• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

4.2 Sejarah Kota Siak

Sungai Siak adalah sungai terdalam di Indonesia, yaitu rata-rata 29 meter, di beberapa tempat bahkan mencapai 35 meter. Sumber lain menyatakan dalamnya rata-rata 30 meter dengan kisaran antara 16 hingga-60 meter. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa sungai ini termasuk sungai yang paling banyak dilayari hingga mencapai jauh ke hulu. Sebagai suatu habitat, sungai ini memberikan hidup kepada berbagai jenis ikan, lebih banyak daripada sungai-sungai lainnya. Ini membuatnya menjadi sumber kehidupan bagi pertumbuhan masyarakat di sepanjangnya (Kusumawijaya dkk, 2004).

Lebih dari 1,5 juta manusia bergantung bergantung pada Sungai Siak untuk kegiatan sehari-harinya seperti mandi dan cuci dan terutama untuk transportasinya. Sungai Siak mengalami degradasi dalam semua aspek mulai dari hulu hingga hilir. Sebelum tahun 1980-an air Sungai Siak masih berwarna kehijauan namun sekarang sudah menjadi coklat kehitam-hitaman. Keadaan ini mengakibatkan menyusutnya jumlah jenis ikan dan vegetasi (Kusumawijaya dkk, 2004).

Gambar 4.3

Perahu penghubung antar desa yang dipisahkan Sungai Siak, sebuah pemandangan keseharian di atas Sungai Siak

Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004 4.2.2 Arsitektur dan Kota

Alam memang menentukan semua aspek kehidupan suatu masyarakat. Sungai Siak sangat besar pengaruhnya terhadap arsitektur daerah ini. Hal ini dikarenakan sejak dahulu sungai menjadi urat nadi ekonomi dan budaya, sungai berpengaruh terhadap penataan lingkungan pada kawasan ini dimana tiap rumah yang ada di pinggiran Sungai Siak berpelantar menjulur ke atas sungai. Sesuai dengan keperluannya ada beberapa jenis pelantar yakni pelentar kecil selebar sekitar 30 cm atau selebar papan, disusun memanjang. Pelantar yang besar lebarnya sekitar dua meter disusun melintang. Hutan Siak menyediakan berbagai jenis kayu seperti meranti dan kempas, dari kedua jenis kayu itulah pelantar itu umunya dibuat. Kayu-kayu itu berasal dari hutan-hutan di dataran rendah yang merupakan hutan khas Riau (Kusumawijaya dkk, 2004).

Pelantar itu merupakan bagian bangunan yang di manfaatkan untuk berbagai maksud seperti mencuci, mandi, memancing, bermain, dan menambatkan perahu. Budaya sungai seperti inilah segala jenis bangunan sengaja ditempelkan di sungai : masjid, pasar, balai kerapatan tinggi, istana, rumah rakyat, kedai, dan segala jenis bangunan lain. Masing-masing bangunan tersebut dilengkapi dengan pelantar yang merupakan ungkapan hak atas penggunaan sungai sebaik-baiknya dan sepenuh-penuhnya. Dengan menghitung jumlah pelantar yang ada di tepi sungai, kita akan mendapat gambaran mengenai kepadatan suatu daerah, perkiraan jumlah penduduk sebuah kampung atau kota, semakin rapat pelantar, semakin padat penduduk di daerah itu. Di Kota Siak Sri Indrapura ditemui kerapatan yang sangat mencolok dibandingkan daerah-daerah lain, kecuali sampai di Pekanbaru (Kusumawijaya dkk, 2004).

Gambar 4.4

Keramaian di Jalan Pasar, pusat perdagangan Kota Siak yang merupakan jantung kehidupan masyarakat Siak Sri Indrapura

Gambar 4.5

Kehidupan masyarakat di Pelantar rumahnya di tepi Sungai Siak Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004

Gambar 4.6.

Sehabis Sunatan di Kota Siak anak-anak dan orang tuanya berjalan pulang menuju Desa Mempura yang berada di seberang Sungai Siak menggunakan perahu

penghubung

Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004 Kota

Jalan Pasar dan beberapa jalan yang bermuara padanya adalah pusat kehidupan sehari-hari Siak Sri Indrapura. Disepanjang jalan ini rapat berderet berbagai jenis bangunan, ada yang terbuat dar kayu seluruhnya, ada juga yang separuh bawah berupa batu berplester dan bagian atasnya kayu. Rumah-rumah yang dibangun disebelah barat kelenteng dibangun antara tahun 1920-1950. Lantai rumah-rumah ini berhubungan langsung dengan jalan yang lebarnya 5,5 m.

pada lantai atasnya terdapat pintu „bohong‟, yakni jendela berpagar jerajak setinggi pintu. Jendela-jendela itu umumnya terbuak lewat siang sampai tengah malam, tentu dengan maksud agar udara bias masuk kedalam rumah dengan leluasa. Dikawasan niaga ini banyak ditemukan kedai kopi yang juga menyediakan berbagai makanan misalnya nasi goring, mie goring dan bubur ayam. Di kedai-kedai ini setiap hari kerja tampak banyak pegawai, termasuk pegawai negeri sipil berseragam coklat muda dating untuk sarapan dan makan siang. Kehdupan di kota kecil ini memang jauh dari hiruk-pikuk kota besar yang serba tergesa-gesa.

Gambar 4.7.

Salah satu peninggalan sejarah perdagangan berupa daun pintu kayu dengan corak ukiran Cina di Toko Bintang Jaya, dengan tulisan berarti “Bunga Mekar Kekayaan Agung” dan “Bambu Menghaturkan Ucapan Selamat” pintu tersebut

masih terpelihara dengan baik dan konon katanya bangunan berpintu Cina ini milik saudagar Cina

Gambar 4.8

Kawasan Pecinan di Jalan Pasar yang didirikan pada abad ke-20. Deretan bangunan terbuat dari kayu seluruhnya ini merupakan ciri arsitektur pusat perdagangan kota-kota kecil di sepanjang Sumatera. Pada arsitektur asli bangunan

lama, bagian atas yang memiliki jendela-jendela besar yang disebut sebagai pintu bohong masih dipertahankan sebagai rumah tinggal sedangkan bagian bawah yang

sudah bertembok tetap digunakan untuk berdagang. Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004

Gambar 4.9

Kesibukan pagi hari di pasar bermuara di jalan raya, yaitu Jalan Pasar atau Jalan Sultan Ismail yang membujur searah Sungai Siak. Dulu, pasar ini merupakan jalur

keluar masuk para pedagang, saudagar, atau pendatang dari luar Siak. Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004

Gambar 4.10

Dibangun pada tahun 1898, Kelenteng merupakan salah satu bangunan tertua di Kota Siak. Kelenteng dengan warna-warna terang merupakan jeda yang sedap bagi deretan rumah toko yang berwarna redup disekelilingnya. Seluruh atap dan

tiangnya dicat merah dan ujung-ujung atapnya melengkung. Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004

Kearah darat, Jalan Pasar terdapat kawasan kesultanan, yang ditandai batasnya dari kawasan ramai niaga dengan sebuah kali kecil berjembatan putih. Jembatan yang bertanda tahun 1899 ini masih asli seperti pertama kali dibangun. Istana dan kota, kebangsawanan dan kenigaan, terpisah secara tatanan dan perlambangan. Tatanan kota rapat, sedang tatanan kebangsawanan lapang, dengan bangunan-bangunan besar dikelilingi hamparan luas lapangan terbuka.

Di depan istana dan halaman luas dengan polataman bergaya Eropa, terdapat sebuah lapangan bagi masayarakat berbentuk persegi empat yang membuka ketepi Sungai Siak. Dua jalan sejajar sungai, satu di utara, diantara lapangan ini terdapat halaman istana dan disebelah selatan, diantara lapangan ini dan tepian sungai siak, menghubungkan lapangan ini ke pasar di sebelah timur. Di

yang saat ini sudah berpindah posisi berada di kawasan halaman belakang istana, yaitu perahu motor yang pernah digunakan oleh Sultan terakhir dalam tahun-tahun sebelum Perang Dunia ke-2. Di sebelahnya terdapat Gedung Serba Guna Tengku Maharatu. Di antara perahu dan gedung serba guna di tepi jalan, ada pan yang isinya kutipan satu bait dari Hikayat Hang Tuah: Tuan Sakti bamboo negeri; Esa bilang dua terbilang/ Patah tumbuh hilang berganti; takkan Melayu hilang di bumi. Menyusur sungai ke barat setelah istana, ada Masjid Raya Syahbuddin dan Balai Kerapatan Tinggi. Di Siak, bukan hanya masjid yang berkubah, tetapi dahulu juga balai dan istana. Masjid dan istana tegak dengan ciri arsitektur Islam. Interior masjid dan istana dipenuhi dengan garis-garis, sedangkan tampilan luarnya bersahaja.

4.3 Kondisi Eksisting Lingkungan Permukiman di Kelurahan Kampung

Dokumen terkait