• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan bagian yang sangat penting dalam kelangsungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan bagian yang sangat penting dalam kelangsungan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anak merupakan bagian yang sangat penting dalam kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Kondisi anak saat ini sangat menentukan kondisi keluarga, masyarakat, dan bangsa di masa depan. Dari waktu ke waktu anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda, dimana kualitas anak bangsa akan ditentukan oleh pengalaman yang dialaminya. Pengalaman yang diterima oleh anak merupakan hal penting menentukan anak untuk pengembangan ke depan (Setyawan, 2014).

Anak prasekolah merupakan masa emas yang hanya datang sekali dan tidak dapat diulang. Sekitar 50% kecerdasan seseorang terjadi pada usia 4 tahun, dimana masa ini anak mudah menerima berbagai stimulus dari lingkungannya, berikutnya 30% pada usia 8 tahun, kemudian 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Ini berarti bahwa perkembangan pada usia 0-4 tahun sama dengan perkembangan pada usia 4-18 tahun. Untuk itu anak prasekolah perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari semua pihak (Wiyani, 2014).

Menurut Piaget, kemampuan berpikir pada masa pra operasional (18 bulan sampai dengan 7 tahun) dapat dikatakan masih lebih banyak terbentuk oleh gerakan yang dilakukan secara aktif (gerakan motoris), mulai dari gerakan refleks dan berkembang sampai gerakan yang lebih terkoordinasi dan terkendali. Sejalan dengan ini, perilaku egosentris juga semakin kuat. Usia pra operasional cara

(2)

berpikir anak masih sangat egosentris. Anak belum mampu (secara persepsual, emosional-motivasional dan konseptual) mengambil perspektif orang lain, tapi dengan cara berpikir memusat. Maka dari itu anak yang belum matang secara mental dan fisik, kebutuhannya harus dicukupi, pendapatnya harus dihargai, diberikan pendidikan yang benar dan kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi dan kejiwaanya, agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi penerus bangsa.

Terkait dengan kebutuhan anak, di Indonesia anak memiliki hak-hak yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Bab IX Pasal 28 yang mengatur tentang Perlindungan terhadap hak-hak anak dalam kelangsungan hidupnya dan diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berisi tentang jaminan pemenuhan hak-hak anak tanpa adanya diskriminasi guna memberikan perlindungan dan kesejahteraan anak. Selain itu wellbeing (kesejahteraan) anak juga tercantum pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 pasal 2 ayat (3) yang merumuskan bahwa “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dalam kandungan”, sedangkan pasal 2 ayat (4) merumuskan bahwa “Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan, menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar”. Perlu dipahami bahwa wellbeing anak, kedudukan anak, penyelenggaraan wellbeing anak, pendidikan anak, merupakan tanggung jawab orang tua dan keluarga, masyarakat dan pemerintah.

(3)

Dewasa ini banyak ditemukan kekerasan atau masalah-masalah yang terjadi pada anak, khususnya dalam konteks pendidikan. Banyak orang tua yang berbondong-bondong menge-leskan anaknya, baik les calistung (baca, tulis, berhitung), menari, musik, dan sebagainya pada usia prasekolah, mereka sangat antusias. Alasan orang tua adalah karena kurikulum dasar awal kini sudah semakin intensif, hal lain yang turut memberikan kontribusi adalah kekhawatiran orang tua akan kesiapan anaknya menghadapi tuntutan perekonomian global baru di masa depan yang didukung oleh teknologi (Majalah Parenting Femina, 2015).

Menurut sejumlah psikolog dan pendidik, program-program pengajaran dini pada anak sering mengabaikan beberapa fakta vital tentang cara belajar anak usia prasekolah, dan berbagai dampak yang muncul akibat sering memaksa mereka. Menurut Hirsh-Pasek, “Membuat anak mengingat aturan –aturan fonetik dan mengenali kata yang ada di depan mata adalah cara terburuk untuk memperkenalkan anak kecil pada dunia membaca, karena itu tidak melatih mereka untuk memakai kata dengan cara berarti” (Majalah Parenting Femina, 2015).

Program-program pengajaran pada anak prasekolah ini belum ada data yang membuktikan bahwa mengajarkan anak pada usia belia menimbulkan perbedaan jangka panjang dalam karir akademik. Menurut Michael Thompson, Ph.D salah satu pengarang The Pressured Child mengatakan, “Saya masih belum melihat ada data statistik yang membuktikan bahwa mengajarkan membaca dan matematika pada anak-anak yang masih sangat belia menimbulkan perbedaan jangka panjang dalam karir akademik mereka”. “Anak yang sudah bisa membaca di TK belum tentu akan menjadi pembaca yang lebih baik di kelas 4 nanti”. Juga tambah Thompson, “Program akademik berbasis nilai dapat membuat anak

(4)

gelisah”. Menurut Laruel Zimmermann (mantan direktur penerimaan murid baru di Elishabeth Morrow School) Sebuah SD swasta bermetode keras di Englewood, Jersey, “Program-program ini hanya memberikan apa yang saya disebut sebagai ilusi kepercayaan diri”. Tambah Laurel, “Para orang tua akan datang dan berkata, „Anak saya prestasinya sangat bagus di program lesnya‟, tetapi yang saya lihat malahan pemikiran kreatif si anak tidak berkembang dengan cukup baik. Dan saya sama sekali tidak melihat ada korelasi antara anak yang les/tidak dengan nilai bagusnya dalam tes masuk kami”(Majalah Parenting Femina, 2015).

Pendidikan membaca-menulis-berhitung hendaknya tidak dipaksakan diajarkan dalam pendidikan anak usia prasekolah, bila dipaksakan dikhawatirkan bisa membuat sang anak tak gemar membaca saat beranjak besar (Majalah Parenting Femina, 2015). Didukung oleh pendapat Retno Listiyarti Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) (Yuliono,2012) bahwa syarat kemampuan membaca untuk masuk SD sebagai bentuk pemaksaan kepada anak untuk belajar membaca saat PAUD, anak-anak tidak boleh dipaksa untuk membaca karena bisa menimbulkan ketidaksukaan membaca. Retno mengatakan dampak ketidaksukaan membaca terlihat dari rendahnya minat orang Indonesia untuk membaca. Psikolog anak Seto Mulyadi di kantor Komnas Perlindungan anak (Yuliono, 2012) menyampaikan, “Itu (tes calistung) tidak benar. Itu boleh pada umur yang senior. Jadi sebelum masuk SD sebaiknya tidak diajari”. Didukung dari pernyataan Psikolog Kasandra Putranto bahwa tes saringan masuk SD dengan calistung dinilai tidak wajar. Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak menuturkan, “Negara gagal memberi jaminan perlindungan kepada anak-anak. Kalau kita lihat sistem kurikulum di PAUD,

(5)

anak-anak harus dapat membaca, menulis dan berhitung baru bisa masuk SD. Padahal harusnya anak usia dini itu hanya dikenalkan dengan konsep konsep dasar kehidupan saja seperti bersosialisasi dan bergaul”, dalam acara diskusi pers di Plaza Bapindo, Jakarta (2012, dalam Yuliono,2012).

Dalam detikhealth, Komnas Perlindungan Anak merilis data pada Maret 2012 bahwa terjadi 2.386 kasus pelanggaran dan pengabaian terhadap anak sepanjang tahun 2011. Angka ini naik 98% dibanding tahun 2012. Mayoritas anak-anak ini stres karena kehilangan masa bermainnya. Anak-anak sudah disibukkan dengan berbagai kegiatan seperti les, sekolah, dan kursus bahkan sejak usia balita. Bisa kita pahami dari teori Piaget bahwa otak anak-anak belum sempurna, otak mereka baru siap menerima hal-hal kognitif pada usia 7-8 tahun. Sebelum usia tersebut dunia mereka adalah bermain dan bermain.

Mengingat anak sebagai generasi penerus bangsa, peran pendidikan sangat penting bagi anak terutama peran guru sebagai salah satu penanggung jawab atas kebutuhan anak, kedudukan anak dan wellbeing anak. Seiring dengan pekembangan anak, usia 4-6 tahun ia mulai banyak beinteraksi dengan orang lain di luar rumah. Ia mulai masuk sekolah PAUD atau Taman Kanak-Kanak, dan menghabiskan waktu sekitar 3-5 jam. Artinya lingkungan sekolah (guru dan teman sebaya) akan turut mewarnai perkembangan mereka (Psikologi.Net, 2013).

Guru merupakan figur yang sangat memengaruhi perkembangan anak setelah keluarga atau orang tua dan teman sebaya. Menurut Bronfenbenner, perkembangan muncul dari berbagai proses rutin seorang individu dengan lingkungannya, antara anak yang sedang berkembang dengan lingkungan sehari-harinya, salah satunya yaitu sistem Mikrosistem; merupakan sebuah hubungan

(6)

bagi anak dengan lingkungan; rumah, sekolah, tempat bermain, atau lingkungan tempat tinggal, dimana anak mengalaminya secara rutin, sistem ini mencakup hubungan pribadi, tatap muka, dan saling memengaruhi. Selanjutnya, setelah sistem mikrosistem yaitu sistem Mesosistem yaitu hubungan dalam mikrosistem, hubungan individu di dalam suatu lingkungan, dijelaskan bahwa guru dan orang tua merupakan figur penting dalam lingkungan sekolah.

Tugas guru adalah mendorong siswanya untuk berkembang lebih jauh dan mengatasi kekurangan yang masih ada pada diri siswa. Memberikan pengajaran serta mendidik siswa. Menurut Winkel (2014) Seorang guru harus menuntun siswanya untuk mencapai tingkat kehidupan manusiawi yang lebih sempurna, guru juga harus sabar menghadapi siswa, memberikan pengertian, memberikan kepercayaan dan menciptakan suasana aman, maka seorang guru haruslah berempati yaitu menyelami alam pikiran dan perasaan siswa, menjadi seorang inspirator, yang memberikan semangat kepada siswa untuk berkembang lebih jauh, juga menjadi seseorang yang tidak menuruti keinginan siswanya begitu saja. Guru sebagai figur, memberikan bimbingan, mengayomi serta mengetahui perkembangan siswanya.

Menurut Boekaerts (dikutip dalam Uhahne, &Zhu, 2015) menyatakan bahwa seorang guru tidak hanya memegang atau menguasai data prestasi anak didik tetapi juga mampu memahami dengan seksama wellbeing anak didiknya dari hasil proses pendidikan. Seorang guru yang memiliki kemampuan memahami dan mendiagnosis anak didiknya dengan benar sangat berperan penting. Guru harus menjadi orang pertama memahami anak didiknya dalam proses belajar maupun ketika anak bermasalah. Seorang guru memiliki posisi yang sangat penting untuk

(7)

mendiagnosis keadaan psikis, sosial, masalah psikologis anak didiknya dengan seksama. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menangani masalah yang kemungkinan terjadi pada anak didiknya.

Telah dijelaskan bahwa di Indonesia wellbeing anak tercantum pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 pasal 2 ayat (3) dan (4), sehingga wellbeing anak usia dini sangat penting untuk diperhatikan, karena dari wellbeing-lah anak bisa hidup lebih sehat, perkembangannya pun sehat. Sehingga sangat penting bagi orang dewasa untuk memahami dan mengarahkan. Menurut Huppert & So (dikutip dalam Sandester & Seland, 2015)sebuah penelitian menjelaskan bahwa derajat wellbeing yang tinggi memiliki banyak pengaruh positif, seperti keefektifan belajar, produkivitas, kesehatan yang baik dan memiliki harapan hidup yang panjang. Juga memengaruhi sikap dan perilaku, gaya belajar serta perkembangannya. Hal itu menggambarkan bagaimana kualitas pengalaman hidup anak dan wellbeing anak yang berarti bahwa memengaruhi perkembangan kesehatannya (Mashfrod-Scott dkk, 2012). Dalam penelitian pendidikan kontemporer dan teori menjelaskan bahwa wellbeing pada anak mempengaruhi gaya belajar mereka, sikap dan perilaku, dan oleh karena itu memiliki dampak pada belajar dan perkembangan anak (Mashfrod-Scott dkk, 2012).

Menurut WHO (The World Health Organization) definisi dari sehat adalah keadaan utuh psikis, mental, dan kesejahtaeraan sosial dan bebas dari penyakit atau kelemahan. Bagi anak wellbeing adalah dasar dari fungsi perspektif yang mana kondisi kesehatan mereka mengizinkan mereka untuk ikut serta beraktifitas setiap hari, seperti di sekolah, bagaimana mereka membutuhkan bertemu dengan

(8)

yang lain, dan bagaimana mereka dapat mengembangkan kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa di lingkungan.

Dalam konteks pendidikan, wellbeing telah diidentifikasi sebagai hasil (outcome) dan proses melalui fasilitas yang dibutuhkan anak untuk kemajuan semua hasil belajar dan perkembangan (Mashfrod-Scott dkk, 2012).Wellbeing pada anak sebenarnya adalah bagaimana pendidikan di awal usia anak karena pendidikan merupakan hal terbaik yang dapat mempromosikan anak-anak mengenai wellbeing (Mashfrod-Scott dkk, 2012). Wellbeing dikaitkan dengan hubungan dan keterlibatan (Departement of Education, Children’s Services,; Laevers,; NICHD Early Child Care Reasearch Network, dikutip dalam Mashford-Scott & Church, 2012); perkembangan disposisi belajar yang positif dan perilaku belajar (Bernad,; Domininguez et al. dikutip dalam Mashford-Scott & Church, 2012); hubungan positif dengan teman dan guru ( Ladd et al., dikutip dalam Mashford-Scott & Church, 2012); dan coping yang berhasil dengan perubahan dari masa kecil dan remaja (Bernard et al,; Pugh,; Roberts,; Vollotton & Ayoubb, dikutip dalam Mashford-Scott & Church, 2012).

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Urhahne dan Zhu (2015) mengenai penilaian wellbeing pada siswa oleh guru kemudian dibandingkan dengan wellbeing menurut siswanya pada usia 15 tahun, mendapatkan hasil sebagai berikut ; pada hasil assesmen menujukkan bahwa korelasi antara penilaian guru dan hasil kuesioner murid mengenai wellbeing menunjukkan bahwa guru pada penelitian ini tidak bisa memperkirakan wellbeing siswanya dengan sangat baik, namun dari penelitian ini guru bisa mengetahui bahwa aspek positif wellbeing siswa lebih tinggi daripada aspek negatifnya. Penelitian Sixmith dkk

(9)

(2007) dijelaskan bahwa konsep wellbeing anak menurut guru dan orang tua merupakan aspek yang rinci dan kompleks seperti kesehatan, lingkungan, keluarga, sekolah/ pendidikan, makanan. Orang dewasa mengakui sekolah sebagai kontributor penting untuk wellbeing anak namun pada wellbeing menurut anak tidak ada, anak lebih focus dengan aktifitasnya dengan lingkungan misalnya bermain. Sedangkan penelitian Naimah & Pamujo (2014) dengan informan guru dan orang tua mengenai school wellbeing anak di Taman Kanak-Kanak menghasilkan temuan pada aspek gangguan pada saat belajar, kesepian di sekolah, bantuan, teman baik, dan perlindungan kekerasan.

Wellbeing pada anak usia dini agak sulit untuk dinilai dan diamati. Dapat kita simpulkan bahwa penilaian wellbeing cukup sulit untuk dilakukan, apalagi menilai dan melihat wellbeing pada anak usia prasekolah. Menurut Departement of Education, Childen‟s Services ;Leavers Pascal dan Bertam (dikutip dalam, Mashford-Scott, Church, 2012) banyak ketidakjelasan dan variasi konseptual dari bentuk wellbeing anak dan bagaimana pendidikan anak usia dini dapat meningkatkan pemahaman wellbeing pada anak usia dini.Anak usia dini belum terbiasa dan asing dengan konsep wellbeing, mereka juga memiliki keterbatasan, yaitu pengetahuan yang belum memadai, sehingga terjadi perbedaan pemahaman antara orang dewasa dengan keinginan anak.

Maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian persepsi guru mengenai wellbeing anak usia prasekolah 4-6 tahun dalam konteks pendidikan karena telah dijelaskan bahwa salah satu tugas guru adalah mampu memahami keadaan psikis maupun fisik anak didiknya, sehingga apabila guru mampu memahami bagaimana wellbeing anak usia 4-6 tahun maka guru membantu proses

(10)

perkembangan dan petumbuhan menjadi sehat serta mempengaruhi gaya belajar anak dalam konteks pendidikan, sehingga sangat penting seorang guru memahami dan mengarahkan karena pada dasarnya kesejahteraan anak usia dini mampu memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mereka, serta diperkuat belum adanya penelitian mengenai perspektif guru mengenai wellbeing anak usia 4-6 tahun dalam konteks pendidikan namun adanya penelitian mengenai schoolwellbeing dimana itu hanya fokus pada lingkungan sekolah saja dan pada usia anak yang berbeda.

1.2. Rumusan Masalah

Penelitian ini untuk menjawab, bagaimana perspektif atau pandangan guru mengenai wellbeing pada anak prasekolah usia 4-6tahun dalam konteks pendidikan.

1. Bagaimana makna wellbeing anak usia 4-6 tahun dalam konteks pendidikan ?

2. Apa saja indikator wellbeing anak usia 4-6 tahun dalam konteks pendidikan ?

3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi wellbeing anak usia4-6 tahun dalam konteks pendidikan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi guru mengenai wellbeing pada anak usia 4-6 tahun dalam

(11)

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya pada ilmu psikologi pendidikan, psikologi perkembangan, psikologi sosial, terutama terkait dengan wellbeing anak usia 4-6 tahun dalam konteks pendidikan.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Sebagai masukan bagi orang tua, guru, masyarakat luas mengenai pentingnya wellbeing dan mendorong orang tua, guru serta masyarakat untuk meningkatkan wellbeing anak usia 4-6 tahun dalam konteks pendidikan.

2. Sebagai masukan bagi lembaga/instusi pendidikan pemerintah dan swasta agar wellbeing anak terpenuhi yang didasari oleh perspektif anak untuk meningkatkan wellbeing anak melalui sebuah program khususnya untuk anak usia 4-6 tahun dalam konteks pendidikan.

Referensi

Dokumen terkait

Big Data & Data Analytic Tidak ada Semester 7 Diumumkan agar semester ganjil 2015/2016 (semester 7) mahasiswa tidak perlu mengambil Big Data di kurikulum baru tetapi

Daur hidup dapat diketahui dengan menjumlahkan lama stadium telur, larva, pupa, dan waktu sejak imago terbentuk hingga meletakkan telur..

Pompa hidrolik atau biasa disebut dengan pompa hydram adalah suatu peralatan yang unik, dimana peralatan ini menggunakan energi dari aliran air yang memiliki

Melalui tugas akhir ini akan dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh inhibitor sodium nitrit, asam askorbat, dan asam karboksilat dengan variasi konsentrasi yang

Petugas Pemadam Kebakaran sering menerima anjuran atau masukan dari masyarakat di wilayah Bandung Timur, ada beberapa keluhan yang di sampaikan oleh masyarakat tetapi tidak

I lmu fisiologi dan teknologi pascapanen merupakan dua teori dasar yang harus dipahami dan diterapkan dalam upaya mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas tanaman

Hasil penelitian ini menunjukkan prestasi belajar siswa kelas XI dan XII cabang olahraga voli pantai yang berada pada kriteria “baik” dan tidak linier dengan

Berdasarkan uraian di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa perlu adanya pengembangan media pembelajaran yang lebih baik dalam proses belajar mengajar pada sekolah yang