• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sediaan Farmasi di Apotek

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 26-34)

BAB 2 TINJAUAN UMUM APOTEK

2.10 Sediaan Farmasi di Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002, sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan, dan kosmetika. Obat merupakan satu di antara sediaan farmasi yang dapat ditemui di apotek. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Obat-obat yang beredar di Indonesia digolongkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, dan obat golongan narkotika. Penggolongan ini berdasarkan tingkat keamanan dan dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terhadap peredaran dan pemakaian obat-obat tersebut. Setiap golongan obat diberi tanda pada kemasan yang terlihat. (Departemen Kesehatan, 2006).

2.10.1 Obat OTC (Over the Counter)

Obat-obat yang boleh dibeli oleh pasien tanpa resep dokter disebut obat OTC (Over the Counter). Contoh dari obat OTC ini adalah obat bebas dan obat bebas terbatas.

2.10.1.1 Obat Bebas

Obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter adalah obat bebas. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contohnya adalah antasida dan vitamin (Kementerian Kesehatan RI, 2006).

Gambar 2.1 Penandaan golongan obat bebas

2.10.1.2 Obat Bebas Terbatas

Obat keras dalam jumlah tertentu tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter dan disertai dengan tanda peringatan disebut obat bebas terbatas. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam (Kementerian Kesehatan RI, 2006).

Wadah atau kemasan obat bebas terbatas perlu dicantumkan tanda peringatan dan penyerahannya harus dalam bungkus aslinya. Tanda peringatan tersebut berwarna hitam dengan ukuran panjang 5 cm dan lebar 2 cm (atau disesuaikan dengan kemasannya) dan diberi tulisan peringatan penggunaannya dengan huruf berwarna putih (Kementerian Kesehatan RI, 2006).

Gambar 2.2 Penandaan golongan obat bebas terbatas

Terdapat enam golongan peringatan untuk obat bebas terbatas, yaitu: a. P no.1: Awas! Obat Keras. Bacalah aturan memakainya. Contoh obat bermerk

golongan ini adalah Stopcold®, Inza®, dan obat flu lainnya.

b. P no.2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan. Contoh obat golongan ini adalah Listerine® dan Betadine Gargle®.

c. P no.3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar badan. Contoh obat golongan ini adalah Rivanol® dan Canesten®.

e. P no.5: Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan. Contoh obat golongan ini adalah supositoria untuk laksatif misalnya Dulcolax®

f. P no.6: Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan. Contoh obat golongan ini adalah supositoria untuk wasir misalnya Annusol®.

Gambar 2.3 Tanda peringatan pada kemasan obat bebas terbatas

2.10.2 Obat Ethical

Obat yang dapat diperoleh oleh pasien dengan adanya resep dari dokter disebut obat ethical. Contoh dari obat ethical ini adalah obat keras dan narkotika.

2.10.2.1 Obat Keras

Obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter disebut obat keras. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Obat-obat yang masuk ke dalam golongan ini antara lain obat jantung, antihipertensi, antihipotensi, antidiabetes, hormon, antibiotika, psikotropika, dan beberapa obat ulkus lambung dan semua obat injeksi.

Gambar 2.4 Penandaan golongan obat keras

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf

pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika yang digolongkan menjadi (Presiden RI, 1997):

a. Psikotropika golongan I

Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh dari obat psikotropika golongan I adalah ecstasy (MDMA), psilosin (jamur meksiko atau jamur tahi sapi), LSD (lisergik deitilamid), dan meskalin (kaktus amerika).

b. Psikotropika golongan II

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh obat golongan psikotropika golongan II adalah amfetamin, metakualon, dan metilfenidat. Sekarang obat psikotropika golongan I dan II dikategorikan dalam narkotika golongan I.

c. Psikotropika golongan III

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh obat psikotropika golongan III adalah amorbarbital, flunitrazepam, dan kastina.

d. Psikotropika golongan IV

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh obat psikotropika golongan IV adalah barbital, bromasepam, diazepam, estazolam, fenorbarbital, klobazam, dan klorazepam.

Dalam UU Nomor 5 Tahun 1997 pengaturan psikotropika bertujuan untuk: a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan

dan ilmu pengetahuan

b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika c. Memberantas peredaran gelap psikotropika

a. Pemesanan

Surat Pesanan (SP) psikotropika harus ditandatangani oleh APA dilengkapi dengan nama jelas, stempel apotek, dan nomor SIPA. Surat pesanan terdiri dari tiga rangkap dan dalam satu surat pesanan dapat digunakan untuk pemesanan lebih dari satu psikotropika SP ditujukan kepada Pedagang Besar Farmasi yang menyediakan psikotropika.

b. Penyimpanan

Penyimpanan psikotropika belum diatur dalam perundang-undangan atau peraturan lainnya. Untuk mencegah penyalahgunaan psikotropika sebaiknya obat golongan psikotropika disimpan dalam suatu rak atau lemari khusus dan disertai kartu stok psikotropika

c. Penyerahan

Obat golongan psikotropika hanya dapat diserahkan oleh apotek kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan kepada pasien. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan dilaksanakan berdasarkan resep dokter. Psikotropika hanya dapat diserahkan oleh apotek dengan adanya resep dokter. (UU No. 5 Tahun 1997 pasal 14).

d. Pelaporan

Apotek wajib menyusun dan mengirimkan laporan bulanan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota setempat setiap satu bulan sekali, paling lambat tanggal 10, dengan tembusan kepada Balai Besar POM atau Balai POM setempat. Mekanisme pelaporan psikotropika sama dengan pelaporan narkotika.

e. Pemusnahan

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 pasal 53, pemusnahan psikotropika dilakukan apabila berkaitan dengan tindak pidana, psikotropika yang diproduksi tidak memenuhi standar dan persyaratan bahan baku yang berlaku, kadaluwarsa, serta tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan. Setiap pemusnahan

psikotropika wajib dibuat berita acara. Tata cara pemusnahan psikotropika sama dengan pemusnahan narkotika.

2.10.2.2 Narkotika

Definisi narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika dibagi menjadi tiga golongan, yaitu (Presiden RI, 2009a):

Gambar 2.5 Logo golongan narkotika

a. Narkotika golongan I

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan ini adalah heroin, kokain, ganja, opium, meskalin, amfetamin, metamfetamin dan obat-obat psikotropika golongan I dan II.

b. Narkotika golongan II

Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan ini adalah morfin, petidin, metadon, difenoksilat, levomtorfan, dan fentanil.

c. Narkotika golongan III

Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan ini adalah kodein dan buprenorfina.

Pengaturan narkotika dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor narkotika. Peraturan ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk:

a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan Bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.

Pengelolaan narkotika di apotek adalah sebagai berikut : a. Pemesanan

Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan di Pedagang Besar Farmasi (PBF) Kimia Farma dengan menggunakan Surat Pesanan Narkotika yang ditandatangani oleh APA, dilengkapi nama jelas, nomor SIK, dan stempel apotek. Satu lembar surat pesanan hanya dapat digunakan untuk memesan satu macam narkotika. Surat pesanan tersebut terdiri dari empat rangkap yang masing-masing akan diserahkan ke BPOM, Suku Dinas Kesehatan, distributor, dan untuk arsip apotek.

b. Penerimaan dan Penyimpanan

Penerimaan narkotika dilakukan oleh APA atau AA yang mempunyai SIK dengan menandatangani faktur, mencantumkan nama jelas, nomor SIA, dan stempel apotek (Kemenkes RI, 1978). Apotek harus mempunyai tempat khusus yang dikunci dengan baik untuk menyimpan narkotika. Tempat penyimpanan narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat. 2) Harus mempunyai kunci yang kuat.

3) Dibagi dua, masing-masing dengan kunci yang berlainan; bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin, dan garam-garamnya serta persediaan narkotika; bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.

4) Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 x 80 x 100 cm, maka lemari tersebut harus dibaut pada tembok atau lantai.

5) Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan RI.

6) Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh penanggung jawab atau pegawai lain yang dikuasakan.

7) Lemari khusus harus ditempatkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum.

c. Pelayanan resep

Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, narkotika hanya dapat diserahkan kepada pasien untuk pengobatan penyakit berdasarkan resep dokter. Selain itu, berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (sekarang Badan POM) No. 336/E/SE/1997 disebutkan bahwa apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep asli. Salinan resep dari narkotika dengan tulisan

iter tidak boleh dilayani sama sekali. Dengan demikian dokter tidak boleh

menambahkan tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika. d. Pelaporan

Berdasarkan Permenkes RI No.1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas melakukan pengumpulan, pengolahan, serta penyajian data dan informasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Satu di antara kegiatan yang dilakukan adalh pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data penggunaan narkotika dan psikotropika dari unit pelayanan.

Dalam melaksanakan aktivitas pengelolaan data pelaporan tersebut, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah menggunakan sistem pelaporan dalam bentuk software, yaitu Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) yang dapat diakses secara online dengan alamat http//www.sipnap.binfar.depkes.go.id. SIPNAP terdisi dari software unit pelayanan (apotek, rumah sakit, dan puskesmas), software tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan pelaporan ke Provinsi dan Pusat dilakukan sistem pelaporan online. Apotek berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan bulanan yang ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK, SIA, nama jelas dan stempel apotek. Laporan tersebut terdiri dari laporan penggunaan bahan baku narkotika, laporan penggunaan sediaan jadi narkotika, dan laporan khusus pengunaan morfin, petidin dan derivatnya. Laporan penggunaan narkotika ini harus dilaporkan setiap kepada Dinas Kesehatan Kota atau Kabupaten setempat dengan tembusan Balai Besar POM atau Balai POM dan berkas untuk disimpan sebagai arsip.

e. Pemusnahan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 28/Menkes/Per/I/1978 pasal 9 mengenai pemusnahan narkotika, APA dapat memusnahkan narkotika yang rusak, kadaluwarsa, dan tidak memenuhi syarat untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Pemusnahan narkotika dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat: tempat dan waktu (jam, hari, bulan, dan tahun); nama pemegang izin khusus, APA atau dokter pemilik narkotika; nama, jenis, dan jumlah narkotika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; tanda tangan dan identitas lengkap penanggung jawab apotek dan saksi-saksi pemusnahan. Berita acara pemusnahan narkotika tersebut dikirimkan kepada Suku Dinas Pelayanan Kesehatan setempat dengan tembusan kepada Balai Besar POM setempat.

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 26-34)

Dokumen terkait