SKRIPSI
Analisis Interpretasi Hakim Terhadap Cerai Thalaq Akibat Istri Aborsi ( Studi Putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt)
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
ADE TAUFIK NIM : 108044100059
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGAFAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
iii Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 07 April 2015
iv
ABSTRAKSI
ADE TAUFIK,108044100049, Analisis Interpretasi Hakim Terhadap Cerai Thalaq Akibat Istri Aborsi ( Studi Putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt)
Perceraian di Pengadilan Agama tidak mudah untuk dilakukan, karena harus
ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya, baik Penggugat ataupun Pemohon. Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan beberapa hal yang bisa dijadikan alsasan perceraian. Pasal
113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus karena: Kematian;Perceraian, dan
putusan pengadilan, sementara itu alasan-alasan perceraian termuat dalam pasal 116
KHI dan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974.
Alasan Aborsi dalam putusan ini yang diajukan oleh Pemohon tidak masuk
dalam alasan-alasan perceraian yang termaktub dalam pasal 116 KHI, sebagaimana
legal opinon/legal interpretation hakim dalam putusan ini. Melihat jauh dewasa ini banyakya kasus yang beragam dalam rumah tangga seharusnya menjadi kunci
dibukanya alasan-alasan perceraian di pengadilan agama, sehingga legal justice bisa ditetapkan.
Penulis menggunakan metode yuridis normative, pendekatan yang dilakukan
dalam penyusunan skripsi ini menggunakan: Tipe Pendekatan Kasus (Case Approach)
Kata kunci: Aborsi, perceraian, KHI,
v
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
dengan izin dan karunia Dzat yang selalu memberikan kekuatan kepada penulis;
Allah SWT. Shalawat teriring salam kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,
semoga syafaatnya senantiasa tercurah kepada pengikutnya kaum muslimin.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana
Syariah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga
(Akhwal Syakhsiyah), Universitas Islam Negeri Jakarta. Dalam penyusunan skripsi
ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga
ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag, M.H, Dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku
Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syahshiyyah Fakultas Syariah
dan Hukum.
3. Bapak JM. Muslimin, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis
vi
4. Bapak Dr. Ali Wafa, MA selaku pembimbing skripsi yang telah sabar
memBerikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini
5. Ayahanda tercinta Firdaus Ismail dan Ibunda tersayang Lismiati sujud
baktiku kepada ayah dan ibunda atas segala do’a dan pengorbanan kalian
selama ini, “Robbighfirlii Waliwaalidayya Warhamhumaa Kamaa
Robbayaanii Shoghiiroo”. Saudara-saudariku tercinta Dr. H. Linda Firdawati, S. Ag, MA, Deddy Suhenra, ST, Irma Yanti, AMd, Laili
Ramadhani, S.HI, Ferdian, SE, Novi Lidya, S.Tp, Zulvia Hidayani, S. Pd.
Terima kasih yang tak terhingga atas curahan dukungan dan kasih sayang
telah kalian berikan.
6. Sahabat-sahabatku: Moh. Rusdiana Noer Ridha, S.Sy. SH, IBM Andika,
S.Sy, H. Utsman, S.Sy, Muhammad Akbar Alfathtaa, S.Sy, Mukhammad Ali
Seto, S. Sy, Udi Wahyudi, S.Sy. Dhiyaul Akifin, S.Sy, Fachrur Rozy, S.Sy
Mawardi, S.Sy, Muhammad Daerobie, S.Sy, Muhammad Athoillah, S.Sy.
SH. Canda tawa kalian akan menjadi kenangan terindah dan tak terlupakan
sampai akhir hayat. Semoga Persahabatan ini akan tetap kekal terjalin
selama-lamanya.
7. Teman-teman Mahasiswa PA.B Angkatan 2008.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai
rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun
vii
Jakarta, 07 April 2015
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Tinjauan Pustaka ... 9
F. Metode Penelitian ... 9
G. Sistematika Penulisan ... . 13
BAB II TINJAUAN TENTANG ABORSI ... 15
A. Pengertian Aborsi (Abortus) ... 15
B. Macam-Macam Aborsi ... 18
C. Aborsi Dalam Pandangan Hukum ... 19
D. Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan………... 27
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA METRO ... 33
ix
BAB IV ABORSI, CERAI TALAK DALAM PANDANGAN HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF ... 42
A. Aborsi Dalam Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif . 42 B. Aborsi Sebagai Alasan Putusnya Perkawinan ... ... . 50
C. Interpretasi Hakim Terhadap Cerai Talak Akibat Istri Aborsi 54
BAB V PENUTUP ... 59
A. Kesimpulan ... 59
B. Saran-saran ... 60
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi manusia, agar seorang
muslim dapat memikul amanat tanggung jawabnya yang paling besar dalam
dirinya. Pernikahan memiliki manfaat yang paling besar terhadap
kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu adalah memelihara
kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan, menjaga keselamatan
masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat membahayakan kehidupan
manusia serta menjaga ketenteraman jiwa.
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluknya untuk
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.1
Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu
keluarga yang bahagia, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini
sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 pasal 1 bahwa:2 "Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan
1
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia), h. 9.
2
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Sesuai dengan rumusan itu, pernikahan tidak cukup dengan ikatan lahir
atau batin saja tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin
inilah perkawinan merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan
keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbuatan itu menimbulkan
akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagai
akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan
dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak
dahulu sudah memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus
dilaksanakan.
Perkawinan merupakan tujuan syariah yang dibawa Rasulullah Saw, yaitu
penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi. Dengan
pengamatan sepintas lalu, pada batang tubuh ajarah fikih, dapat dilihat adanya
empat garis dari penataan itu yakni: a). Rub‟al-ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk dengan khaliknya b). Rub‟al-muamalat, yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk
memenuhi hajat hidupnya sehari-hari, c). Rub‟ al-munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dalam lingkungan keluarga dan d). Rub‟ al-jinayat, yang menata pengamanannya dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin
ketentramannya.3
3
3
Zakiah Daradjat mengemukakan lima tujuan dalam perkawinan, yaitu:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan;
2. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahtwatnya dan menumpahkan kasih
sayangnya;
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan;
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang
halal serta
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas
dasar cinta dan kasing sayang.4
Terkadang perencanaan terhadap pernikahan melalui banyak hambatan
sehingga konflik-konflik kecil terjadi dalam rumah tangga, kadang konflik itu
bisa diredam dengan saling perhatian antara suami dan istri, tetapi kadang juga
pertengkaran itu tidak bisa diredam dan berakhir pada perceraian..
Putusnya hubungan pernikahan pada dasarnya diakibatkan oleh adanya
perceraian, baik cerai kerena kematian maupun karena cerai hidup melalui 2 cara
yakni; cerai talak dan cerai gugat.5 Perceraian tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya. Cerai adalah terputusnya
hubungan perkawinan antara suami dan isteri.6
4
Zakiah Daradjat, Ilmu Fikih, (Jakarta, DEPAG RI, 1985) Jilid 3, h. 64. 5
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2003), h. 299.
6
Dalam KHI dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan beberapa hal yang bisa dijadikan alasan perceraian Dalam Kompilasi
Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur putusnya
hubungan perkawinan sebagaimana berikut :
1. Pasal 113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian;
b. Perceraian, dan
c. putusan pengadilan.
2. Pasal 115 KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974 menyatakan, bahwa
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.
3. Pasal 114 KHI menegaskan, bahwa Putusnya perkawinan yang disebabkan
karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan cerai.
Sementara itu alasan-alasan perceraian termuat dalam pasal 116 KHI dan
pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974, antara lain:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
5
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar taklik talak.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Dalam penelitian skripsi ini penulis ingin mengkaji tentang pertimbangan
hakim terhadap alasan yang diungkapkan Pemohon pada perkara Nomor 0749
/Pdt .G/ 2011 /PA.Mt yang mana dalam perkara ini Pemohon memberikan alasan
perceraian bahwa istri telah melakukan aborsi7 sehingga dengan alasan ini Pemohon mengajukan cerai thalaq di Pengadilan Agama Metro. Jika dilihat dari
7 Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”.
Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu: 1. Aborsi Spontan / Alamiah
2. Aborsi Buatan / Sengaja 3. Aborsi Terapeutik / Medis
Pasal 116 KHI dan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974, aborsi tidak termasuk dalam
alasan diajukannya perceraian.
Aborsi menurut Abdurrahman Al Baghdadi menyebutkan bahwa aborsi
dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan
setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan,
maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para
ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh.
Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.8
Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain
Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan
karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya
makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.9
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar
(w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya`
Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir
berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka
aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang
mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang
bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi
8
Abdurrahman Al-Bagdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, (Jakarta, Gema Insani Press, 1998), h. 127-128.
9
7
eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah
janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari
kandungan sampai dibuang atau dibunuh.10
Dari pengertian diatas dan melihat fakta yang terjadi, maka Penulis ingin
mengkaji secara dalam mengenai pertimbangan hakim yang membolehkan
terjadinya suatu perceraian akibat istri melakukan aborsi. Berangkat dari
keingintahuan penulis inilah, penulis ingin mencoba meneliti dan menguraikan
bentuk penulisan skripsi dengan judul: Analisis Interpretasi Hakim Terhadap Cerai Thalaq Akibat Istri Aborsi ( Studi Putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt)
B. Pembatasaan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Pembahasan mengenai cerai thalaq akibat istri melakukan aborsi
merupakan sebuah perkara baru, maka dari permasalahan ini penulis
memberikan batasan pada Putusan Hakim Pengadilan Agama Metro Kelas 1a
mengenai Perkara cerai thalaq akibat istri aborsi Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011
/PA.Mt
2. Perumusan Masalah
Alasan-alasan mengenai perceraian termuat dalam pasal 116 KHI dan pasal
39 ayat 1 UU No. 1 / 1974, dalam alasan ini tidak termuat alasan aborsi yang
10
dilakukan oleh istri menjadi sebab terjadinya perceraian, Berdasarkan uraian
pokok permasalahan di atas, maka penulis mencoba memformulasikan dalam
rumusan penelitian ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
a. Bagaimana hukum Aborsi dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum
Positif di Indonesia?
b. Apakah Aborsi bisa menjadi alasan Putusnya suatu Perkawinan?
c. Bagaimana Interpretasi hakim terhadap cerai Thalaq akibat istri aborsi pada
putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana hukum Aborsi dalam Pandangan hukum Islam
dan hukum Positif di Indonesia.
2. Untuk mengetahui apakah alasan aborsi bisa djadikan sebagai sebab
terjadinya putusnya perkawinan.
3. Untuk mengetahui Bagaimana Interpretasi hakim terhadap cerai Thalaq akibat
istri aborsi pada putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini
9
b. Untuk menambah serta memperdalam ilmu pengetahuan penulis akan hal
hukum perkawinan.
c. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap pembuatan
penelitian yang serupa di masa mendatang
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas
mengenai aborsi.
b. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masayrakat implikasi
aborsi pada perkawinan.
c. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis serta
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Tinjauan Pustaka
Sebelum melakukan penelitian ini penulis melakukan tinjauan pustaka
terdahulu atau penelusuran terhadap apakah pembahasan ini telah di bahas dalam
skripsi-skripsi terdahulu, dengan demikian, setelah penulis melakukan tinjauan
pustaka, maka penulis belum menemukan skripsi yang membahas tentang “Analisis Interpretasi Hakim Terhadap Cerai Thalaq Akibat Istri Aborsi ( Studi
Putusan Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt)
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini,
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah:
a. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif.11
b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku,
literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi inI
menggunakan tipe pendekatan kasus (Case Approach)12 dalam hal ini adalah pendekatan terhadap kasus aborsi yang dilakukan oleh termohon sehingga
menjadi dasar alasan Pemohon dalam mengahukan cerai thalaq Studi Putusan
Nomor 0749 /Pdt .G/ 2011 /PA.Mt)
2. Sumber Bahan Hukum
Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber data
yaitu:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan
peruang-undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan BW.
11
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.
12
11
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan
kepustakaan.13 Bahan hukum yang terdiri dari atas buku-buku (textbooks)
yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum,
yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan
topik penelitian skripsi ini
c. Bahan hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.14
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier, serta bagaimana bahan hukum
tersebut diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang
dibahas.
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode
sebagai berikut:
a. Metode Dokumentasi
Metode Dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen,
13
Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51. 14
rapat, agenda, dan sebagainya.15
b. Metode Interview wawancara atau interview merupakan Tanya jawab
secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara lansung.
Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang
berbeda. Satu pihak sebagai berfungsi sebagai pencari informasi atau
interviewer sedangkan pihak lain baerfungsi sebagai pemberi informasi
atau informan (responden)16 Proses wawancara ini diajukan kepada beberapa nara sumber diantaranya Hakim Pengadilan Agama Metro.
4. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan
dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan
untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan hukum
hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi
terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan
analisis dan konstruksi.
Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain:
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 201.
13
a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tentang hukum aborsi dan sebab-sebab putusnya perkawinan dalam
peraturan perundang-undangan.
b. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut
sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu
5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, Studi
review terdahulu, metode penelitian, teknik dan sistematika penulisan.
Kedua dalam Bab ini tinjauan tentang aborsi menjelaskan tentang
pengertian Aborsi (abortus) macam-macam aborsi, kemudian tentang Hukum Aborsi dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia dan
Sebab-sebab putusnya Perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Ketiga dalam bab ini penulis menjelaskan tentang Profil Pengadilan Agama
terakhir tentang Struktur organisasi Pengadilan Agama Metro.
Keempat dalam bab ini menjelaskan Analisis Aborsi bisa menjadi alasan
Putusnya suatu Perkawinan, kemudian tentang Analisis Interpretasi Hakim
Terhadap Cerai Thalaq Akibat Istri Aborsi (Studi Putusan Nomor 0749 /Pdt .G/
2011 /PA.Mt) dan yang terakhir Analisis Penulis.
Kelima dalam bab terakhir ini adalah penutup berisikan tentang kesimpulan
15
BAB II
TINJAUAN TENTANG ABORSI
A. Pengertian Aborsi (abortus) 1. Menurut Fiqih
Aborsi dalam literatur fiqih berasal dari bahasa Arab al-Ijhadh,
merupakan mashdar dari ajhadha atau juga dalam istilah lain bisa disebut
isqath al-haml, keduanya mempunyai arti perempuan yang melahirkan secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya. Secara bahasa disebut
juga lahirnya janin karena dipaksa atau dengan sendirinya karena belum
waktunya. Sedangkan makna gugurnya kandungan, menurut ahli fikih tidak
keluar dari makna bahasa, diungkapkan dengan istilah menjatuhkan (isqath),
membuang (tharh), melempar (ilqaa‟), dan melahirkan dalam keadaan mati
(imlaash).1
Aborsi dalam agama Islam jelas dan terang-terangan dilarang serta
diharamkan. Dikatakan bahwa membunuh sesama manusia itu sama saja
dengan membunuh seluruh manusia di muka bumi ini. Menurut Mazhab Syafi’i aborsi dalam Islam seorang wanita yang membuang janin pada saat
masa kehamilannya belum sempurna, sehingga janin tidak dapat merasakan
kehidupan di dunia ini. Di dalam kitab “Qodhayu fiqhiyyah al-Mu‟aassarah”.
Para pakar undang-undang fiqih kriminal menetapkan bahwa aborsi dalam
1 Maria Ulfa, “Fikih Aborsi, Wacana penguatan hak reproduksi perempuan”, (Jakarta:
Islam adalah menyingkirkan kehamilan secara sengaja tanpa sebab yang pasti,
dan berbahaya bagi wanita yang ingin menggugurkan janinnya.2
2. Menurut Medis
Dari segi medis sendiri, pengertian aborsi adalah keluarnya hasil
konsepsi (pembuahan) sebelum usia kehamilan 20 minggu (lima bulan)
dengan berat mudigah kurang dari 500 gram. Mudigah yang dikeluarkan dari
kandungan sebelum usia kandungan 20 minggu dapat dikatakan tidak punya
harapan hidup. Sedangkan keluarnya hasil konsepsi (pembuahan) setelah usia
kehamilan 20 minggu dapat dikatakan sebagai persalinan mengingat janin
yang dikeluarkan sudah mempunyai harapan hidup walaupun amat tipis.
Hanya saja, disini juga tetap dibedakan antara abortus yang terjadi karena
adanya campur tangan (provokasi) oleh manusia.3 Oleh karena itu dalam buku ini digunakan istilah abortus provocatus (dalam bahasa latin) untuk menyebut pengguguran kandungan yang disengaja oleh manusia. Penggunaan istilah ini
bertujuan untuk menunjukkan makna sebenarnya yang dimaksud penulis agar
tidak terjadi kerancuan makna dalam bahasa permasalahan yang ada,
mengingat bermacam-macamnya jenis abortus.
3. Menurut Undang-Undang
Menurut hukum positif di Indonesia mengenai aborsi, baik menurut
kitab undang-undang hukum pidana Indonesia, tindakan aborsi tidak selalu
2
http://www.anneahira.com/aborsi-dalam-islam.htm diakses tanggal 21-11-2013
3
17
merupakan perbuatan jahat atau merupakan tindakan pidana, hanya aborsi
provocatus criminalis saja yang dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak
pidana, adapun aborsi yang lainnya terutama yang bersifat spontan dan
medicalis bukan merupakan suatu tindak pidana.4
Abortus provocatus berasal dari bahasa latin yang berarti keguguran karena kesengajaan.5 Abortus Provocatus merupakan salah satu dari berbagai jenis macam abortus. Dalam kamus latin Indonesia sendiri, abortus diartikan
sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran.6 Pada dasarnya kata
abortus dalam bahasa latin sama artinya dengan kata aborsi dalam bahasa
Indonesia yang merupakan terjemahan dari kata abortion dalam bahasa Inggris. Jika ditelusri dalam kamus Inggris – Indonesia, kata abortion
memang mengandung arti keguguran anak.7
Kata Abortus atau aborsi diatas masih mengandung arti yang amat luas
sekali. Hal ini dengan jelas ditegaskan dalam Black „s Law Dictionary. Kata
Abortion (Inggris) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi aborsi mengandung dua arti sekaligus:
4
Mien Rukmini, “Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat Perkosaan”, (Badan Pembinaan Hukum Nasional Kehakiman dan HAM RI), h. 31
5
Suryono Ekotama dll, “ABORTUS PROVOCATUS”. Bagi korban perkosaan. Persvektif Viktimilogi, kriminalogi dan hukum pidana”, (Yogyakarta: Atmajaya, 2000), h. 31
6 K. Prent Cm dan Adisubarta, “Kamus Latin
- Indonesia”, (Yogyakarta:Kanisius,1969), h. 4
7
B. Macam-Macam Aborsi
Secara umum, Soerjano Soekanto mengemukakan beberapa istilah untuk
menyebut keluarnya hasil konsepsi/pembuahan sebelum usia 20 minggu yang
biasa disebut aborsi/abortion diantaranya :
1. Abortion Criminalis, yaitu hukum pengguguran kandungan bertentangan dengan hukum;
2. Abortion Eugenic, yaitu pengguguran kandungan untuk mendapatkan keturunan baik; Abortion induced / abortion provoked
3. Abortus provocatus, yaitu pengguguran kandungan disengaja; 4. Abortion Natural, yaitu pengguguran kandungan secara alamiah;
5. Abortus Spontaneus, yaitu pengguguran kandungan secara tidak disengaja; 6. Abortus Therapeutic; yaitu pengguguran kandungan dengan tujuan untuk
menjaga kesehatan sang ibu.8
7. Sementara itu Djoko Prakoso mengelompokkan macam-macam aborsi lebih
spesifik lagi. Menurtunya, dikenal dua macam aborsi:
Aborsi spontan yang terjadi tanpa usaha dari luar, dan aborsi buatan
(abortus provocatus) yang dilakukan karena kehamilan tidak diinginkan. Golongan kehamilan yang tidak diinginkan dirinci lebih lanjut :
1. Tidak diinginkan oleh dokter, karena kehamilan tersebut akan membahayakan
jiwa si ibu. Anak yang dilahirkan kemungkinan cacat berat. Abortus buatan
ini dapat dilakukan karena alasan medis dan biasa disebut sebagai abortus provocatus medicanilis.
19
2. Tidak diinginkan oleh wanita yang bersangkutan, suaminya, atau keluarganya,
karena :
a. Perkosaan
b. Hubungan kelamin di luar perkawinan
c. Alasan-alasan lainnya :
1) Sosio Ekonomis
2) Anak sudah cukup banyak
3) Belum mampu punya anak
Untuk Abortus jenis ke-2 ini, yang meminta untuk dilakukan abortus
bukan dokter, melainkan wanitanya sendiri, suaminya, atau keluarganya.
Abortus ini di negara kita dilarang dan dipandang sebagai perbuatan pidana
atau abortus provocatus criminalis.9
C. Aborsi Dalam Pandangan Hukum
1. Aborsi Dalam Pandangan Hukum Positif
Di Indonesia aborsi diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang terpisah, misalnya dalam KUHPidana yang menjelaskan
bahwa segala macam aborsi dilarang, dengan tanpa pengecualian,
sebagaimana diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 29 KUHPidana
(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh seorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan
9 Djoko Prakoso, “Perkembangan delik
pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selama –lamanya empat tahun atau denda sebnyak-banyaknya empat puluh lima ribu rupiah.
(2) Kalau yang salah berbuat karena mencari keuntungan, atau melakukan kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau kalau ia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidana dapat ditambah sepertiganya.
(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.
Pasal 346 KUHPidana
Wanita yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dipidana penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 347 KUHPidana
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita tidak dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat wanita itu mati, ia dapat dipidana dengan pidana selama-lamanya loma belas tahun.
Pasal 349 KUHPidana
21
kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut haknya melakukan pekerjaannya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan itu.
Secara singkat dapat dijelas kan bahwa yang dapat dihukum, menurut
KUHPidana dalam kasus aborsi adalah:
a. Pelaksana aborsi, yakni tenaga medis atau dukun atau orang lain dengan
hukuman maksimal 4 tahun ditambah sepertiganya dan bisa dicabut hak
hak untuk berpraktek.
b. Wanita yang menggugurkan kandungannya, dengan hukuman maksimal 4
tahun.
c. Orang-orang yang terlibat secara langsung dan menjadi penyebab
terjadinya aborsi dihukum dengan hukuman bervariasi.
Sedangkan aborsi juga diatur dalam undang-undang kesehatan (UU
No. 23 Tahun 1992) adalah sebagai berikut:
Aborsi yang secara substansial berbeda dengan KUHPidana. Dalam
undang-undang tersebut aborsi diatur dalam pasal 15. Menurut undang-undang-undang-undang ini
aborsi dapat dilakukan apabila ada indikasi medis.
Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1992
(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
a. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggungjawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
b. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
c. Pada Sarana tertentu
Dalam penjelasan resmi ayat 1 itu dikatakan:
Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan, Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya, dapat diambil tindakan medis tertentu.
Adapun dalam Undang-undang no 36 tahun 2009 tentang reproduksi kesehatan
diantaranya dalam pasal 75 adalah:
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
23
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dan Dalam pasal 76 undang-undang reproduksi kesehatan
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.
Dalam pasal 77 undang-undang reproduksi kehamilan
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana
dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma agama dan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Adapun Dalam PP (Peraturan Pemerintah) nomor 61 tahun 2014 kesehatan
reproduksi dalam pasal 31 yaitu:
(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis; atau
b. kehamilan akibat perkosaan.
(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat
puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Dalam pasal 32 PP (Peraturan Pemerintah) no 61 tahun 2014 disebutkan:
(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
huruf a meliputi:
a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau
b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
(2) Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
25
2. Aborsi Dalam pandangan Hukum Islam
Islam menganut pandangan bahwa setiap bayi yang lahir ke dunia
adalah suci dari segala noda dan dosa. Pengguguran berarti merusak dan
menghancurkan janin, calon manusia yang dimuliakan oleh Allah, karena ia
berhak survive dan lahir dalam keadaan hidup, sekalipun melalui hubungan
yang tidak sah. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
سّ ي
ّ ي
ي
بأف
ط ل
ى ع
ل ي
ل
“Setiap anak dilahirkan berdasarkan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi.10
Maka jelas dari perspektif moral keislaman tindakan pengguguran
kandungan itu seperti praktek kaum jahiliyah yang menguburkan setiap balita
yang lahir karena takut miskin dan takut lapar, atau mereka sudah putus
harapan atas bencana kemiskinan parah yang melanda. Setelah Islam datang,
Islam mengharamkan adat keji nan buruk seperti ini, melalui turunnya Firman
Allah Ta’ala
ً ي ك ًطخ ك تق إۚ ك يإ ق ح ۖ
إ يشخ ك ل أ تقت ل
“Dan Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”
(Q.s. Al-Isra’ : 31)
Ulama sepakat untuk mengharamkan pengguguran kandungan yang
dilakukan pada waktu janin sudah diberi nyawa (nafkh al-ruh) perbuatan itu dipandang sebagai tindak pidana dalam Islam, karena pengguguran seperti itu
10 Hadist Riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Imam Muslim, “Shalih Muslim juz
sama dengan pembunuhan terhadap manusia yang telah sempurna wujudnya.
Sedangkan terhadap pengguguran kandungan di mana bayi telah diberi nyawa,
para ulama berbeda pendapat. Pada prinsipnya pengguguran kandungan dalam
Islam dilarang, namun demikian para jumhur ulama mazhab dan ulama
kontemporer diantaranya Mahmoud Syaltoun, dan Yusuf al-Qadrhawi.
Memperbolehkan pengguguran dalam keadaan terpaksa guna menyelamatkan
jiwa si ibu. Namun hal demikian itu hanya diperkenankan apabila kehamilan
terjadi secara sah, artinya kehamilan yang terjadi karena hubungan seksual
suamim istri yang sah. Namun bagaimana hubungan tidak sah?
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthni mengatakan, haram
menggugurkan kandungan yang terjadi karena hubungan seksual diluar nikah.
Keharaman ini berlaku dalam keadaan apapun (termasuk aborsi akibat
perkosaan.11 Aborsi menurut Abdurrahaman Al Baghdadi menyebutkan aborsi
dalam sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah
ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua
ulama fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih
berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian
memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.12
Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain
11 Saifullah, ”Aborsi dan Persoalannya”, ibid 134 12
27
Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alas an
karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya
makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.13
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu
Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya
Ihya’ Ulumuddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al
-Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum
(sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada
kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk
menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus
dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya,
jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi
dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau
dibunuh.14
D. Sebab – Sebab Putusnya Perkawinan
1. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang
Dalam pasal 38 UU No. 1 / 1974 tentang perkawinan disebutkan
beberapa hal yang bisa dijadikan alasan putusnya hubungan perkawinan
sebagaimana berikut :
a. Kematian
13
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Hajimasagung, 1993), h. 81
14
b. Perceraian dan
c. Putusan pengadilan
Dalam pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974 menyatakan, bahwa:
a. perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama,
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk Melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami
istri itu tidak akan dapat rukun sebagaimana suami istri.
c. Tata cara sidang di depan sidang pengadilan diatur dalam
perundang-undangan tersebut.
2. Putusnya Perkawinan Menurut KHI
Dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebab-sebab
putusnya perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
29
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
3. Putusnya Perkawinan dalam Pandangan Ulama’ Fiqih
Menurut hukum Islam putusnya hubungan perkawinan melalui
perceraian dapat terjadi karena talak, khulu’, syiqaq, faskh, ta’liq talak, dzihar,
ila’, dan li’an. Namun secara umum yang paling sering terjadi adalah cerai
talak dan cerai gugat, berikut ini akan coba penulis jelaskan mengenai dua
jenis perceraian tersebut, yaitu:
a. Cerai Talak
Cerai talak ini adalah cerai yang datang atas inisiatif dari pihak
suami. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 117 diterangkan bahwa
“Talak” adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya hubungan perkawinan dengan cara
sebagaimana pasal 129, 130, 131”.15
Cerai talak ini hanya dapat dilakukan
oleh suami, karena suamilah yang berhak untuk mentalak istrinya
sedangkan istri tidak berhak mentalak suaminya.
15
Talak jika dari boleh tidaknya suami rujuk kembali pada istrinya
setelah istri ditalak adalah:
1) Talak raj”i, adalah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak ruju’ selama istri dalam masa iddah. (pasal 118 KHI)
2) Talak ba‟in, talak ba’in ini terbagi menjadi dua macam:
a) Talak ba‟in shughra yaitu talak yang tidak boleh diruju’ tetapi boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya
meskipun dalam masa iddah (pasal 119 KHI)
b) Talak ba‟in kubra yaitu talak yang menghilangkan hak suami untuk menikah kembali kepada istrinya, kecuali kalau bekas istrinya itu
telah menikah lagi dengan orang lain dan telah berkumpul lag
sebagai suami istri secara nyata dan sah (pasal 120 KHI).
Sedangkan talak jika ditinjau dari waktu menjatuhkannya dibagi
menjadi dua macam:
a) Talak Sunni, yaitu talak yang diperbolehkan dalam artian talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam
waktu sucinya tersebut (pasal 121 KHI).
b) Talak bid‟i, yaitu talak yang dilarang dalam artian talak yang dijatuhkan kepada istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan
suci namun sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 122
31
b. Cerai gugat
Cerai gugat adalah cerai yang inisiatifnya datag dari pihak istri.
Dalam Islam cerai seperti ini dikenal dengan istilah khulu‟. Khulu‟ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan
atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.16 Hukum Islam memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan
mengajukan khulu‟, sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan talak.17 Hukum Acara di Indonesia, khulu‟ ini biasa disebut dengan cerai gugat atau talak tebus.
Menurut istilah syari’at, khulu‟ adalah perpisahan wanita dengan ganti
rugi dengan kata-kata khusus.18 Dalam khulu‟ ganti rugi dari pihak istri merupakan unsur penting, unsur inilah yang membedakannya dengan cerai
biasa19. Dasar hukum disyaria’atkannya khulu‟ adalah firman Allah SWT dalam surat Al-baqarah (2): 229 yang berbunyi:
إف ل ح يقي اأ ف ي أ اإ ً يش
تيتآ ذخأت أ كل ّحي ا
اف ل ح ك ت ب تف يف ي ع ح ج اف ل ح يقي اأ ت خ
تعت
ل ّحت اف ق ط إف ,
ل ّل ك ـل أف ل ح عتي
أ ظ إ عج تي أ ي ع ح ج اف ق ط إف يغ ًج حك ت ىتح عب
16
A. Mukri Arto , Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Cet. 5, h. 234.
17
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 220
18
Syaikh Muhammad Al-Usaimin, Shahih Fiqh Wanita, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009), Cet.-2 h. 340.
19
ح ك ت ل ح يقي
عي قل ي ي ل
Arinya: “Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dzalim”.
Akibat dari khulu‟ ini sama dengan akibat hukum dari talak ba‟in
shughra, yaitu suami tidak punya hak untuk merujuk kembali bekas istrinya kecuali dengan perkawinan yang baru dan akad yang baru berdasarkan
33
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA METRO
A. Histori Pembentukan Pengadilan Agama Metro
Sebelum bangsa penjajah Portugis, Inggris dan Belanda datang di bumi
Nusantara Indonesia, Agama Islam sudah lebih dulu masuk melalui Samudra
Pasai, yang menurut sebagian besar ahli sejarah bahwa Islam itu sudah masuk ke
Indonesia sejak abad ke 12 yang dibawa oleh para pedagang bangsa Gujarat.
Di zaman kolonial Belanda, daerah keresidenan Lampung tidak
mempunyai Pengadilan Agama. Yang ada adalah Pengadilan Negeri atau
Landraad, yang mengurusi sengketa / perselisihan masyarakat. Persoalan atau
urusan masyarakat dibidang Agama Islam seperti masalah perkawinan, perceraian
dan warisan ditangani oleh Pemuka Agama, Penghulu Kampung, Kepala Marga
atau Pasirah. Permusyawaratan Ulama atau orang yang mengerti Agama Islam
menjadi tumpuan Umat Islam dalam menyelesaikan masalah agama. Sehingga
dalam kehidupan beragama, dimasyarakat Islam ada lembaga tak resmi yang
berjalan / hidup.
Kehidupan menjalankan ajaran Agama Islam termasuk menyelesaikan
persoalan agama ditengah masyarakat Islam yang dinamis melalui Pemuka
Agama atau Ulama baik di masjid, di surau ataupun di rumah pemuka adat
nampaknya tidak dapat dibendung apalagi dihentikan oleh Pemerintah Kolonial
B. Dasar Yuridis Pembentukan Pengadilan Agama Metro
Menyadari bahwa menjalankan ajaran agama itu adalah hak azasi bagi
setiap orang, apalagi bagi pribumi yang dijajah, maka Pemerintah Kolonial
Belanda akhirnya mengeluarkan.1
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun
1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan Nomor 610)
2. Peraturan tentang Kerapatan Qodi dan Kerapatan Qodi Besar untuk sebagian
Residen Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638
dan Nomor 639)
Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung Secara Yuridis Formal
Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung dibentuk lewat kawat Gubernur
Sumatera tanggal 13 Januari 1947 No. 168/1947, yang menginstruksikan kepada
Jawatan Agama Propinsi Sumatera di Pematang Siantar dengan kawatnya tanggal
13 Januari 1947 No. 1/DJA PS/1947 menginstruksikan Jawatan Agama
Keresidenan Lampung di Tanjung Karang untuk menyusun formasi Mahkamah
Syariáh berkedudukan di Teluk Betung dengan susunan : Ketua, Wakil Ketua,
dua orang anggota, seorang panitera dan seorang pesuruh kantor.
Kemudian dengan persetujuan BP Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan
Lampung, keluarlah Besluit P.T. Resident Lampung tanggal 13 Januari 1947
Nomor 13 tentang berdirinya Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung. Dalam
Besluit tersebut dimuat tentang Dasar Hukum, Daerah Hukum dan Tugas serta
wewenangnya.
1
35
Kewenangan Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung dalam Pasal 3 dari
Besluit 13 Januari 1947 itu meliputi :
1. Memeriksa perselisihan suami istri yang beragama Islam, tentang nikah,
thalak, rujuk, fasakh, kiswah dan perceraian karena melanggar taklik talak.
2. Memutuskan masalah nasab, pembagian harta pusaka (waris) yang
dilaksanakan secara Islam.
3. Mendaftarkan kelahiran dan kematian.
4. Mendaftarkan orang-orang yang masuk islam.
5. Mengurus soal-soal peribadatan.
6. Memberi fatwa dalam berbagai soal.
Dengan dasar hukum hanya Besluit P.T. Resident Lampung tanggal 13
Januari 1947 yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan
Lampung, maka timbul sementara pihak beranggapan bahwa kedudukan Badan
Peradilan Agama (Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung) tidak mempunyai
dasar hukum yang kuat, tidak sah dan sebagainya. Konon sejarahnya hal ini
pulalah yang menjadi dasar Ketua Pengadilan Negeri Keresidenan Lampung pada
Tahun 1951, bernama A. Razak Gelar Sutan Malalo menolak memberikan
eksekusi bagi putusan Mahkamah Syariáh, karena dianggap tidak mempunyai
status hukum.
Keadaan seperti ini sampai berlarut dan saling adukan ke pusat, sehingga
melibatkan Kementerian Agama dan Kementerian Kehakiman serta Kementerian
Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung dengan Surat tanggal 6 Oktober 1952
dan telah dibalas oleh Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung dengan
Suratnya tertanggal 26 Nopember 1952. Hal yang mengejutkan adalah munculnya
Surat dari Kepala Bagian Hukum Sipil Kementerian Kehakiman RI (Prof. Mr.
Hazairin) Nomor : Y.A.7/i/10 tanggal 11 April 1953 yang menyebutkan
“Kedudukan dan Kompetensi Pengadilan Agama / Mahkamah Syariáh
Keresidenan Lampung adalah terletak di luar hukum yang berlaku dalam Negara
RI”.
Surat Kementerian Kehakiman itu ditujukan kepada Kementerian Dalam
Negeri. Kemudian Kementerian Dalam Negeri Melalui Suratnya tanggal 24
Agustus Tahun 1953 menyampaikan kepada Pengadilan Negeri atau Landraad
Keresidenan Lampung di Tanjung Karang. Atas dasar itu Ketua Pengadilan
Negeri Keresidenan Lampung dengan Suratnya tanggal 1 Oktober 1953
menyatakan kepada Jawatan Agama Keresidenan Lampung bahwa “Status hukum
Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung di Teluk Betung tidaksah”.
Ketua Mahkamah Syariáh Keresidenan Lampung melaporkan peristiwa tersebut
kepada Kementerian Agama di Jakarta melalui Surat tertanggal 27 Oktober 1953
kemudian Kementerian Agama C.q Biro Peradilan Agama (K. H. Junaidi) dalam
Suratnya tanggal 29 Oktober 1953 yang ditujukan kepada Mahkamah Syariáh
Keresidenan Lampung menyatakan bahwa “Pengadilan Agama Lampung boleh
berjalan terus seperti sediakala sementara waktu sambil menunggu hasil
musyawarah antara Kementerian Agama dan Kementerian Kehakiman di
37
Ketua Mahkamah Syariáh Lampung dengan Suratnya Nomor : 1147/B/PA,
tanggal 7 Nopember 1953 ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri langsung
yang isinya menyampaikan isi Surat Kementerian Agama C.q Biro Peradilan
Agama yang menyangkut status Pengadilan Agama Lampung.
Di tengah perjuangan tersebut K. H. Umar Murod menyerahkan jabatan
Ketua kepada Wakil Ketua K. H. Nawawi. Kemudian dengan Surat Keputusan
Menteri Agama tanggal 10 Mei 1957 mengangkat K. H. Syarkawi sebagai Ketua
Mahkamah Syariáh Lampung. Sedangkan K. H. Umar Murod dipindahkan ke
Kementerian Luar Negeri di Jakarta.
Walaupun untuk sementara Mahkamah Syariáh Lampung merasa aman
dengan Surat dari Kementerian Agama itu, akan tetapi di sana sini masih banyak
tanggapan yang kurang baik dan sebenarnya juga di dalam tubuh Mahkamah
Syariáh sendiri belum merasa puas bila belum ada Dasar Hukum yang Kompeten.
Diyakini keadaan ini terjadi juga di daerah lain sehingga perjuangan-perjuangan
melalui lembaga-lembaga resmi pemerintah sendiri dan lembaga keagamaan yang
menuntut agar keberadaan Mahkamah Syariáh itu dibuatkan Landasan Hukum
yang kuat. Lembaga tersebut antara lain :
1. Surat Wakil Rakyat dalam DPRDS Kabupaten Lampung Selatan tanggal 24
Juni 1954 yang ditujukan kepada Kementerian Kehakiman dan Kementerian
Agama;
2. Organisasi Jamiátul Washliyah di Medan, sebagai hasil Keputusan Sidangnya
3. Alim Ulama Bukit Tinggi, sebagai hasil sidangnya bersama Nenek Mamak
pada tanggal 13 Mei 1954, Sidang ini konon dihadiri pula oleh Prof. Dr.
Hazairin, S.H. dan H. Agus salim.
4. Organisasi PAMAPA (Panitia Pembela Adanya Pengadilan Agama) sebagai
hasil Sidang tanggal 26 Mei 1954 di Palembang.
Syukur Alhamdulillah walaupun menunggu lama dan didahului dengan
peninjauan /survey dari Komisi E Parlemen RI dan penjelasan Menteri Agama
berkenaan dengan status Pengadilan Agama di Sumatera, akhirnya Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 yang menjadi
Landasan Hukum bagi Pengadilan Agama ( Mahkamah Syariáh) di Aceh yang
diberlakukan juga untuk Mahkamah Syariáh di Sumatera. Kemudian diikuti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tanggal 9 Oktober 1957
untuk Landasan Hukum Pengadilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan
Selatan. Peraturan Pemerintah tersebut direalisasikan oleh Keputusan Menteri
Agama Nomor 58 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama /
Mahkamah Syariáh di Sumatera termasuk Mahkamah Syariáh Keresidenan
Lampung di Teluk Betung.
Wewenang Mahkamah Syariáh dalam PP 45 Tahun 1957 tersebut
dicantumkan dalam Pasal 4 ayat (1) yaitu :
“Pengadilan Agama / Mahkamah Syariáh memeriksa dan memutuskan
39
dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, hadhonah, malwaris, wakaf, hibah, shodaqoh, baitulmal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat taklik talak
sesudah berlaku”.
Dalam perkembangan selanjutnya Badan Peradilan Agama termasuk
Pengadilan Agama / Mahkamah Syariáh di Teluk Betung mendapat Landasan
Hukum yang mantap dan kokoh dengan di Undangkannya UU Nomor 35 / 1999
kemudian diganti dengan UU Nomor 4 / 2004 yang berlaku mulai tanggal 15
Januari 2004. Pasal 10 Ayat (2) menyebutkan :
“Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”.
Landasan Hukum yang lebih kuat dan kokoh lagi bagi Peradilan Agama
dan juga bagi peradilan lain adalah sebagaimana disebut dalam Undang-Undang
Dasar 1945 setelah diamandemenkan, dimana pada Bab IX Pasal 24 Ayat (2)
menyebutkan : “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan
Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer,
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Metro
Ketua DRS. H. K. M. Junaidi, S.H.
Wakil Ketua DRS. Sahrudin, SH. MHI
Panitera/Sekertaris DRS. Erwin Romel, M.H
Wakil Panitera Hj. Sholeha, S. Ag. M.H
Wakil Sekertaris Fetty Marhida, S. HI
KASUB. BAG. Khairul Hadi, S.H.
KASUB. BAG. Winarti, S.HI.
KASUB. BAG. Dra. Nelfridos, M.H.
Panitera Muda Ros Amanah, S.Ag., M.H
Panitera Muda A. Rahman, S.H.
Panitera Muda Fauziah, S.H.I
Hakim Drs. Hasnal Zasukawir, S.H.
Hakim Drs. H. Furqon Yunus
Hakim Drs. Abdul Rosyid, M.H
Hakim Drs. Ilham Nur
Hakim DRS. Nahrawi, M.HI.
Hakim DRS. Joni
Hakim H. Suyanto, S.H., M.H.
Hakim DRS. Machfudls.
Hakim Zumrowi, S.Ag.
Hakim Panji Nugraha Ruhiat, S.HI., M.H
41
Jurusita Andie Farza, S.H
Jurusita Aliefia Qurratul Aini, S.EI.
Jurusita Rina Malasari, S.Kom.
Jurusita Siti Lestari
Jurusita Abdul Wahid Aziz, S.Kom.
Jurusita INTAN Yani Astira, S.H
42
HUKUM POSITIF
A. Aborsi Dalam Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif 1. Aborsi Dalam Pandangan Hukum Islam
Aborsi dalam literatur fiqih berasal dari bahasa Arab al-Ijhadh,
merupakan mashdar dari ajhadha atau juga dalam istilah lain bisa disebut
isqath al-haml, keduanya mempunyai arti perempuan yang melahirkan secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya. Secara bahasa disebut
juga lahirnya janin karena dipaksa atau dengan sendirinya karena belum
waktunya. Sedangkan makna gugurnya kandungan, menurut ahli fikih tidak
keluar dari makna bahasa, diungkapkan dengan istilah menjatuhkan (isqath),
membuang (tharh), melempar (ilqaa’), dan melahirkan dalam keadaan mati
(imlaash).1
Islam sebagai agama yang suci (hanif), yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w., diturunkan Allah SWT sebagai rahmatan lil „alamin.
Setiap makhluk hidup mempunyai hak untuk menikmati kehidupan, baik
hewan, tumbuh-tumbuhan, apa lagi manusia yang menyandang gelar
khalifatullah di permukaan bumi. Islam sangat mementingkan pemeliharaan
1
43
terhadap lima hal, yaitu jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta. Pemeliharaan
terhadap kelima hal tersebut tergolong ke dalam al-mashalih al-haqiqiyat.2
Aborsi sendiri termasuk salah satu dari lima al-mashalih al-haqiqiyat,
atau yang biasa disebut hifdzu an-Nafs (pemeliharaan Jiwa). Karena aborsi diharamkan perbuatannya dalam agama Islam. Pengguguran berarti merusak
dan menghancurkan janin calon manusia yang dimuliakan Allah. Dan juga
Dikatakan bahwa membunuh sesama manusia itu sama saja dengan
membunuh seluruh manusia di muka bumi ini, karena ia berhak survive dan
lahir dalam keadaan hidup, sekalipun dari hubungan tidak sah. Kenyataannya
bahwa manusia merupakan makhluk yang dimuliakan Allah dapat dilihat
dalam firman-Nya yang berbunyi:
ن هانق و حبلاو بلا يف هان حو دآ ينب ان ك د لو
اًيضفت ان خ ن يثك ٰى ع هان ضفو تابيطلا
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan“(Q.s. Al-Isra’ : 172).
Sebagaimana juga rasulullah Muhammad SAW telah bersabda dalam
2
haditsnya:
اوبنتجا
عبَّلا
تا بو لا
ليق
اي
لوس
هَلا
ا و
َنه
لاق
ِّلا
هَلاب
حِّلاو
لتقو
سفَنلا
يتَلا
َ ح
هَلا
اَل
ِّحلاب
لكأو
لا
يتيلا
لكأو
ابِ لا
يِلوَتلاو
وي
فحَ لا
ف قو
تانصح لا
تا فاغلا
تان لا
Artinya: “Hendaklah kalianmenghindari tujuh dosa yang dapat menyebabkan kebinasaan.” Dikatakan kepada beliau, “Apakah ketujuh dosa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawa: Dosa menyekutukan Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh kecuali dengan haq,memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan pertempuran,
dan menuduh wanita mu’minah baik-baik berbuat zina.” HR. Al-Bukhari no. 2560 dan Muslim no. 129
Dalam pembahasan pada bab II halaman 24 pada skripsi ini telah
diterangkan bahwa Ulama sepakat untuk mengharamkan pengguguran
kandungan yang dilakukan pada waktu janin sudah diberi nyawa (nafkh al-ruh) perbuatan itu dipandang sebagai tindak pidana dalam Islam, karena pengguguran seperti itu sama dengan pembunuhan terhadap manusia yang
telah sempurna wujudnya. Sedangkan terhadap pengguguran kandungan di
mana bayi belum diberi nyawa, para ulama berbeda pendapat. Yang
memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli
(w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alas an karena belum ada
45
alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.3
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu
Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya
Ihya’ Ulumuddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al
-Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum
(sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada
kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk
menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus
dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya,
jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi
dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau
dibunuh.4
Pada prinsipnya pengguguran kandungan dalam Islam dilarang, namun
demikian para jumhur ulama mazhab dan ulama kontemporer diantaranya
Mahmoud Syaltoun, dan Yusuf al-Qadrhawi. Memperbolehkan pengguguran
dalam keadaan terpaksa guna menyelamatkan jiwa si ibu. Namun hal
demikian itu hanya diperkenankan apabila kehamilan terjadi secara sah,
artinya kehamilan yang terjadi karena hubungan seksual suamim istri yang
3
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Hajimasagung, 1993), h. 81
4
sah.5 Akan tetapi dalam beberapa term Islam membolehkan adanya aborsi, jadi Islam tidak mengharamkan aborsi secara mutlak, tetapi boleh dilakukan
aborsi dalam kondisi-kondisi tertentu. Sebagaimana fakta fatwa MUI yang
teraktual, yang bisa dijadikan pedoman bagi masyarakat khususnya yang
beragama Islam. Dimana dalam fatwa MUI tersebut membolehkan aborsi
bilamana kandungan tersebut mengancam jiwa dan raga sang ibu yang sedang
mengandung. Sementara jika tindakan itu dilakukan tanpa ada dasar dan
alasan yang jelas, aborsi adalah ilegal. Melanggar hukum Islam dan hukum
negara.6 Menurut penulis, aborsi yang dilakukan oleh termohon adalah suatu perbuatan ilegal, melanggar hukum negara dan juga hukum Islam. Bahkan
bisa dikategorikan termasuk dalam salah s