• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagian Sifat dan Arti-Arti yang Tercela serta Berbagai Macam Akibat Buruk Bid'ah

Dalam dokumen imam asy syathibi al itisham (Halaman 161-200)

TERCELANYA BID'AH DAN BURUKNYATEMPAT KEMBALI PARA PELAKU BID'AH

E. Sebagian Sifat dan Arti-Arti yang Tercela serta Berbagai Macam Akibat Buruk Bid'ah

Kita akan membahas semua hal yang dapat dijelaskan dengan seluas mungkin sesuai waktu dan kondisi.

Ketahuilah olehmu, sesungguhnya bid'ah akan mernbuat semua ibadah; shalat, puasa, sedekah, serta seluruh amal perbuatan yang bersifat mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak diterima oleh Allah. Bergaul dengan pelaku bid'ah akan menghilangkan penjagaan diri dari kesalahan dan akan ditimpakan (akibat)nya kepada dirinya sendiri. Sedangkan mendatangi dan mengukuhkan bid'ah adalah tindak pembelaan terhadap penghancuran Islam.

Semua hal yang direkayasa oleh pembuat bid'ah adalah terlaknat menurut ajaran syariat, sehingga dengan ibadah-ibadahnya akan membuat pelakunya semakin jauh dari Allah Ta'ala. Rekayasa itu antara lain: menebarkan kebencian dan permusuhan, menghalangi syafa'at Nabi

Muhammad, serta menghapus Sunnah-Sunnah yang berseberangan dengannya. Pembuat bid'ah akan menanggung dosa orang-orang yang mengikuti dan mengamalkannya, tidak ada tobat baginya, akan ditimpakan atasnya kehinaan serta murka Allah, dijauhkan dari telaga Rasulullah SAW, digolongkan atasnya sebagai orang kafir yang keluar dari agama, akhir hayat yang buruk tatakala keluar dari dunia, wajah menjadi hitam kelam di akhirat, diadzab dengan neraka Jahannam, dan diturunkan atas dirinya fitnah di dunia di samping adzab akhirat yang telah menanti. Yang lebih berat dari semua itu adalah keterbebasan Rasulullah dan kaum muslim dari amal perbuatan mereka.

Diriwayatkan dari Al Auza'i, ia berkata, "Sebagian ulama berkata, 'Allah tidak akan menerima dari pelaku bid'ah, shalat, puasa, sedekah, jihad, haji, umrah, serta seluruh amalan, kewajiban, dan Sunnah yang dikerjakannya.'"

Dinukil deh Asad bin Musa, "Jangan sampai kamu mempunyai saudara, teman, atau sahabat dari pelaku bid'ah, karena ulama salaf berkata, 'Orang yang bergaul dengan pelaku bid'ah akan dicabut darinya penjagaan atas kesalahan dan akan ditimpakan amalnya kepada dirinya. Orang yang mendatangi pelaku bid'ah berarti telah berjalan untuk menghancurkan Islam.' Dikatakan pula, 'Tidak ada tuhan yang disembah selain Allah, tidak ada sesuatu yang sangat Dia murkai kecuali penyembah hawa nafsu'."

Rasulullah SAW telah melaknat ahli bid'ah dan Allah tidak akan menerima semua kewajiban dan amalan (wajib dan sunah). Setiap kali mereka bersungguh-sungguh —baik dalam shalat maupun puasa— tetap tidak akan bertambah bagi mereka sesuatu pun melainkan semakin jauh dari Allah.

Ingkarilah majelis-majelis mereka, hinakanlah mereka, serta jauhkanlah mereka sebagaimana Allah, Rasul-Nya SAW, dan para imam (yang mendapat petunjuk setelahnya) yang telah menjauhi dan menghinakan mereka.

Abu As-Sakhtiyani berkata, "Tidaklah seorang pelaku bid'ah bersungguh-sungguh —dalam beribadah— melainkan dirinya bertambah jauh dari Allah."

Hisyam bin Hassan berkata, "Allah tidak akan menerima shalat, puasa, zakat, haji, jihad, umrah, sedekah, pembebasan budak, serta amalan-amalan wajib dan sunah dari pelaku bid'ah."

Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab, dari Abdullah bin Umar, ia berkata, "Orang yang menyatakan bahwa bersama Allah terdapat seseorang yang dapat menentukan hukum atau memberi rezeki, atau dapat memberi manfaat dan mudharat atas dirinya, atau dapat memberikan kehidupan atau kematian, atau dapat membangkitkan manusia dari matinya, niscaya ketika bertemu Allah alasan-alasannya tidak dapat diterima, lidahnya kelu, shalat dan puasanya menjadi sia-sia, sebab-sebab baginya menjadi terputus, dan wajahnya akan ditelungkupkan ke dalam neraka."

Hadits-hadits ini dan hadits-hadits lain yang sepertinya, baik yang telah kami sebutkan maupun yang belum, mencakup sendi-sendi kebenaran yang tidak perlu diragukan, sebab makna yang telah ditegaskan di dalamnya mempunyai dasar yang benar dalam syariat, bukan sekedar celaan.

1. Telah disebutkan pada sebagian hadits pengertian yang mencakup tidak diterimanya amal perbuatan; sebagaimana dalam hadits shahih. Seperti aliran Al Qadariyyah, Abdullah bin Umar berkata tentangnya, "Apabila kamu bertemu dengan kelompok mereka, maka katakanlah bahwa aku terbebas dari mereka dan mereka terbebas dariku. Demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah, jika salah seorang di antara mereka mempunyai emas sebesar gunung Uhud dan mereka menafkahkannya, maka Allah tidak akan menerimanya sedikit pun hingga ia beriman kepada takdir." Ia kemudian menguatkan sumpahnya dengan hadits Jibril yang telah disebutkan dalam Shahih Muslim.

Contoh yang semisalnya adalah hadits tentang orang-orang Khawarij, beliau bersabda,

"Mereka keluar dari agama bagaikan lepasnya anak panah dari busurnya —setelah sabda beliau— mereka merendahkan shalatmu dengan shalat mereka, puasamu dengan puasa mereka, serta amalmu dengan amal mereka."

Apabila perkara ini ada pada diri mereka karena perbuatan bid'ah, maka semua orang yang berbuat bid'ah ditakutkan akan menjadi seperti yang disebutkan dalam permisalan tadi.

2. Amal orang yang melakukan bid'ah tidak diterima, baik yang dimaksud adalah tidak diterima secara mutlak; dari setiap segi yang dilakukannya sesuai dengan Sunnah atau hanya yang menyelisihi sunnah saja, maupun yang dimaksud adalah tidak diterima secara khusus (hanya amalan yang ada bid'ahnya).

Pendapat yang pertama mungkin memiliki satu sisi dari tiga sisi berikut ini;

Sisi pertama: Menurut arti yang tersurat adalah semua orang yang berbuat bid'ah, apa pun bentuk bid'ahnya, yang mengakibatkan semua amal tidak diterima, baik dalam amal tersebut terdapat bid'ah ataupun tidak.

Telah ditegaskan oleh hadits Ibnu Umar (seperti yang telah disebutkan tadi) dan hadits Ali bin Abu Thalib, bahwa ia berkhutbah di hadapan orang-orang dengan membawa pedang yang tergantung dan selembar surat, kemudian ia berkata, "Demi Allah, kita tidak memiliki kitab lain yang kita baca selain Al Qur' an dan surat ini." Kemudian ia membuka ikatannya dan ternyata di dalamnya ada gigi unta yang ditulisi dengan tulisan, 'Sesungguhnya kota Madinah adalah tanah haram dari batas gunung 'Ir sampai Kada. Orang yang melakukan kejahatan di dalamnya akan dilaknat oleh Allah, para malaikat, serta seluruh manusia. Allah juga tidak akan menerima amalan wajib dan sunah yang dikerjakannya'."

Pendapat tersebut dikeluarkan oleh orang yang mengartikan kata

ash-sharfu dan al adlu dengan arti perintah yang wajib dan sunah. Ini

merupakan ancaman yang dahsyat bagi orang yang berbuat bid'ah dalam agama.

Sisi kedua: Bid'ah yang dilakukan sebagai dasar yang menjadi sumber bagi semua bagian dan cabang-cabang amal perbuatan. Misalnya pengingkaran terhadap suatu perbuatan dengan hadits ahad (hadits yang sampai kepada kita dengan jalur periwayatan yang terbatas dan tertentu, namun jika kuat periwayatannya maka bisa dijadikan dalil) secara mutlak, padahal sesungguhnya kebanyakan taklif (pembebanan syariat) berlandaskan atas dasar tersebut. Sebab suatu perintah yang ditujukan kepada seorang mukaIlaf (orang yang terbebani syariat) berasal dari ketentuan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW. Adapun yang menjadi bagian dari keduanya, hendaknya dikembalikan kepada keduanya. Apabila telah disebutkan perintahnya dari As-Sunnah, maka kebanyakan periwayatan Sunnah dari riwayat ahad, bahkan tatkala sulit menemukan hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah SAW.

Apabila telah disebutkan dalam Al Qur' an, maka harus dijelaskan dengan Sunnah. Jika sesuatu yang tidak disebutkan dalam Al Qur’an, dijelaskan dengan memakai akalnya, tanpa memperhatikan hadits ahad, maka ini dinamakan bid'ah yang sebenar-benarnya. Pelakunya menjadi bagian amal perbuatan yang berdasarkan bid'ah, yang sama sekali tidak akan diterima, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

"Semua amal perbuatan yang tidak terdapat perkara kami, maka tertolak." Hadits shahih.

Sebagaimana pula bid'ah yang menjadi dasar dari semua amal perbuatan —yang dimaksud adalah niat— karena setiap amal perbuatan harus dengan niat dan setiap orang mendapat ganjaran atas perbuatannya sesuai dengan niatnya.

Contoh dari perkataan tersebut adalah, "Sesungguhnya amal

perbuatan hanya diwajibkan bagi yang belum mencapai derajat wali, yang telah mengetahui hakikat tauhid secara nyata. Adapun bagi or-ang yor-ang penghalor-angnya dior-angkat kemudian ia dapat mengetahui hakikat sesuatu, maka kewajiban tersebut juga diangkat dari diri mereka." Atas pengakuan tersebut, maka yang berkeyakinan demikian dianggap telah kufur secara nyata. Kami tidak membicarakannya dalam pembahasan ini.

Yang demikian ini juga untuk mereka yang sesat; mengingkari perbuatan yang berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW —baik yang mutawatir (hadits yang sampai kepada kita dengan melalui jalur periwayatan yang tidak terbatas pada bilangan tertentu dan tidak mungkin mengandung unsur kebohongan) maupun ahad— dan hanya mengembalikan perbuatan mereka kepada kitab Allah.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Rafi', dari Nabi SAW, beliau bersabda,

"Kalian tidak akan mendapatkan salah seorang di antara kalian yang duduk di atas sofanya kemudian datang kepadanya perkara dari perkara-perkara yang telah aku perintahkan atau yang telah aku larang, lalu ia berkata, 'Aku tidak tahu, aku tidak tahu. Apa yang kami dapatkan di dalam kitab Allah kami ikuti'." Hadits hasan.

Dalam riwayat lain disebutkan,

sedangkan ia duduk di atas sofanya, lalu ia berkata, 'Di antara kami dan kamu terdapat kitab Allah (ia berkata) apa yang kami dapatkan penghalalan di dalamnya, maka kami menghalalkannya dan apa yang kami dapatkan pengharaman di dalamnya, maka kami mengharamkannya. Sesungguhnya apa yang diharamkan Rasulullah adalah seperti yang diharamkan Allah." Hadits hasan.

Namun sebenarnya hadits-hadits ini menerangkan tentang celaan dan pengakuan, bahwa Sunnah Rasulullah SAW dalam perkara penghalalan dan pengharaman sama seperti yang ada di dalam kitab Allah. Jadi, orang yang meninggalkan perkara tersebut pasti melakukan suatu perbuatan atas dasar hasil pemikiran akalnya, bukan atas dasar kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW.

Juga permisalan tentang keadaan pelaku bid'ah, apakah menyebabkan pelakunya murtad sesuai dengan kesepakatan atau perbedaan pendapat atau ulama? Dalam hal ini, terbagi menjadi dua. Dalil-dalil nash yang zhahir yang menjadi dalil atas perkara tersebut adalah sabda Rasulullah SAW dalam sebagian periwayatan tentang orang-orang Khawarij tatkala menyebutkan kata as-sahmu {anak panah) dengan ungkapan kaum Khawarij yang meluncur dari busurnya menuju kotoran atau darah, serta ayat-ayat Allah SWT, "Pada hari yang di

waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram." (Qs. Aali 'Imraan [3]: 106) Juga contoh-contoh lainnya yang

tersurat pada pembahasan sebelumnya.

Sisi ketiga: Pelaku bid'ah pada sebagian hal yang berhubungan dengan ibadah atau yang lainnya, telah menarik pada keyakinan yang berbau bid'ah sebagai hasil dari penakwilannya, membuat keyakinannya pada syariat menjadi lemah, sehingga semua amalnya tidak diterima oleh Allah. Penjelasannya adalah berikut ini:

Diantaranya adalah memisahkan atau meninggalkan akal dengan syariat dalam membuat syariat, dan syariat hanya sebagai penyingkap dari hal-hal yang terdapat di dalam akal. Apakah dalam beribadah

kepada Allah mereka memakai hukum yang disyariatkan-Nya? Atau memakai hukum yang dibuat berdasarkan akal mereka? Bahkan dalam ajaran mereka, syariat hanya berfungsi sebagai perbuatan, bukan pemimpin (azas) yang diikuti. Inilah pembuatan syariat yang tidak memiliki keaslian bagi syariat, semua perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya hanya berlandaskan pada hal-hal yang telah ditentukan akahnya. Walaupun mereka mengikutkan syariat, maka hanya berfungsi sebagai pengikut dan pembantu bukan sebagai dasar kemanunggalan syariat.

Oleh karena itu, tidak sah menyatakan baik atau buruk hanya didasarkan pada akal, sebab menurut ulama ilmu kalam hal itu termasuk perbuatan bid'ah yang masyhur, dan setiap bid'ah adalah sesat.

Diantaranya adalah orang yang membenarkan bid'ah, yang pasti berkeyakinan bahwa syariat belum sempurna, padahal Allah SWT berfirman, "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu

agamamu." (Qs. Al MaaMdah [51: 3) Menurut mereka, semua yang

dilakukan tidak mempunyai arti sedikit pun.

Orang yang mempunyai pemikiran yang baik dari mereka rnenakwilkannya, hingga keluar dari arti yang tersurat dan yang menjadi sebab adalah kelompok-kelompok yang melakukan bid'ah dalam perkara ibadah berasal dari kelompok yang banyak melakukan zuhud, memutuskan hubungan, dan menyendiri dari makhluk. Ketika mengikuti mereka, maka perbuatan yang mereka lakukan itu akan terus mengalirkan kebodohan bagi orang-orang awam juga seseorang yang selalu bersama jamaah, meski ia termasuk seorang yang paling bertakwa dari makhluk-makhluk Allah lainnya, namun ketika ia pada kondisi demikian ia tidak dianggap kecuali sebagai orang awam.

Adapun orang-orang khusus dari mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan menambahkan sesuatu dalam setiap hal. Oleh sebab itu, kamu akan mendapatkan banyak orang yang mengagungkan mereka cenderung kepada pendapat mereka serta memandang rendah

orang yang tidak mengikuti ajaran mereka anut dan menganggapnya sebagai orang-orang yang tertutup dari cahaya mereka. Jadi, setiap orang yang meyakini pengertian ini pasti mengalami pengikisan kepercayaan pada ketentuan-ketentuan syariat yang ada di tangannya yang telah dikukuhkan oleh ulama salaf dan telah diterangkan batasan-batasannya oleh ahli fikih yang memiliki kedalaman ilmu. Sebab hal ini menurutnya bukan merupakan jalan untuk berusaha agar dapat sampai kepada derajat orang-orang khusus dari mereka. Pada saat itu, tidak ada amal perbuatan dan kekuatan yang dapat mereka jadikan sandaran (azas). Inilah pintu yang membuat amal perbuatan tidak diterima, walaupun hal tersebut jelas telah disyariatkan, sebab keyakinan pada perkara tersebut telah merusak amalan-amalan mereka. Sehingga jelas bahwa yang demikian itu menjadikan amal yang wajib atau yang sunah tidak dapat diterima. Wal iyadzu billah.

Adapun yang dimaksud tidak diterimanya amal perbuatan yang disertai dengan bid'ah, tidak perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut, karena telah dijelaskan dan didasarkan pada dalil-dalil seperti yang disebut tadi, antara lain,

" Setiap perkara yang tidak terdapat perkara kami di dalamnya, maka

tertolak."

" Setiap perkara bid'ah adalah sesat."

Maksudnya adalah, pelakunya tidak berada di jalan yang lurus dan ini merupakan arti dari tidak diterimanya amal, yang juga sesuai dengan firman Allah, "Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),

karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya." (Qs.

Al An'aam [6]: 153)

Kebanyakan para pelaku bid'ah tidak hanya memprioritaskan hal-hal yang berkenaan dengan shal-halat namun juga beroperasi pada hal-hal-hal-hal seputar puasa, zakat, haji, jihad, serta hal-hal lainya, sebab amal ibadah adalah ladang bagi mereka untuk memunculkan hal-hal bid'ah, sedangkan hawa nafsu serta kebodohan terhadap syariat Allah adalah pemicu utama munculnya perbuatan tercela ini, sebagaimana akan diterangkan selanjutnya, insyaallah.

Dalam kitab Al Mabsuthah, diriwayatkan dari Yahya bin Yahya, bahwa ia menyebutkan tentang seorang peramal dan istrinya pernah sakit. Ketika sembuh ia berkata, "Satu kaum yang mengharapkan balasan kebaikan namun mereka tidak mendapatkannya." Lalu ditanyakan kepadanya, "Wahai Abu Muhammad, apakah perbuatan mereka dapat diharapkan pahalanya?" Ia menjawab, "Tidak terdapat pada sesuatu yang menyelisihi Sunnah pengharapan mendapatkan pahala."

Pelaku bid'ah terbebas dari penjagaan Allah atas kesalahan yang telah dilakukan, juga akan ditimpakan dosa atas dirinya. Telah dijelaskan sebelumnya dan telah jelas pemasalahannya.

Sesungguhnya Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita sebagai rahmat bagi alam semesta. Sebelum terbitnya cahaya yang agung tersebut, kita tidak dapat mengetahui jalan serta kemaslahatan urusan dunia dan akhirat kecuali sedikit dan tidak sempurna. Setiap individu hanya mengikuti hawa nafsu (meski segala resiko harus ditanggungnya) dan tidak mempedulikan hawa nafsu or-ang lain, sehingga terus-menerus terjadi perselisihan di antara mereka, yang akan menyebabkan kerusakan yang semakin meluas, hingga Allah SWT mengutus Nabi-Nya untuk menghilangkan keragu-raguan dan kerancuan serta tingginya gejolak perselisihan antar manusia, sebagaimana firman-Nya," Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah

timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi... maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran

tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (Qs. Al Baqarah [2]: 213) dan "Manusia dahulunya satu umat, kemudian mereka berselisih." (Qs. Yuunus [10]:

19) Tidaklah menjadi seorang penengah atau hakim di antara mereka melainkan beliau datang dengan membawa sesuatu yang dapat mempersatukan kekuatan dan pendapat mereka.

Walaupun demikian, semua itu kembali kepada sisi yang mereka selisihkan, yaitu sesuatu yang dapat mengembalikan mereka kepada kebaikan di dunia dan akhirat, serta menjauhkan mereka dari kerusakan secara mutlak. Jika demikian, maka agama, darah, akal, keturunan, dan harta benda, akan terpelihara. Semua itu diambil dari jalan-jalan yang telah diketahui oleh para ulama, yaitu Al Qur' an, yang diturunkan kepada Nabi SAW, baik dengan perkataan, perbuatan, maupun persetujuan, dan mereka tidak diperintahkan untuk mengurus diri mereka sendiri, karena mereka tidak mungkin dapat melakukan hal tersebut dan tidak dapat pula berdiri sendiri untuk mengetahui berbagai macam kemaslahatan.

Apabila seorang pelaku bid'ah meninggalkan anugerah yang begitu agung dan pemberian yang banyak ini, lalu ia berusaha memperbaiki diri atau kehidupan dunianya dari kehendak diri sendiri dengan cara mengambil sesuatu yang tidak ditetapkan dalilnya oleh syariat, maka bagaimana mungkin dirinya mendapat perlindungan dan rahmat? Dengan demikian, genggaman tangannya telah terlepas dari tali ikatan penjagaan untuk mengendalikan diri sendiri, sehingga ia benar-benar jauh dari rahmat Allah.

Allah SWT berfirman, "Dan berpeganglah karnu semuanya kepada

tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai." (Qs. Aali

'Imraan [3]: 103) Setelah firman-Nya, "Bertakwalah kepada Allah

sebenar-benarnya takwa kepada-Nya." (Qs. Aali 'Imraan [3]: 102).

Dijelaskan bahwa berpegang teguh dengan tali Allah termasuk

sebenar-benar takwa. Jika tidak demikian maka hal tersebut masuk dalam kategori perpecahan, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya, "Janganlah kamu bercerai-berai." Adapun perpecahan adalah sifat utama para pelaku bid'ah, sebab ia telah keluar dari hukum Allah dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslim.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Humaid bin Abdullah, bahwa tali Allah adalah jamaah.

Diriwayatkan dari Qatadah ia berkata, "Tali Allah yang kokoh adalah Al Qur' an dan As-Sunnah serta wasiat-Nya kepada para hamba agar berpegang-teguh pada kebaikan yang terkandung di dalamnya serta pengukuhan agar berpegang teguh kepada-Nya dan kepada tali-Nya... diantaranya adalah firman Allah Ta'ala, "Dan berpeganglah kamu

pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu." (Qs. Al Hajj [22): 78)

Orang yang mengikutinya dan menyetujui pelaku bid'ah, sama saja telah membantu menghancurkan Islam. Telah dijelaskan sebelumnya.

Diriwayatkan pula sebuah hadits dengan derajat marfu \

"Barangsiapa mendatangi pelaku bid'ah untuk menyetujui

pendapatnya, maka ia telah membantu menghancurkan Islam"

Diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,

"Barangsiapa menyetujui pendapat ahli bid'ah, maka ia telah membantu menghancurkan Islam."

Pengertian tentang pembahasan ini secara keseluruhan telah dihimpun dalam hadits shahih yang telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW,

"Barangsiapa berbuat kejahatan atau melindungi seorang pelaku

kejahatan, maka baginya laknat Allah dan para malaikat, serta semua manusia."

Sesungguhnya memberi tempat perlindungan juga mencakup arti pengukuhan (persetujuan) dan dalilnya sangat jelas. Sebab, orang yang datang dan memberikan persetujuan kepadanya berarti penghormatan kepadanya atas perbuatan bid'ah yang dilakukannya. Kita tahu bahwa syariat telah memerintahkan kita untuk mencela, mengucilkan, dan merendahkannya (pelaku bid'ah) sehina mungkin. Bahkan boleh dengan sikap yang lebih kejam dari itu, seperti pemukulan dan pembunuhan. Oleh karena itu, mengukuhkan dan menyetujuinya merupakan tindakan menghalang-halangi pengamalan syariat Islam serta menyetujui semua yang bertentangan dan menyelisihinya, sedangkan Islam tidak akan hancur kecuali umatnya meninggalkan semua kewajibannya dan mengamalkan semua larangannya.

Lagi pula, mengukuhkan pelaku bid'ah akan menimbulkan dua kerusakan yang mengarah kepada kehancuran Islam, yaitu:

1.Menguatkan perhatian orang-orang bodoh dan umum terhadap pengukuhan tersebut, sehingga mereka berkeyakinan bahwa pelaku bid'ah adalah orang yang paling utama dan perbuatan yang dijalankannya lebih baik daripada yang dijalankan oleh orang lain.

Dalam dokumen imam asy syathibi al itisham (Halaman 161-200)