1. PENDAHULUAN
2.4 Sedimen
Sedimen adalah tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi secara umum. Sedangkan Nurjaya et al., (2006) mendefinisikan bahwa sedimen merupakan partikel anorganik yang tidak menyatu (terlepas satu sama lain) terakumulasi di dasar laut. Sedimen berasal dari berbagai sumber baik hasil dari pelapukan (weathering), erosi, proses vulkanik, aktivitas biologi dan kimiawi. Jadi, sedimen merupakan salah satu bagian dari ekosistem perairan yang sangat berperan dalam siklus biogeokimia dari suatu unsur elemen atau unsur kimia, karena dalam sedimen terjadi proses transformasi suatu senyawa atau unsur kimia (menentukan spesiasi kimia).
Partikel sedimen mempunyai ukuran yang bervariasi, mulai yang besar sampai yang halus. Berdasarkan skala Wentworth sedimen diklasifikasikan sebagai berikut (Tabel 5).
Tabel 5 Skala Wentworth
Nama Ukuran (mm)
Batuan ((boulder) > 256
Batuan bulat (cobble) 256 – 64
Batuan kerikil (pebble) 64 – 4
Butiran (granule) 4 – 2
Pasir paling kasar (very coarse sand) 2 – 1
Pasir kasar (coarse sand) 1 – 0.5
Pasir sedang (medium sand) 0.5 – 0.25
Pasir halus (fine sand) 0.25 – 0.12
Pasir sangat halus (very fine sand) 0.125 – 0.0625
Lempung (silt) 0.0625 – 0.0039
Liat (clay) < 0.0039
Pengendapan sedimen atau sedimentasi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya kecepatan arus, kondisi dasar perairan, turbulensi, densitas sedimen, bentuk sedimen dan diameter sedimen (Libes, 1992 dan Odum, 1971 in Idris 2000) sedimen dengan diameter 104 µm akan tererosi oleh arus dengan kecepatan 150 cm/det dan terbawa arus pada kecepatan antara 90-150 cm/det, selanjutnya akan mengendap pada kecepatan < 90 cm/det. Hal yang sama untuk sedimen halus dengan diameter 102 µm, sedimen ini tererosi pada kecepatan arus >30 cm/det dan terdeposisi pada kecepatan < 15 cm/det (Holme dan Mclyntyre 1971 in Amrul 2007). Selanjutnya Wood (1986) in Amrul (2007) menyatakan partikel yang halus akan mengendap pada kecepatan arus 5 cm/det tetapi dapat kembali keperairan dengan kecepatan arus 15 cm/det.
Tabel 6 Kecepatan endapan sedimen
Tipe Sedimen Diameter (µm) Kecepatan Endapan
(cm/detik)
Pasir halus 250 – 125 1.2037
Pasir sangat halus 125 – 62 0.3484
Silt 31.2 – 3.9 0.0870 – 0.0014
Clay 1.95 – 0.12 3.47 x 10-4 - 1.16 x 10-6 Sumber : King (1976) in Supriharyono (2000)
Tekstur sedimen sangat menentukan terhadap daya dukung limbah yang masuk. Semakin kasar tekstur sedimen maka kemampuan untuk menerima limpahan limbah semakin besar. Hal ini berkaitan dengan kondisi oksidatif
sedimen. Kondisi yang oksidatif menyebabkan hasil degradasi bahan-bahan organik tidak akan bersifat toksik, namun sebaliknya akan lebih bisa bermanfaat bagi organisme akuatik pada umumnya.
Berbeda halnya dengan tekstur sedimen halus dimana daya dukungnya terhadap masukan limbah relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh sudah adanya konsentrasi bahan organik yang harus didekomposisi sebelumnya. Masukan limbah apalagi dalam jumlah banyak dan konstan akan menyebabkan keadaan anoksik pada sedimen. Kondisi seperti ini menyebabkan hasil dekomposisi bahan- bahan organik kebanyakan bersifat toksik bagi organisme akuatik.
2.5Makrozoobentos
Zoobentos adalah hewan yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan (Odum, 1983). Makrozoobenthos merupakan organisme akuatik yang hidup di dasar perairan dengan pergerakan relatif lambat yang sangat dipengaruhi oleh substrat dasar serta kualitas perairan. Makrozoobenthos berperan penting dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan organik maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi organisme konsumen yang lebih tinggi. Selain itu bentos berfungsi juga menjaga stabilitas dan geofisika sedimen. Penurunan komposisi, kelimpahan dan keanekaragaman dari makrozoobenthos biasanya merupakan indikator adanya gangguan ekologi yang terjadi pada sungai tersebut (Setiawan, 2009).
Komunitas fauna bentik ini pada dasarnya terbagi menjadi 5, yaitu Mollusca, Crustacea, Polychaeta, Echinodermata, dan kelompok lain yang terdiri dari beberapa takson kecil seperti Sipunculidae (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Berdasarkan keberadaannya di perairan, makrobentos digolongkan menjadi kelompok epifauna, yaitu hewan bentos yang hidup melekat pada permukaan dasar perairan, sedangkan hewan bentos yang hidup didalam dasar perairan disebut infauna. Tidak semua hewan dasar hidup selamanya sebagai bentos pada stadia lanjut dalam siklus hidupnya. Hewan bentos yang mendiami daerah dasar misalnya, kelas polychaeta, echinodermata dan moluska mempunyai stadium larva yang sering kali ikut terambil pada saat melakukan pengambilan contoh plankton.
Bentos sebagaimana hewan lain memiliki tingkat kesesuaian tertentu dalam hidup di lingkungan. Semakin tinggi tingkat toleransi yang dimiliki bentos, maka semakin luas pula tingkat penyebarannya. Sebaliknya semakin rendah atau sempit tingkat toleransi kehidupan bentos terhadap lingkungan, maka semakin sempit pula tingkat penyebarannya. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan terhadap lingkungan, maka dapat dipastikan terjadi pula perubahan terhadap kelimpahan jenis, kepadatan, dan keanekaragaman.
Hal yang umum digunakan dalam mengetahui pencemaran lingkungan dengan menggunakan bentos adalah dengan cara menghitung indeks diversitas. Alasannya adalah apabila lingkungan berubah maka diversitas akan berubah pula. Adapun parameter yang digunakan adalah : kelimpahan spesies, keanekaragaman, keseragaman dan dominansi (Gray, 1981; Krassulya, 2001 in Rafni, 2004).
Menurut Putri (2006), terdapat 3 alasan mengapa bentos dapat dijadikan indikator lingkungan :
1. Memiliki tingkat kepekaan yang berbeda-beda terhadap jenis pencemaran 2. Memberikan reaksi yang cepat terhadap perubahan yang terjadi
3. Memiliki mobilitas yang rendah sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya serta mudah ditangkap dan diidentifikasi
Bentos memiliki perbedaan kepekaan terhadap pencemaran yang disebabkan oleh bahan organik. Perbedaan tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok (Bengen et al., 1995) :
1. Kelompok intoleran, yaitu bentos yang dapat melangsungkan kehidupannya dalam kisaran toleransi yang sempit sehingga sangat jarang ditemukan di perairan yang kaya akan bahan organik dan tidak dapat berkembangbiak dengan baik apabila habitatnya mengalami penurunan kualitas lingkungan. Contoh dari kelompok ini adalah Ephemera simulans, Chimmara obscura, Mesouvelia sp, Helicus eithophilus, dan Anopheles punctipenis.
2. Kelompok fakultatif. Kelompok ini memiliki tingkat toleransi yang lebih lebar dibandingkan dengan kelompok intoleran sehingga kelompok ini dapat hidup dan berkembang dalam lingkungan yang tercemar berat. Contoh spesies yang ada di kelompok ini adalah : Stenonema heterotarsela, Argion maculatum,
Taenioptery maura, Agobus stagninus, Conydalis comubus, Hydropsyche bronta, Chironomus decorus, dan Helodrilus chlorotica.
3. Kelompok toleransi yaitu kelompok bentos yang dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi lingkungan luas dan dapat dijumpai di lokasi tercemar. Contoh : Chironomus riparium, Limnodrilus sp, dan Tubifex sp.
Berdasarkan keberadaan kelompok bentos intoleran, fakultatif dan toleran, tingkat pencemaran suatu lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok (Tabel 7).
Tabel 7 Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan keberadaan kelompok bentos
Kondisi perairan Struktur Komunitas
Tidak tercemar Komunitas makrozoobentos yang seimbang dengan beberapa spesies intoleran yang hidup diselingi kelompok fakultatif, tidak terdapat spesies yang mendominasi
Tercemar sedang Terdapat sejumlah spesies intoleran yang hilang dan beberapa kelompok fakultatif. Terdapat satu atau beberapa spesies toleran yang mulai mendominasi Tercemar Komunitas mokrozoobentos dengan jumlah terbatas
diikuti oleh hilangnya kelompok intoleran dan fakultatif. Ditemukan kelompok toleran yang mulai melimpah manandakan perairan tercemar bahan organik Tercemar berat Hilangnya seluruh makrozoobentos dan diganti oleh
cacing oligochaeta dan organisme yang mampu bernafas di udara
2.6Pulau-Pulau Kecil
2.6.1 Pengertian Pulau-Pulau Kecil
Pulau-pulau kecil (PPK) merupakan 7% dari wilayah dunia. PPK mempunyai berbagai macam pengertian, diantaranya menurut SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002 yang mendefinisikan bahwa pulau kecil merupakan pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 dan mempunyai penduduk kurang dari 200.000 orang. Menurut definisi yang dikeluarkan oleh PBB dalam UNCLOS (United Nation Convention of the Law on The Sea), definisi pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan saat air pasang. Sedangkan menurut Monk et al. (2000) in Siregar
(2008) mendefinisikan pulau sebagai suatu masa daratan yang seluruhnya dikelilingi oleh air laut. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil mendefinisikan pulau kecil sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.
Adapun definisi pulau kecil berdasarkan pembentukannya, pulau kecil terbagi menjadi dua tipe yaitu pulau oseanik dan pulau kontinental. Lebih lanjut lagi, pulau oseanik dapat digolongkan atas dua kategori yaitu pulau vulkanis dan pulau karang (pulau datar). Adapun perbandingan ciri-ciri pulau oseanik (pulau kecil), pulau kontinental dan benua disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Perbandingan umum ciri-ciri umum pulau oseanik (pulau kecil), pulau kontinental dan benua
PULAU OSEANIK PULAU KONTINENTAL BENUA
Karakteristik Geografis
Jauh dari benua
Dikelilingi oleh laut luas
Area daratan kecil
Suhu udara stabil
Iklim sering berbeda dengan
pulau continental terdekat
Dekat dengan benua
Dikelilingi sebagian
oleh laut yang sempit
Area daratan besar
Suhu agak bervariasi
Iklim mirip benua
terdekat
Area daratan sangat besar
Suhu udara bervariasi
Iklim musiman
Karakteristik Geologi
Umumnya karang atau
vulkanik
Sedikit mineral penting
Tanahnya porous/permeabel Sedimen atau metamorphosis Beberapa mineral penting Beragam tanahnya Sedimen atau metamorphosis
Beberapa mineral penting
Beragam tanahnya
Karakteristik Biologi
Keanekaragaman hayati
rendah
Pergantian spesies cukup
tinggi
Tingginya pemijahan massal
hewan laut bertulang belakang
Keanekaragaman
hayati sedang
Pergantian spesies agak
rendah
Seringnya pemijahan
misal hewan laut bertulang belakang
Keanekaragaman hayati
tinggi
Pergantian spesies
biasanya rendah
Sedikit pemijahan missal
hewan laut bertulang belakang
Karakteristik Ekonomi
Sedikit sumberdaya daratan
Sumberdaya laut lebih
penting
Jauh dari pasar
Sumberdaya daratan
agak luas
Sumberdaya laut lebih
penting
Lebih dekat pasar
Sumberdaya daratan luas
Sumberdaya laut sering
tidak penting
Pasar relatif mudah
3.
METODE PENELITIAN
3.1Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret dan April 2011 yang terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, eksplorasi dan pengambilan data lapang yang dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April di Pulau Sepanjang, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep Madura. Pertimbangan pengambilan lokasi di Pulau Sepanjang dikarenakan pulau tersebut memiliki luas 72,11 km2 dengan luas mangrove + 3000 Ha. Menurut Suharjono dan Rugayah (2007) kawasan mangrove tersebut memiliki keanekaragaman spesies mangrove yang tinggi (36 spesies mangrove) dimana 23 spesies diantaranya merupakan spesies langka menurut IUCN (Lampiran 1). Selain itu pulau ini hanya memiliki sumber pencemaran dari limbah penduduk dan tidak adanya industri sehingga sangat sesuai untuk dilakukan penelitian ini. Adapun peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5, dan kerangka penelitian pada Gambar 6. Tahap kedua penelitian ini adalah analisis laboratorium, dimana analisis fisika kimia air dan sedimen dilakukan di Laboratorium Teknik Lingkungan ITS; analisis makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Ekologi FMIPA ITS; dan analisis fraksi sedimen dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB pada bulan April 2011.
Ekostruktur
Karakteristik Lingkungan Pulau Sepanjang
Ekosistem Mangrove
Analisis Kualitas Air Analisis N, P Analisis Detergen
Kep Men LH No 51 Tahun 2004
Sumber Pencemaran - Alami - Antropogenik
Kapasitas Asimilasi Ekosistem Mangrove Pulau Sepanjang
INP
H’, E, D
Luasan Analisis Citra, Studi Literatur SIG KBP < KBM Tidak Tercemar KBP > KBM Tercemar Efektifitas Ekosistem Mangrove sebagai Pengendali Pencemaran Beban Pencemar Identifikasi Jenis Analisis Makrozoobentos Keterangan :
KBP = Konsentrasi beban pencemar KBM = Konsentrasi baku mutu
3.2Pengumpulan Data 3.2.1 Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini difokuskan pada beban pencemaran dan kapasitas asimilasi ekosistem mangrove. Data tersebut berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara survei, pengamatan dan pengukuran secara langsung terhadap kondisi lapang. Data primer yang dikumpulkan berupa parameter oseanografi, parameter fisika–kimia perairan, substrat, dan parameter biologi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur dan informasi dari instansi terkait. Parameter tersebut disajikan pada Tabel 9.
3.2.2 Metode Pengambilan data 3.2.2.1Penentuan Titik Sampling
Pengambilan titik sample dilakukan di Pulau Sepanjang Kabupaten Sumenep Madura. Penentuan stasiun dilakukan secara purposive sampling yang didasarkan pada lokasi pembuangan limbah, keberadaan ekosistem mangrove serta fungsi lahan yang ada di lokasi penelitian. Pada setiap stasiun dibagi menjadi 3 plot lokasi pengambilan sample yaitu, sebelum ekosistem mangrove, pada ekosistem mangrove, dan wilayah perairan laut setelah ekosistem mangrove (Gambar 7). Sedangkan untuk pengamatan Penetapan lokasi sampling tersebut bertujuan untuk mendapatkan data yang representatif.
Tabel 9 Jenis, alat dan sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian
Tujuan Data Satuan Metode Alat Sumber Data
1. Mengidentifikasi ekostruktur mangrove di Pulau Sepanjang
1. Struktur komunitas mangrove - Transek kuadrat Perlengkapan Transek Kuadrat In Situ/ analisis citra
2. Identifikasi mangrove - Visual Buku panduan identifikasi Bengen (2004), Noor et al.,
(2006)
3. Pasang Surut m - DISHIDROS
4. Kecepatan Arus m/sec Current meter In situ
5. Citra Satelit7 ETM+ Path 106/ Row 064 (19 November 2010)
- Citra Landsat ETM 7 BTIC/ LAPAN
6. Peta Rupa Bumi Indonesia, Peta Wilayah Administrasi
- Peta Bakosurtanal, Bappeda
Kabupaten Sumenep
7. Posisi pengukuran Lintang dan bujur GPS In situ
2.Mengetahui hubungan mangrove dengan karakteristik fisika kimia lingkungan; 3.Mengkuantifik asi beban limbah organik dan menganalisi kapasitas asimilasi ekosistem mangrove terhadap limbah organik
1. BOD5 mg/L Winkler Botol DO Laboratorium
2. Nitrit (NO2) mg/L Salzman Botol Polyethylene, SpektrofoTOMeter Laboratorium
3. Nitrat (NO3) mg/L Brucine Acetat Laboratorium
4. Amonia (NH3) mg/L Nessler Laboratorium
5. Fosfat (PO4) mg/L Khlorida Timah Botol Polyethylene, SpektrofoTOMeter Laboratorium
6. TOM mg/L Oksidasi Redukasi Botol Polyethylene, Oven Laboratorium
7. Deterjen mg/L MBAS Botol Polyethylene, SpektrofoTOMeter Laboratorium
8. Tekstur/ fraksi sedimen % Pipet Ekman grab, Sediment core Alat pemipet Laboratorium
9. Karbon organik (C organik) % Gravimetri Laboratorium
10. Nitrogen (N) organik sedimen % Kjeldahl Laboratorium
11. Kedalaman m Tongkat skala In situ
12. Penampang sungai m2 Skala metrik In situ
13. Debit sungai (aliran air) m3/sec Pengukuran dan penghitungan In situ
14. Suhu 0C Thermometer In Situ
15. TSS mg/L Gravimetri Van Dorn Water Sampler, timbangan,
kertas saring, Vacuum pump
Laboratorium
16. Kecerahan m Secchi disc In situ
17. Kekeruhan NTU Turbidimetrik Turbidimeter Laboratorium
18. pH - pH meter In situ
19. Salinitas PSU Hand Refraktometer In situ
20. DO mg/L DO Meter In situ
Gambar 7 Ilustrasi penentuan transek di stasiun penelitian
3.2.2.2Penentuan Titik Sample dan Pengambilan Sample Air
Penentuan titik sample air dilakukan sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 7. Penentuan tersebut ditetapkan untuk mengetahui kualitas air di 3 titik tersebut yaitu titik pusat penduduk, pada ekosistem mangrove, dan pada titik tepat air akan keluar ke laut (Tabel 10). Pengambilan sample dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada saat pasang tertinggi dan surut terendah.
Pengambilan sample air dilakukan secara langsung pada 3 lapisan kedalaman (permukaan, tengah, dan dasar) kemudian dikompositkan. Untuk analisis N organik dan P, sample air diambil 500 ml dan disimpan pada kondisi suhu 40C (Hadi, 2005). Demikian halnya untuk sample BOD5, Deterjen, TSS, TOM dan Kekeruhan, air diambil 500 ml dan dimasukkan kedalam botol secara perlahan demi menghindari terjadinya gelembung udara, kemudian seluruh sample dimasukkan kedalam cool box dan didinginkan pada kondisi suhu 40C untuk dibawa ke laboratorium. Adapun pengukuran nilai DO, pH, salinitas, kecerahan, kedalaman perairan, dan debit sungai dilakukan dengan cara insitu pada saat pasang tertinggi dan surut terendah dengan menggunakan alat portable.
3.2.2.3Penentuan Titik Sample dan Pengambilan Sample Sedimen
Sebagaimana penentuan titik sample air, penentuan titik sample sedimen juga diilustrasikan pada Gambar 7. Penentuan titik sample sedimen juga dilakukan pada tiga titik pengamatan, yaitu titik pusat penduduk, pada pertengahan ekosistem mangrove, dan pada titik tepat air akan keluar ke laut yang dilakukan pada saat pasang tertinggi dan surut terendah (Tabel 10).
Pengambilan sample sedimen dilakukan dengan menggunakan sedimen core dengan masing-masing plot pengamatan diambil 3 layer yaitu pada kedalaman 10 cm, 30 cm, dan 60 cm. Pada masing-masing layer diambil sample sebanyak + 500 gram. Pengambilan sample pada layer 10 cm dilakukan untuk mengetahui nilai N organik, P, TOM, deterjen, fraksi sedimen, dan C organik. Sedangkan untuk layer 30 cm dan 60 cm digunakan untuk mengetahui fraksi sedimen. Untuk lebih jelasnya diilustrasikan pada Gambar 8. Adapun pengawetan untuk N organik dan P dilakukan dengan melakukan penyimpanan pada kondisi suhu 40C (Hadi, 2005). Demikian halnya dengan parameter TOM, deterjen, fraksi sedimen, C organik dan N organik dilakukan dengan cara didinginkan pada kondisi suhu 40C. Sample yang diambil dimasukkan ke kantong plastik dan dianalisis di laboratorium.
Gambar 8 Ilustrasi pengambilan sample sedimen 10 cm
30 cm
60 cm
NO2, NO3, NH3, PO4, TOM, Detergen Tekstur/ fraksi sedimen
C organik dan N organik sedimen
Tekstur/ fraksi sedimen
Tekstur/ fraksi sedimen Layer Parameter yang diamati
Tabel 10 Karakteristik stasiun dan pemberian kodestasiun penelitian
No Lokasi Kode
Lokasi Stasiun
Kode
Karakteristik Stasiun Kualitas Air Kualitas Sedimen
1 Tanjung Tembing TTB
1 A1 S1 Stasiun ini berada pada point source pencemaran antropogenik di wilayah
dermaga Sepanjang (Dusun Tanjung Tembing)
2 A2 S2 Berada pada ekosistem mangrove dan berada di lingkungan pemukiman
penduduk namun tidak ditemukan aliran air dari point source
3 A3 S3 Berada pada lingkungan perairan pantai di luar ekosistem mangrove
2 Panamparan PNP
1 A4 S4 Stasiun ini berada pada point source pencemaran antropogenik di Dusun
Panamparan
2 A5 S5 Berada pada ekosistem mangrove dan berada di lingkungan pemukiman
penduduk namun tidak ditemukan aliran air dari point source
3 A6 S6 Berada pada lingkungan perairan pantai di luar ekosistem mangrove
3 Pajan Barat PJB
1 A7 S7 Stasiun ini berada pada point source pencemaran antropogenik di Dusun
Pajan barat
2 A8 S8 Titik ini berada di ekosistem mangrove dengan kerapatan yang tinggi
3 A9 S9 Titik ini berada pada sisi luar dan berada pada perairan dimana berada pada
batas terluar ekosistem mangrove
4 Tanjung Kiaok TJK
1 A10 S10 Merupakan titik yang berada pada point source pencemaran antropogenik
di Desa Tanjung Kiaok
2 A11 S11 Titik ini tepat berada pada ekosistem mangrove berada dan ditemukan
saluran air menuju laut karena sangat berdekatan
3 A12 S12 Titik ini berada pada sisi luar dan berada pada perairan dimana berada pada
batas terluar ekosistem mangrove
5 Pajan Barat 2 PB2 1 A13 S13 Tepat berada di ekosistem mangrove dimana karakteristiknya hampir tidak
dipengaruhi oleh masukan pencemar dari daratan
6 Sepanjang SPJ 1 A14 S14
Berada pada lokasi dimana tidak ditemukan ekosistem mangrove dengan karakteristik substrat berpasir dan tidak ditemukan masukan bahan pencemar ke laut
Keterangan :
3.2.2.4Pengambilan Sample Makrozoobenthos
Pengambilan sample makrozoobenthos dilakukan pada stasiun yang sama dengan pengamatan sedimen sebagaimana Gambar 7 dan Tabel 10. Pengambilan contoh makrozoobenthos ini dilakukan dengan menggunakan transek (1 x 1) m2 yang dilakukan pada permukaan sedimen. Setelah penebaran transek kuadrat tersebut sedimen di saring untuk diambil biotanya. Sample biota yang didapatkan tersebut selanjutnya diawetkan dengan menggunakan formalin 10 % kemudian dilakukan identifikasi di laboratorium.
3.2.2.5Pengamatan Ekosistem Mangrove
Prosedur pengamatan untuk ekosistem mangrove pada penelitian ini menggunakan metode yang ditentukan oleh Bengen (2002).
a. Pada setiap stasiun pengamatan, ditetapkan transek-transek garis dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove yang terjadi) di daerah intertidal.
b. Pada setiap zona hutan mangrove yang berada disepanjang transek garis, diletakkan secara sistematik petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10 m sebanyak paling kurang 3 (tiga) petak contoh (plot).
c. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, dihitung jumlah individu setiap jenis, dan diukur lingkar batang setiap mangrove pada setinggi dada (sekitar 1.3 m).
d. Apabila belum diketahui nama jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan, maka dipotong bagian ranting lengkap dengan daunnya, dan bila mungkin bunga dan buahnya.
f. Pada setiap zona sepanjang transek garis, diukur parameter lingkungan yang ditentukan (suhu air, salinitas dan pH)
g. Pada setiap petak contoh (plot) amati dan dicatat tipe subtrat (lumpur, lempung, pasir, dan sebagainya).
Metode peletakan plot transek di masing-masing stasiun ditampilkan dalam Gambar 7.
3.2.2.6Teknik Pengukuran Debit Sungai
Debit air dinyatakan sebagai volume dimana air mengalir pada satuan waktu tertentu, namun pada umumnya dinyatakan dengan m3/detik. Pengukuran debit air sungai dilakukan dengan mengukur lebar sungai dan kecepatan arus. Untuk lebar sungai diukur dengan menggunakan rol meter dan tali sedangkan kedalaman sungai diukur dengan menggunakan tongkat skala. Adapun kecepatan arus diukur diukur dengan menggunakan drift pole.
Pengukuran debit air pada penelitian ini dilakukan pada 3 titik pada masing-masing stasiun penelitian. Adapun ilustrasi dari pengukuran tersebut disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Ilustrasi penampang trapesium untuk mengukur debit air
Dengan meningkatnya debit air, kadar bahan-bahan alam yang terlarut ke suatu badan air akibat erosi meningkat secara eksponensial (Effendi, 2003), namun konsentrasi bahan-bahan antropogenik yang memasuki badan air tersebut mengalami penurunan karena terjadi proses pengenceran.
Menurut (Jeffries dan Mills, 1996 in Effendi, 2003) perhitungan debit air dapat ditentukan dengan menggunakan formula berikut :
D = V x A
Keterangan : D : debit air (m3/detik) V : kecepatan arus (m/detik)
A : luas penampang saluran air (m2) Lebar Permukaan
Lebar Dasar Lebar Tengah
3.3Analisis Data
3.3.1 Kondisi Mangrove 3.3.1.1Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai Penting (INP) adalah nilai yang menandakan baik buruknya kondisi suatu ekosistem di suatu lokasi. Proses penghitungan INP adalah sebagai berikut (Bengen, 2002) :
Kerapatan (kepadatan) jenis (Di)
Kerapatan jenis (Di) merupakan jumlah tegakan jenis ke-i dalam suatu unit area. Penentuan kerapatan jenis melalui rumus :
Di= �
�
Keterangan : Di : kerapatan jenis ke-i ni : jumlah total individu ke-i
A : luas total area pengambilan contoh Kerapatan (kepadatan) relatif (RDi)
Kerapatan Relatif (RDi) merupakan perbandingan antara jumlah jenis tegakan ke-i dengan total tegakan seluruh jenis. Penentuan kerapatan relatif (RDi) menggunakan rumus :
RDi = ni
∑n X 100
Keterangan : RDi : kerapatan relatif
ni : jumlah total individu ke-i
∑n : total tegakan seluruh jenis Frekuensi Jenis (Fi)
Frekuensi jenis (Fi) yaitu peluang ditemukannya suatu jenis ke-i dalam semua petak contoh dibandingkan dengan jumlah total petak contoh yang dibuat. Untuk menghitung frekuensi jenis (Fi) digunakan rumus :
Fi = pi
∑F
Keterangan : Fi : frekuensi jenis ke-i
pi : jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis ke-i