974 tentang perkawinan disebutkan

beberapa hal yang bisa dijadikan alasan putusnya hubungan perkawinan

sebagaimana berikut :

a. Kematian

13

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Hajimasagung, 1993), h. 81

14

(38)

b. Perceraian dan

c. Putusan pengadilan

Dalam pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974 menyatakan, bahwa:

a. perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama,

setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.

b. Untuk Melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami

istri itu tidak akan dapat rukun sebagaimana suami istri.

c. Tata cara sidang di depan sidang pengadilan diatur dalam

perundang-undangan tersebut.

2. Putusnya Perkawinan Menurut KHI

Dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebab-sebab

putusnya perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di

luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

(39)

29

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.

3. Putusnya Perkawinan dalam Pandangan Ulama’ Fiqih

Menurut hukum Islam putusnya hubungan perkawinan melalui

perceraian dapat terjadi karena talak, khulu’, syiqaq, faskh, ta’liq talak, dzihar,

ila’, dan li’an. Namun secara umum yang paling sering terjadi adalah cerai

talak dan cerai gugat, berikut ini akan coba penulis jelaskan mengenai dua

jenis perceraian tersebut, yaitu:

a. Cerai Talak

Cerai talak ini adalah cerai yang datang atas inisiatif dari pihak

suami. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 117 diterangkan bahwa

“Talak” adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang

menjadi salah satu sebab putusnya hubungan perkawinan dengan cara

sebagaimana pasal 129, 130, 131”.15

Cerai talak ini hanya dapat dilakukan

oleh suami, karena suamilah yang berhak untuk mentalak istrinya

sedangkan istri tidak berhak mentalak suaminya.

15

(40)

Talak jika dari boleh tidaknya suami rujuk kembali pada istrinya

setelah istri ditalak adalah:

1) Talak raj”i, adalah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak ruju’ selama istri dalam masa iddah. (pasal 118 KHI)

2) Talak ba‟in, talak ba’in ini terbagi menjadi dua macam:

a) Talak ba‟in shughra yaitu talak yang tidak boleh diruju’ tetapi boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya

meskipun dalam masa iddah (pasal 119 KHI)

b) Talak ba‟in kubra yaitu talak yang menghilangkan hak suami untuk menikah kembali kepada istrinya, kecuali kalau bekas istrinya itu

telah menikah lagi dengan orang lain dan telah berkumpul lag

sebagai suami istri secara nyata dan sah (pasal 120 KHI).

Sedangkan talak jika ditinjau dari waktu menjatuhkannya dibagi

menjadi dua macam:

a) Talak Sunni, yaitu talak yang diperbolehkan dalam artian talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam

waktu sucinya tersebut (pasal 121 KHI).

b) Talak bid‟i, yaitu talak yang dilarang dalam artian talak yang dijatuhkan kepada istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan

suci namun sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 122

(41)

31

b. Cerai gugat

Cerai gugat adalah cerai yang inisiatifnya datag dari pihak istri.

Dalam Islam cerai seperti ini dikenal dengan istilah khulu‟. Khulu‟ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan

atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.16 Hukum Islam memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan

mengajukan khulu‟, sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan talak.17 Hukum Acara di Indonesia, khulu‟ ini biasa disebut dengan cerai gugat atau talak tebus.

Menurut istilah syari’at, khulu‟ adalah perpisahan wanita dengan ganti

rugi dengan kata-kata khusus.18 Dalam khulu‟ ganti rugi dari pihak istri merupakan unsur penting, unsur inilah yang membedakannya dengan cerai

biasa19. Dasar hukum disyaria’atkannya khulu‟ adalah firman Allah SWT dalam surat Al-baqarah (2): 229 yang berbunyi:

إف ل ح يقي اأ ف ي أ اإ ً يش

تيتآ ذخأت أ كل ّحي ا

اف ل ح ك ت ب تف يف ي ع ح ج اف ل ح يقي اأ ت خ

تعت

ل ّحت اف ق ط إف ,

ل ّل ك ـل أف ل ح عتي

أ ظ إ عج تي أ ي ع ح ج اف ق ط إف يغ ًج حك ت ىتح عب

16

A. Mukri Arto , Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Cet. 5, h. 234.

17

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 220

18

Syaikh Muhammad Al-Usaimin, Shahih Fiqh Wanita, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009), Cet.-2 h. 340.

19

(42)

ح ك ت ل ح يقي

عي قل ي ي ل

Arinya: “Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu dari yang telah kamu

berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dzalim”.

Akibat dari khulu‟ ini sama dengan akibat hukum dari talak ba‟in

shughra, yaitu suami tidak punya hak untuk merujuk kembali bekas istrinya kecuali dengan perkawinan yang baru dan akad yang baru berdasarkan

(43)

33

BAB III

PROFIL PENGADILAN AGAMA METRO

A. Histori Pembentukan Pengadilan Agama Metro

Sebelum bangsa penjajah Portugis, Inggris dan Belanda datang di bumi

Nusantara Indonesia, Agama Islam sudah lebih dulu masuk melalui Samudra

Pasai, yang menurut sebagian besar ahli sejarah bahwa Islam itu sudah masuk ke

Indonesia sejak abad ke 12 yang dibawa oleh para pedagang bangsa Gujarat.

Di zaman kolonial Belanda, daerah keresidenan Lampung tidak

mempunyai Pengadilan Agama. Yang ada adalah Pengadilan Negeri atau

Landraad, yang mengurusi sengketa / perselisihan masyarakat. Persoalan atau

urusan masyarakat dibidang Agama Islam seperti masalah perkawinan, perceraian

dan warisan ditangani oleh Pemuka Agama, Penghulu Kampung, Kepala Marga

atau Pasirah. Permusyawaratan Ulama atau orang yang mengerti Agama Islam

menjadi tumpuan Umat Islam dalam menyelesaikan masalah agama. Sehingga

dalam kehidupan beragama, dimasyarakat Islam ada lembaga tak resmi yang

berjalan / hidup.

Kehidupan menjalankan ajaran Agama Islam termasuk menyelesaikan

persoalan agama ditengah masyarakat Islam yang dinamis melalui Pemuka

Agama atau Ulama baik di masjid, di surau ataupun di rumah pemuka adat

nampaknya tidak dapat dibendung apalagi dihentikan oleh Pemerintah Kolonial

(44)

B. Dasar Yuridis Pembentukan Pengadilan Agama Metro

Menyadari bahwa menjalankan ajaran agama itu adalah hak azasi bagi

setiap orang, apalagi bagi pribumi yang dijajah, maka Pemerintah Kolonial

Belanda akhirnya mengeluarkan.1

1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun

1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan Nomor 610)

2. Peraturan tentang Kerapatan Qodi dan Kerapatan Qodi Besar untuk sebagian

Residen Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638

dan Nomor 639)

Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung Secara Yuridis Formal

Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung dibentuk lewat kawat Gubernur

Sumatera tanggal 13 Januari 1947 No. 168/1947, yang menginstruksikan kepada

Jawatan Agama Propinsi Sumatera di Pematang Siantar dengan kawatnya tanggal

13 Januari 1947 No. 1/DJA PS/1947 menginstruksikan Jawatan Agama

Keresidenan Lampung di Tanjung Karang untuk menyusun formasi Mahkamah

Syariáh berkedudukan di Teluk Betung dengan susunan : Ketua, Wakil Ketua,

dua orang anggota, seorang panitera dan seorang pesuruh kantor.

Kemudian dengan persetujuan BP Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan

Lampung, keluarlah Besluit P.T. Resident Lampung tanggal 13 Januari 1947

Nomor 13 tentang berdirinya Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung. Dalam

Besluit tersebut dimuat tentang Dasar Hukum, Daerah Hukum dan Tugas serta

wewenangnya.

1

(45)

35

Kewenangan Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung dalam Pasal 3 dari

Besluit 13 Januari 1947 itu meliputi :

1. Memeriksa perselisihan suami istri yang beragama Islam, tentang nikah,

thalak, rujuk, fasakh, kiswah dan perceraian karena melanggar taklik talak.

2. Memutuskan masalah nasab, pembagian harta pusaka (waris) yang

dilaksanakan secara Islam.

3. Mendaftarkan kelahiran dan kematian.

4. Mendaftarkan orang-orang yang masuk islam.

5. Mengurus soal-soal peribadatan.

6. Memberi fatwa dalam berbagai soal.

Dengan dasar hukum hanya Besluit P.T. Resident Lampung tanggal 13

Januari 1947 yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan

Lampung, maka timbul sementara pihak beranggapan bahwa kedudukan Badan

Peradilan Agama (Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung) tidak mempunyai

dasar hukum yang kuat, tidak sah dan sebagainya. Konon sejarahnya hal ini

pulalah yang menjadi dasar Ketua Pengadilan Negeri Keresidenan Lampung pada

Tahun 1951, bernama A. Razak Gelar Sutan Malalo menolak memberikan

eksekusi bagi putusan Mahkamah Syariáh, karena dianggap tidak mempunyai

status hukum.

Keadaan seperti ini sampai berlarut dan saling adukan ke pusat, sehingga

melibatkan Kementerian Agama dan Kementerian Kehakiman serta Kementerian

(46)

Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung dengan Surat tanggal 6 Oktober 1952

dan telah dibalas oleh Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung dengan

Suratnya tertanggal 26 Nopember 1952. Hal yang mengejutkan adalah munculnya

Surat dari Kepala Bagian Hukum Sipil Kementerian Kehakiman RI (Prof. Mr.

Hazairin) Nomor : Y.A.7/i/10 tanggal 11 April 1953 yang menyebutkan

“Kedudukan dan Kompetensi Pengadilan Agama / Mahkamah Syariáh

Keresidenan Lampung adalah terletak di luar hukum yang berlaku dalam Negara

RI”.

Surat Kementerian Kehakiman itu ditujukan kepada Kementerian Dalam

Negeri. Kemudian Kementerian Dalam Negeri Melalui Suratnya tanggal 24

Agustus Tahun 1953 menyampaikan kepada Pengadilan Negeri atau Landraad

Keresidenan Lampung di Tanjung Karang. Atas dasar itu Ketua Pengadilan

Negeri Keresidenan Lampung dengan Suratnya tanggal 1 Oktober 1953

menyatakan kepada Jawatan Agama Keresidenan Lampung bahwa “Status hukum

Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung di Teluk Betung tidaksah”.

Ketua Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung melaporkan peristiwa tersebut

kepada Kementerian Agama di Jakarta melalui Surat tertanggal 27 Oktober 1953

kemudian Kementerian Agama C.q Biro Peradilan Agama (K. H. Junaidi) dalam

Suratnya tanggal 29 Oktober 1953 yang ditujukan kepada Mahkamah Syariáh

Keresidenan Lampung menyatakan bahwa “Pengadilan Agama Lampung boleh

berjalan terus seperti sediakala sementara waktu sambil menunggu hasil

musyawarah antara Kementerian Agama dan Kementerian Kehakiman di

(47)

37

Ketua Mahkamah Syariáh Lampung dengan Suratnya Nomor : 1147/B/PA,

tanggal 7 Nopember 1953 ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri langsung

yang isinya menyampaikan isi Surat Kementerian Agama C.q Biro Peradilan

Agama yang menyangkut status Pengadilan Agama Lampung.

Di tengah perjuangan tersebut K. H. Umar Murod menyerahkan jabatan

Ketua kepada Wakil Ketua K. H. Nawawi. Kemudian dengan Surat Keputusan

Menteri Agama tanggal 10 Mei 1957 mengangkat K. H. Syarkawi sebagai Ketua

Mahkamah Syariáh Lampung. Sedangkan K. H. Umar Murod dipindahkan ke

Kementerian Luar Negeri di Jakarta.

Walaupun untuk sementara Mahkamah Syariáh Lampung merasa aman

dengan Surat dari Kementerian Agama itu, akan tetapi di sana sini masih banyak

tanggapan yang kurang baik dan sebenarnya juga di dalam tubuh Mahkamah

Syariáh sendiri belum merasa puas bila belum ada Dasar Hukum yang Kompeten.

Diyakini keadaan ini terjadi juga di daerah lain sehingga perjuangan-perjuangan

melalui lembaga-lembaga resmi pemerintah sendiri dan lembaga keagamaan yang

menuntut agar keberadaan Mahkamah Syariáh itu dibuatkan Landasan Hukum

yang kuat. Lembaga tersebut antara lain :

1. Surat Wakil Rakyat dalam DPRDS Kabupaten Lampung Selatan tanggal 24

Juni 1954 yang ditujukan kepada Kementerian Kehakiman dan Kementerian

Agama;

2. Organisasi Jamiátul Washliyah di Medan, sebagai hasil Keputusan Sidangnya

(48)

3. Alim Ulama Bukit Tinggi, sebagai hasil sidangnya bersama Nenek Mamak

pada tanggal 13 Mei 1954, Sidang ini konon dihadiri pula oleh Prof. Dr.

Hazairin, S.H. dan H. Agus salim.

4. Organisasi PAMAPA (Panitia Pembela Adanya Pengadilan Agama) sebagai

hasil Sidang tanggal 26 Mei 1954 di Palembang.

Syukur Alhamdulillah walaupun menunggu lama dan didahului dengan

peninjauan /survey dari Komisi E Parlemen RI dan penjelasan Menteri Agama

berkenaan dengan status Pengadilan Agama di Sumatera, akhirnya Pemerintah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 yang menjadi

Landasan Hukum bagi Pengadilan Agama ( Mahkamah Syariáh) di Aceh yang

diberlakukan juga untuk Mahkamah Syariáh di Sumatera. Kemudian diikuti

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tanggal 9 Oktober 1957

untuk Landasan Hukum Pengadilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan

Selatan. Peraturan Pemerintah tersebut direalisasikan oleh Keputusan Menteri

Agama Nomor 58 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama /

Mahkamah Syariáh di Sumatera termasuk Mahkamah Syariáh Keresidenan

Lampung di Teluk Betung.

Wewenang Mahkamah Syariáh dalam PP 45 Tahun 1957 tersebut

dicantumkan dalam Pasal 4 ayat (1) yaitu :

“Pengadilan Agama / Mahkamah Syariáh memeriksa dan memutuskan

(49)

39

dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, hadhonah, malwaris, wakaf, hibah, shodaqoh, baitulmal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat taklik talak

sesudah berlaku”.

Dalam perkembangan selanjutnya Badan Peradilan Agama termasuk

Pengadilan Agama / Mahkamah Syariáh di Teluk Betung mendapat Landasan

Hukum yang mantap dan kokoh dengan di Undangkannya UU Nomor 35 / 1999

kemudian diganti dengan UU Nomor 4 / 2004 yang berlaku mulai tanggal 15

Januari 2004. Pasal 10 Ayat (2) menyebutkan :

“Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan

peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan

Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”.

Landasan Hukum yang lebih kuat dan kokoh lagi bagi Peradilan Agama

dan juga bagi peradilan lain adalah sebagaimana disebut dalam Undang-Undang

Dasar 1945 setelah diamandemenkan, dimana pada Bab IX Pasal 24 Ayat (2)

menyebutkan : “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan

Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer,

Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah

(50)

C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Metro

Ketua DRS. H. K. M. Junaidi, S.H.

Wakil Ketua DRS. Sahrudin, SH. MHI

Panitera/Sekertaris DRS. Erwin Romel, M.H

Wakil Panitera Hj. Sholeha, S. Ag. M.H

Wakil Sekertaris Fetty Marhida, S. HI

KASUB. BAG. Khairul Hadi, S.H.

KASUB. BAG. Winarti, S.HI.

KASUB. BAG. Dra. Nelfridos, M.H.

Panitera Muda Ros Amanah, S.Ag., M.H

Panitera Muda A. Rahman, S.H.

Panitera Muda Fauziah, S.H.I

Hakim Drs. Hasnal Zasukawir, S.H.

Hakim Drs. H. Furqon Yunus

Hakim Drs. Abdul Rosyid, M.H

Hakim Drs. Ilham Nur

Hakim DRS. Nahrawi, M.HI.

Hakim DRS. Joni

Hakim H. Suyanto, S.H., M.H.

Hakim DRS. Machfudls.

Hakim Zumrowi, S.Ag.

Hakim Panji Nugraha Ruhiat, S.HI., M.H

(51)

41

Jurusita Andie Farza, S.H

Jurusita Aliefia Qurratul Aini, S.EI.

Jurusita Rina Malasari, S.Kom.

Jurusita Siti Lestari

Jurusita Abdul Wahid Aziz, S.Kom.

Jurusita INTAN Yani Astira, S.H

(52)

42

HUKUM POSITIF

A. Aborsi Dalam Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif 1. Aborsi Dalam Pandangan Hukum Islam

Aborsi dalam literatur fiqih berasal dari bahasa Arab al-Ijhadh,

merupakan mashdar dari ajhadha atau juga dalam istilah lain bisa disebut

isqath al-haml, keduanya mempunyai arti perempuan yang melahirkan secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya. Secara bahasa disebut

juga lahirnya janin karena dipaksa atau dengan sendirinya karena belum

waktunya. Sedangkan makna gugurnya kandungan, menurut ahli fikih tidak

keluar dari makna bahasa, diungkapkan dengan istilah menjatuhkan (isqath),

membuang (tharh), melempar (ilqaa’), dan melahirkan dalam keadaan mati

(imlaash).1

Islam sebagai agama yang suci (hanif), yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w., diturunkan Allah SWT sebagai rahmatan lil „alamin.

Setiap makhluk hidup mempunyai hak untuk menikmati kehidupan, baik

hewan, tumbuh-tumbuhan, apa lagi manusia yang menyandang gelar

khalifatullah di permukaan bumi. Islam sangat mementingkan pemeliharaan

1

(53)

43

terhadap lima hal, yaitu jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta. Pemeliharaan

terhadap kelima hal tersebut tergolong ke dalam al-mashalih al-haqiqiyat.2

Aborsi sendiri termasuk salah satu dari lima al-mashalih al-haqiqiyat,

atau yang biasa disebut hifdzu an-Nafs (pemeliharaan Jiwa). Karena aborsi diharamkan perbuatannya dalam agama Islam. Pengguguran berarti merusak

dan menghancurkan janin calon manusia yang dimuliakan Allah. Dan juga

Dikatakan bahwa membunuh sesama manusia itu sama saja dengan

membunuh seluruh manusia di muka bumi ini, karena ia berhak survive dan

lahir dalam keadaan hidup, sekalipun dari hubungan tidak sah. Kenyataannya

bahwa manusia merupakan makhluk yang dimuliakan Allah dapat dilihat

dalam firman-Nya yang berbunyi:

ن هانق و حبلاو بلا يف هان حو دآ ينب ان ك د لو

اًيضفت ان خ ن يثك ٰى ع هان ضفو تابيطلا

Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan“(Q.s. Al-Isra’ : 172).

Sebagaimana juga rasulullah Muhammad SAW telah bersabda dalam

2

(54)

haditsnya:

اوبنتجا

عبَّلا

تا بو لا

ليق

اي

لوس

هَلا

ا و

َنه

لاق

ِّلا

هَلاب

حِّلاو

لتقو

سفَنلا

يتَلا

َ ح

هَلا

اَل

ِّحلاب

لكأو

لا

يتيلا

لكأو

ابِ لا

يِلوَتلاو

وي

فحَ لا

ف قو

تانصح لا

تا فاغلا

تان لا

Artinya: “Hendaklah kalianmenghindari tujuh dosa yang dapat menyebabkan kebinasaan.” Dikatakan kepada beliau, “Apakah ketujuh dosa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawa: Dosa menyekutukan Allah, sihir,

membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh kecuali dengan haq,memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan pertempuran,

dan menuduh wanita mu’minah baik-baik berbuat zina.” HR. Al-Bukhari no. 2560 dan Muslim no. 129

Dalam pembahasan pada bab II halaman 24 pada skripsi ini telah

diterangkan bahwa Ulama sepakat untuk mengharamkan pengguguran

kandungan yang dilakukan pada waktu janin sudah diberi nyawa (nafkh al-ruh) perbuatan itu dipandang sebagai tindak pidana dalam Islam, karena pengguguran seperti itu sama dengan pembunuhan terhadap manusia yang

telah sempurna wujudnya. Sedangkan terhadap pengguguran kandungan di

mana bayi belum diberi nyawa, para ulama berbeda pendapat. Yang

memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli

(w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alas an karena belum ada

(55)

45

alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.3

Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu

Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya

Ihya’ Ulumuddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al

-Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum

(sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada

kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk

menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus

dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya,

jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi

dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau

dibunuh.4

Pada prinsipnya pengguguran kandungan dalam Islam dilarang, namun

demikian para jumhur ulama mazhab dan ulama kontemporer diantaranya

Mahmoud Syaltoun, dan Yusuf al-Qadrhawi. Memperbolehkan pengguguran

dalam keadaan terpaksa guna menyelamatkan jiwa si ibu. Namun hal

demikian itu hanya diperkenankan apabila kehamilan terjadi secara sah,

artinya kehamilan yang terjadi karena hubungan seksual suamim istri yang

3

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Hajimasagung, 1993), h. 81

4

(56)

sah.5 Akan tetapi dalam beberapa term Islam membolehkan adanya aborsi, jadi Islam tidak mengharamkan aborsi secara mutlak, tetapi boleh dilakukan

aborsi dalam kondisi-kondisi tertentu. Sebagaimana fakta fatwa MUI yang

teraktual, yang bisa dijadikan pedoman bagi masyarakat khususnya yang

beragama Islam. Dimana dalam fatwa MUI tersebut membolehkan aborsi

bilamana kandungan tersebut mengancam jiwa dan raga sang ibu yang sedang

mengandung. Sementara jika tindakan itu dilakukan tanpa ada dasar dan

alasan yang jelas, aborsi adalah ilegal. Melanggar hukum Islam dan hukum

negara.6 Menurut penulis, aborsi yang dilakukan oleh termohon adalah suatu perbuatan ilegal, melanggar hukum negara dan juga hukum Islam. Bahkan

bisa dikategorikan termasuk dalam salah s

Referensi

Dokumen terkait

Rapat Pengurus Nasional diselenggarakan untuk membahas dan mengkoordinir pelaksanaan berbagai keputusan organisasi yang bersifat khusus dihadiri oleh Dewan Pengurus Nasional,

Dikisahkan oleh Al-Sada dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas dan para sahabat Rasulullah SAW. yang lainnya bahwa ketika kaum amalaqoh dapat mengalahkan Bani Israil atas tanah Gaza

Di beberapa tempat di luar negeri, pemerintah dan masyarakat bergotong- royong untuk menciptakan access point yang terjangkau, misalnya di perpustakaan umum (public library). Di

17 dan biaya yang ditanggung perusahaan menjadi lebih besar sehingga akan menjadi semakin sensitif return saham perusahaan terhadap perubahan tingkat suku bunga, akan

Dalam kasus ini atribut produk Simpedes BRI Unit Kantor Cabang Palu harus memberi manfaat terhadap nasabah, sehingga perasaan puas yang terbentuk dari nilai

Untuk mengetahui apa hubungan antara Promosi K3 meliputi rambu-rambu K3, pelatihan, pengawasan, komunikasi pesan K3, dan kegiatan-kegiatan bulan K3 dengan perilaku aman (

Untuk tanaman bawang daun hama yang menyerang yaitu uret tanah yang merusak akar tanaman bawang daun dan mengakibatkan tanaman bawang daun membusuk dan mati

perkembangan dan petumbuhan menjadi sehat serta mempengaruhi gaya belajar anak dalam konteks pendidikan, sehingga sangat penting seorang guru memahami dan mengarahkan karena pada