• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM KABUPATEN SIMALUNGUN DAN ORGANISASI KEPEMUDAAN MPC PEMUDA PANCASILA

II.1. Sejarah Asal Usul Kabupaten Simalungun

Suku Simalungun adalah salah satu suku asli dari dalam bahasa Simalungun memiliki kata dasar "lungun" yang memiliki makna "sunyi". Nama itu diberikan oleh orang luar karena penduduknya sangat jarang dan tempatnya sangat berjauhan antara yang satu dengan yang lain. Orang menyebutnya "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan di sebelah

Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luar

1. Gelombang pertama (Proto Simalungun), diperkirakan datang dari Nagor Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari

2. Gelombang kedua (Deutero Simalungun), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan Suku asli Simalungun.

Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar

dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara. Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran

Terbentuknya Simalungun

Pada kerajaan Nagur di atas, terdapat beberapa panglima (Raja Goraha) yaitu masing-masing bermarga yakni :

Saragih

Sinaga

Purba

Kemudian mereka dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan kerajaan-kerajaan:

Silou (Purba Tambak)

Tanoh Djawa (Sinaga)

Raya (Saragih)

Selama serangan dari kerajaan-kerajaan lain seperti (India) dan dari ini, tersebutlah cerita "Hattu ni Sapar" yang melukiskan kengerian keadaan saat itu di mana kekacauan diikuti oleh merajalelanya penyakit kolera hingga mereka menyeberangi "Laut Tawar" (sebutan untuk Danau Toba) untuk mengungsi ke pulau yang dinamakan Samosir yang merupakan kependekan dari Sahali Misir (bahasa

Saat pengungsi ini kembali ke tanah asalnya (huta hasusuran), mereka menemukan daerah Nagur yang sepi, sehingga dinamakanlah daerah kekuasaan kerajaan Nagur itu sebagai Sima-sima ni Lungun, bahasa Simalungun untuk daerah yang sepi, dan lama kelamaan menjadi Simalungun.(M.D.Purba, 1997).

Kehidupan masyarakat Simalungun

Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. yang lainnya sudah jauh berbeda. Di Tapanuli sudah berdiri sekolah-sekolah, rumah sakit, dan sekolah-sekolah keterampilan lainnya sehingga sistem kehidupan Tapanuli lebih maju.

Kepercayaan Suku Simalungun

Sebelum masuknya Misionaris Agama penduduk Simalungun bagian timur pada umumnya sudah banyak menganut agama juga pernah mempengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti dengan peninggalan berbagai Simalungun yang menggambarkan makna menunggangi

Bila diselidiki lebih dalam suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari "Datu"

persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga (dilambangkan dengan warna Merah), dan Dewa di bawah (dilambangkan dengan warna Hitam). Tiga warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi berbagai ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya. Sistem pemerintahan di Simalungun dipimpin oleh seorang Raja, sebelum pemberitaan Injil masuk Tuan Rajalah yang sangat berpengaruh. Orang Simalungun menganggap bahwa anak Raja itulah Tuhan dan Raja itu sendiri adalah Allah yang kelihatan.

Marga-Marga

Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu:

Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara empat raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).

1. Raja Nagur bermarga Damanik yang artinya Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung,

berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah putranya:

Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)

Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)

Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Selain itu, datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.

2. Raja Banua Sobou bermarg

Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang. Keturunannya adalah:

 Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke

 Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang. Saragih Garingging kemudian pecah menjadi dua, yaitu: Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei. Dajawak, merantau ke Rakut besi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.

Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada 2 keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk. Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir.

3. Raja Banua Purba bermarga Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana. Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pad kemudian menetap di Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga atau Tanduk Banua (terletak di perbatasan Simalungun dengan tanah Karo). Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan.

Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pad pasukan dari

nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah.(Tideman, 1922).

Beberapa Sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari Tuan Djorlang Hatara.Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daera berbatasan dengan Myanmar yang memang memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.

Marga-marga perbauran

Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan tersebut yaitu:

Saragih: Sidauruk, Sidabalok, Siadari, Simarmata, Simanihuruk, Sidabutar, Munthe dan Sijabat

Purba: Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon

Damanik: Malau, Limbong, Sagala, Gurning dan Manikraja

Sinaga: Sipayung, Sihaloho, Sinurat dan Sitopu

Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun tetapi kadang merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga, Manurung, Butar-butar dan Sirait. Jaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas

garis keturunannya dari raja-raja disebut “jolma tuhe-tuhe” atau “silawar” (pendatang). Fenomena sosial ini diakibatkan adanya hukum marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di Simalungun. Demikian, sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba.

Setelah raja-raja dikuasai (Perjanjian Pendek) tahu hapus di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya semula.

Penambahan Marga Simalungun

Pada tahun pada kumpulan Raja-Raja Simalungun yang berkumpul di meminta agar Raja-Raja tersebut menetapkan marga-marga baru sebagai tambahan kepada marga resmi Simalungun dengan maksud agar semakin banyak marga Simalungun seperti pada suku lain. Walaupun ide tersebut diterima oleh Raja-Raja tersebut namun permohonan J. Wismar Saragih belum disetujui karena belum tepat waktunya.

Karena alasan tersebut di atas, sebagian orang berpandangan bahwa masih ada kemungkinan bertambahnya Marga-marga di Simalungun. Hal ini senada dengan apa yang pernah dituliskan mengenai asal-usul beberapa Marga. Semisal Marga Saragih

Ajinembah (sebuah daerah di Kabupaten Karo) dan bermigrasi ke Raya sehingga bertemu dengan Raja Nagur dan dijadikan marga Saragih Garingging. Begitupun marga Purba Tambak, disebutkan berasal dari penduduk daerah bermigrasi ke daerah Natal, kemudian ke Singkel, hingga tiba di daerah Tambak, Simalungun. Keturunannya kemudian menikah dengan keturunan Raja Nagur dan mereka dijadikan sebagai bagian dari Purba, yaitu Purba Tambak. Marga Damanik juga disebut sebagai pendatang yang menikah dengan keturunan Tuan Silampuyang yang bermarga Saragih dan kemudian diberi marga.

Kekerabatan Simalungun

Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal partuturan (perkerabatan) di Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal-usul anda)?"

Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih). Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja

Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.

Adapun kekerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:

1. Tutur Manorus / Langsung yaitu Kekerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.

2. Tutur Holmouan / Kelompok yaitu Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun

3. Tutur Natipak / Kehormatan yaitu Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.

Pakaian Adat

Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kai Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya. Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan ulosnya.

yang paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Seperti suku lain di rumpun Batak, Simalungun memiliki kebiasaan "mambere hiou" (memberikan ulos) yang salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos.

Ulos dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain-lain. Ulos dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya ulos penutup kepala wanita disebut suri-suri, ulos penutup badan bagian bawah bagi wanita disebut ragipane, atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Ulos dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut tolu sahundulan, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (abit).

Menurut Muhar Omtatok, Budayawan Simalungun, awalnya Gotong (Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari trend penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik.

Dokumen terkait