KELENTENG SAM PO KONG
4.1 Sejarah Didirikannya Kelenteng
Kelenteng Sam Po Kong adalah kelenteng kombinasi, dimana bukan hanya penganut agama Buddha, Konghuchu atau keturunan Tionghoa saja yang boleh datang, tetapi penganut agama lain yang non Tionghoa juga boleh mengadakan selamatan atau acara lain. Kelenteng Sam Po Kong terletak di daerah Gedong Batu yaitu di kaki Bukit Simongan, tepi sungai Garang, barat daya Kota Semarang. Pantai tersebut merupakan pantai yang ramai pada abad ke-14 M. Daerah ini dulu di kenal juga dengan nama Bukit Simongan, di atas bukit terdapat sebuah gua yang menurut cerita merupakan tempat persinggahan Laksamana Zheng He beserta pengawal-pengawalnya. Untuk menghormati Laksamana Zheng He, di Semarang dibangunlah kelenteng Gedong Batu (Sam Po Kong) yang pada awalnya adalah sebuah masjid.11 Di kelenteng ini banyak pengunjung yang datang untuk berziarah, baik dari kalangan keturunan Tionghoa maupun muslim Jawa. Di dekat kelenteng juga terdapat makam Wang Jinghong (Kiai Jurumudi) yang dikabarkan meninggal dalam usia 87 tahun dan dikuburkan secara Islam.
Kelenteng Sam Po Kong mulanya adalah kelenteng yang sangat sederhana, hanya sebuah gua yang di dalamnya terdapat patung Zheng He. Pada tahun 1704
11 M.C. Riclefs, Muslim Cina di Jawa Abad XV dan XIV (Antara Histiritas dan Mitos), Yogyakarta : PT. Tiara Wacana.1998.hal.3.
M gua tersebut runtuh akibat angin ribut dan hujan lebat. Peristiwa tersebut mengakibatkan sepasang pengantin tewas akibat tertimbun ketika memuja di situ.12 Tidak lama kemudian gua yang runtuh itu digali dan dipulihkan seperti semula. Pada tahun 1724 M diadakan upacara sembahyang besar-besaran oleh penduduk Tionghoa Semarang, sebagai ucapan terimakasih karena dalam waktu yang sangat lama kota Semarang tidak mendapat gangguan apapun dan perdagangan mereka juga semakin maju. Bersamaan dengan acara tersebut juga diadakan pengumpulan dana untuk memperbaiki Kelenteng Sam Po Kong. Kemudian di depan gua tersebut didirikan sebuah teras, agar bisa di jadikan tempat berteduh bagi orang-orang yang selesai bersembahyang bisa beristirahat untuk melewati waktu. 13
Pada pertengahan abad ke-19 M, kawasan Simongan dikuasai oleh Johannes, seorang tuan tanah keturunan Yahudi. Masyarakat yang ingin melakukan ibadat di Kelenteng Sam Po Kong dikenai cukai yang tinggi. Karena mereka tidak mampu membayar secara perorangan kemudian mengumpulkan dana sebesar 2000 gulden sebagai biaya buka pintu selama satu tahun. Meskipun biaya diturunkan menjadi 500 gulden, tetapi masih dirasa memberatkan masyarakat. Demi kelanjutan kegiatan penyembahan terhadap Sam Po Kong, maka dibuatlah patung duplikat Sam Po Kong yang diletakkan di kelenteng Tay Kak Sie yang dibangun tahun 1771 M di Gang Lombok. Sejak saat itu, setiap tanggal 29 atau 30 bulan 6 pada kalender Imlek, patung tersebut diarak ke Kelenteng Sam Po Kong Gedung Batu.
12 Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta:Pustaka Popular Obor.2000.hal.62.
34
Kegiatan arak-arakan tersebut menjadi kegiatan rutin yang berlangsung sekali dalam setahun. Pada jaman Belanda acara tersebut hanya diperbolehkan berhenti di depan pagar kompleks yang didirikan oleh Johannes.
Pada tahun 1879 M atau tahun Guāngxù ke-5, seorang pengusaha keturunan Tionghoa terkemuka bernama Oei Tjie Sien membeli kawasan Gedung Batu. Peralihan hak persil ini ditandai dengan sebuah batu peringatan pada tahun 1879 M. Masyarakat Semarang mengadakan sembahyang besar-besaran di Kelenteng Sam Po Kong sebagai ungkapan rasa syukur. Sehubungan dengan berkuranganya perhatian dari masyarakat keturunan Tionghoa di Semarang terhadap Kelenteng Sam Po Kong pada masa itu, pada tahun 1930 M Li Hoo Sun yang memiliki kuasa untuk mengurus perumahan dan tanah milik Oei Tiong Ham (anak dari Oei Tjie Sien) mengambil inisiatif untuk mengadakan arak-arakan kembali. Dengan dibantu oleh beberapa orang temannya, didirikanlah Komite Sam Po Tay Djien yang kemudian mengadakan arak-arakan sehingga perayaan menjadi meriah kembali. 14
Pada tahun 1925 M Oie Tiong Ham meninggal, kemudian Li Hoo Sun mengajukan permintaan kepada ahli waris Oei, agar tanah sekitar Kelenteng Sam Po Kong diberikan kepada yayasan yang nantinya bertugas mengurus kompleks tersebut. Setelah permintaan tersebut dikabulkan, pada tahun 1937 didirikanlah Yayasan Sam Po Kong. Yayasan Sam Po Kong didirikan dengan ketua Lie Ho Soen dan wakil ketuanya Pei Ing Poen. Pada awalnya yayasan Sam Po Kong
14 Yayasan Kelenteng Sam Po Kong, Acara Peringatan HUT Kedatangan Laksamana Zheng He Ke 604 Tahun di Semarang. Semarang : PT.Panji Graha.hal.39.
merupakan yayasan keluarga, yang anggotanya terdiri dari pegawai Kian Gwan. Oleh sebab itu, dibuatlah peraturan yang berisi bahwa orang luar tidak boleh memasuki yayasan. Sampai tahun 1965 M, Yayasan Sam Po Kong dipimpin oleh ketua baru Thio Siong Thouw, yang bukan dari pegawai Kian Gwan. Sejak saat itu yayasan terbuka untuk umum, sehingga siapapun bisa menjadi ketua asal disetujui oleh sidang. Setelah Thio Siong Thouw meninggal pada bulan Pebruari tahun 1981 M, sidang panitia memilih Ir. Priambudi sebagai ketua yayasan.
Pada masa kekuasaan Orde Baru tahun 1989 M, semua ijin yang dimiliki oleh kelenteng dicabut oleh Pemda (Pemerintah daerah) Semarang. Selain itu pintu gerbang utama dan beberapa bangunan dirobohkan dengan paksa. Tindakan tersebut dilakukan dengan dalih pelaksanaan Kepres. Tahun 1995 M yayasan kembali mengalami masa kritis, ijin HGB (Hak Guna Bangunan) yang sudah hampir habis masa berlakunya dinyatakan tidak akan diperpanjang dan akan dicabut. Keadaan ini dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mendirikan ruko. Karena kegigihan anggota yayasan, tanah seluas 3,2 hektar sah menjadi milik yayasan dengan sertifikat Hak Milik. Setelah reformasi, Yayasan Sam Po Kong memperoleh kebebasan untuk menjalankan misi pembangunan dan perluasan dari kawasan Kelenteng.
4.2 Stuktur Organisasi dan Susunan Kepengurusan Kelenteng Sam Po Kong