• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

4.1. Sejarah Majalah Gatra

Aliansi Jurnalis Independent atau AJI adalah organisasi profesi jurnalis yang didirikan oleh para wartawan muda Indonesia pada 7 Agustus 1994 di Bogor, Jawa Barat, melalui penandatanganan suatu deklarasi yang disebut “Deklarasi Sirnagalih”. Meski didirikan sejak pembedelan tiga media DETIK, Tempo dan Editor pada 21 Juni 1994. Upaya atau ide untuk membuat organisasi jurnalis alternatif di luar PWI sebenarnya sudah lama ada. Terutama karena PWI dianggap lebih menjadi alat kepentingan pemerintah Soeharto dan tidak betul- betul memperjuangkan kepentingan jurnalis.

Sekitar tahun 1991 jauh sebelun pembredelan tiga media terjadi pertemuan informasi belasan jurnalis di Taman Ismail Mazuki (TIM), Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan berbagai hal yang menyangkut kondisi pers Indonesia. Dalam pertemuan itulah, tercetus ide tentang perlunya membentuk organisasi jurnalis alternatif yang independent diluar PWI. Ada juga keinginan ntuk membikin media sendiri. Sayangnya, pembicaraan itu tidak berlanjut menjadi aksi kongkret.

Di berbagai kota, sebelum berdirinya AJI, sudah ada komunitas dan kelompok-kelompok diskusi jurnalis seperti, SPC atau Surabaya Press Club (Surabaya), FOWI atau Forum Wartawan Independen (Bandung), Forum Diskusi Wartawan Yogya atau FDWY (Yogyakarta), dan SJI (Solidaritas Jurnalis Independen) di Jakarta sendiri. Kemudian para aktivis jurnalis dari sejumlah

komunitas inilah yang kemudian ikut bergabung membentuk AJI, lewat Deklarasi Sirnagalih. Untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas inilah, maka pada diskusi di Sirnagalih waktu itu dipilih nama “aliansi” untuk AJI, dan bukan “persatuan” seperti PWI.

Pembredelan 21 Juni 1994 telah membantu menciptakan momentum, yang dibutuhkan bagi lahirnya sebuah organisasi jurnalis alternatif. Pembredelan 21 Juni 1994 adalah semacam shock therapy, yang menjelma menjadi bendera penggalangan solidaritas para jurnalis yang independen. Namun, benih-benih lahirnya AJI sebenarnya sudah tertanam jauh hari sebelum pembredelan tersebut.

Setelah pembredelan DETIK, Tempo dan Editor, para jurnalis muda yang didukung elemen mahasiswa, LSM dan seniman mengadakan sejumlah aksi menolak pembredelan. Meski merasa pesimistis, waktu itu karena pertimbangan prosedural menemui pimpinan PWI pusat yang diketuai Sofyan Lubis dengan Sekjen Parni Hadi, untuk meminta mereka memperjuangkan nasib para karyawan dan wartawan korban pembredelan. Pada pertemuan pertama di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu, kami meminta, agar mereka berusaha bertemu langsung dengan menteri Penerangan Harmoko. PWI berjanji mengupayakannya.

Sebulan kemudian, kami menemui lagi PWI pusat dalam aksi tagih janji, dan mempertanyakan hasil pertemuan itu. Namun nyatanya PWI gagal bertemu Harmoko dan gagal memperjuangkan nasib wartawan dan karyawan pers. Dari situ, pers jurnalis muda lalu menyatakan ketidak percayaan lagi pada PWI. Saat itu, beberapa para jurnalis sudah memprediksi, hal ini akan berujung ke pembentukan organisasi jurnalis yang barum karena PWI terbukti sudah tak

efektif lagi dan sudah terlalu dikoptasi oleh penguasa.

Untuk menggalang dukungan sekaligus merancang langkah aksi berikutnya, diadakanlah pertemuan para jurnalis muda. Wisma Tempo di Sirnagalih, Jawa Baratm dipilih sebagai lokasi pertemuan, karena pertimbangan praktis, relative dekat, dan bisa lebih dijamin keamanan dan keberhasilannya. Pada waktu itu, tidak mudah mencari pemilik gedung yang mau meminjamkan gedungnya untuk kegiatan yang berseberangan dengan pemerintah. Undangan disampaikan secara diam-diam. Juga disebarkan undangan palsu, seolah-olah pertemuan akan berlangsung di tempat lain di Bandung, sehingga ada sejumlah jurnalis yang salah informasi, dan datang ke tempat yang salah.

Pertemuan jurnalis pun digelar, dengan elemen utama jurnalis dari empat kota Surabaya, Yogyakarta, bandung dan Jakarta. Sebelum pertemuan, sudah terdengar kabar bahwa ada kelompok atau figur tertentu yang mengklaim bisa mengatur para jurnalis ini. Oleh karena itu, untuk menghindari politisasi, klaim- klaim sepihak, dan kabar miring, sejak awal para jurnalis meminta kepada jurnalis senior seperti Erros Djarot, Arostodes Katoppo, Goenawan Mohammad dan Fikri Djufri untuk tidak datang pada tanggal 6 Agustus malam saat penggodokan konsep dan wadah gerakan para jurnalis muda sedang berlangsung. Mereka baru datang esok harinya 7 Agustus, ketika penggodokan telah selesai. Hal ini dilakukan untuk menghindari tuduhan bahwa AJI sebagai sekadar alat atau kepanjangan kepentingan dari tokoh-tokoh pers tertentu.

4.1.1 Anggota

Sejak AJI berdiri hingga sekarang, sebagian besar aktivis utamanya justru tidak berasal dari media yang dibredel, namun justru dari media-media lainnya.

Kecuali satu dua orang, bisa dibilang tak ada satupun wartawan eks Editor yang pernah terlibat dalam aktivitas perlawanan AJI pada masa-masa awal berdirinya. Kalau melihat dari presentase, mungkin yang agak banyak terlibatdalam AJI adalah jurnalis eks Tabloid DeTik, disusul kemudian dengan para Jurnalis Majalah Tempo.

Meskipun jumlah wartawan Eks-Tempo lebih banyak, para penulis Tempo terbelah dua separuh di antara bersebarangan dengan Goenawan Mohammad, dan memilih bergabung mendirikan Gatra, yang dimodali oleh Bob Hasan. Hal ini menimbulkan friksi di antara sesama Eks-Tempo sendiri sehingga sempat memunculkan wacana “Boikot Gatra”. AJI waktu itu memilih tidak mengeluarkan sikap resmi soal Gatra ini, karena dipandang lebih merupakan masalah internal Tempo.

Dari sekian jurnalis eks-Tempo yang tidak bergabung ke Gatra, juga tidak semuanya aktif di AJI. Sebagian mereka ikut mendirikan Tabloid Kontan, dan sejak itu tak banyak aktif di AJI, meski pada awalnya sebagian mereka ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih.

Di sisi lain, cukup banyak jurnalis aktivis yang menggerakkan roda organisasi AJI pada masa awal berdirinya, justru berasal dari grup media yang bukan korban pembredelan. Mereka antara lain Stanley Adi Prasetyo (Jakarta – Jakarta), Meirizal Zulkarnain (Bisnis Indonesia), Hasudungan Sirait ( Bisnis Indonesia), Rin Hindriyati (Bisnis Indonesia), Satrio Arismunandar (Kompas), Dhia Prakasha Yudha (Kompas), Santoso (Forum Keadilan), Ayu Utami (Forum Keadilan), Andreas Harsono (The Jakarta Post), Ati Nurbaeti (The Jakarta Post), Roy Pakpahan (Suara Pembaharuan) dan lain-lain.

Alternatif dalam diskusi 6 Agustus malam Sirnagalih itu, tampak bahwa gagasan para peserta sangat beragam. Dalam diskusi itu, mengemukakan bahwa pembentukan forum komunikasi paguyuban atau bentuk apapun di luar organisasi profesi, tidak akan efektif dan tak akan dianggap penting oleh PWI atau pemerintah. Karena PWI yang dikooptasi penguasa adalah organisasi profesi jurnalis, maka imbangan yang pas terhadap PWI juga harus berbentuk organisasi profesi jurnalis, namun dengan sifat yang independent terhadap pemerintah, Forum akhirnya sepakat membentuk organisasi profesi jurnalis. Persoalannya kemudian apa nama organisasi baru ini? Menurut Salomo Simanungkalit (Wartawan kompas, yang juga penandatanganan Deklarasi Sirnagalih), nama AJI itu sudah “Ditimang-timang” dan disebut oleh Dhia Prakasha Yoedha, dalam perjalanan naik mobil dari Jakarta menuju Sirnagalih, sebelum pertemuan para jurnalis. Nama itu terkesan bagus, singkat, mudah disebut, mudah diingat, dan punya makna positif. AJI dalam mitologi Jawa berarti suatu ilmu atau kesaktian tertentu. Sedangkan sebutan Aliansi berasal dari usulan Stanley Adi Prasetyo, dasar pemikirannya, adalah untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas – komunitas jurnalis, yang sudah lebih dulu ada di berbagai kota. Pada kenyataannya, memang merekalah yang mengirim delegasi ke pertemuan Sirnagalih ini.

Berbagai usulan tersebut dirangkum. Forum pun setuju menggunakan istilah “Aliansi” karena pertimbangan yang disampaikan Stanley diatas. Istilah “Jurnalis” pun disepakati digunakan, karena itulah istilah yang dianggap lebih sesuai dengan kata asalnya dalam bahasa Inggris (journalist), dan untuk membedakan dari PWI yang sudah menggunakan “wartawan”. Terakhir, istilah

“Independent” untuk menggaris bawahi perbedaan AJI, PWI, AJI itu independen, dan juga tidak mau mengklaim mewakili “Indonesia”. Sedangkan, PWI tidak Independent, tapi mengklaim mewakili Indonesia.

Sesudah nama AJI disepakati, peserta diskusi dibagi dalam sejumlah komisi, seperti Komisi Deklarasi, Komisi Program, dan lain-lain. Satrio Arismunandar dipercayai memimpin Komisi Deklarasi, dengan sekretaris Jopie Hidajat (Tempo) yang kini bekerja di Tabloid Kontan. Sesudah serangkaian diskusi panjang, komisi ini berhasil merumuskan Deklarasi Sirnagalih, yang esok paginya, tanggal 7 Agustus, dibacakan dan dibahas lagi di Sidang Pleno. Deklarasi itu disepakati dengan suara bulat dan hanya dengan sedikit sekali perubahan redaksional. Jika diamati, dalam deklarasi itu tercantum “Pancasila dan UUD 45”. Selain karena pertimbangan ideologis, pencantuman “Pancasila” di Deklarasi Sirnagalih merupakan langkah taktis, untuk meniadakan peluang bagi aparat rezim Soeharto untuk menghantam gerakan dan organisasi AJI yang baru lahir ini. Waktu itu, klaim represi sangat keras, dan ada kewajiban mencantumkan “Pancasila” di Deklarasi Sirnagalih merupakan langkah taktis, untuk meniadakan peluang bagi aparat rezim Soeharto untuk menghantam gerakan dan organisasi AJI yang baru lahir ini. Waktu itu, iklim represi sangat keras, dan ada kewajiban mencantumkan “Pancasila” sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kemasyarakatan.

AJI adalah organisasi jurnalis alternatif. Kata “alernatif” perlu ditekankan, untuk membedakan dari sebutan “tandingan”, istilah “tandingan” bermakna reaktif. Jika AJI sekadar tandingan dari PWI, maka eksistensi keberadaan AJI akan bergantung pada PWI, jika PWI bubar, AJI juga harus bubar, karena

kelahirannya hanyalah tandingan atau reaksi dari keberadaan PWI. Itulah sebabnya sejak awal AJI tak pernah menyebut diri sebagai “tandingan PWI”. Sedangkan, sebutan “alternatif” pada semangatnya adalah menerima adanya organisasi-organisasi lain. Sejak berdirinya AJI, kita tak pernah menuntut pembubaran PWI atau organisasi jurnalis lainnya. AJI tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dengan PWI; memonopoli kebenaran dan legalitas dari pemerintah untuk dirinya sendiri, dengan menafikan organisasi jurnalis ini. Dengan terus menggunakan gedung dan aset dari pemerintah untuk kantor-kantor sendiri, sampai saat ini secara esensial sebetulnya tak ada yang berubah dari PWI.

Pada 7 Agustus siang, mulailah acara penandatanganan Deklarasi. Tidak semua peserta yang hadir bersedia menandatangani, dengan pertimbangan yang beragam, Herdi SRS. M. Fadjroel Rachman, Ging Ginanjar, memilih tidak menandatangani. Bambang Harimurti (BHM) namanya dicantumkan di deklarasi, namun nyatanya ia sudah keburu pergi untuk suatu urusan sehingga juga tidak tanda tangan. Rekan dari Kompas, Salomo Simanungkalit dan Bambang Wisudo sudah lebih dulu pulang karena tugas kantor namun mereka menyatakan komitmennya untuk tanda tangan, dan minta namanya tetap dicantumkan di deklarasi.

Pada kenyataannya, para jurnalis senior “ditodong” untuk ikut memberi tanda tangan dalam Deklarasi, yang isinya dirancang sepenuhnya oleh para jurnalis muda. Bagaimanapun juga, nama para jurnalis senior ini dibutuhkan untuk memberi gaung yang lebih besar pada Deklarasi Sirnagalih, yang menjadi dasar berdirinya AJI. Pada waktu itu, istilah “Jurnalis” juga diartikan secara luas dan mencakup juga para kolumnis, sehingga Arief Budiman, Christianto

Wibisono, dan Jus Soema di Pradja yang sudah lama tidak aktif sebagai jurnalis ikut tanda tangan.

Berdirinya AJI memberi gaung cukup besar di dunia jurnalistik Indonesia. Tekanan terhadap para jurnalis yang terang-terangan bergabung dalam AJI sangat besar. Pemerintah melalui Departemen Penerangan dan PWI melihat berdirinya AJI sebagai tantangan terbuka, yang harus ditindak keras agar tidak meluas. Berbagai tindakan “pendisiplinan” melalui pemimpin di media masing-masing pun dilakukan.

Ada anggota AJI yang dipindahkan ke bagian Litbang (seperti dialami Hasudungan Sirait di Bisnis Indonesia), dimutasi di luar Jakarta, ditekan supaya mundur dari AJI atau minta maaf, dan sebagai intinya, karir jurnalistik bagi seorang anggota AJI praktis sudah ditutup, karena saat itu untuk menjadi seorang pemimpin Redaksi harus memperoleh rekomendasi PWI. Hal ini bisa menjelaskan mengapa Bambang Harimurti sampai saat ini tidak ikut tanda tangan di Deklarasi Sirnagalih, meskipun namanya tercantum disana. Mungkin ada pertimbangan praktis atau pragmatis, karena Bambang harus menahkodai sisa-sisa awak Tempo untuk mendirikan majalah atau media baru.

Dalam hal ini, PWI telah bertindak terlalu jauh. Pimpinan PWI dalam forum terbuka yang dikutip media pernah mengatakan media massa tidak boleh mempekerjakan anggota AJI. Ini merupakan pelanggaran HAM. Upaya mencari nafkah untuk hidup adalah hak asasi yang tak bisa ditawar-tawar. Bahwa pemerintah tidak mengakui AJI dan hanya mengakui PWI, itu adalah urusan lain. Namun hak mencari nafkah seharusnya tak boleh diganggu gugat.

dipecat dari keanggotaan PWI. Mereka antara lain: Fikri Jufri, Eros Djarot, Hasudungan Sirait, Diah Purnomowati, Stanley Adi Prasetyo, dan lain-lain. Secara praktis, pemecatan ini tak berarti banyak, toh mereka sudah tidak merasa dibelah oleh PWI.

Satrio dan Yoedha juga akhirnya ditekan untuk mundur dari Kompas. Alasan pemimpin Kompas adalah, aktivitas mereka dianggap membahayakan kelangsungan group penerbitan Kompas waktu itu, keduanya selain aktif di AJI, juga aktif di SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) yang diketuai Muchtar Pakpahan. AJI dan SBSI adalah organisasi yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Seperti halnya kasus PWI dan AJI di dunia jurnalistik, di bidang perburuhan, Pemerintah tak mengakui SBSI dan hanya mau mengakui SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) sebagai satu-satunya organisasi yang mewakili aspirasi pekerja. Pimpinan Kompas beranggapan, keduanya dibiarkan terus aktif di AJI dan SBSI seperti sediakala tanpa ditindak, akan memberi kesan pada penguasa (Departemen Penerangan yang mngeluarkan SIUPP pada Kompas) bahwa Kompas “merestui” atau bahkan “mendukung aktivitas illegal” yang dilakukan dua karyawannya. Implikasinya, Kompas bisa dibredel sewaktu-waktu, seperti sudah pernah terjadi di waktu lampau. Oleh karena itu, daripada membahayakan kelangsungan hidup perusahaan Kompas dengan sekitar 3.000 karyawannya, lebih baik meminta dua wartawannya mundur.

4.1.2. Kebijakan Redaksional

Dalam pembuatan opini dari masyarakat sebelumnya terdapat penyeleksian terlebih dahulu dengan melihat situasi, kondisi, toleransi, pandangan

dan jangkauan. Pemantauan headline pada laporan utama tergantung dari bobot penulisan berita dan opini dari wartawan, layak atau tidak untuk diterbitkan karena untuk menghindari kesalahpahaman pembaca.

Setiap majalah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, kelebihan dari majalah Gatra yaitu tampilan dari suatu berita yang menonjol diilustrasikan dengan karikatur, misalnya gambar dari suatu berita tentang korupsi dan gaya bahasanya yang sederhana sehingga mudah dicerna oleh pembacanya.

Majalah Gatra juga berusaha untuk menjaga citra yang selama ini sudah terbentuk, menurutnya semakin bagus citra maka akan semakin banyak pembaca yang tertarik membaca, dan kemungkinan iklan akan banyak berdatangan yang menjadi omzet.

Majalah Gatra yang terbit mingguan member ruangan sebanyak 106 halaman atau lebih. Adapn berbagai liputannya majalah Gatra membaginya menjadi 22 rubrik andalan, tetapi tidak semua rubric selalu ditampilkan pada setiap edisi majalah Gatra tergantung dari pengumpulan berita yang masuk kedalam kantor redaksional.

4.1.3. Oplah dan Distribusi

Dengan SIUPP no.297/SK/Menpen/SIUPP/C.1/1994, tanggal 13 Oktober 1994 majalah Gatra yang pada awalnya memiliki kantor pusat di Jakarta ini dan beredar dengan oplah hanya 200.000 eksemplar per bulan mencoba menembus pangsa bisnis media di Indonesia, namun langkah yang diambil Bob sebagai pendiri terbilang cukup cerdik karena Bob mencoba mengisi kekosongan majalah Tempo yang pada saat itu dilarang terbit oleh pemerintah dan mengajak beberapa

wartawan Tempo untuk menandatangani surat pernyataan bergabung dengan majalah Gatra. Kini majalah Gatra memiliki peredaran nasional dan membuka kantor-kantor cabang dan koresponden di kota besar guna menambah kedekatannya dengan para pembacanya, terlihat sukses dengan strategi tersebut dapat dibuktikan dengan peningkatan oplah menjadi 110.000 eksemplar per minggu dan daya jangkauan diperluas.

Sasaran khalayak majalah Gatra adalah menengah keatas artinya pembaca dengan tingkat pendidikan tinggi. Menurut data yang ada di redaktur majalah Gatra mengenai pembaca adalah S3 dan professor sebesar 14%, S2 sebesar 28%, S1 sebanyak 57%, kemudian SMU dan umum sisanya. Dari data diatas jelas sudah, jika ternyata majalah Gatra memiliki sasaran khalayak yang cukup luas dalam pendistribusiannya.

4.1.4. Spesifikasi Majalah GATRA a. Kredo : Aktualitas dan Politik b. Terbit : 7 harian ( mingguan )

c. Tebal : 106 Halaman

d. Lahir : 13 Oktober 1994

e. Penerbit : PT. Enka Parahiyangan, Jakarta

4.1.5. Struktur Organisasi

Dalam menjalankan sebuah media tentu saja majalah Gatra memiliki susunan organisasi yang pada masing-masing bagian memegang peranan yang besar dalam penyampaian sebuah berita utama. Struktur Organisasi majalah

Gatra:

Pendiri : M. Hasan

Komisaris : Tigor M. Tanjung

Pemimpin Redaksi : Budiono Kartohadiprodjo

Redaktur Eksekutif : Heddy Lugito

Redaktur Pelaksana : Dwitri Waluyo, Heddy Lugito, Herry Mohammad

Sidang Redaksi : Aries Kelana, Asrori S. Karni, Astari Yanuarti,

Bambang Sulistyo, Carry Nadeak, Erwin Y. Salim, G.A. Guritno, Hatim Ilwan, Hendri Firsani, Heru Pamuji, Irwan Andri, Atmanto, M. Agung Riyadi, Mujib Rahman, Nur Hidayat, Rita T. Budiarti, Rohmat Haryadi, Sujud Dwi Pratisto,

Taufik Alwi.

Kepala Pusat Liputan : Hidayat Gunadi

Liputan Jakarta : Anthony Djafar, Basfin Siregar, Bernadetta

Febriana, Deni Muliya Barus,, Mukhlison S. Widodo, Rach Alida Bahaweres

Liputan Daerah : Ibrahim Passe (Aceh), Sulhan Syafi’i, Wisnu

Wage Pamungkas (Bandung), Antonius Un Taolin (Kupang), Arif Sujatmiko, M. Nur Cholishzaein (Surabaya), Syamsul Hidayat (Semarang), Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)

Liputan Luar Negeri : Didi Prambadi (Amerika Serikat), Miranti S. Hirschmann (Jerman), Ida Palaloi (Sydney),

Nordin Hidayat (Jeddah), Svet Sergeyevic Zakharov (Russia)

Sekretariat Redaksi : Manampin Siregar (Kepala), Eko Suparman,

Jumadi, Pamungkas Sapto Handoyo

Desain Visual : Jerry Ferdan J. (Koordinator), Amin S. Putra, Anas

Priyo, Buyung Firmansyah, Fritz Pelenkahu, Gibe Surahman

Pewarta Foto : Wisnu Prabowo, Jongki Handianto, Tresna Nurani.

Redaksi Bahasa : Roni Rusnandar (Koordinator), Agus Teguh

Handoyo

Riset dan Dokumentasi : Aryo Budhi Utomo, Afni Roberto, C. Suhanti Chrismidiati, Farid, Yustinus Sarjana.

4.1.6. Cover

Public figure atau tokoh yang tengah memiliki berita tinggi, atau yang

sedang tidak bernilai berita namun memiliki daya tarik photografi yang menonjol. Kartun yang menggambarkan sesuatu hal namun mengundang ketertarikan.

Dokumen terkait