• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Objek Penelitian dan Penyajian Data

4.1.1. Sejarah Majalah TEMPO

Diawali peristiwa tahun 1969, dimana era keterbukaan setelah berbagai peristiwa politik dalam negeri yang dianggap kacau, seorang Goenawan Mohammad mempunyai ide untuk membuat majalah yang dianggap baru. Sebagai langkah perbedaan yang membanjirinya hiburan waktu itu. Namun dengan semangat yang besar, tantangan ekonomi yang morat-marit mencoba untuk dilawan.

Majalah Ekspress kemudian dibentuk oleh tiga orang pers senior yakni Goenawan Muhammad, Christiano Wibisono, dan Fikri Juhri, dengan dibantu oleh

B.M.Diah. Ketiganya adalah wartawan Harian Kami. Namun perpecahan diantara pengelola terjadi, tidak luput kemudian Goenawan dan kawan-kawan melakukan eksodus. Berita ini kemudian menyebar sampai ke telinga ketua Yayasan Jaya Raya, Ir. Ciputra, yang juga mendirikan Djaja. Lewat Lukman Setiawan, Ciputra mencoba berdialog dengan Goenawan. Hasil rembukan tersebut menghasilkan gagasan baru, majalah TEMPO dikelola 30 orang, eks pengelola Ekspress dan Djaja. Akhirnya, pada akhir Desember 1970 dengan rekomendasi Adam Malik, Menteri Penerangan waktu itu, Budhiharjo mengeluarkan SIT atas nama TEMPO. Adapun ide dasarnya adalah mengambil bentuk yang mirip

dengan Time atau Newsweek di Amerika. Dibawah naungan kelompok Perusahaan Grafiti Pers. Dengan dibantu oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu Ali Sadikin, Tempo mulai memproses persiapan penerbitan. Baru setelah pemrosesan SIT tahun 1971, Tempo baru bisa terbit pada bulan September. Dengan jumlah halaman untuk pertama kalinya 80 halaman.

Pertama kali terbit, Tempo telah mampu menjual sekitar 45.000 eksemplar baik sebagai perkenalan atau dijual bebas. Dan semakin bertambah tahun, akhirnya pada tahun 1977 meningkat menjadi 50.000 eksemplar.

Tempo pertama kali menempati kantor di Jalan Senen Raya 83 Jakarta. Dengan Goenawan Muhammad sebagai pemimpin umum merangkap pemimpin redaksi. Sedangkan untuk pimpinan perusahaan dipercayakan kepada Harjoko

Trisnadi. Meskipun dengan kantor yang sempit, namun tidak menghalangi semangat idealisme yang tinggi. Tempo seperti berkejaran dengan waktu dan berlomba dengan penerbitan, khususnya majalah yang telah ada. Namun dengan segala kelebihan dan kehandalan Goenawan Mohammad yang memang sudah senior dibidangnya, dengan dibantu oleh Bang Ali Sadikin selaku Gubernur DKI, maka Tempo berani memilih visi dan misi pers menuju pers yang serius yang lebih menonjolkan diri pada politik, menyuarakan kebenaran lewat ulasan dan kritikan, saran atas keputusan yang diambil oleh penguasa atau masalah-masalah yang sedang aktual dan hangat dibicarakan oleh masyarakat.

Nampaknya pilihan ini berdampak cukup serius, sebab baru dua tahun terbit sudah pernah mendapat teguran dari pemerintah, lewat Departemen Penerangan. Demikian juga pada tahun-tahun berikutnya, Tempo seakan tidak pernah lepas dari tangan-tangan bayangan kekuasaan yang memang pada saat itu sedang giat-giatnya melakukan pembangunan politik, dengan berbagai konsekuensinya, termasuk terlalu curiga terhadap siapapun yang dianggap terlibat dan berpengsruh.

Pada tahun 1985, suasana pers nasional mulai menampakkan perubahan besar, dimana pemerintah mencanangkan semacam upaya penerbitan pers nasional, STT, dan SIT tidak lagi berguna. Ijin penerbitan digantikan fungsinya dengan SIUPP. Artinya, bahwa Pemerintah pada saat itu memang berupaya untuk mengontrol kehidupan Pers.

Perubahan terjadi pada tahun 1987, yang semula TEMPO terbit hanya dengan 80 halaman berkembang menjadi 100 halaman. Ini terkait dengan permintaan yang semakin banyak seiring banyaknya pers sejenis yang mundur akibat iklim politik yang semakin ketat serta persaingan bisnis yang semakin tajam. Maka Tempo seakan sudah bosan merajai posisinya. Pers sejenis banyak yang gulung tikar akibat lesunya dukungan finansial serta dukungan sistem politik, sehingga banyak kelompok perusahaan pers yang mengundurkan diri. Namun dengan segala kekuatannya Tempo tetap dan berusaha selalu konsisten.

Untuk memperkuat jaringan lembaganya, Tempo membuat kebijakan untuk membagi kekuasaan, dimana semula Pimpinan Umum dipegang Goenawan Muhammad kemudian digantikan oleh Eric F.H. Samola Keputusan ini diambil mengingat Eric merupakan tokoh pers nasional yang diharapkan mampu mendongkrak kepentingan Tempo dalam lembaga pers nasional. Khususnya Dewan Pers yang semakin hari semakin ketat. Seiring dengan perkembangannya, kemudian Tempo meninggalkan kantornya yang pengap dan sempit di daerah Senen menuju Jalan Rasuna Said Kav.C 17 Jakarta Pusat yang lebih luas dan representatif serta nyaman bagi staf redaksi dan wartawan majalah Tempo. Bahkan pada tahun-tahun tersebut, Tempo telah mampu mendirikan Yayasan Tempo yang berfungsi sebagai lembaga control terutama masalah sosial sekaligus lembaga kesejahteraan karyawan, disamping beberapa fungsinya dengan salah satu sub lembaganya “Data Tempo” untuk menjadi sebagai sarana pustaka. Dalam hail ini Yayasan Tempo semakin besar

peranannya dengan menjadi suatu lembaga tersendiri yang melayani publik untuk menampung dan mengelola kepustakaannysa.

Perkembangan majalah Tempo sangat pesat kepindahannya ke kantor yang baru, salah satunya adalah oplah yang semula hanya paling banyak 50.000-75.000 eksemplar berkembang menjadi 100.000-150.000 eksemplar. Demikian juga dengan staf kepegawaian dan reporternya semakin hari semakin bertambah besar. Hingga Tempo telah diputuskan untuk menjadi perusahaan mandiri oleh Grafiti Press.

Menginjak tahun 1990-an, Tempo semakin dikenal sebagai pers yang berani sekaligus menjadi standart perkembangan pers serius nasional. Dengan kemampuan redaksionalnya dikenal sebagai kelompok orang-orang pintar. Maka isi Tempo semakin menggigit serta detail secara kritis. Dengan kemampuannya ini, Tempo telah berkali-kali mendapatkan teguran, sampai pada tahun 1991 sempat diancam untuk dicabut SIUPP-nya. Bahkan dalam pilihannya, Tempo telah menjadi idola pembaca terutama dari kalangan, dibandingkan dengan majalah-majalah politik lainnya.

Dari tahun tersebut, perjalanan majalah Tempo semakin keras pertarungannya dengan system, sebagai konsekuensi sikap kritisnya, hingga tragedi yang paling menakutkan bagi kalangan pers terjadi pada bulan Juni 1994, SIUPP majalah TEMPO dinyatakan “Tidak Berlaku”, yang disiarkan oleh Televisi Republik Indonesia pada acara Dunia Dalam Berita yang sebelumnya didahului oleh pertanyaan kepada FPGG, Soebrata.

Majalah Tempo yang terbit mingguan memberi ruang sebanyak 100 halaman. Adapun dalam berbagai liputannya, Tempo membaginya dalam 28 rubrik. Dalam

rubrik-rubrik tersebut, pada dasarnya terbagi menjadi beberapa bentuk

laporan/liputan, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Bentuk liputan berdasarkan teknik pemberitaan/reportase :

1. Rubrik Nasional

2. Rubrik Luar Negeri

3. Rubrik Kriminal

4. Rubrik Pendidikan

5. Rubrik Hukum

6. Rubrik Kesehatan

7. Rubrik Pokok dan Tokoh

8. Rubrik Laporan Utama

9. Rubrik Selingan

10.Rubrik Olah Raga

11.Rubrik Ilmu dan Teknologi

13.Rubrik Lingkungan

14.Rubrik Ekonomi Bisnis

15.Rubrik Seni

16.Rubrik Obituari

17.Rubrik dari Redaksi

b. Bentuk liputan berdasarkan teknik penulisan :

1. Rubrik Kolom

2. Rubrik Catatan Pinggir

3. Rubrik Kiat

4. Rubrik Buku

5. Rubrik Design

6. Rubrik Televisi

7. Rubrik Info

8. Rubrik Iklan dan Pariwara

c. Bentuk liputan berdasarkan teknik penyajian gambar/karikatur, yakni dalam rubrik opini.

Dokumen terkait