3. METODOLOGI PENELITIAN
3.7 Pemrosesan Data Backscatter dan Amplitudo
4.1.7 Sebaran Nilai Backscatter
Nilai backscatter menggambarkan besarnya nilai hambur balik dari
gelombang suara yang ditransmisikan oleh sebuah alat akustik kedalam perairan.
Gelombang suara tersebut akan kembali dan diterima oleh receiver. Menurut
Kågesten (2008), backscatter didefinisikan sebagai refleksi gelombang suara
kembali menuju sumber gelombang suara itu berasal.
Setiap objek memiliki tingkat kekasaran (hardness) dan kekerasan
(roughness) yang berbeda. Hal ini dapat dikarenakan kandungan material benda
antara benda yang satu dan benda yang lain berbeda. Benda-benda yang memiliki
tingkat kekerasan seperti bebatuan akan memiliki nilai hambur balik (backscatter)
yang lebih besar bila dibandingkan dengan dengan material lunak seperti lumpur atau biota-biota laut. Selain faktor kekerasan, nilai hambur balik juga dipengaruhi
oleh faktor kekasaran (roughness) suatu benda.
Material yang memiliki bentuk permukaan yang halus cenderung akan
memiliki gelombang pantul yang teratur menuju receiver. Nilai backscatter
sering digunakan untuk memperkirakan tipe dan kondisi substrat dasar perairan.
Nilai backscatter pada penelitian ini diperoleh melalui pemrosesan data dengan
menggunkan MBSystem. Data tersebut kemudian diplotkan dalam sebuah gambar
sehingga diperoleh sebaran nilai backscatter di lokasi penelitian seperti pada
gambar 34. Kisaran nilai backscatter yang diperoleh selama proses pemeruman
tepat diatas gunung bawah laut tersebut yaitu -64,2400 dB hingga -23,1347 dB. Nilai amplitudo yang diperoleh melalui instrumen akustik tertentu dapat dikonversi menjadi nilai hambur balik melalui sebuah formula matematis.
voltage gain (V) dan reference voltage (Vr). Nilai ini didasarkan pada sinyal
suara yang dihasilkan trandcucer ketika melalukan pemeruman berupa energi
listrik. Perhitungan nilai hambur balik dari multibeam membutuhkan proses yang
relatif lebih rumit. Kerumitan ini dapat dianalogikan melalui sebuah ilustrasi
bahwa sapuan multibeam akan menghasilkan bentuk berupa garis, sedangkan
single beam hanya berupa titik (Hasanudin 2009). Tahapan pertama yang harus
dilakukan dalam pengolahan data backscatter yaitu dengan menggunkan suatu
algoritma khusus (Kågesten, 2008). Formula yang dapat digunakan dalam
melakukan konversi nilai amplitudo kedalam unit backscatter yaitu :
4.2 Pembahasan
4.2.1 Sound Velocity Profile (SVP)
Berdasarkan hukum fisika, perambatan suara memerlukan media. Suara dapat merambat melalui benda padat, cair dan gas. Hal ini juga berlaku pada perairan laut yang menggunakan air sebagai medianya. Kecepatan suara air laut mencapai ± 1.540 meter/second. Kecepatan suara ini memiliki nilai yang bervariasi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: suhu, salinitas dan tekanan air laut
Peningkatan suhu sebesar 10 C akan meningkatkan kecepatan perambatan
gelombang akustik sebesar 4 m/s. Suhu di perairan banyak dipengaruhi oleh
panas dari sinar matahari, upwelling, hujan dan run off dari sungai (Kinsler et al.,
2000). Peningkatan tekanan air laut sebesar 1 Km akan menyebabkan cepat rambat gelombang akustik meningkat sebesar 17 m/s dan peningkatan nilai salinitas sebesar 1 ppm akan menyebabkan peningkatan kecepatan rambat
gelombang akustik sebesar 1,4 m/s. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai salinitas di suatu perairan dapat disebabkan oleh evaporasi, presipitasi, pengaruh masukan air dari sungai dan efek dari adanya pasang surut.
Kecepatan suara menjadi pengaruh yang sangat besar bagi proses
perambatan suara di kolom perairan. Sebuah perangkat lunak akan error atau
tidak dapat diproses apabila memiliki nilai yang tidak sesuai (Brennan, 2009). Perubahan kecepatan suara secara drastis dalam kolom perairan dapat terjadi pada
palung laut atau pada lapisan thermocline. Suhu dipermukaan laut pada umumnya
lebih tinggi bila dibandingkan di dasar laut. Permukaan laut lebih banyak mendapatkan sinar matahari sehingga kandungan bahang di permukaan air laut
lebih tinggi. Kondisi ini juga akan memicu terjadinya pembetukan daerah mixed
layer yang akan terjadi secara terus-menerus hingga sore hari. Faktor-faktor yang
telah disebutkan sebelumnya memiliki hubungan yang sangat kompleks untuk dibahas. Gambar 35 memberikan gambaran dari masing-masing faktor yang telah disebutkan sebelumnya terhadap perubahan kecepatan suara di laut.
Gambar 35. Hubungan antara suhu, salinitas dan tekanan
terhadap kecepatan suara (Kinsler et al., 2000)
Profil kecepatan suara di lokasi penelitian diperoleh berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan CTD. Sumbu X berdasarkan gambar diatas merupakan nilai dari kecepatan suara. Sedangkan sumbu Y merupakan
kedalaman perairan yang terukur. Nilai kecepatan suara tertinggi di lokasi penelitian diperoleh pada kedalaman 100,418 meter dengan nilai 1545,13 m/s sedangkan kecepatan suara terendah terjadi pada kedalaman 707,842 meter dengan nilai 1493,27 m/s. Informasi nilai SVP akan sangat berguna dalam pelaksanaan survei batimetri dengan tujuan untuk mengetahui arah penjalaran gelombang akustik. Selain sebagai profil kecepatan suara di suatu perairan, nilai dari SVP juga dapat digunakan untuk mengestimasi kedalaman perairan. Jika
waktu pemancaran pulsa suaran dan waktu penerimaan pulsa suara oleh receiver diketahui maka kedalaman suatu perairan dapat diukur secara matematis melalui persamaan :
Kedalaman = x Sound speed x Echo time ... (7)
Keterangan :
Sound Speed :Kecepatan rambat suara di suatu perairan
Echo time : Selisih waktu antara pulsa suara yang dipancarkan dan pulsa
suara yang diterima.
4.2.2 Pasang Surut
Tipe pasang surut di lokasi penelitian termasuk kedalam jenis pasang surut tipe campuran. Jenis pasang surut ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang
telah dilakukan oleh L.Arifin et.al., (2003) yang menyebutkan bahwa tipe pasang
surut di daerah bengkulu termasuk ke dalam kategori pasang surut diurnal. Nilai pasang surut akan berpengaruh terhadap nilai kedalaman perairan sesungguhnya di lokasi penelitian.
Perolehan data pasang surut berasal dari Badan Informasi Geospasial
(BIG) yang bekerja sama dengan penyedia data pasang surut milik National
Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) melalui stasiun pengamatan
pasang surut Seblat. Perekaman data pasang surut ini menggunkan sistem satelit
altimetry. Prinsip dasar yang digunakan yaitu melalui pemancar pulsa radar yang
disebut transmiter, pulsa dipancarkan kemudian dipantulkan dan diterima oleh
sistem penerima pulsa radar yang sensitif (receiver) berakurasi tinggi. Pada
elektrmagnetik (radar) kepermukaan laut. Pulsa-pulsa tersebut dipantulkan balik oleh permukaan laut dan diterima kembali oleh satelit.
4.2.3 Topografi Dasar Laut
Pergerakan kapal selama di lokasi penelitian mengalami berbagai gerakan
akibat proses dinamika laut. Gerakan kapal akan mempengaruhi data multibeam
yang akan dihasilkan. Data mentah multibeam (raw data) tersebut kemudian
diproses untuk mendapatkan gambar topografi dasar laut secara 2 dimensi. Pemrosesan data CARIS HIPS and SIPS 6.1 terdiri dari beberapa tahap
pengkoreksian. Hal ini bertujuan untuk mengurangi besarnya kesalahan dalam
perolehan data sehingga data yang dihasilkan akurat. Koreksi swath dan navigasi
kapal perlu untuk dilakukan. Koreksi swath dilakukan bertujuan untuk
menghilangkan sinyal-sinyal yang dianggap memiliki nilai yang kurang baik dan melakukan interpolasi sinyal-sinyal tersebut.
Pada proses pengolahan data multibeam, setiap beam memberikan
pengaruh yang sangat besar sehingga dibutuhkan koreksi yang baik untuk
menghindari error yang berlebih. Pada Penelitian ini CARIS HIPS and SIPS 6.1
memberikan tampilan beam berwana merah dan hijau (default setting). Beam
merah merupakan sinyal yang berasal dari sisi kanan lambung kapal, sedangkan
beam yang berwarna hijau berasal dari sisi kiri. Warna kuning pada beam
menerangkan bahwa sinyal tersebut dikoreksi untuk mengurangi tingkat error dan
sinyal tersebut mengalami proses interpolasi. Gambar 36 dibawah ini merupakan
Gambar 36. Proses koreksi swath data multibeam pada CARIS HIPS and SIPS 6.1
Atitude dari sinyal akustik yang dipancarkan oleh transducer juga
dikoreksi untuk menghilangkan pengaruh yang buruk agar menghasilkan data
yang akurat. Proses koreksi terhadap altitude ini dilakukan melalui altitude editor
pada CARIS HIPS and SIPS 6.1. Sinyal-sinyal yang dianggap kurang baik selama kegiatan survei harus dikoreksi. Dalam proses pengolahan data
multibeam, terdapat sinyal yang dianggap outlier. Sinyal tersebut dikoreksi
dengan cara membuang kelebihan dari sinyal terebut (Gambar 37). Proses ini selain mempengaruhi nilai keakuraan dari data, juga akan mempengaruhi visualisasi data 2 dimensi yang akan dihasilkan. Data yang telah dikoreksi akan
menghasilkan gambar lebih smooth bila dibandingkan dengan data yang tidak
mengalami proses pengkoreksian. Data kedalaman dan standar ketelitian terlampir (Lampiran 4).
Gambar 37. Proses koreksi attitude data multibeam pada perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS 6.1
Selain koreksi yang telah dilakukan terhadap posisi kapal yang dalam hal
ini Degree Of Freedom (DoF), maka koreksi lain yang perlu dilakukan adalah
koreksi kecepatan kapal selama melakukan kegiatan survei di lokasi pengambilan data. Sasmita (2008) menyatakan bahwa kecepatan pada saat melakukan kegiatan survei diusahakan konstan. Koreksi kecepatan kapal dilakukan pada perangkat
lunak CARIS HIPS and SIPS 6.1 melalui menu Navigation Editor. Data yang
dianggap memiliki nilai di luar kisaran harus dihilangkan. Hal ini dilakukan agar kualitas data tetap tejaga dan menghasilkan data dengan akurasi yang tinggi. Proses koreksi terhadap kecepatan kapal ketika pengolahan data dapat dilihat pada gambar 37. Koreksi ini sangat penting dilakukan karena kecepatan kapal selama melakukan survei sering mengalami perubahan dan tidak konstan.
Gambar 38. Proses koreksi kecepatan kapal
4.2.4 Gunung Bawah Laut
Gunung bawah laut memiliki bentuk dan ukuran yang tidak sama satu dan yang lainnya. Secara umum, gunung bawah laut memiliki alas berbentuk bulat
atau elips serta memiliki puncak yang berada diatasnya. Kitchingman et al. (2007)
menjelaskan bahwa puncak gunung merupakan karakteristik dari sebuah gunung
bawah laut. Sudut kemiringan atau slope dari dari gunung bawah laut dapat
mencapai 60o (OSPAR Commission, 2010).
Penelitian mengenai gunung bawah laut (seamount) telah banyak
dilakukan oleh para peneliti. Penggunaan satelit masih dirasa kurang untuk
memberikan informasi yang lengkap mengenai gunung bawah laut. Satelit hanya mampu mengidentifikasi lokasi gunung bawah laut yang relatif berukuran besar saja. Penggunaan data batimetri memungkinkan diperolehnya informasi mengenai bentuk dan struktur dari gunung bawah laut. Penggunaan data satelit dan data
batimetri akan memberikan informasi yang saling melengkapi dan akurat mengenai gunung bawah laut.
Pemetaan terhadap gunung bawah laut tidak hanya memberikan
informasi mengenai pola penyebarannya. Keberadaan gunung bawah laut di suatu perairan memberikan informasi tidak hanya dari satu disiplin ilmu. Berbagai informasi seperti proses geologi, ekologi, identifikasi daerah potensial terjadinya letusan gunung berapi, hingga pengelolaan terhadap makhluk hidup.