• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.5. Sistematika Penulisan

2.2.3. Segitiga Bullying

Bullying terdiri dari 3 partisipan yakni the bully (pelaku), victim or target (korban) dan bystander (saksi peristiwa).

a. The Bully (Pelaku).

Pelaku bullying memiliki kecenderungan utuk menindas karena berbagai faktor yakni lingkungan dan karakter (genetis). Biasanya lebih banyak anak laki-laki menjadi penindas dibandingkan anak perempuan (Murphy,G & Banas, L. 2009). Beberapa dari para penindas (The bully) tidak selalu dapat diidentifikasi melalui penampilan mereka. Namun mereka dapat dibedakan dari perilakunya.

Mereka memiliki kalimat dan tindakan buruk hal ini bisa diakibatkan oleh peran-peran yang dilatih di rumah, petunjuk dari film-film yang mereka saksikan, permainan yang dilakukan, sekolah dan budaya yang mengelilingi mereka. Ketika mereka melakukan saat itu mereka terlibat dalam pertunjukan yang serius dengan konsekuensi-konsekuensi serius untuk diri mereka sendiri, anak-anak yang mereka jahati dan komunitas secara keseluruhan (Coloroso, 2007).

Kendati cara dan gaya (bullying) mungkin berbeda ditunjukkan oleh the bully (penindas), namun mereka memiliki sifat yang sama yakni; suka mendominasi orang lain, memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain, cenderung melukai anak-anak lain ketika tidak ada orang dewasa di sekitar mereka, menggunakan kesalahan atau kritikan atau tuduhan-tuduhan yang keliru untuk memproyeksikan kesalahan mereka pada targetnya, tidak mau bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka dan menuntut ingin diperhatikan (Coloroso, 2007). Ada 3

alasan individu melakukan perilaku bully (Olweus, 1999; Coloroso, 2007) diantaranya adalah:

1. Adanya kebutuhan untuk mendominasi dan mengontrol orang lain. 2. Adanya kepuasan dengan menyakiti orang lain dan perilaku kekerasan

yang dibangun dengan lingkungannya.

3. Adanya “keuntungan” yang didapat dari perilakunya, misalnya “meminta”

korbannya untuk menyediakan barang-barang yang pelaku inginkan. Selain pelaku bully dan korban bully, ada juga yang menjadi pelaku sekaligus korban bully. Harris dan Petrie (2003) berkata pelaku bully yang sekaligus menjadi korban bully adalah remaja yang pernah menerima perilaku bully dan setelahnya mencari cara untuk mem-bully orang lain. b. Korban (Victim)

Anak yang menjadi korban muncul dalam berbagai kriteria. Satu kesamaan yang dimiliki oleh anak-anak yang ditindas (bullying) yakni mereka menjadi sasaran dari seorang penindas atau sekelompok. Dimana mereka menjadi objek hinaan dan penerima agreasi verbal, fisik atau relasional hanya karena berbeda dalam hal-hal tertentu.

Adapun ciri-ciri korban yang dapat diamati seperti: Anak baru di lingkungan sekolah

Anak yang pernah mengalami trauma

Anak penurut (anak yang tidak percaya diri dan cemas) Anak miskin atau kaya

Anak dari etnis atau ras yang dipandang minoritas begitu juga dengan keyakinan/agama yang minoritas

Anak cerdas atau berbakat Anak gemuk atau kurus

Anak yang memiliki kekurangan secara fisik atau mental

Anak yang memiliki masalah kesehatan kulit khususnya serta anak yang berada pada saat yang salah (Coloroso, 2007).

Anak yang menjadi sasaran bullying kerap didasarkan pada perilaku dan kondisi anak setelah berkali-kali mengalami bullying. Segera setelah ia menjadi sasaran the bully, maka cara anak itu menanggapi akan mempengaruhi apakah ia akan beralih dari target menjadi korban atau tidak. Jika seorang anak menyerah pada serangan atau dan memberikan hal yang dituntut the bully dengan memperlihatkan rasa takut, tertekan atau apatis (gagal menanggapinya secara asertif atau agresif) maka ia akan berubah baik secara fisik atau mental. Perasaan bersalah, malu dan gagal yang dirasakan korban atau target karena tidak dapat menghadapi ini akan membuat perasaannya hancur. Ketika ia menjadi semakin terisolir dari teman sebayanya, mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi pada pekerjaan sekolah.

Cara penonton menanggapi korban serta penindas (the bully) juga memiliki pengaruh yang sangat besar bagi korban atau penindas (the bully) yang membuat penindas semakin berani dan anak tertindas semakin lemah. Adapun ciri-ciri anak yang mengalami tindakan bullying adalah:

Adanya penurunan minat yang tiba-tiba di sekolah atau tidak mau pergi ke sekolah

Prestasi anak di kelas menurun

Anak tidak mau terlibat dalam kegiatan keluarga dan sekolah. Mereka ingin dibiarkan sendiri

Sepulang sekolah anak merasa lapar serta mengaku kehilangan uang jajan atau tidak lapar di sekolah

Sesampai di rumah, anak tergesa-gesa pergi ke kamar mandi Anak merasa sedih, pendiam, tetapi gampang marah atau anak menjadi ketakutan setelah merima telepon atau e-mail.

Anak melakukan sesuatu yang bukan karakternya

Anak yang menderita cedera fisik yang tidak konsisten dengan penjelasannya

Anak mengalami sakit perut, pusing, panik, keadaan sulit tidur atau sangat sering tidur, kelelahan

Baju berantakan, robek, atau hilang. (Coloroso, 2007)

Banyak anak setelah merasa terhina, malu dan babak belur, mengenakan topeng normalitas setiap hari. Namun di balik senyum palsu dan tawa yang gugup terdapat sakit yang dalam. Jika anak atau siswa/siswi menjadi target seorang penindas jangan harap ia akan memberitahu guru atau orang tua dengan terus terang karena beberapa alasan salah satunya adalah; mereka takut akan aksi balas dendam kalau orang dewasa diberi tahu, mereka tidak berpikir bahwa ada orang yang dapat menolong mereka

dan mereka belajar bahwa mengadukan seorang teman sebaya adalah hal yang buruk, tidak keren, kekanak-kanakan (Coloroso, 2007).

c. Penonton atau saksi (Bystander)

Para penonton atau saksi adalah peran pendukung yang membantu atau mendorong the bully (penindas) selama tindakan balas dendam dan kesalahan. Mereka bisa berdiam diri dan memandangi saja, mendorong penindas secara aktif atau bergabung dan menjadi salah satu anggota penindas.Tidaklah lazim bagi anak laki-laki atau perempuan praremaja untuk menggunakan kritik-kritik kejam yang bersifat verbal, fisik, dan relasional kepada anak yang menjadi sasaran guna meninggikan status mereka di dalam kelompok sebaya. Kurangnya konsekuensi negatif terlihat, rasa bersalah dan banyaknya reward (hadiah) bagi penindas menambah penegakan tindakan bullying ini (Rigby, 2001).

Bystanders sendiri memberikan respon yang berbeda-beda ketika menyaksikan tindakan bully (Harris & Petrie, 2003). Ada yang mengabaikannya, merasa takut, merasa itu adalah se uatu yang lucu, atau ikut merasa sedih. Bagaimanapun juga, tindakan bully berpengaruh pada bystanders.

The bully tidak lagi bertindak seorang diri, para penonton telah menjadi segerombolan penindas yang bersama-sama memperlakukan targetnya dengan semakin jahat. Keadaan ini juga mengurangi perasaan bersalah para penindas. Hal ini mempersulit anak-anak untuk mengembangkan empati, belas kasih, dan pengambilan perspektif

(menempatkan diri pada posisi orang lain). Penonton yang pasif atau menyingkir memiliki konsekuensi tersendiri, dimana rasa percaya diri dan harga diri penonton terkikis ketika mereka mengalahkan perasaan takut karena telah terlibat dan mengabaikan fakta bahwa dengan tidak melakukan apa-apa berarti tanggung jawab moral mereka pada teman-teman sebaya yang menjadi target atau korban telah hilang (Coloroso, 2007).

Ketika orang dewasa dan teman-teman sekolah tidak mengambil tindakan, maka anak-anak akan belajar untuk menerima perilaku bullying itu sebagai tindakan yang biasa. Ketika seseorang melihat peristiwa bullying dan kamu tidak melakukan apapun terhadap hal tersebut, maka kamu atau individu tersebut mengirimkan pesan kepada pelaku bahwa perbuatannya itu diterima dan tidak menjadi suatu masalah bagi kamu. Hal itu juga menjadi sebuah indikasi yang memberi pesan bahwa si target atau korban patut menerimanya ( Julie & Matthews, 2011).

Dokumen terkait