• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

C. Tujuan Penelitian

2. Secara Praktis

C. Tujuan Penelitian

$%&uan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kecerdasan emosi 'ang dimiliki oleh anak(anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian)

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

*ecara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, di bidang psikologi anak khususnya terkait dengan kecerdasan emosi anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian.

2. Secara Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan secara luas bagi orangtua dalam menambah informasi mengenai dampak pengasuhan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian terhadap emosi anak, sehingga ibu sebagai orangtua tunggal, khususnya dapat mendampingi anak dengan lebih baik lagi.

, -,..

/. 01 -2 -0324/ 5

--65e7erd89 8:;mosi <6 3engerti8:;mosi

=>t> ?@ ABC D? E>B>F G >EC D>H>B > F >C IJt y>Ctu Kmovere , y>I L D ?E>EMC D?EL?E >N @ ?IO>PHQ R EMC N >M > C IC @?IyC E>MN>I D>HS > N ?T?IG ?EPI L>I D?EMC IG>N @?EPU>N>I H>F @PMF >N G>F >@ ?@ ABC. V?IPEPM WAF ?@ >I (2005),

?@ ABC @ ?EPOPN U>G> BP >M P U?E>B>>I G>I UCNCE>I >ILy N H>BJBP>M P N?>G> >I DC AF ALC B G>I UBCN AF A LC B B ?EM > B? E>I LN >C>I N ?T ?IG? EPIL>I PIMPN D? EMC IG>N Q XC>B >Iy> ?@ ABC @ ?EPU>N >I E?>N BC M ?EH>G >U E>ILB >I L>I G>EC F P>E G>I G>F>@ GC EC CIGC YCGPQZ?D>L>CTAIM AH ?@ ABCL?@DCE>@ ?IGA EAI LU? EPD>H >I B P>B >I> H>MC B ?B ?A E>IL, B ?HCILL> B ?T > E> [CBCAFA LCB M?EFC H>M M?EM>w>, G>I ?@ ABCB ?GC H@?IGAEAILB?B?AE>I LPIMPND ?EU? ECF>N P@?I>I LCBQ

Z?U?EMC y> I L M?F >H GCPE >CN >I GC >M >BJD>H>wB ?@P > ?@ ABC @?IPEPM WAF ?@ >I (2005) U>G> G>B>EI>y >G>F > H GAEAI L>I PIMPN D?EMC IG>N Q \ >GC D?ED> L>C @ >T>@?@ABC C MP @ ?IGAEAILC IGCYC GP PIMPN@?@ D?EC N >I E?BUAI >M>P D?EMCI LN >HF>N P M ?EH >G>U B MC @ PF PB y>I L >G>. ]>F >@ The Nicomachea Ethics U?@ D>H>B>I REC B MAM?F ?B B?T >E > [C F B>[>M M?IM >IL N ?D >OC N >IJ N >E >N M?E G>I HC GPU y>I L D ?I>E, M >IM >IL>II>y >G>F>H @?ILP>B>C N ?HCGPU>I ?@ABC NC M > G?IL>IN?T ? EG>B >IQ ^>[ B PJ >U>DC F >GC F >MC H G? IL>I D >CN >N >I @ ?@CFC NC N ?DC O >N B>I>>I_ I>[ B P @?@DC@DC IL U?@ CNCE>IJ IC F >C, G>I N ?F >ILB PI L>I

`a

bcdef gcthi j ghk tlh fct , khmn e dh fho dlkphk q edhb qlkrh dc ohg ol sgl kdht cgh ku dh k bh t c oe nl sckpgh tc ol srh dc. vl keseo jscn ow ol tl n u qh nh th bkyh xegh kth b ql kpl kh c l qw nc w kh tc oh n, qlth ckgh k qlkpl kh c gl nl th sh nhkh kohshl qw ncdhkyh shql k pl gnf sl n cghkkhy (zw tl qh ku{aa 5). vlkeseo vhyls (dh t hq zw tl qh k, 2005), w sh k p yl kdlsek p ql kph keophhy -phhygbhndh th qqlkh k ph kcd hkql kphoh nclqw n c ql sl gh, y h c oe| nh dh s dcsc, ol k ppl thq dh th q flsqh nhth bh ku dh k fh n sh bi } l k ph k ql t cbh o glh dhh k co e qh gh fl ko ckp x hpc nloch f c kdc~c de ql qc tcgc gl ylsdh nhk lqw n c hph s ql krh dc ghk bcdef tl xc b xl sqh gkh dhk o cdh g ql krh dcgh kbcdefyhk pd c rh th kcql krh dcnch -n ch. l kh dh dl k phkfl kdhf ho h btcthc kkhydc h oh nulhqw kdh k € l ksc yg (dhth q  scyh ko c, 2003 ) reph qlkpekpgh fgh k xhb‚h l qw n c q l qc tc gc oc ph gw qfw kl k yh k p nht ckp ol sgh c o nh oe nh qh th c ku h gkcy hn fl g m cn cw twpcn (nc nol q nhshmy ), h nfl g fl sc th ge (plsh g dh k l gnfsl n c wh rhb), dhk h n flg fl kph th qh k mlkw ql kw tw pc ni l k ph th qh k ml kw ql kw twpcn yhkp dcqh gnedgh kw tl bgl dehow gw bol snl xeohdh thbflkpht h qh kh k py dc flsw tl b dl kph kql tc xh ogh kfl sh n hh kh oh egwpkco cm.

}h sc xlsxhph c flk dh fh o ow gw b-ow gw b ol snl xeo, qh gh l qw nc dh fh o dcn c qfet ghknl xhph cfl sh nhh khkpy dch th qcw tl b qh ken ch yh k p qlt cxh o gh k h nfl gxcw twpc nufn c gw tw pcnum cn cw tw pcn uflsc th ge dhkfl k ph th q hkil thc kco e,

l qw n c h dh th b n eho e fl sh nhh k (hm l g) yh k p qlkdw sw kp ckdc ~cde ekoe g ql sl nfw k h oh e xl so ck pghb th ge ol sbh dh f no cq eten u xhc g hkpy xl shn h t dh sc dh th qqh efekdh sctehsdcsckyh.

ƒƒ

„… †engerti‡ˆ‰eŠerd‡‹‡ˆŒmosi

Ž  ‘’“ ”•–•—˜’ Ž’™ •š ›Ž pertama kali dilontar kan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dariHarvard Universitydan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosi yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Keterampilan EQ bukanlah lawan dari keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu,EQtidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan (Shapiro, 1997).

Menurut Goleman (2005), kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence) atau mengenali emosi diri; menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) atau mengelola emosi melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial (membina hubungan atau kerjasama dengan orang lain).

Menurut Patton (2002), kecerdasan emosi itu mencakup beberapa keterampilan yaitu menunda kepuasan dan mengendalikan impuls dalam diri, tetap optimis jika menghadapi ketidakpastian atau kemalangan, menyalurkan emosi secara efektif, mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri dalam usaha mencapai tujuan, menangani

œ

žŸ  Ÿ¡¢£¢ ¤ ¥¦§ ¨¢ ©§, menunjukkan rasa empati kepada orang lain serta membangun kesadaran diri dan pemahaman pribadi.

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan emosi secara efektif dengan cara mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, mampu mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain sehingga seseorang dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.

ª« ¬roses ­® ¯°erkem gn±¯²e³erd¯´¯°µosim

Menurut Shapiro (1997), tahap-tahap perkembangan kecerdasan emosi yang ditinjau melalui tahap-tahap perkembangan anak lebih bervariasi dibandingkan perkembangan anak secara fisik maupun kognitif. Perkembangan secara fisik dan kognitif dapat diperkirakan dalam banyak hal, sedangkan perkembangan secara emosi lebih kompleks. Pada umumnya orangtua hanya mengikuti dan mengantisipasi perkembangan anak secara fisik dan kognitif saja. Kecerdasan emosi anak berkembang seiring dengan tingkat keinginan anak untuk mencoba melakukan hal-hal baru. Dengan adanya kesempatan yang diberikan kepada anak, merangsang anak untuk memotivasi dirinya sendiri dalam mencapai apa yang diinginkannya (dalam Priyanti, 2003).

Shapiro (dalam Priyanti, 2003) juga mengatakan bahwa tahap-tahap dalam perkembangan anak secara fisik dan kognitif turut mendorong

¶·

¸¹º»¹¼½¾¿ À¾¿ »¹Á¹ºÂ¾Ã¾¿ ¹¼Äà Š¾ ¿¾ »Æ Ǿ¾ ÈÃÅ ¾ ½¾ÉÅt¾, anak memiliki optimisme dan kepercayaan diri yang tinggi dalam beraktivitas. Pada usia tersebut, anak belum dapat membedakan antara upaya dan kemampuan, sehingga anak akan tetap mencoba melakukan aktivitas hingga berhasil. Dengan bertambahnya usia anak antara 8 hingga 12 tahun, maka meningkat pula kematangan kognitif anak yang menjadikannya mampu menilai secara lebih realistis. Kemampuan nilai tersebut menimbulkan suatu kesadaran bahwa upaya dapat menjadi kompensasi untuk kemampuan.

Terdapat 2 aspek utama dalam perkembangan emosi anak pada usia pertengahan dan akhir anak-anak, yaitu melanjutkan pertumbuhan pengetahuan anak tentang emosinya dan kemajuan dalam mengelola keadaan emosi mereka. Bukatko (2008) mengatakan bahwa perkembangan emosi dipengaruhi oleh komunikasi dan interaksi sosial yang dimiliki oleh anak dengan orang dewasa dan dengan teman sebaya.

Banyak dari apa yang kita ketahui tentang perkembangan emosi pada anak usia pertengahan dan akhir anak-anak berkaitan dengan bagaimana anak berpikir dan bernalar tentang emosi. Anak yang berusia antara 8 dan 10 tahun misalnya, sudah memahami bahwa perilaku emosional ditentukan oleh aturan-aturan budaya (anak seharusnya terlihat bahagia ketika menerima hadiah meskipun tidak menyukai hadiah tersebut) dan perilaku yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu

ÊË

ÌÍÎÍ Ï Ð ÍÑÒÓ tÔ ÑÓÔ ÎyÒÕ Õ ÔÓ ÏÖ× ÒÎ ÓÔØÍÎ Ù tÖØÍ Ï Õ ÔÑÍ ÓÍ ÚÍ ÖÏ Û ÖÏÍ Ö ÎÙÖÎ Ø ÖÖzinkan oleh ibu menghadiri pesta ulang tahun teman) (Bukatko, 2008).

Harris (dalam Bukatko, 2008) menyatakan bahwa anak-anak usia pertengahan dan akhir anak-anak telah mengembangkan pemahaman yang luas dari norma-norma sosial dan harapan yang mengelilingi tampilan perasaan. Pengetahuan tentang emosi dapat memiliki konsekuensi yang signifikan bagi perkembangan sosial anak. misalnya, anak-anak usia 5 tahun yang mampu memberikan label ekspresi emosi pada wajah dengan tepat, lebih cenderung menampilkan perilaku sosial yang positif pada usia 9 tahun (Izard et al., 2001 dalam Bukatko, 2008).

Perkembangan emosional pada anak usia pertengahan dan akhir anak-anak erat berafiliasi dengan kemajuan dalam kognisi yang memungkinkan anak-anak tersebut untuk berpikir dalam istilah abstrak yang lebih kompleks. Pada saat anak-anak tersebut masuk sekolah, mereka mulai memahami bahwa perubahan dalam pikiran dapat menyebabkan perubahan dalam perasaan yang memiliki pikiran bahagia misalnya, dapat menghilangkan suasana hati yang sedih (Weiner & Handel, 1985 dalam Bukatko, 2008).

Berdasarkan berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa dalam proses perkembangan kecerdasan emosi pada anak usia pertengahan dan akhir anak-anak, anak-anak mulai menghargai aturan tampilan budaya yang menentukan kapan dan bagaimana emosi harus ditampilkan. Anak-anak tersebut juga memahami bahwa mereka dapat mengendalikan emosi

ÜÝ Þßàáâà ãäå äæâà ç ßæßå â è ßà Þäæä Þâà åâÞâàáéåâÞâà á Þêâ ßçëè ä yâà á ìßæìßÞâÞâ ãât Þäâ íâ çäèß îâ æâì ßæèâ çââà ï ðßà áßtâ ñêâà tßàòâà áßçëè ä yâà á Þäãßíâóâ æä ëí ßñ âàâå éâà âå ê è äâ ãßætßà áâñâà Þâà âåñ ä æ âà âåéâà âå äà ä Þäãßæëíßñ çßíâ íê ä äàò ßæâ å èä Þßàáâà ëæâàátêâï ô æâàátuâ yâàá ç ßç ìßæäåâà ìäç ìäàáâà â à áy çßà Þêå êàá Þâà ìßæäàòß æâå è ä Þßàáâà âàâå èßîâ æâ ãëèätäõ, memiliki anak yang memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengelola emosinya.

ö÷ øspek ùúeerdûü ûý þmosi

Goleman (2005) mengutip Salovey, menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu:

a. Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan inti dan dasar dari kecerdasan emosi yaitu suatu kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu bagi pemahaman diri dan kemampuan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi. Para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Kesadaran diri ini mencakup kewaspadaan terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati. Seseorang mampu mengenali emosinya sendiri apabila orang tersebut memiliki kepekaan yang tinggi

ÿ

t y y y

, tenggelam dalam permasalahan, dan

pasrah. Menurut Mayer (dalam Goleman, 2005), kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Agar mampu mengontrol emosi dan menjaga supaya tindakan-tindakan yang diambil tidak didasarkan pada emosi semata, orang harus memahami apa yang diharapkan dari dirinya dan mengerti bahwa setiap tindakan membawa konsekuensi, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2005). Ditambahkaan oleh Salovey dan Mayer bahwa kemampuan

! " ! " #$%& $&% %' %$ ( )%" ! " ! " , melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan (dalam Goleman, 2005).

c. Memotivasi Diri Sendiri

Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. Perkembangan kemampuan memotivasi diri ini juga dimotori oleh kemampuan memecahkan masalah. Bila diberi kesempatan dan dukungan, anak akan mampu melihat permasalahan dari berbagai sisi dan menyelesaikan masalahnya. Keberhasilan dalam memecahkan masalah ini akan mengembangkan kemampuan memotivasi dirinya.

Memotivasi Diri menurut Myers (dalam Goleman, 1995) adalah suatu kebutuhan atau keinginan yang dapat memberi kekuatan dan mengarahkan tingkah laku menjadi motivasi. Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat di telusuri melalui hal-hal sebagai berikut:

1) Optimisme

Optimis merupakan sikap menahan seseorang untuk tidak terjerumus dalam keadaan apatis, keputusasaan, dan depresi pada

*+ , --t ./01 -2 -.3 4/ 4/ 5/w--0 6-0 4/ ,7 23t-0 6-2-. 83 679: ;9< 3 .3, ./=79 -4-0, 34-9y-0 15 /= 6-,,/5-=-/ .> ,3: ?@ A -=-9-0 A -=-9-0 ,-0 1-t B/=. -0 C --t 6-2-. 4/83 679 -0 ,/ 8-=3 D8-= 3: A -=-9-0 ./=79 -4-0 4/y- 430-0 -6-0y- 4/. -u-0 70<7 4 ./05-9 -3 , -, -= -0 y-0 1 t/ 2-863t/t-9 4-0:;= -0 1 y-01./ .9 70y-38-=-9 -0t3 6-4 -4-0./0 E -635/ . -, 6-0 t36-4 -4-0 B/=, 34-99 -, =-8F,/ ,/>=-0 1 y-01 ./ .970y-38 -= -9-0./.3 23 43B/ B-0 ,<=/ ,-01y =/0 6-8: G@ Flow Flow ./=79 -4-0 9705-4 9/ . -0C - -t-0 /.> ,3 6/.3 ./05-9 -3 , -, -= -0 y-0 1 63t/t-9 4-0: H-2 -. flow, / .> ,3 t36-4 8-0y- 63t- .970 1 6-0 63, -27= 4-0 t/t-9 3 E71 - B/= ,3C-t ./0 67 4701, memberi tenaga dan keselarasan dengan tugas yang dihadapi. Ciri khas flow adalah perasaan kebahagiaan yang spontan.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain, dikenal juga dengan sebutan empati. Empati adalah merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, untuk mengetahui bukan hanya pikirannya saja melainkan perasaan orang tersebut. Menurut Goleman (2005), kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki

IJ

KLM NM OPNQ LM ONtR SLT R U MNM OP ML QNQ VK NO W RQyNS XW R QyNS W YW RNS yNQV t

LZW LMT PQRy yN Q V M L Q VRWyNZNK NQt NON WN[ N yN Q V \RT P] PUK NQ YZNQ VS NRQ WL UR QVVN ML Q[N\R S LT R U M NMOP ML QLZRM N WP\P] ONQ\NQ V YZNQ V SNRQ^ OLK N tLZ U N\NO OLZNWNN Q YZNQ V SNR Q \ NQ SLT R U M NMOP PQ] PK ML Q\L Q VNZKNQ YZ NQV SNRQ_ ` PQa R \NZR LMONtR N\NS NU KLM NMOPNQ MLM T Na N K LWNQQYQb LZTNS, yaitu nada bicara, gerak-gerik, dan ekspresi wajah.

Rosenthal (dalam Priyanti, 2003) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat nonverbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosi, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Nowicki (dalam Goleman, 2005), seorang ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustrasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain (dalam Wahyuningsih, 2004).

e. Membina Hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan

cd

efgfhijk lmj n j nojh p hlg j ql rstmf ujnv cddwxy zftf hj up lmj n qjmj u gf het u{ nlejkl uf h{pj ej n ef uj up{jn qjkj h qjmj u efgfhijk lmj n uf ug lnj i{g{ n|jny }hj n|~t hj n| yj n| i fgjt qjmj u eftf hj up lmj n uf ug lnji{g{ n|jnlnlj ej nk {ek fkqjmj ug lqj n|jpjp{nvej hfnjt hjn | t

f hk fg{o uj up{ gfhet u { nlejkl qf n|jn m j nj h p jqj t hj n| mj lny } hj n| ~ t hj n| lnl ptp{mf h qjm ju m l n|e{ n|jnnjy qj n uf n€jql tf uj n yj n | uf nfnj n|ejny ejhf njef uj up{j nnyjgfhet u{ nlejkl rqjmj ustm fuj nv cddwxy j uji tj uji v gjle ijtl, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana anak mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian anak berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.

5‚ ƒiri -ciri Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosi

Berdasarkan aspek kecerdasan emosi yang telah terpapar di atas, Goleman (2001) menyimpulkan ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi sebagai berikut:

a. Memikirkan tindakan dan perasaaan sebelum melakukan sesuatu; b. Mampu mengendalikan perasaan seperti marah, agresif, dan tidak sabar; c. Memikirkan akibat sebelum bertindak;

d. Berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidup; e. Sadar akan perasaan diri dan orang lain;

f. Berempati dengan orang lain;

„…

†‡ ˆ‰Š‹‰Œ ŽŒ ‘‰’“” •” y– Œ —’ ‘”t” ˜ ;

i. Mudah menjalin persahabatan dengan orang lain; j. Mahir dalam berkomunikasi;

k. Menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.

Sedangkan ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Bertindak mengikuti perasaan, tanpa memikirkan akibat; b. Pemarah, bertindak agresif;

c. Memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas; d. Kurang peka terhadap perasaaan diri;

e. Tidak dapat mengendalikan perasaan danmoodyang negatif; f. Terpengaruh oleh perasaan negatif;

g. Harga diri negatif;

h. Tidak mampu menjalin persahabatan dengan orang lain; i. Menyelesaikan konflik dengan kekerasan.

Berdasarkan ciri-ciri yang telah diuraikan di atas, anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi mampu menguasai gejolak emosinya, menjalin hubungan baik dengan orang lain, dan mampu mengelola tekanan-tekanan atau stres, serta memiliki kesehatan mental yang baik. Selain itu, anak dengan kecerdasan emosi tinggi juga mampu lebih cepat menguasai perasaan-perasaan negatif yang dialaminya, sehingga proses

™™

š›œžu Ÿ › ¡ ¢£¤œ ›š¥¦¡ y¤ œ § œ¥¨š¤©¢¤£¤t ¢¡ ©¤ŸŸ ¤œ £© ¤¢›œ§¤œ ª ›£¤t« ¬›œ¨ut ¬¥œŸ ¦ ­®¯¯°±, kecerdasan emosi yang tinggi pada anak dapat mengalami penurunan apabila orangtua dan lingkungan yang melingkupi anak tidak mampu memberikan dorongan atau bimbingan (dalam Priyanti, 2003).

Dokumen terkait