• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Konsep Dasar Dakwah

2. Sejarah Dakwah

Sebagian ulama (jumhur) cenderung berpendapat bahwa ayat pertama atau wahyu yang pertama yaitu surah Al-A’laq (iqra) yang diterima oleh Rasulullah melalui malaikat Jibril adalah merupakan permulaan dari sejarah dimulainya dakwah. Dengan demikian wahyu yang pertama diterima oleh Rasulullah, langsung beliau sampaikan kepada isterinya, yang kemudian diceritakan kembali oleh Waraqah bin Naufal, walaupun secara formal belum bisa dikatakan dengan dakwah. Akan tetapi, secara informal itu sudah dapat dikategorikan sebagai dakwah. Sebab Rasulullah sudah menyampaikan dan memberitahukannya kepada orang lain, walaupun masih dalam lingkungan yang terbatas.12

Dengan wahyu pertama itulah setelah beliau mengalami pertentangan jiwa dan kecemasan yang cukup lama, akhirnya Nabi Muhammad SAW sampai kepada puncak keyakinan misi kerasulannya. Pada periode ini Nabi melakukan dakwah dengan sembunyi-sembunyi dan melakukan kegiatan dakwah yang dimulai dari keluarga atau kerabat dan orang yang pertama masuk Islam adalah isteri beliau yakni Khadijah. Pada periode ini disebut dengan Periode Makkah yang ditandai dengan aktivitas dakwah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dikarenakan banyak tantangan dari orang kafir Quraisy.

Setelah sepuluh tahun Nabi mengalami banyak cobaan dan rintangan, akhirnya Nabi hijrah ke Kota Yatsrib (Madinah) dan melakukan dakwah di

12

18

Kota Madinah dengan sambutaan yang sangaat baik oleh penduduk Madinah pada saat itu, menurut Thomas W. Arnold dalam bukunya The Preaching of

Islam, di Kota Madinah terdapat sebagian orang Yahudi yang mengenal ide

tentang Messiah (juru selamat) yang akan turun, dan lebih cenderung menerima Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Berbeda dengan penduduk agama Makkah, dimana ide tentang agama wahyu dan Nabi baru adalah asing sama sekali, bahkan bertentangan dengan rasa martabat mereka yang menganggap dirinya lebih tinggi dari suku-suku agama lain, dan lebih makmur karena menjadi pewaris yang mendapat kehormatan dalam menjaga koleksi patung-patung berhala nasional disekeliling Ka’bah yang dimuliakan.

Kemudian juga karena faktor antara suku asli bangsa Arab yaitu; Khazraj dan suku Aus telah lama terjadi pertentangan antara mereka, sehingga mereka pun benar-benar merindukan agar terciptanya perdamaian dan ketentraman dan juga karena dari para pemuka masyarakat setempat bahwa dengan memeluk agama Islam dapat diharapkan teratasi segala penderitaan akibat tidak adanya jaminan hukum yang positif selama ini. Faktor ini membuktikan selama delapan tahun sesudah Nabi hijrah yang dengan kekuatan sepuluh ribu anggota pasukan dapat menaklukan Kota Makkah yang selama sepuluh tahun berdakwah, yang sebelumnya hanya memperoleh suatu yang awal dalam kehidupan nasionalisme Arab terhadap perkembangan Islam di seluruh dunia.

Dengan kondisi serta situasi yang seperti ini, Nabi dapat melakukan aktivitas dakwahnya dengan secara terang-terangan dan Nabi pun mulai

membangun dan merealisasikan ajaran Islam di kota Madinah dengan menggunakan metode atau strategi yang secara garis besar menurut A. Halimi13 dapat dibedakan menjadi empat sejarah peradaban dalam ajaran Islam, yaitu:

a. Sosio-Religius

Yang dimaksud sejarah dalam sosio-religius ini adalah pemantapan nilai-nilai religius (Madinah) sebagai masyarakat islam baru artinya, pola dan juga sikap hidup masyarakat yang dikondisikan untuk menerima dan mempraktekkan aspek religius kedalam kehidupan sosial melalui masjid sebagai sarana dan juga media dakwahnya. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa langkah pertama Nabi adalah menerapkan strategi dengan cara membangun masjid, langkah semakin mantap setelah jamiatan 1 (16 Robiul Awal H/ 20 September 662 M) Nabi menyampaikan khutbah jum’at pertamanya yang secara garis besar berisi:

1) Bertaubat dan beristighfar hanya kepada Allah SWT

2) Mencari petunjuk Allah dengan senantiasa selalu bertaqwa kepada-Nya

3) Memperbaiki hubungan yang vertikal kepada Allah serta menjalin hubungan yang baik dengan sesamanya

4) Memperbaiki dzikir dan selalu beramal shaleh.

13

A. Halimi, Strategi Dakwah: Islam Yang Terabaikan, Pada Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 5 No. 1 (Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, April 2002), h. 48-51.

20

Apabila pada khutbah jum’at yang pertama Nabi lebih menekankan aspek-aspek religius, maka khutbah jum’at yang terakhir (25 Dzulhijjah di Arafah), Nabi menekankan pada aspek keadilan sosial, yang oleh para ahli disebut dengan “pernyataan akan hak-hak asasi manusia”. Isinya antara lain:

1) Perlindungan terhadap hak-hak hidup

2) Kewajiban memenuhi semua amanah yang telah diterima 3) Penghapusan riba

4) Persaudaraan sesama muslim. b. Sosio-Politik

Bukti yang nyata dalam penerapan sejarah sosio-politik ini adalah dengan disepakatinya satu konstitusi yang mengatur tata kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara, antara masyarakat Islam dengan masyarakat non Islam dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Konstitusi yang dimulai pada tahun 622 M itulah oleh Arnold dinilai “sebagai suatu gerakan yang sangat jitu”, dimana perubahan besar telah terjadi dan juga dialami oleh para pengikutnya yaitu, dari kelompok powerless (tanpa adanya kekuasaan) yang menjadi satu komunitas yang memiliki kekuatan sosial-politik.

Dari berbagai strategi ini, ada beberapa prinsip dakwah dalam menata kehidupan sosial masyarakat dapat ditegakan. Antara lain: prinsip persaudaraan, persamaan, persatuan, kebebasan, membela yang teraniaya. Prinsip kebebasan beragama, pertahanan dan perdamaian.

c. Sosio-Ekonomi

Setelah umat Islam memiliki kekuatan sosial-politik di kota Madinah, maka yang menjadi masalah utama adalah miskinnya perekonomian yang tersedia. Hal ini semakin memprihatinkan setelah secara kualitas strata sosial umat Islam saat ini mayoritas sentra-sentra perekonomian dikuasai oleh orang-orang Yahudi seperti Bani Nadhir dan Bani Quraidzah yang menguasai wilayah pertanian kurma di selatan kota Madinah.

Untuk mengatasi strategi semacam ini, ada dua teknik yang dipergunakan oleh kecerdasan Nabi dalam membaca peta sosial ummat, dan langkah selanjutnya adalah legitimasi dari kehendak Allah SWT. Dari kedua teknik ini adalah:

1) Memacu dalam semangat etos kerja serta produktivitas umat Islam dengan berdagang dan bertani (kurma)

2) Memblokir jalur perdagangan yang menuju pasar-pasar diwilayah sebelah utara. Pemblokiran ini tidak berarti umat Islam menghalalkan segala cara dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Tentu hal ini dilakukan dengan sesungguhnya sebagai upaya umat Islam dapat memperoleh kembali akan harta kekayaannya yang telah dirampas oleh bangsa kafir Quraisy, yang pada saat itu umat Islam terusir dari kota Makkah

3) Sedangkan legitimasi yang telah dilakukan adalah dengan cara

mengeluarkan zakat dan shodaqoh yang sekaligus pengharaman praktek-praktek riba. Dalam ketetapan ini tentu sangant

22

menguntungkan dikarenakan telah tersediannya dana, proses dan aktivitas dakwah akan semakin lancar.

d. Sejarah Diplomasi dan Korespondensi

Diplomasi (dialog) dan korespondensi (da’wah bil khitabah)

sesungguhnya merupakan strategi yang terbilang cerdas, sebab dengan cara strategi ini banyak ditentukan kepiawaian dalam diplomasi pelaku dakwah. Baik diplomasi yang dilakukan secara verbal (dialog) maupun diplomasi yang dilakukan secara non verbal (korespondensi). Oleh karena itu, penguasaan logika dan juga bahasa sangat diperlukan dalam strategi ini demi untuk menghadapi mitra dialog yang berbeda agama.

Untuk itulah dengan cara berdialog dapat diharapkan untuk saling mengenal dan juga dapat menimba ilmu pengetahuan tentang agama mitra dialognya dan juga dapat mencari titik persamaan serta kesepakatan untuk dijadikan landasan hidup yang rukun dalam suatu masyarakat.

Keempat sejarah dakwah Nabi tersebut penerapannya selalu didasarkan kepada budi pekerti yang luhur. Karenanya, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa kunci utama kesuksesan dalam dakwah Nabi, disamping sasaran yang tepat dalam merumuskan strategi, teknik serta metodenya juga disebabkan oleh sikap dan kepribadian Nabi SAW. Demikian setelah Islam berkembang pada masa Madinah, dakwah Islam pun secara terus menerus berkembang dengan pesat hingga pada masa Khulafaur Rasyidin dengan sebuah prinsip toleransi yang dikembangkannya.14

14

Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam: Sejarah Dakwah Islam (Jakarta: Wijaya, 1981), Cet. Ke-2.

Dokumen terkait