• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Sejarah dan Pengertian Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM)

Adanya pengaruh antropogenik terhadap sistem iklim, serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu lingkungan global, menyebabkan isu perubahan iklim menjadi perhatian dalam agenda politik internasional pada tahun 1980-an. Adanya kebutuhan dari para pembuat kebijakan akan informasi ilmiah yang terkini, maka

Environment Programme (UNEP) mendirikan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah lembaga yang terdiri dari para ilmuwan seluruh dunia yang bertugas meneliti fenomena perubahan iklim serta solusi yang harus dilakukan.

Menurut Hart (2006) bahwa pada tahun 1990, IPCC menghasilkan laporan pertamanya, First Assesment Report, yang menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan sebuah ancaman serius bagi seluruh dunia dan untuk itu diperlukan adanya kesepakatan global untuk mengatasi ancaman tersebut. Untuk merespon seruan IPCC, pada Desember 1990, Majelis Umum PBB membentuk sebuah komite, Intergovernmental Negotiating Committee (INC), untuk memimpin pembuatan Kerangka kerja Konvensi Perubahan Iklim (Framework Convention on Climate Change/ FCCC).

Setelah INC melakukan beberapa kali pertemuan, sejak Februari 1991-Mei 1992, sehubungan dengan kerangka kerja konvensi tersebut, akhirnya pada tanggal 9 Mei 1992 INC mengadopsi sebuah konvensi yang dikenal dengan Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/ UNFCCC). Konvensi tersebut kemudian terbuka untuk ditandatangani pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Juni 1992 dan mulai berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994. Konvensi Perubahan Iklim ini mempunyai tujuan utama untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga pada level yang aman. Namun pada konvensi ini belum ada target-target yang mengikat, seperti target level konsentrasi gas rumah kaca yang aman, serta kerangka waktu untuk mencapai target tersebut.

Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca agar sistem iklim Bumi tidak terganggu dan terus memburuk. Murdiyarso (2003a) mengemukakan bahwa di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Kerangka PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim akhirnya diterima secara universal sebagai komitmen politik international tentang perubahan iklim. Tujuan utama Konvensi ini seperti tercantum dalam Pasal 2 adalah untuk: menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto yang merupakan persetujuan pelaksanaan Kerangka Konvensi Perubahan Iklim (KKPI) mempunyai berbagai dampak penting bagi Indonesia. Dalam Artikel 4.2a KKPI menyatakan bahwa pengurangan emisi oleh negara Annex I dapat dilakukan berpatungan (jointly) dengan pihak lain dan dapat membantu pihak lain untuk mencapai tujuan konvensi. Berdasarkan ketentuan ini dalam Protokol Kyoto terdapat tiga mekanisme untuk mitigasi perubahan iklim, yaitu:

1. Implementasi patungan (IP) atau joint implementation (JI) antara negara Annex I; 2. Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development Mechanism

3. Perdagangan Emisi Internasional (PEI) atau International Emissions Trading (IET) antara negara Annex I.

Ketiga mekanisme bersifat lentur (flexible) serta terbuka untuk badan pemerintah maupun swasta (Soemarwoto, 2004).

Mekanisme Pembangunan Bersih adalah sebuah mekanisme dimana negara-negara yang tergabung dalam Annex I memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi gas-gas rumah kaca sampai angka tertentu pada tahun 2012 seperti yang telah diatur dalam Protokol Kyoto, membantu negara-negara non-Annex I untuk melaksanakan proyek-proyek yang mampu menurunkan atau menyerap emisi setidaknya satu dari enam jenis gas rumah kaca. GRK yang dimaksud ialah seperti tertera dalam lampiran A Protokol Kyoto yaitu karbondioksida (CO2), metan (CH4), nitrogen oksida (N2O), hidroflorokarbon (HFCs), Perflorokarbon (PFCs) dan Sulfur heksaflorida (SF6) (lihat pada Tabel 1). Negara-negara non Annex I yang dimaksud adalah yang menandatangani Protokol Kyoto namun tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya. Satuan jumlah emisi GRK yang bisa diturunkan dikonversikan menjadi sebuah kredit yang dikenal dengan istilah Certified Emissions Reduction (CERs) – satuan reduksi emisi yang telah disertifikasi (IGES, 2006).

Menurut Soemarwoto (2004) bahwa sebelum dapat dijual kredit reduksi emisi (CERs) itu harus diverifikasi dulu kebenarannya. CERs adalah kredit reduksi emisi yang telah diverifikasi. Verifikasi bertujuan untuk menghindari penipuan dan dilakukan oleh badan yang diakreditasi oleh sebuah supervisory executive board.

Tabel 1. Enam jenis Gas Rumah Kaca berdasarkan Protokol Kyoto

Nilai potensi pemanasan global dari keenam gas rumah kaca ini persis sama (potensi pengukuran pemanasan global mengukur efek relatif dari radiasi yang ditimbulkan oleh GRK dibandingkan terhadap CO2). Misal: 1 ton CH4 samadengan 21 ton CO2.

GRK GWP 1. Karbondioksida (CO2) 1 2. Metan (CH4) 21 3. Nitrogenoksida (N2O) 310 4. Hidroflorokarbon (HFCs) 140 - 11.700 5. Perflorokarbon (PFCs) 6.500 - 9.200 6. Sulfur heksaflorida (SF6) 23.900 Sumber : IGES (2006)

Suatu proyek CDM dapat dikatakan menghasilkan kredit karbon apabila proyek tersebut harus menunjukkan adanya pengurangan emisi jika dibandingkan dengan kondisi awal (baseline scenario), dimana kondisi awal merupakan kondisi yang terjadi saat ini pada proses yang normal (Gambar 1). Aspek penting lainnya adalah proyek yang akan dijadikan proyek CDM harus sejalan dengan kebijakan lingkungan yang berlaku di negara yang bersangkutan dan juga dengan tujuan akhir pembangunan berkelanjutan yang telah ditetapkan oleh negara tersebut (UNFCCC,2001b).

Gambar 1. Diagram Mekanisme Kerja CDM (UNFCCC, 2001a)

Beberapa kriteria pembangunan berkelanjutan di sektor energi ditetapkan melalui KepMen ESDM No.953.K/50/MEM/2003 adalah sebagai berikut:

a. Menekankan penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi b. Memiliki kontribusi terhadap kelestarian lingkungan

c. Dapat memberikan peningkatan pendapatan d. Adanya transfer teknologi

e. Pembangunan masyarakat

Soemarwoto (2004) mengemukakan bahwa CDM tertera dalam Artikel 112 dan merupakan mekanisme yang khusus mengatur perdagangan dengan negara

sedang berkembang (negara non Annex I). Tujuan CDM adalah untuk membantu negara sedang berkembang untuk memberi kontribusi pada tercapainya stabilisasi kadar GRK dalam atmosfer berupa pemindahan teknologi dan dana dari negara maju ke negara sedang berkembang untuk melakukan pembangunan berkelanjutan.

Menurut Witoelar (2006) bahwa CDM merupakan satu peluang peningkatan upaya alih teknologi bersih, pemasukan dana segar dari luar negeri serta sebagai pembuktian akan komitmen Indonesia atas lingkungan global. CDM juga dapat membantu pencapaian pembangunan berkelanjutan negara berkembang, seperti Indonesia. Selain itu dapat mencegah, menekan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Selanjutnya Melisa (2007) menambahkan bahwa mekanisme ini menawarkan win-win solution antara negara maju dengan negara berkembang dalam rangka pengurangan emisi GHGs, dimana negara maju menanamkan modalnya di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurangan emisi GHGs dengan imbalan CERs. Adapun pengurangan emisi tersebut sebesar minimal 5 % dari tingkat emisi tahun 1990, selama tahun 2008 sampai tahun 2012.

Proyek CDM dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian utama: (1) Reduksi Emisi GRK dan (2) Sekuestrasi (sink, penyerapan karbon). Di bawah 2 kategori utama tersebut terdapat beberapa sub kategori yang digolongkan berdasarkan dari besar/kecilnya proyek tersebut (dapat dilihat pada Gambar 2)

Gambar 2. Klassifikasi Kegiatan Proyek CDM (IGES,2006)

Pada bulan Desember 2001 modaliti dan prosedur mekanisme fleksibel Protokol Kyoto termasuk CDM diputuskan yang terangkum dalam Marrakesh Accords. Badan Eksekutif CDM dibentuk untuk mengendalikan proses CDM. Untuk itu pengembang proyek harus melalui tahapan seperti digambarkan pada bagan 3.

Penetapan baseline merupakan bagian krusial dalam merancang kegiatan proyek CDM. Baseline sebagai dasar menentukan jumlah total pengurangan emisi GRK dan CERs. Skenario baseline menggambarkan tingkat emisi GRK sebelum adanya proyek CDM. Seperti ditunjukkan pada Gambar 4, berapapun jumlah pengurangan emisi atau GRK yang diserap dalam batas proyek selama periode penghitungan kredit akan dihitung sebagai pengurangan emisi yang merupakan hasil aktivitas manusia dalam hal ini proyek CDM (IGES, 2006).

Gambar 4. Skenario baseline (IGES, 2006)

Untuk menghitung pengurangan emisi dan baseline ditentukan dengan membuat batas proyek yang mencakup semua emisi dari sumber, yang berada di bawah pengelolaan pengembang proyek, yang signifikan dan berkaitan dengan kegiatan proyek CDM. Pengembang proyek perlu memperhitungkan ada/tidaknya kebocoran (leakage) pada proyek yang direncanakan, yaitu emisi GRK yang terjadi di luar batas proyek yang dapat diukur dan berkaitan dengan kegiatan proyek. Penghitungan total pengurangan emisi (net) harus memperhitungkan kebocoran (IGES, 2006).

CDM memiliki sifat unik yang membedakannya dengan proyek yang umum ditemui, karena proyek CDM dapat mengurangi emisi GRK. Tingkat reduksi emisi yang dihasilkan oleh sebuah proyek CDM diukur dengan menggunakan CO2eq,ton (CO2 ekiuvalen). Suatu proyek CDM akan dapat memperoleh pemasukan tambahan dari hasil penjualan CER. Proyek CDM dapat menguntungkan negara berkembang karena kontribusi CER-nya diperkirakan dapat memberikan sekitar 7 - 40 %, tergantung dari tipe proyek dan sektornya. Pembayaran CER dilakukan dengan menggunakan hard currency (US$ atau €), sehingga dapat meningkatkan

kepercayaan terhadap developer untuk proyek CDM ini. Potensi pasar CER dari proyek CDM sangat signifikan. Uni Eropa memperkirakan sekitar 430 juta ton CO2

harus diturunkan di seluruh dunia untuk memenuhi target reduksi seperti yang telah digariskan oleh Protokol Kyoto (UNEP FI, 2005).

Selanjutnya Soemarwoto (2004) mengemukakan bahwa dari sebuah laporan studi strategi nasional implementasi CDM di Kolombia yang meliputi 28 jenis proyek maka negara tersebut memperoleh nilai maksimum US$ 19/tCO2 dengan potensi reduksi emisi sebesar 42MtCO2 per tahun. Hal ini berarti betapa besarnya potensi CDM sebagai sumber dana pembangunan bagi negara berkembang.

Dokumen terkait