• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SEJARAH GRUP MUSIK NUNUT

3.1.1 Sejarah Musik Keroncong di Indonesia

Portugal dikenal sebagai negara asal munculnya musik Keroncong. Masuknya bangsa Portugal ke Indonesia dimulai pada masa dimana Belanda mulai mengadakan penjajahan di Asia. Jatuhnya Malaka dari tangan Portugal ketangan Belanda pada abad ke 16 sekitar tahun 1590 menyebabkan orang-orang Portugal menjadi tawanan Belanda. Tentara dan orang-orang Portugal yang umumnya - keturunan berkulit hitam – berasal dari Bengali, Malabar dan Goa ditawan dan dibawa ke Batavia yang saat ini disebut dengan Kota Jakarta. Pada tahun 1661 mereka kemudian dibebaskan setelah dianggap tidak berbahaya dan tetap dibiarkan memiliki senjata yang sebelumnya digunakan untuk perang9.

Mereka bermukim di rawa-rawa teluk Jakarta yang sedang dilanda wabah malaria dan influensa. Kawasan itu dinamakan oleh Belanda dengan nama Tanah Mardika10. Dari sinilah banyak dari orang-orang Portugis bekas tawanan itu pindah ke kawasan lain Jakarta diantaranya Kemayoran. Kemayoran merupakan

9

tanah yang paling banyak sebagai tempat perpindahan orang-orang Portugis. Mereka yang pindah kemudian berasimilasi dengan golongan Tionghoa dan Belanda. Sementara mereka yang tetap berada di Tanah Mardika membentuk komunitasnya sendiri dan bergabung dengan warga Indonesia yang kemudian dikenal orang sebagai Kampoeng Toegoe dengan pekerjaan bertani, berburu, dan mencari ikan. Kemudian mereka menyebut dirinya dengan sebutan Mardikers.

Kaum Mardikers hidup layaknya orang kulit hitam di Amerika, dikala senggang seusai mengerjakan sawah atau berburu mengisi waktunya dengan bermain musik blues dan musik ratapan kaum tertindas. Dengan peralatan sederhana berupa alat musik petik mirip gitar kecil berdawai lima yang mereka sebut Matjina serta Djitera (gitar), seruling dan rebana mereka memainkan lagu- lagu dari tanah kelahirannya, dengan musik yang dominan suara crong…crong…crong dari Matjina, yang kemudian dikenal sebagai Ukulele.

Mereka berusaha membangun suasana gembira di tengah penderitaan sebagai bekas orang buangan di serambi rumah, bawah pohon sambil menikmati indahnya bulan purnama dan sepoi-sepoi angin pesisir sambil membawakan lagu Moresco11.

Anda-anda na boordi de more, Mienya corsan nunka conteti, Yo buska ya mienya camada, Nunka sabe ele ya undi, Yo buska ya minya amada, Yo buska ele tudu banda, isti corsan teeng tantu door, Yo pronto fula e strella, booster nunka ola un tenti? Fula e strella nunka reposta, Mienya corsan nunka contenti, O bie oki mienya amada, Mienya noiba, moleer bonito, Yo espara con esparansa, E canta cantigo moresco

Berjalan-jalan di pantai, Hatiku gundah gulana, Aku mencari kekasih, Entah berada di mana,Kucari kekasihku, Calon isteri jantung hati, Kucari dimana-mana, Hatiku teramat duka, Kutanya bunga dan bintang, Kau lihatkan seseorang? Bunga dan bintang tak menjawab, Hatiku gundah gulana, O datanglah kekasihku, Calon istriku, O juwitaku, kunanti penuh harapan, Sambil berdendang lagu Moresco12.

Bangsa Portugis menggolongkan lagu Moresco tersebut sejenis lagu Gondala (gondel lied) yaitu lagu pendayung sampan. Menurut Amir Pasaribu dalam bukunya Musik dan Selingkar Wilayahnya, Moresco berasal dari sebuah tarian Portugis yang disebut dengan Moreska. Lagu Moresko bersama Nina Bobo, Prounga dan Cafrinho bisa dikatakan adalah lagu-lagu Keroncong pertama, yang oleh Kusbini disebut Keroncong Portugis. Dengan berkembangnya lagu-lagu tersebut maka mulailah muncul bentuk kesenian baru yang kemudian mereka sebut dengan Keroncong Indonesia di Kampung Tugu.

Disebut Kampung Tugu karena nama Tugu dimaksudkan sebagai tanda batas. Beberapa pendapat mengatakan bahwa Tugu berasal dari kata Portugis, Por Tugu Esa. Sebagai bukti latar belakang sejarah tersebut, di sana pernah ditemukan sebuah batu berukir berbentuk kerucut bundar dan bertulis huruf Palawa dalam bahasa Sansekerta dari abad ke 4 dan ke 5 Masehi. Batu itu kemudian disebut sebagai Prasasti Tugu.

Di Kampung Tugu terdapat sebuah Gereja yang memiliki nilai sejarah yang berusia sekitar 3,5 abad, yaitu Gereja Salib Suci. Bangunannya memang bukan berasal dari abad ke 17, melainkan sudah dibangun kembali dua kali hingga

12

Syair lagu Moresco berbahasa Portugis dengan dialek Tugu ini diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh A.Th Manusama pengarang buku Krontjong als muziekinstrument, als melodie en als gesang (penerbit Boekhandel G. Kolff & Co, Batavia, 1919), kemudian diterjemahkan

bentuknya yang sekarang13. Prana Abrahams dan Robby Sowakeluwakan, mengatakan bahwa Keroncong lahir karena kebutuhan hiburan warga Kampung Tugu. Gereja belum memiliki orgel, jadi kalau ada kebaktian diiringi musik Keroncong dan anak-anak muda Gereja inilah yang kemudian menjadikan Keroncong sebagai hiburan dalam berbagai kegiatan gereja.

Sebagai daerah pertanian, kala itu Kampung Tugu memiliki tradisi pesta panen yang biasanya dilakukan setelah selesai menuai padi di sawah. Dalam pesta yang biasanya diadakan setiap bulan Agustus itu, warga menyisihkan sebagian hasil panennya, ternak, atau hasil kebunnya kepada gereja. Gereja - melalui panitia yang dibentuk - kemudian menjual buah panen itu dan hasilnya diserahkan untuk kepentingan gereja. Para anak muda Gereja akan memainkan lagu-lagu Gereja dengan Orkes Keroncong sebagai ucapan syukur. Demikian halnya ketika Menjelang Natal dan Tahun Baru, mereka akan berkeliling dan mengunjungi rumah-rumah pada tengah malam dan menyapa penghuni rumah, kemudian mereka menari sambil bermain musik menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Portugis. Pemilik rumah baru mau membuka pintu jika pimpinan rombongan telah mengucapkan salam berbahasa Portugis:

Pisingku dia di Desember, nasedu di nos Sior jamundu Libra nos pekader unga ananti dikinta ferra asi klar kuma di dia unga anju di Sior asi grandi diallergria. Asi mow boso tar. Dies Lobu Sua da bida cumpredae lampang kria so podeer, Santu Justru.

Pada tanggal 25 Desember, Tuhan telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, yaitu Juru Selamat, agar barang siapa yang percaya kepada Dia tidak binasa, melainkan mendapat hidup yang kekal, dan hendaklah kita dapat menaruh harapan kepada-Nya).

Kemudian pemilik rumah akan menjamu mereka dan memberikan berbagai jenis makanan kepada mereka sebagai ucapan terimakasih dan ikut bersyukur atas peristiwa Natal tersebut. Kebiasaan itu dimaksudkan untuk menghargai peristiwa keagamaan sekaligus untuk menurunkan tradisi berbahasa Portugis di kalangan anak muda.

Pada hari Minggu pertama setelah pergantian tahun, diadakanlah pesta mandi-mandi. Mandi-mandi konon adalah simbol saling membersihkan diri dan saling memaafkan antara sesama warga. Pada saat ini pesta mandi-mandi tidak diadakan lagi, akan tetapi mereka mengantinya dengan saling mengolesi bedak cair ke wajah. Hingga menjelang akhir tahun 1990-an, masih ada Grup Musik Keroncong keliling oleh anak-anak muda sambil mengunjungi rumah-rumah pada tengah malam Natal sampai Tahun Baru14.

Dokumen terkait