• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nunut: Sebuah Grup Musik Keroncong Di Desa Lobu Singkam Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Nunut: Sebuah Grup Musik Keroncong Di Desa Lobu Singkam Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

NUNUT: SEBUAH GRUP MUSIK KERONCONG DI DESA LOBU SINGKAM KECAMATAN SIPOHOLON KABUPATEN TAPANULI UTARA.

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : SENOVIAN BUTARBUTAR

NIM : 020707009

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Torang Naiborhu, M.Hum Drs. Frida Deliana Harahap , M. Hum

NIP: 131.882.280 NIP:

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana seni dalam bidang Etnomusikologi.

(2)

NUNUT: SEBUAH GRUP MUSIK KERONCONG DI DESA LOBU SINGKAM KECAMATAN SIPOHOLON KABUPATEN TAPANULI

UTARA.

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

SENOVIAN BUTARBUTAR NIM : 020707009

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

(3)

KATA PENGATAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus, buat segala kasih

perlindungan dan bimbinganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Nunut: Sebuah Grup Musik Keroncong Di Desa

Lobu Singkam Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara”. Tujuan

penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk

memperoleh gelas sarjana di Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan. penulis merasa bahwa penulisan skripsi ini

belum lengkap baik dari segi isi, tata cara penulisan, susunan bahkan penelitian

yang penulis lakukan, hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang penulis miliki.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis menghadapi banyak kendala

baik dari penulis sendiri maupun hal lain yang membuat penulis tidak bisa

konsentrasi menyelesaikan tulisan ini. Namun berkat bantuan dan dorongan dari

orang-orang disekitar penulis, maka penulisan skripsi ini selesai dengan baik.

Pertama sekali penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada orang

tua yang saya cintai, ayahanda Drs. Melani Butarbutar, M.M dan ibunda Rusmida

Sidabutar yang telah membesarkan, merawat, membiayai bahkan mendoakan

penulis setiap saat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini dengan baik.

Penulis juga berterimakasih kepada abangda Lambok Butarbutar, S.Kom, M.Kom

(4)

doa kalian. Juga buat adik saya Rosalina Tobing S.S terimakasih telah menemani

penulis dan memberikan pengertian, perhatian, dukungan dan doa.

Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Drs.

Saifuddin M.A., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra USU Medan.

Terimakasih kepada Ketua Departemen Etnomusikologi Ibu Dra. Frida

Deliana M. Si, yang juga menjadi dosen pembimbing II penulis dan Ibu Dra.

Heristina Dewi M.Pd selaku Sekretaris Depertemen Etnomusikologi yang telah

banyak membantu dan memperhatikan semua aktivitas penulis dalam akademik

dan penyelesaian tugas akhir ini.

Terimakasih banyak kepada Bapak Drs. Torang Naiborhu M.Hum selaku

dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan

dalam penulisan skripsi ini dan terimakasih buat kepercayaan atas segala aktivitas

dan pekerjaan yang diberikan.

Terimakasih juga kepada Dra. Rithaony Hutajulu M.A selaku pembimbing

akademik penulis selama mengikuti perkuliahan dan kepada seluruh Staf

Pengajar Departemen Etnomusikologi dan Fakutas Sastra yang telah banyak

memberikan pengetahuan baru dan mendidik penulis sehingga bisa meyelesaikan

studi, penulis mengucapkan banyak terimakasih.

Kepada Ompu Oknes Sipahutar selaku infroman dan pemimpin Grup

Musik Nunut penulis ucapkan banyak terimakasih karena telah menyambut

penulis dengan akrab dan juga kepada Ama Betman Sipahutar, Ama Anju

Sipahutar, Ama Sensus Simatupang serta Kepala Desa dan Sekretaris Desa Lobu

(5)

menemani penulis untuk mengadakan penelitian. Semoga apa yang diharapakan

infroman untuk membangkitkan kembali gairah bermain musik Keroncong di

desa Lobu Singkam dapat terwujud, penulis akan selalu mendukung dan

menantikan Grup Musik Nunut bisa berjaya kembali.

Buat anak-anak 2002: Irbeth, Kang Irfas, Tommy, Herbet, Intan, Decy,

wak Alex, Decy, Martavia, Resta, Hotma, Riga, Yudha, Hebert, Elisabeth, Nely

dan seluruhnya Team Terbang 02, terimakasih buat kebersamaan selama 5 tahun

lebih yang selalu penulis banggakan dan atas suka duka, kerjasama serta saling

mendukung dalam penyelesaian tugas akhir. Juga buat adik-adikku Evi Ndut,

Vendy serta semua anak-anak Etnomusikologi yang selalu memberikan dukungan

dan tidak bosan untuk menanyakan penulis kapan wisuda, terimakasih ya.

Buat sahabat dan adik-adikku di PSM USU yang telah banyak

memberikan dukungan. Penulis bangga menjadi bagian dari kalian. Mari terus

merangkai nada, mengalun suara dan menjalin persahabatan dan berjuanglah

untuk tetap menjadi kebanggaan kampus USU.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna, oleh karena itu

penulis mengarapkan saran dan kritikan yang membangun dari pembaca sehingga

tulisan ini bisa menjadi sumber ilmu pengetahuan secara khusus dalam bidang

Etnomusikologi. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi setiap yang membaca tulisan

ini dan orang-orang yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai Grup Musik Nunut.

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Pokok Permasalahan ... 5

1.3Tujuan dan Manfaat ... 6

1.3.1 Tujuan ... 6

1.3.2 Manfaat ... 6

1.4Konsep dan Teori ... 7

1.4.1 Konsep ... 7

1.4.2 Teori ... 8

1.5Metode Penelitian ... 11

1.5.1 Studi Kepustakaan ... 12

1.5.2 Kerja Lapangan ... 13

1.5.3 Wawancara ... 13

1.5.4 Perekaman ... 15

1.5.5 Observasi ... 15

1.5.6 Kerja Laboratorium ... 16

1.6Pemilihan Lokasi Penelitian ... 17

(7)

2.1Letak Geografis Lokasi Penelitian ... 18

2.2 Pola Perkampungan dan Letak Rumah ... 19

2.3 Asal Usul Penduduk dan Bahasa ... 20

2.4 Mata Pencaharian ... 21

2.5 Sistem Kekerabatan ... 22

2.6 Sistem Kepercayaan ... 23

2.7 Sistem Kesenian ... 23

BAB III SEJARAH GRUP MUSIK NUNUT 3.1 Sejarah Musik Keroncong ... 25

3.1.1 Sejarah Musik Keroncong di Indonesia ... 26

3.1.2 Perkembangan Musik Keroncong di Indonesia ... 30

3.1.3 Pengertian Keroncong ... 32

3.2 Sejarah Grup Musik Keroncong di Desa Lobu Singkam ... 34

3.3 Sejarah Grup Musik Nunut ... 38

3.3.1 Pengertian Grup Musik Nunut ... 40

3.3.2 Perkembangan Grup Musik Nunut ... 41

3.3.2.1Tahun 1964 ... 41

3.3.2.2Tahun 1964 Sampai Tahun 1965 ... 42

3.3.2.3Tahun 1965 Sampai Sekarang ... 43

(8)

3.4.c Penggunaan ... 46

3.4.d Komposisi ... 47

BAB IV DESKRIPSI ALAT MUSIK, TEKNIK PERMAINAN, PROSES BELAJAR DAN BENTUK PENYAJIAN 4.1 Deskripsi Alat Musik dan Teknik Permainan Pada Grup Musik Nunut ... 49

4.1.1 Mandolin ... 50

4.1.2 Gitar ... 53

4.1.3 Karoccong ... 56

4.1.4 Tambor ... 58

4.1.5 Gardap ... 59

4.1.6 Heser ... 61

4.1.7 Viol ... 62

4.1.8 Jes ... 63

4.1.9 Parhata ... 63

4.2 Proses Belajar Dan Bentuk Penyajian Grup Musik Nunut ... 64

4.2.1 Proses Belajar Pada Grup Musik Nunut ... 65

4.2.2 Bentuk Penyajian Grup Musik Nunut ... 66

BAB V TRANSKRIPSI DAN ANALISA 5.1Transkripsi ... 68

5.1.1Metode Penelitian Tanskripsi ... 69

(9)

5.2.1Tangga Nada ... 74

5.2.2Nada Dasar ... 75

5.2.3Wilayah Nada ... 77

5.2.4Frekwensi Pemakaian Nada ... 78

5.2.5Kadensa ... 78

5.2.6Formula Melodi ... 79

5.2.7Kantur ... 80

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1Kesimpulan ... 81

6.2Saran ... 83

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masyarakat yang tinggal di desa Lobu Singkam, Kecamatan Sipoholon

mayoritas adalah Suku Batak Toba. Masyarakat di daerah ini datang dari

daerah-daerah sekitarnya untuk membuka lahan pertanian, kemudian tinggal di dekat

lahan tersebut. Dengan tekstur wilayah yang berbukit dan dipenuhi pegunungan,

masyarakat yang tinggal di desa ini hidup berkelompok di lembah-lembah. Setiap

wilayah yang ditempati biasanya terdiri dari satu klan atau marga. Jarak satu

wilayah kewilayah lainnya biasanya sangat jauh dan jalannya kurang baik.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat desa Lobu Singkam terutama di

Dusun Habinsaran yang mayoritas sebagai petani ini sangat menjunjung tinggi

dalihan natolu sebagai hukum adat dalam melaksanakan setiap kegiatan, baik

dalam kekerabatan. upacara adat dan keagamaan. Masyarakatnya juga mengenal

setiap bentuk kesenian Batak Toba, seperti gondang sabangunan, uning-uningan,

tambor-tambor, Opera Batak, termasuk juga gondang keyboard1. Dalam pesta

perkawinan biasanya gondang sabangunan atau gondang keyboard diundang

untuk menghibur masyarakat yang datang ke pesta tersebut. Akan tetapi berbeda

dengan upacara kematian, biasanya yang diundang adalah uning-uningan atau

sebuah grup musik yang mirip dengan grup musik Keroncong untuk menghibur

orang-orang yang mengalami kemalangan.

1

(11)

Grup musik Keroncong ini sangat unik dan fenomenal, karena bila dilihat

secara umum sejarah kesenian Batak Toba, ansambel musik ini tidak ada. Akan

tetapi di desa Lobu Singkam grup musik seperti ini sudah ada sejak tahun

1960-an. Bahkan di desa ini pernah terdapat 4 grup musik seperti ini, walaupun saat ini

tinggal satu grup saja yang bertahan yaitu Grup Musik Nunut yang berada di

Dusun Habinsaran.

Grup Musik Nunut bukanlah nama sebenarnya, dan para pemain Grup

Musik Nunut tidak mempunyai terminologi yang bisa menjelaskan seperti apa

grup musik tersebut. Akan tetapi karena grup musik ini pernah diundang oleh

sebuah lembaga kebudayaan yang bernama Soripada pada Pameran Ulang Tahun

Kabupaten Tapanuli Utara 2006 di Tarutung, akhirnya mereka mencari nama dan

menyebut dirinya dengan Grup Musik Nunut2.

Grup Musik Nunut ini pada mulanya dibuka oleh Ompu Binahar Sipahutar

pada tahun 1964, pada saat itu terjadi sebuah permasalahan yang menganggap

opera tidak lagi layak dijadikan sebagai hiburan. Sehingga pada saat itu tidak ada

lagi hiburan rakyat. Kemudian Ompu Binahar Sipahutar meminta seorang

temannya yang bernama Karel Hutagalung untuk membuat beberapa alat musik

musik yang nantinya digunakan sebagai hiburan. Karel Hutagalung merupakan

seorang pembuat gitar dan organ yang sudah sangat dikenal dengan nama Gitar

Sipoholon. Tidak diketahui dari mana ide Beliau untuk membuat alat musik

seperti yang digunakan Grup Musik Nunut tersebut. Namun berkat alat musik

(12)

Grup Musik Nunut merupakan sebuah grup musik instrumental atau

ansambel musik yang memainkan lagu-lagu tradisional Batak Toba seperti

gondang3, lagu-lagu perjuangan maupun lagu-lagu gereja. Namun pada saat ini

mereka sudah memainkan lagu-lagu pop Batak yang dimainkan secara

instrumental.

Alat musik yang mereka gunakan pada awalnya adalah Mandolin (short

neck lute), Gitar (long neck lute), Gardap (senar drum), Tambor (bass drum), Viol

(Biola), dan Karoccong4 (sejenis ukulele). Kemudian pada tahun 1965 Grup

Musik Nunut mengalami perkembangan dan alat musiknya semakin banyak yaitu

2 buah Gitar, 2 buah Karoncong, 2 buah Mandolin, 2 buah Viol (Biola), 2 buah

Heser (Marakas), Gardap (bass drum), Tambor (snare drum) dan Jes (cymbal).

Dalam penyajiannya, Mandolin sebagai pembawa melodi. Setiap lagu

selalu di awali oleh Mandolin diikuti alat musik lain dan kemudian diakhiri oleh

Mandolin serta diikuti alat musik yang lainnya juga. Ketika Mandolin mulai

berbunyi, memainkan sebuah lagu mereka akan tahu lagu apa yang dimainkan.

Uniknya semua lagu dimainkan seperti itu, baik lagu yang berirama lambat atapun

cepat. Mereka tidak mempunyai aturan khusus untuk setiap lagu. Sebuah lagu

akan selalu dimainkan berulang-ulang hingga pemain Mandolin mengakhiri lagu

tersebut. Kebanyakan lagu yang mereka bawakan berirama cepat.

3

Gondang dalam hal ini adalah nama komposisi yang sering dibawakan oleh gondang sabangunan ataupun uning-uningan.

4

Karoccong adalah salah satu alat musik Batak Toba yang tergolong klasifikasi chordophones

(13)

Walaupun pada setiap pertunjukan -pada saat awal terbentuknya grup

musik ini- dipimpin oleh seorang Parhata5 namun mereka tidak tahu judul setiap

lagu yang mereka bawakan, kecuali lagu yang berasal dari lagu gereja dan

sebagian lagu pop atau lagu perjuangan. Pada awalnya mereka diundang untuk

menghibur orang yang mengalami kemalangan, akan tetapi saat ini sudah

digunakan pada acara lain seperti Pesta Gereja, hari Natal dan Tahun Baru,

hiburan pada upacara Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia juga pada waktu

senggang setelah pulang dari ladang.

Hingga saat ini hanya Grup Musik Nunut yang masih sering mengadakan

pertunjukan di daerah tinggal mereka walaupun alat musik yang mereka gunakan

sudah berkurang. Alat musik yang mereka gunakan saat ini adalah sebuah

Mandolin, Gardap, Tambor dan Gitar dan 2 buah Karoccong, sedangkan Parhata

tidak ada lagi. Pemain dari grup musik ini sekarang adalah generasi ketiga dari

Ompu Binahar Sipahutar yaitu Ompu Oknes Sipahutar bersama anak-anak serta

menantunya yang berusaha tetap menjaga kelangsungan grup musik ini agar tidak

sampai hilang.

Grup Musik Nunut menjadi sebuah fenomena musik yang relatif baru

dalam kehidupan masyarakat di Lobu Singkam secara khusus dan di Kecamatan

Sipoholon serta Kabupaten Tapanuli Utara secara umum yang sudah mengenal

bentuk kesenian tradisional Batak Toba. Mereka muncul di desa yang belum

seluruhnya mengenal kehidupan modern, media bahkan penerangan. Dengan

(14)

Musik Nunut ini. Beberapa hal yang menjadi fokus penelitian ini adalah sejarah

bagaimana grup musik ini bisa terbentuk, perkembangan Grup Musik Nunut

hingga saat ini, deskripsi dan fungsi setiap alat musik, bagaimana mereka

mengetahui lagu-lagu yang mereka bawakan walaupun tidak mempunyai judul,

kelangsungan dari grup musik tersebut serta hubungan Grup Musik Nunut dengan

musik Keroncong. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian

yang lebih khusus dan mengangkatnya ke dalam bentuk tulisan ilmiah. Dengan

demikian penulis memberi judul penelitian ini: Nunut: Sebuah Grup Musik Keroncong Di Desa Lobu Singkam Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara.

1.2. Pokok Permasalahan

Pokok permasalahan yang ingin dibahas dalam tulisan ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sejarah berdirinya Grup Musik Nunut di Dusun

Habinsaran, desa Lobu Singkam?

2. Hubungan antara Grup Musik Nunut dengan musik Keroncong?

3. Bagaimanakah deskripsi cara memainkan setiap alat musik dalam Grup

Musik Nunut?

4. Bagaimanakah teknik penggarapan serta penyajian lagu-lagu yang

(15)

1.3. Tujuan dan Manfaat 1.3.1. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Grup Musik Nunut yang berdiri

di dusun Habinsaran, desa Lobu Singkam.

2. Untuk mengetahui hubungan antara Grup Musik Nunut dengan musik

Keroncong.

3. Untuk mengetahui deskripsi bagaimana setiap alat musik dalam Grup

Musik Nunutdimainkan.

4. Untuk mengetahui teknik penggarapan serta penyajian lagu-lagu yang

dibawakan Grup Musik Nunut

1.3.2. Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai sumber informasi dan dokumentasi tentang Grup Musik Nunut

yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba di desa Lobu

Singkam

2. Menambah wawasan, literatur dan dokumentasi kesenian Batak Toba

di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU.

3. Sebagai bahan masukan terhadap pihak-pihak yang berkompeten

terhadap kesenian, kebudayaan dan pariwisata, misalnya pemerintah,

(16)

1.4. Konsep dan Teori 1.4.1. Konsep

Konsep merupakan suatu istilah yang sulit dirumuskan atau didefenisikan

secara pasti. Hal ini terjadi karena sifatnya sangat abstrak namun bisa

diilustrasikan dengan mudah (H. Nana Sudjana, 2000:9).

Grup adalah rombongan, kelompok atau golongan. Sedangkan grup musik

adalah sekumpulan orang yang secara bersama-sama membentuk kelompok atau

rombongan yang memainkan musik. Sebuah grup musik bisa berupa sebuah band,

grup vokal, ataupun grup musik instrumental. Sebuah grup musik merupakan

sebuah kelompok yang sudah memiliki aturan seperti sebuah organisasi walaupun

ada yang tidak berstruktur. Hal ini biasa terjadi pada grup-grup musik tradisional.

Keroncong adalah sejenis musik Indonesia yang memiliki hubungan

historis dan berasal dari Portugis. Keroncong berawal dari musik yang dimainkan

para budak dan opsir Portugis umumnya keturunan benggali yang berasal dari

Goa (daratan India). Mereka ditawan oleh Belanda dan diasingkan ke Batavia

(Jakarta). Bentuk awal musik ini disebut moresco, yang diiringi oleh alat musik

dawai. Hingga kemudian Keroncong berkembang di Indonesia.

Nunut merupakan nama dari grup musik Keroncong tersebut. Pengertian

Nunut menurut Kamus Batak Toba – Indonesia adalah keuletan, kerajinan dan

ketabahan. Secara garis besar Nunut mempunyai pengertian adalah rajin, ulet,

teratur dan tabah mengerjakan sesuatu walaupun hasilnya sedikit. Mereka

(17)

pekerjaan dengan baik dan teratur dalam menjalani kehidupan dengan apa

adanya.6

Desa Lobu Singkam Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara

merupakan daerah penelitian dan tempat tinggal para pemain Grup Musik Nunut

serta para informan. Masyarakat yang tinggal di daerah ini mayoritas suku Batak

Toba. Mata pencahariannya adalah bertani dan sangat menjunjung tinggi adat

istiadat.

1.4.2. Teori

Menurut H. Nana Sudjanan dan H. Awal Kusumah dalam bukunya

“Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi” menyebutkan teori adalah kumpulan

dari konsep, prinsip, defenisi proposisi yang terintegrasi yang menyajikan

pandangan sistematis tentang suatu fenomena dengan fokus hubungan antar

variavel untuk menjelaskan suatu fenomena.

Untuk menganalisa sejarah berdirinya Grup Musik Nunut penulis

menggunakan teori kesejarahan yang menyebutkan bahwa tujuan dan manfaat

mempelajari sejarah adalah untuk memperoleh pengalaman mengenai peristiwa

sejarah di masa lalu, untuk mengetahui hukum-hukum sejarah yang berlaku agar

kemudian dapat dimafaatkan untuk mengatasi persoalan hidup sekarang dan yang

akan datang (Rustam E Tamburaka, 1999:9).

Untuk mengkaji bagaimana terjadinya perpaduan antara konsep Grup

(18)

yang menyebutkan bahwa ketika adanya kelompok manusia atau bangsa

berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mereka akan membawa unsur

kebudayaan mereka ke tempat dimana mereka bermigrasi (Koentjaraningrat,

1990:244). Proses difusi ini menyebabkan adanya perubahan antara unsur

kebudayaan mereka dengan unsur kebudayaan tempat mereka bermigrasi.

Perubahan unsur kebudayaan ini bisa berupa pembauran kebudayaan (akulturasi)

maupun munculnya unsur kebudayaan baru (inovasi). Perubahan kebudayaan

berhubungan dengan bagaimana masyarakat menerima unsur budaya baru dan

cara masyarakat memenuhi kebutuhannya. Dalam pemenuhan kebutuhan

masyarakat selalu menginginkan adanya perubahan, hal ini bisa terjadi karena

tidak puas terhadap keadaan sekarang ataupun karena kebudayaan lain selalu

melancarkan pengaruhnya terhadap masyarakat tersebut. Hal inilah yang

menyebabkan terjadinya perubahan kebudayaan.

Tradisi lisan dalam kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu tradisi yang

menggunakan cara lisan untuk melanjutkan kehidupan kebudayaan itu. Bila suatu

musik dikatakan sebagai sebuah tradisi musik lisan, hal ini terjadi karena tidak ada

cara penulisan ataupun data tertulis untuk mengetahui apa yang disampaikan

untuk kelangsungan sebuah tradisi musik. Demikian pula apa yang terjadi dalam

tradisi musik Batak Toba khususnya Grup Musik Nunut. Semua penggunaan alat

musik, penggarapan lagu dan penyajian ansambel ini tidak melalui proses

pembelajaran seperti musik barat. Semua pemainnya mengetahui dengan cara

melihat, mendengar dan meniru orang yang memainkan dan menyajikan musik

(19)

Berkenaan dengan klasifikasi musik Curt Sachs dan Hornbostel

(1913-1914) dalam buku Alat musikt Of The World membagi berbagai alat musik yang

ada di seluruh dunia ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan sumber bunyinya

yaitu klasifikasi chordophone (senar), aerophone (udara), membranophone

(membran), idiophone (badan alat musik) dan electrophone (elektrik). Kemudian

setiap alat musik tersebut diklasifikasikan lagi kedalam berbagai macam kategori

lain.

Untuk menganalisa lagu-lagu yang dibawakan oleh Grup Musik Nunut,

penulis akan menggunakan teori yang ditawarkan oleh Malm (1977:15), yang

menyebutkan ada beberapa point yang bisa digunakan untuk menganalisa suatu

musik, yaitu:

1. Tangga Nada (Scale)

2. Nada Dasar (Pitch)

3. Wilayah Nada (Range)

4. Interval

5. Jumlah Pemakaian Nada (Frequency of Not)

6. Formula Melodi

7. Pola-Pola Kadensa

8. Kontur

Untuk mendeskripsikan musik tersebut, penulis mengacu kepada pendapat

yang dikemukakan oleh Nettl (1964:98), yang mengemukakan bahwa ada dua

(20)

2. Mendeskripsikan dan menuliskan apa yang dilihat.

Dalam mentranskripsikan lagu ini, penulis menggunakan pendapat yang

pertama, yaitu menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar.

Untuk penotasian lagu yang dibawakan Grup Musik Nunut, penulis

mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Seegar (1971:23-24) yang

menyatakan ada dua jenis notasi musik yaitu:

1. Notasi Preskriptif yaitu notasi yang bertujuan menyajikan sebuah

komposisi dari musik yang didengar.

2. Notasi Deskriptif yaitu notasi yang bertujuan untuk menyampaikan kepada

ciri-ciri atau detail-detail dari komposisi musik yang belum diketahui oleh

pembaca

Alan P. Meriam (1964:209-226) berpendapat bahwa adalah bagian dari

kehidupan dan kebudayaan manusia. Menurut Beliau fungsi musik adalah: fungsi

pengungkapan emosional, fungsi pengungkapan estetis, fungsi hiburan, fungsi

komunikasi, fungsi perlambangan, fungsi rekasi jasmani, fungsi yang berkaitan

dengan norma sosial, fungsi pengesahan lembaga sosial, fungsi kesinambungan

kebudayaan dan fungsi pengintegrasian masyarakat.

1.5. Metode Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian Grup Musik Nunut penulis menggunakan

metode penelitian untuk mempermudah penelitian baik secara deskriptif maupun

(21)

Penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat

sifat-sifat suatu individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk

menentukan frekwensi atau penyebaran suatu gejala atau frekwensi adanya

hubungan tertentu antara suatu gejala lain dalam masyarakat. Dalam hal ini

mungkin sudah ada hipotesa, mungkin juga belum tergantung dari sedikit

banyaknya pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan (Koenjtaraningrat

1991:29). Sedangkan penelitian kualitatif merupakan rangkaian kegiatan atau

proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu

masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya.

Penulis menggunakan kedua metode ini dengan tujuan data-data yang

dihasilkan nantinya akan bisa menjawab permasalahan yang ada.

1.5.1. Studi Kepustakaan

Untuk mendukung kelengkapan dan keakuratan data yang diperoleh,

sebagai landasan berfikir dalam tulisan ini, penulis juga mengadakan studi

kepustakaan. Studi ini dilakukan untuk mencari buku ataupun literatur dibutuhkan

penulis guna mendapatkan data yang akurat. Sumber bacaan dan literatur yang

penulis cari adalah hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan

Grup Musik Nunut dalam bentuk tulisan ilmiah, sejarah Keroncong dan

perkembangannya. Sumber lain yang menjadi tulisan pendukung adalah buku,

majalah, buletin, jurnal dari perpustakaan dan juga situs-situs internet yang

(22)

Kesulitan dalam melaksanakan studi ini adalah belum adanya referensi

yang penulis dapatkan yang berhubungan dengan Grup Musik Nunut.

1.5.2. Kerja Lapangan

Penulis mengadakan kerja lapangan dengan turun secara langsung ke

lapangan untuk melakukan penelitian. Dalam kerja lapangan penulis melakukan

pengamatan, wawancara, pengambilan gambar, perekaman data secara audio dan

visual. Penulis mengadakan interaksi dengan informan dan masyarakat di desa

tersebut untuk memudahkan pelaksanaan penelitian. Ketika Grup Musik Nunut

mengadakan pertunjukan, penulis mengamati dan mencatat setiap data yang

terlihat.

Penulis mengadakan kerja lapangan di rumah salah satu pemain Grup

Musik Nunut di desa Lobu Singkam, Kecamatan Sipoholon. Pemilihan lokasi

kerja lapangan ini karena Grup Musik Nunut berada di desa tersebut.

1.5.3. Wawancara

Untuk mendapatkan data sebanyak mungkin, penulis juga mengadakan

wawancara langsung dengan pemain Grup Musik Nunut serta masyarakat desa

Lobu Singkam yang mengetahui tentang grup musik tersebut. Koentjaraningrat

(1991:139) mengemukakan bahwa kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi

tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, teknik bertanya dan pencatat data

hasil wawancara. Wawancara terdiri dari beberapa bentuk yaitu: Wawancara

(23)

pokok permasalahan. Dalam wawancara bebas diskusi langsung dari satu masalah

ke masalah lain tetapi tetap menyangkut pokok permasalahan. Wawancara sambil

lalu adalah diskusi langsung atau percakapan yang dilakukan tanpa kosep

untuk/melengkapi data yang sudah terkumpul.

Sesuai dengan pendapat tersebut diatas, penulis mempersiapkan hal-hal

yang berhubungan dengan kegiatan wawancara tersebut diantaranya daftar

pertanyaan, audio recorder, video recorder, kamera dan alat tulis. Dalam setiap

wawancara penulis mencatat dan merekam dengan audio recorder setiap informasi

yang didapat. Hal ini dilakukan penulis untuk menghindari adanya data yang tidak

sempat dicatat masih didengarkan melalui hasil rekaman.

Beberapa wawancara yang penulis lakukan adalah:

1. Wawacara dengan salah satu pemain Grup Musik Nunut yaitu Ompu Oknes

Sipahutar untuk mendapatkan secara langsung data-data keseluruhan

mengenai Grup Musik Nunut.

2. Wawancara dengan salah satu pemain Grup Musik Nunut yang tidak lagi ikut

bermain, untuk mendapatkan informasi tentang sejarah terbentuk grup musik

tersebut.

Pada saat proses wawancara berlangsung penulis juga mengadakan

wawancara bebas terhadap semua pemain serta wawancara dengan masyarakat

setempat dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tanpa terhindar dari topik

permasalahan utama. Penulis melakukan wawancara ini untuk mendapatkan

(24)

1.5.4. Perekaman

Dalam proses perekaman hasil wawancara, penulis menggunakan audio

recorder digital, sambil mengadakan pencatatan informasi. Penulis menggunakan

video recorder merek Sony DCR TRV140E dan kaset video kosong Sony HI-8,

untuk merekam semua permainan Grup Musik Nunut. Penulis tidak melakukan

wawancara dalam proses ini, akan tetapi penulis merekam secara fokus teknik

permainan, alat musik dan lagu yang dibawakan Grup Musik Nunut. Dengan

adanya perekaman menggunakan video recorder ini, sangat membantu penulis

dalam menganalisa setiap data yang diperoleh, karena bisa ditonton secara

berulang-ulang.

Untuk perekaman audio dan wawancara, penulis menggunakan mp4 player

SUN yang mempunyai fitur perekaman suara digital. Penulis menjadi lebih

mudah melakukan wawancara karena semua hasil wawancara langsung direkam

kedalam perangkat ini.

Dengan menggunakan kamera digital Sony CyberShot A510, penulis

kemudian melakukan pengambilan gambar terhadap para informan, alat-alat

musik yang digunakan, gambar ketika sedang bermain di rumah salah satu pemain

serta gambar ketika pertunjukan.

1.5.5. Observasi

Penulis mengadakan observasi dengan tujuan penulis bisa mengamati

secara langsung aktivitas yang sedang berlangsung, mengetahui orang-orang yang

(25)

Menurut Iin Tri Rahayu dan Tristiadi Ardi Ardana (2004:1) observasi

adalah pengamatan yang bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu

masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau pembuktian terhadap informasi/

keterangan yang diperoleh sebelumnya.

Penulis mengadakan observasi terhadap di beberapa tempat untuk melihat

bagaimana mereka melakukan pertunjukan dan untuk mengetahui siapa saja yang

terlibat dalam grup musik tersebut.

1.5.6. Kerja Laboratorium

Semua data yang telah diperoleh dari penelitian di lapangan melalui

observasi, wawancara serta studi kepustakaan, kemudian dianalisis untuk

mendapatkan sebuah tulisan yang baik. Kerja laboratorium meliputi penyeleksian

dan pengkategorian data. Penulis juga mengadakan evaluasi terhadap setiap data

yang telah diseleksi agar tidak terjadi masalah pada hasil akhirnya.

Setiap data yang telah direkam melalui audio recorder didengarkan secara

berulang-ulang untuk kemudian dicatat. Demikian juga dengan hasil rekaman

video recorder, penulis menonton secara berulang-ulang rekaman tersebut untuk

melihat secara lebih dalam apa saja yang bisa dilihat dan kemudian dicatat sebagai

data tulisan.

Beberapa data rekaman wawancara yang penulis peroleh harus

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, karena bahasa yang digunakan para

(26)

mempermudah proses penerjemahan penulis menggunakan Kamus Batak

Toba-Indonesia.

1.5.7. Pemilihan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian penulis adalah di Dusun Habinsaran, Desa Lobu

Singkam, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara. Daerah Dusun

Habinsaran, desa Lobu Singkam merupakan tempat tinggal informan dan pemain

(27)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Letak Geografis Kabupaten Tapanuli Utara

Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu kabupaten yang tekstur

wilayahnya bergunung-gunung. Tapanuli Utara berada pada ketinggian 906-1500

meter diatas permukaan laut. Letak geografisnya berada pada 2-3o lintang utara

dan 98-99,5o bujur timur dengan luas wilayah 10.605 km2. Suhu udara rata-rata

adalah 22oC. Wilayah ini merupakan salah satu daerah dengan curah hujan yang

cukup banyak yaitu 0,8 mm pertahun. Di kabupaten inilah terdapat Kecamatan

Sipoholon sebagai tempat penelitian penulis.

2.1.1. Letak Geografis Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian penulis adalah di dusun Habinsaran. Dusun ini

merupakan bagian dari Desa Lobu Singkam yang merupakan salah satu desa yang

terdapat di Kecamatan Sipoholon. Desa Lobu Singkam berada pada ketinggian

1150 m di atas permukaan laut. Untuk menjangkau Kecamatan Sipoholon penulis

memerlukan waktu 6 jam dari kota Medan untuk sampai ke Kecamatan Sipoholon

dengan jarak sekitar 275 km. Jarak dari Ibukota Kecamatan dengan desa Lobu

Singkam kurang lebih 8 km. Butuh waktu sekitar 30-45 menit untuk sampai ke

(28)

yang tidak baik. Karena sarana transportasi tidak selalu ada maka penulis

menggunakan kendaraan roda dua untuk menjangkau lokasi penelitian tersebut.

Dusun Habinsaran berada pada wilayah yang lebih rendah dari desa Lobu

Singkam. Jarak dari Desa Lobu Singkam ke Dusun Habinsaran kurang lebih 3 km.

Untuk sampai ke dusun tersebut penulis harus menempuh jalan yang berbatu dan

belum di aspal. Penulis kadang harus berjalan kaki karena jalan yang sangat terjal

dan berlumpur bila hujan datang. Desa Lobu Singkam memiliki batas batas

wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Aek Raja Kecamatan Sipoholon

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pintu Bosi Kecamatan Sipoholon

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Horison Kecamatan Sipoholon

4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Rura Julu Kecamatan Sipoholon

2.2. Pola Perkampungan dan Letak Rumah

Berdasarkan pengamatan penulis bahwa pola perkampungan di desa Lobu

Singkam sama dengan pola perkampungan Batak Toba pada umumnya. Letak

rumah selalu berhadapan menghadap jalan atau menghadap halaman umum

membentuk sebuah perkampungan.

Penduduk yang tinggal di desa Lobu Singkam memiliki bentuk pola

pemukiman yang berkelompok. Setiap rumah dibangun menghadap jalan dan

sejajar mengikuti alur jalan desa. Berbeda dengan pemukiman yang ada di

dusun-dusun. Biasanya jarak pusat desa dengan perkampungan lainnya sangat jauh, hal

(29)

digarap. Mereka tinggal di dekat lahan tersebut dan kemudian membentuk

komunitas sendiri yang menjadi cikal bakal sebuah perkampungan ataupun dusun.

Karena kebanyakan dusun-dusun berada pada wilayah yang lebih rendah dari

jalan desa atau berada di lembah, maka pola perkampungannya menjadi berbeda

dengan yang ada di pusat desa. Letak setiap rumah dibangun saling berhadapan

satu sama lain menghadap halaman umum.

2.3. Asal Usul Penduduk dan Bahasa

Penduduk yang mendiami wilayah Desa Lobu Singkam adalah suku Batak

Toba. Sampai sejauh ini belum ada suku lain yang tinggal di wilayah ini.

Penyebaran penduduk yang ada di Desa Lobu Singkam tidak berkonsentrasi pada

satu wilayah saja, hal ini dipengaruhi oleh letak lahan pertanian yang digarap.

Kebanyakan penduduk disana berasal dari luar desa Lobu Singkam yang datang

membuka lahan pertanian dan tinggal di dekat lahan tersebut. Menurut

pengamatan penulis bahwa mereka datang dari wilayah atau desa-desa lain yang

jaraknya sangat jauh seperti Sipoholon, Hutaraja, Tarutung, bahkan

Siborong-borong untuk mencari lahan pertanian yang baru. Setiap dusun atau

perkampungan selalu dihuni oleh satu kelompok marga. Seperti dusun

Habinsaran, dihuni oleh kelompok marga Sipahutar yang datang dari desa

Hutaraja yang jaraknya sangat jauh. Beberapa marga lain yang mayoritas tinggal

di desa ini dan membuka perkampungan sendiri adalah marga Simanungkalit,

(30)

Jumlah jiwa yang terdapat di desa ini kurang lebih 2.402 orang dengan

jumlah keluarga sekitar 480 – 500 KK. Di Dusun Habinsaran sebagai tempat

penelitian dan tempat tinggal informan terdapat sekitar 43 KK.

Ada 2 bentuk bahasa yang umum digunakan di desa ini yaitu Bahasa

Batak Toba dan Bahasa Indonesia. Dalam percakapan sehari-hari bahasa yang

digunakan adalah Bahasa Batak Toba. Mereka juga menggunakannya dalam

mengadakan transaksi di pasar, di tempat peribadatan dan dalam berbagai

kegiatan desa. Sedangkan Bahasa Indonesia digunakan dalam kegiatan

Administrasi Pemerintahan, juga dalam proses belajar mengajar di sekolah

walaupun kadang menggunakan pengantar Bahasa Batak Toba.

2.4. Mata Pencaharian

Dengan kondisi alam yang berada pada wilayah pegunungan, penduduk

yang mendiami wilayah desa Lobu Singkam mayoritas sebagai petani.

Berdasarkan data statistik bahwa mata pencaharian penduduk Desa Lobu Singkam

adalah 95% sebagai petani dan sisanya sebagai wiraswata atau pekerjaan lain di

bidang akademis dan pemerintahan seperti PNS pemerintahan (1 orang), Guru

PNS, Guru Honor (27 orang) dan Bidan (4 orang).

Penduduk di desa Lobu Singkam biasanya membuka lahan dekat dengan

tempat mereka tinggal. Hasil pertanian yang dihasilkan adalah padi, Palawija

(Jagung, Ketela, Kacang Tanah), sayur-sayuran seperti tomat, cabe, bawang,

kentang dan yang lainnya. Disamping itu terdapat juga beberapa hasil dari

(31)

desa ini. Sedangkan hasil peternakan diantaranya adalah itik, ayam, kerbau, dan

babi. Di beberapa tempat terdapat juga perikanan yaitu berupa tambak atau kolam

ikan. Hasil dari pertanian dan peternakan ini mereka jual pada hari pekan ke pasar

di Tarutung. Karena sarana transportasi yang tidak memadai dan kondisi jalan

yang kurang baik maka distribusi hasil pertanian mereka tidak lancar ke luar

daerah sehingga harus menunggu hari pekan yang hadir setiap hari.

2.5. Sistem Kekerabatan

Sebagai wilayah yang mayoritas Suku Batak Toba maka sistem

kekerabatan ataupun tata cara kehidupan sosial masyarakat yang tinggal di desa

Lobu Singkam tercermin dalam sebuah konsep budaya yang disebut dengan

Dalihan Na Tolu. Dalam setiap aktivitas, kekerabatan dan adat istiadat di desa ini

diatur oleh tiga konsep yaitu hula-hula (pihak keluarga pemberi istri); anak boru

(pihak keluarga penerima istri); dan dongan tubu (sesama saudara lelaki dari

induk marga yang sama). Ketiga konsep ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Ketiga hal ini mempunyai prestise dan tingkatan yang berbeda. Hula-hula berada

pada status tertinggi baik secara sosial maupun dalam konteks spritual atau adat.

Ketiga konsep ini juga terungkap dalam sebuah pepatah Batak Toba yang

menyatakan somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu. Artinya

setiap orang harus sopan dan hormat terhadap hula-hula, memberikan perhatian

terhadap anak boru, serta harus menjaga hubungan yang baik dengan dongan tubu.

(32)

sosial lainnya berdasarkan turunan marga. Ketika seseorang baru bertemu dengan

yang lain, biasanya masing-masing individu akan menyebutkan marganya terlebih

dahulu dan kemudian mencari posisi marganya tersebut dalam keluarga atau

turunan marganya. Kemudian hal ini akan memunculkan posisi baru bagi setiap

individu tersebut dalam konteks adat sesuai dengan konsep dalihan na tolu.

Beberapa marga yang mayoritas menempati desa ini adalah marga

Sipahutar, Hutagalung, Simanungkalit dan Manalu dan beberapa marga lain. Di

Dusun Habinsaran marga yang menempati daerah tersebut adalah marga

Sipahutar, dan tidak ada marga lain yang menempati dusun ini.

2.6. Sistem Kepercayaan

Penduduk yang tinggal di Desa Lobu Singkam secara keseluruhan telah

memeluk agama yang diakui oleh negara. Agama yang mereka anut adalah agama

Kristen Protestan dan Kristen Khatolik. Di desa ini tidak terdapat masyarakat

yang menganut sistem kepercayaan. Di desa Lobu Singkam terdapat tujuh Gereja

Kristen Protestan dan dua Gereja Khatolik.

2.7. Sistem Kesenian

Menurut Koentjaraningrat (1990:204) salah satu unsur kebudayaan

manusia adalah kesenian. Sebagai wilayah mayoritas suku Batak Toba,

masyarakat yang tinggal di desa Lobu Singkam juga mengenal sistem kesenian

Batak Toba secara umum yaitu seni musik, seni tari dan seni teater. Dalam sistem

(33)

gondang sabangunan, gondang hasapi dan uning-uningan. Demikian halnya dalam

seni tari dikenal dengan istilah manortor atau menari dan dalam seni teater

dikenal dengan nama opera.

Penggunaan kesenian yang ada pada masyarakat Batak Toba juga erat

kaitannya dengan sistim kekerabatan yang dipakai. Di dalam berkesenian

peranan-peranan dalihan natolu sangat berpengaruh, dan ketiga pengelompokan

kekerabatan yang ada dalam dalihan natolu tersebut akan dimiliki oleh setiap

orang Batak secara bergantian tergantung pada siapa yang melakukan acara7.

Dalam setiap upacara adat seperti pesta perkawinan, upacara kematian,

pesta mangadati maupun acara adat lainnya biasanya diiringi dengan musik yaitu

gondang sabangunan ataupun gondang hasapi. Akan tetapi di beberapa tempat

atau dusun pada saat upacara kematian sering terlihat ada ansambel musik lain

yang bukan berasal dari sistem kesenian Batak Toba. Ansambel tersebut sangat

unik dan hanya ada di desa Lobu Singkam. Masyarakat desa Lobu Singkam

menyebut ansambel ini dengan nama “grup musik” saja. Hal ini disebabkan

karena mereka tidak mengetahui sejarah dan latar belakang musik tersebut. Fungsi

ansambel ini adalah sebagai hiburan bagi orang yang mengalami kemalangan.

Data yang penulis peroleh tidak lengkap dan tidak akurat karena Desa

Lobu Singkam Baru mengadakan pergantian Kepala Desa sehingga data-data

tentang desa tersebut belum dibuat sebagaimana mestinya8. Menurut Bapak J

7

(34)

Hutagalung (Sekretaris Desa) bahwa mereka tidak mempunyai data statistik

(35)

BAB III

GRUP MUSIK NUNUT

3.1. Sejarah Musik Keroncong

Berbicara mengenai Grup Musik Nunut yang terdapat di Dusun

Habinsaran desa Lobu Singkam penulis akan mengemukakan pendapat tentang

grup musik tersebut. Grup Musik Nunut sebenarnya merupakan sebuah grup

musik yang mirip dengan grup musik Keroncong yang ada di Pulau Jawa tepatnya

di Kampung Tugu Jakarta. Dalam pertunjukannya Grup Musik Nunut ini pada

umumnya membawakan lagu atau reportoar musik Batak Toba secara

instrumental. Penulis tidak dapat langsung mengambil kesimpulan dengan

menyatakan bahwa Grup Musik Nunut adalah sebuah Grup Musik Keroncong.

Akan tetapi penulis akan menjelaskan bagaimana hubungan antaranya kedua hal

tersebut sehingga penulis bisa mengambil kesimpulan demikian.

Pendapat tersebut di atas penulis kemukakan berdasarkan adanya

hubungan ataupun persamaan antara sejarah dan perkembangan, bentuk,

penggunaan serta komposisi musik Keroncong di Indonesia dengan hasil

wawancara antara penulis dengan masyarakat yang ada di Desa Lobu Singkam

mengenai sejarah perkembangan grup-grup musik seperti Grup Musik Nunut di

Lobu Singkam.

(36)

mengetahui hukum-hukum sejarah yang berlaku agar kemudian dapat

dimafaatkan untuk mengatasi persoalan hidup sekarang dan yang akan datang.

Dengan demikian penulis akan menjelaskan bagaimana sejarah masuknya musik

Keroncong di Indonesia dan sejarah berdirinya Grup Musik Nunut serta

hubungannya sehingga penulis menyebutkan Grup Musik Nunut adalah sebuah

grup musik Keroncong yang masuk kewilayah kebudayaan dan kesenian Batak

Toba.

3.1.1. Sejarah Musik Keroncong di Indonesia

Portugal dikenal sebagai negara asal munculnya musik Keroncong.

Masuknya bangsa Portugal ke Indonesia dimulai pada masa dimana Belanda

mulai mengadakan penjajahan di Asia. Jatuhnya Malaka dari tangan Portugal

ketangan Belanda pada abad ke 16 sekitar tahun 1590 menyebabkan orang-orang

Portugal menjadi tawanan Belanda. Tentara dan orang-orang Portugal yang

umumnya - keturunan berkulit hitam – berasal dari Bengali, Malabar dan Goa

ditawan dan dibawa ke Batavia yang saat ini disebut dengan Kota Jakarta. Pada

tahun 1661 mereka kemudian dibebaskan setelah dianggap tidak berbahaya dan

tetap dibiarkan memiliki senjata yang sebelumnya digunakan untuk perang9.

Mereka bermukim di rawa-rawa teluk Jakarta yang sedang dilanda wabah

malaria dan influensa. Kawasan itu dinamakan oleh Belanda dengan nama Tanah

Mardika10. Dari sinilah banyak dari orang-orang Portugis bekas tawanan itu

pindah ke kawasan lain Jakarta diantaranya Kemayoran. Kemayoran merupakan

9

(37)

tanah yang paling banyak sebagai tempat perpindahan orang-orang Portugis.

Mereka yang pindah kemudian berasimilasi dengan golongan Tionghoa dan

Belanda. Sementara mereka yang tetap berada di Tanah Mardika membentuk

komunitasnya sendiri dan bergabung dengan warga Indonesia yang kemudian

dikenal orang sebagai Kampoeng Toegoe dengan pekerjaan bertani, berburu, dan

mencari ikan. Kemudian mereka menyebut dirinya dengan sebutan Mardikers.

Kaum Mardikers hidup layaknya orang kulit hitam di Amerika, dikala

senggang seusai mengerjakan sawah atau berburu mengisi waktunya dengan

bermain musik blues dan musik ratapan kaum tertindas. Dengan peralatan

sederhana berupa alat musik petik mirip gitar kecil berdawai lima yang mereka

sebut Matjina serta Djitera (gitar), seruling dan rebana mereka memainkan

lagu-lagu dari tanah kelahirannya, dengan musik yang dominan suara

crong…crong…crong dari Matjina, yang kemudian dikenal sebagai Ukulele.

Mereka berusaha membangun suasana gembira di tengah penderitaan

sebagai bekas orang buangan di serambi rumah, bawah pohon sambil menikmati

indahnya bulan purnama dan sepoi-sepoi angin pesisir sambil membawakan lagu

Moresco11.

(38)

Berjalan-jalan di pantai, Hatiku gundah gulana, Aku mencari kekasih, Entah berada di mana,Kucari kekasihku, Calon isteri jantung hati, Kucari dimana-mana, Hatiku teramat duka, Kutanya bunga dan bintang, Kau lihatkan seseorang? Bunga dan bintang tak menjawab, Hatiku gundah gulana, O datanglah kekasihku, Calon istriku, O juwitaku, kunanti penuh harapan, Sambil berdendang lagu Moresco12.

Bangsa Portugis menggolongkan lagu Moresco tersebut sejenis lagu

Gondala (gondel lied) yaitu lagu pendayung sampan. Menurut Amir Pasaribu

dalam bukunya Musik dan Selingkar Wilayahnya, Moresco berasal dari sebuah

tarian Portugis yang disebut dengan Moreska. Lagu Moresko bersama Nina Bobo,

Prounga dan Cafrinho bisa dikatakan adalah lagu-lagu Keroncong pertama, yang

oleh Kusbini disebut Keroncong Portugis. Dengan berkembangnya lagu-lagu

tersebut maka mulailah muncul bentuk kesenian baru yang kemudian mereka

sebut dengan Keroncong Indonesia di Kampung Tugu.

Disebut Kampung Tugu karena nama Tugu dimaksudkan sebagai tanda

batas. Beberapa pendapat mengatakan bahwa Tugu berasal dari kata Portugis, Por

Tugu Esa. Sebagai bukti latar belakang sejarah tersebut, di sana pernah ditemukan

sebuah batu berukir berbentuk kerucut bundar dan bertulis huruf Palawa dalam

bahasa Sansekerta dari abad ke 4 dan ke 5 Masehi. Batu itu kemudian disebut

sebagai Prasasti Tugu.

Di Kampung Tugu terdapat sebuah Gereja yang memiliki nilai sejarah

yang berusia sekitar 3,5 abad, yaitu Gereja Salib Suci. Bangunannya memang

bukan berasal dari abad ke 17, melainkan sudah dibangun kembali dua kali hingga

12

(39)

bentuknya yang sekarang13. Prana Abrahams dan Robby Sowakeluwakan,

mengatakan bahwa Keroncong lahir karena kebutuhan hiburan warga Kampung

Tugu. Gereja belum memiliki orgel, jadi kalau ada kebaktian diiringi musik

Keroncong dan anak-anak muda Gereja inilah yang kemudian menjadikan

Keroncong sebagai hiburan dalam berbagai kegiatan gereja.

Sebagai daerah pertanian, kala itu Kampung Tugu memiliki tradisi pesta

panen yang biasanya dilakukan setelah selesai menuai padi di sawah. Dalam pesta

yang biasanya diadakan setiap bulan Agustus itu, warga menyisihkan sebagian

hasil panennya, ternak, atau hasil kebunnya kepada gereja. Gereja - melalui

panitia yang dibentuk - kemudian menjual buah panen itu dan hasilnya diserahkan

untuk kepentingan gereja. Para anak muda Gereja akan memainkan lagu-lagu

Gereja dengan Orkes Keroncong sebagai ucapan syukur. Demikian halnya ketika

Menjelang Natal dan Tahun Baru, mereka akan berkeliling dan mengunjungi

rumah-rumah pada tengah malam dan menyapa penghuni rumah, kemudian

mereka menari sambil bermain musik menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa

Portugis. Pemilik rumah baru mau membuka pintu jika pimpinan rombongan telah

mengucapkan salam berbahasa Portugis:

Pisingku dia di Desember, nasedu di nos Sior jamundu Libra nos pekader unga ananti dikinta ferra asi klar kuma di dia unga anju di Sior asi grandi diallergria. Asi mow boso tar. Dies Lobu Sua da bida cumpredae lampang kria so podeer, Santu Justru.

(40)

Kemudian pemilik rumah akan menjamu mereka dan memberikan

berbagai jenis makanan kepada mereka sebagai ucapan terimakasih dan ikut

bersyukur atas peristiwa Natal tersebut. Kebiasaan itu dimaksudkan untuk

menghargai peristiwa keagamaan sekaligus untuk menurunkan tradisi berbahasa

Portugis di kalangan anak muda.

Pada hari Minggu pertama setelah pergantian tahun, diadakanlah pesta

mandi-mandi. Mandi-mandi konon adalah simbol saling membersihkan diri dan

saling memaafkan antara sesama warga. Pada saat ini pesta mandi-mandi tidak

diadakan lagi, akan tetapi mereka mengantinya dengan saling mengolesi bedak

cair ke wajah. Hingga menjelang akhir tahun 1990-an, masih ada Grup Musik

Keroncong keliling oleh anak-anak muda sambil mengunjungi rumah-rumah pada

tengah malam Natal sampai Tahun Baru14.

3.1.2. Perkembangan Musik Keroncong di Indonesia

Rosalie Gross dalam bukunya De Krontjong Guitar (1972), menyatakan

bahwa lagu-lagu Keroncong yang populer semasa penerintahan Belanda bukanlah

lagu-lagu Keroncong Indonesia yang berkembang sampai sekarang. Rosalie

menjelaskan bahwa Keroncong adalah peninggalan Portugis dan Indo Belanda

dengan menyebutkan dua tokoh musik yang pernah tinggal di Indonesia, yaitu

Paul Seelig (1876-1945) dan Fred Belloni (1991-1969). Pada masa pendudukan

Jepang, kegiatan bermusik itu terhenti. Sekitar tahun 1970-an, atas inisiatif

Yakobus Quiko, didirikanlah Grup Poesaka Moresko Toegoe. Namun, akibat

(41)

kurangnya minat kaum muda terhadap musik Keroncong, grup ini pun

perlahan-lahan bubar.

Sekitar tahun 1988, Arend J Michiels yang juga Ketua IKBT (Ikatan

Keluarga Besar Tugu), merasa terpanggil untuk mengangkat kembali kejayaan

musik Keroncong ini dengan mendirikan grup Krontjong Toegoe yang seluruh

anggota pemainnya adalah orang-orang muda. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu,

proses regenerasi dalam grup Krontjong Toegoe selalu dipertahankan. Empat

Michiels bersaudara bahu-membahu bersama beberapa anak muda Kampung

Tugu lainnya menjaga warisan para leluhur mereka.

Keturunan bangsa Portugis berusaha melestarikan lagu-lagu Keroncong

dengan bahasa asli mereka. Akan tetapi kemudian perkembangan selanjutnya

memperlihatkan bahwa orang Indonesia juga mampu menghasilkan lagu-lagu

Keroncong dalam bahasa Indonesia, bahkan hingga berbahasa daerah. Orang

Indonesia yang berada di Kampung Tugu yang sudah tahu bermain Keroncong

mulai mengalirkan musik tersebut ke daerah-daerah lain hingga ke seluruh pulau

Jawa. Mereka bermainmusik Keroncong akan tetapi membawakan lagu-lagu

Jawa. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya langgam Keroncong

dan campusari yang berlirik bahasa Jawa.

Diawali lagu Kembang Kacang tahun 1924 yang disebut sebagai lagu

Keroncong Extra (tambahan), kemudian lahir aneka jenis lagu langgam Jawa

lainnya seperti Tok Lelo Lelo Le Dung, Yen Ing Tawang Ono Lintang, Cah Ayu

(42)

Disamping dipengaruhi oleh bahasa, Keroncong ini juga dipengaruhi oleh

kesenian dan kebudayaan masing-masing daerah.

Kemudian setelah Tanjung Priuk menjadi pelabuhan yang besar dan

migrasi penduduk sangat besar terjadi di Jakarta, terjadilah perubahan dimana

musik Keroncong mulai mengalir ke daerah lain diluar pulau Jawa. Dari

Kampung Tugu pula Keroncong terus merambah ke berbagai daerah di tanah air.

Beberapa daerah yang menjadi persinggahan musik Keroncong adalah Sulawesi

Utara, Maluku dan Sumatera Barat. Lagu-lagu Nina Bobok, Terang Bulan, O Ina

Ni Keke, Kole Kole, Rasa Sajang Kene, Rasa Sajange, Burung Kakatua,

Patokaan, Hoe Tjintjin, Ajun Ajun adalah lagu-lagu kroncong yang berasal dari

Sulawesi Utara dan Maluku yang populer pada masa itu. Sementara itu dari

Padang, Sumatera Barat, muncul lagu Keroncong pertama yang berjudul Pulau

Pandan gubahan S.M. Mochtar, pianis orkes studio Nirom di Surabaya. Lagu ini

di Sumatera terkenal sebagai lagu komidi stambul, yang berkeliling Indonesia

tahun 1900-an, mengiringi adegan-adegan cerita yang menguras air mata.

Cengkok, gregel, dan embat-nya mengesankan gaya lagu Melayu. Pada masa

inilah perkembangan Keroncong melahirkan lagu jenis Stambul. Dari Sumatera

barat kemudian Keroncong mengalir ke berbagai daerah di Pulau Sumatera,

termasuk Sumatera Utara.

3.1.3. Pengertian Keroncong

Kampung Tugu disebut sebagai tempat lahirnya musik Keroncong di

(43)

musik itu berasal. Banyak versi tentang istilah Keroncong. Salah satunya adalah

gelang Keroncong, yaitu lima hingga sepuluh gelang yang dikenakan di lengan

kaum hawa. Jika lengannya berlenggang ketika berjalan, gelang-gelang itu

bersentuhan dan menimbulkan suara crong…crong….crong. Sebutan Keroncong,

juga dikatakan berasal dari rangkaian gelang yang terdiri dari tiga ukuran yang

selain dipergunakan sebagai perhiasan biasa dan perhiasan tari, juga perhiasan

kuda yang menarik delman atau andong. Gelang yang kemudian disebut gelang

Keroncong itu menimbulkan tiga suara sesuai dengan ukurannya:

cring…cring…cring (kecil), crung…crung… crung (sedang) dan crong …crong…

crong (besar).

Pemeran karakter wayang orang juga mengenakan gelang Keroncong,

sebagaimana yang bisa terlihat dalam lukisan wayang kulit, di pergelangan tangan

dan kakinya. Ada juga teh Keroncong, yang disajikan dengan sebuah gelas atau

cangkir. Teh yang sudah berada dalam gelas atau cangkir diseduh dengan air

panas, lalu dihirup selagi hangat, semakin sedikit air yang tersisa teh menjadi

lebih kental dan sepet, semakin nikmat. Teh Keroncong ini juga dikenal sebagai

teh tubruk. Kemudian nasi Keroncong, yang sekarang kita kenal sebagai nasi

liwet, karena cara masaknya yang sama15.

Ukulele sejenis gitar kecil (short neck lute) disebut juga sebagai alat musik

Keroncong. Jika seorang memainkan alat musik itu, disebut sedang main

keroncong, maksudnya adalah dia sedang memainkan alat musik Keroncong.

(44)

Alat musik yang sering digunakan oleh grup musik Keroncong pada saat

itu adalah Gitar (long neck lute), Ukulele Cuk (short neck lute) yang berdawai 3,

Ukulele Cak (short neck lute) yang berdawai 4, Flute (aerophones side blow),

Biola (bowed chordophones), Cello (bowed chordophones) dan Kontra Bass (long

neck lute). Setiap alat musik mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Ukulele dan

Kontra Bass berfungsi untuk menjaga irama, gitar dan Celo mengatur peralihan

akord. Biola berfungsi sebagai penuntun melodi, sekaligus hiasan/ornamen,

sedangkan Flute mengisi melodi hiasan, yang melayang-layang mengisi ruang

melodi yang kosong16. Bentuk grup musik Keroncong yang sejak dulu hingga saat

ini adalah Keroncong yang disertai dengan penyanyi dan Keroncong yang hanya

menggunakan instrumen saja.

3.2. Sejarah Grup Musik Keroncong di Desa Lobu Singkam

Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal usul masuknya musik

Keroncong ke desa Lobu Singkam. Desa Lobu Singkam merupakan sebuah

daerah yang berada di sekitar pegunungan Bukit Barisan yang melintang melalui

Kabupaten Tapanuli Utara. Desa ini merupakan daerah yang dihuni oleh Suku

Batak Toba. Dilihat dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya tidak tampak

bahwa didaerah ini pernah muncul dan berkembang grup musik Keroncong.

Masyarakat desa Lobu Singkam sangat menjungjung tinggi adat istiadat

Batak Toba yang dituangkan dalam falsafah Dalihan Na Tolu. Dalam setiap

kegiatan sehari-hari baik seperti pesta perkawinan, upacara kematian, pesta gereja,

(45)

ibadah, kegiatan pemerintahan, transaksi ekonomi serta dalam lingkup

kekerabatan, mereka selalu menjaga sopan santun dan adat istiadat. Sama halnya

dalam bidang kesenian mereka sangat mengenal baik kesenian Batak Toba seperti

Gondang Sabangunan, Uning-uningan dan Opera17. Sangat jarang ditemui pesta

adat yang tidak diiringi oleh Gondang. Sekitar tahun 1950 an di desa ini Opera

pernah menjadi hiburan yang sangat ditunggu-tunggu. Setiap ada pertunjukan

Opera selalu dihadiri masyarakat yang datang untuk menonton. Pemain opera

akan diberi imbalan seperti beras atau uang sebagai bayaran18.

Dengan mata pencaharian mayoritas bertani, pada siang hari desa ini

tampak lengang karena kebanyakan masyarakat pergi ke sawah dan anak-anak

bersekolah. Menjelang sore hingga malam beberapa kedai terlihat mulai ramai

dikunjungi oleh kaum bapak dan anak muda untuk saling bercengkrama. Pada saat

mereka berkumpul seperti ini, biasanya ada beberapa orang yang duduk sambil

bernyanyi memainkan gitar dan ada juga yang memakai sebuah gitar kecil sejenis

Ukulele yang mereka sebut dengan Karoccong. Menurut beberapa orang di desa

Lobu Singkam bahwa Karoccong itu adalah alat musik Batak Toba yang dulunya

dipakai dalam sebuah grup musik di gereja yang hingga saat ini mereka tidak tahu

apa nama dan bentuk grup musik tersebut.

Berbicara mengenai kapan dan dari mana asal masuknya musik Karoccong

di Desa Lobu Singkam, penulis mencoba mencari informan ataupun referensi

yang bisa menjelaskan pertanyaan tersebut. Beberapa wawancara yang penulis

17

(46)

lakukan dengan informan di desa tersebut, tidak mendapatkan informasi yang

jelas dan mendetail. Akan tetapi berdasarkan wawancara tersebut, penulis bisa

memperoleh sedikit informasi bagaimana dulunya grup musik ini bisa masuk dan

berkembang di desa Lobu Singkam.

Tahun 1960-an adalah masa musik Keroncong mencapai puncak keemasan

di Indonesia. Pada masa itu Keroncong menyebar keseluruh penjuru tanah air

bahkan hingga ke Malaysia19. Daerah-daerah yang terbuka dengan segala

perubahan mulai mengadopsi musik Keroncong sebagai bahagian dari

kebudayaan mereka. Setiap daerah yang telah mengadopsi musik Keroncong

mulai menunjukkan ciri khas masing-masing, dimana musik Keroncong yang

mereka bawakan menjadi lebih variatif akibat adanya pembauran unsur kesenian

dan unsur kebudayaan.

Menurut Ama Sensus Simatupang20 bahwa sekitar tahun 1960-an grup

musik ini muncul di Gereja HKBP Lobu Singkam. Grup musik ini dibawa oleh

Zending21 yang dulunya melayani jemaat di Gereja HKBP di Desa Lobu

Singkam. Para Zending inilah yang mengajari mereka cara untuk bermain musik.

Alat musik yang mereka pakai dulu adalah Karoccong (Ukulele), Mandolin

(chordophones), Gitar (chordophones), Heser atau Marakas (idiophones), Tambo

(membaranophones) dan String Bass atau Kontra Bass (chordophones). Para

pemainnya adalah anak-anak muda Gereja yang disebut dengan Naposo Bulung.

19

http://id.wikipedia.org/wiki/Keroncong"

20

Ama Sensus Simatupang merupakan seorang pemain Mandolin dalam grup Naposo Bulung

di Gereja HKBP Lobu Singkam pada tahun 1970-an

21

(47)

Sama halnya seperti di Kampung Tugu, grup ini biasanya memainkan

musik Karoccong pada waktu Pesta Gereja seperti Pesta Gotilon (Pesta Panen),

Pesta Natal dan Malam Tahun Baru. Mereka akan berjalan dari satu rumah ke

rumah lain membawakan lagu-lagu Natal dan lagu Tahun Baru. Setiap mereka

selesai memainkan musiknya, mereka akan dijamu oleh pemilik rumah ataupun

diberikan makanan sebagai ucapan terimakasih atas kedatangan mereka. Seorang

pemuda akan berperan sebagai pemimpin grup musik tersebut. Dialah yang akan

memberikan kata sambutan terhadap setiap rumah yang mereka datangi. Orang

inilah yang disebut dengan Parhata22. Seorang Parhata harus pandai berbicara

layaknya seorang pemimpin adat, karena dia harus menggunakan tutur bahasa

yang baik dan sopan agar disambut dengan baik..

Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ompung Oknes

Sipahutar yang berada di Dusun Habinsaran. Beliau menyebutkan bahwa dulu

banyak anak-anak muda Gereja setempat yang pergi belajar ke daerah lain di luar

kabupaten Tapanuli Utara, disana mereka banyak mengenal kebudayaan diluar

kebudayaan Batak Toba termasuk dalam hal bermain musik. Setelah selesai

sekolah, mereka kembali ke desa Lobu Singkam dan memperkenalkan musik

tersebut kepada masyarakat di Lobu Singkam. Karena didukung oleh Gereja dan

masyarakat setempat akhirnya grup musik tersebut mulai berkembang hingga

pernah muncul 4 grup musik di Desa Lobu Singkam.

(48)

Namun lambat laun grup-grup musik Keroncong ini mulai hilang karena

perkembangan teknologi yang masuk ke daerah Lobu Singkam. Masuknya

peralatan elektronik seperti radio dan kaset menjadi salah satu alasan mengapa

musik tersebut tidak lagi diminati. Para pemuda gereja tidak lagi berminat untuk

belajar memainkan musik tersebut dan orang-orang yang terlibat pada grup-grup

musik tersebut mulai malas untuk bermain karena tidak banyak orang yang mau

mendengarkan mereka.

Dari keempat grup musik tersebut hingga saat ini hanya satu grup musik

saja yang bertahan yaitu Grup Musik Nunut yang terdapat di dusun Habinsaran.

Grup Musik Nunut saat ini dipimpin oleh Ompung Oknes Sipahutar yang

merupakan generasi ketiga pemain grup musik tersebut. Grup musik ini bisa

bertahan karena para pemain Grup Musik Nunut adalah keluarga besar Ompung

Oknes Sipahutar, dan alat musik yang mereka gunakan selalu disimpan di sebuah

rumah dan hanya mereka saja yang bisa memainkannya.

3.3. Sejarah Grup Musik Nunut

Grup Musik Nunut terbentuk sejak tahun 1964 di dusun Habinsaran desa

Lobu Singkam. Grup musik ini pertama sekali dibuka oleh Ompu Binahar

Sipahutar23, sebelum tahun 1964 Ompu Binahar Sipahutar pernah pergi keluar

daerah Lobu Singkam untuk mengikuti kegiatan belajar. Selama belajar beliau

juga mempelajari tentang musik-musik yang dibawa oleh para zending yang

berasal dari Eropa, salah satunya adalah musik Keroncong.

(49)

Ketika kembali ke Dusun Habinsaran, beliau mendapat ide untuk

membentuk sebuah grup musik sama seperti ketika beliau sedang belajar yang

nantinya digunakan sebagai hiburan ketika mempunyai waktu senggang pulang

dari sawah dan berbagai kegiatan di desa Lobu Singkam. Karena beliau sudah

mengetahui musik Keroncong, akhirnya beliau pergi ke Sipoholon untuk

menjumpai temannya bapak Karel Hutagalung24 untuk membuatkan alat-alat

musik seperti yang mereka gunakan dulu ketika masih belajar. Setelah semua alat

musik yang diperlukan selesai, kemudian beliau mengajari saudara dan

anak-anaknya untuk memainkan alat-alat musik tersebut. Sejak saat itulah terbentuklah

sebuah grup musik, akan tetapi belum mempunyai nama.

Menurut Ama Betman Sipahutar bahwa sejarah terbentuknya Grup Musik

Nunut adalah bahwa dulu Opera Batak Toba sangat berkembang di desa Lobu

Singkam. Masyarakat sangat senang dengan kehadiran Opera karena mereka

sangat terhibur. Akan tetapi lambat laun minat masyarakat untuk menonton Opera

mulai berkurang akibat perkembangan teknologi yang masuk ke daerah ini.

Banyak perantau yang pulang ke desa Lobu Singkam membawa peralatan

elektronik seperti radio dan kaset. Pada saat itu juga siaran radio RRI sudah bisa

diterima gelombangnya di desa Lobu Singkam. Akhirnya masyarakat lebih

memilih mendengarkan radio dan kaset dari pada menonton Opera.

Kemudian muncul anggapan bahwa Opera tidak layak lagi jadi tontonan

karena mendapat persepsi yang buruk dari masyarakat. Mereka dianggap sebagai

(50)

sesuatu kepada masyarakat sebagai imbalan telah menonton pertunjukan Opera

tersebut25. Sejak saat itu tidak ada lagi hiburan selain mendengarkan radio.

Kemudian muncul ide dari ompu Binahar Sipahutar untuk membentuk grup musik

seperti yang ada di Gereja HKBP Lobu Singkam. Grup musik tersebut dibentuk

dengan tujuan menjadikannya sebagai hiburan di kala senggang. Sejak saat itu

grup mereka mulai berkembang tidak hanya mengisi waktu luang akan tetapi

mereka mulai ikut serta bila ada perayaan natal dan tahun baru di dusun mereka

dan ikut serta menghibur bila ada keluarga yang mengalamai kemalangan.

Bila dilihat dari pendapat kedua informan tersebut, bahwa alasan yang

mereka kemukakan sebenarnya saling berhubungan dan berdasarkan informasi

tersebutlah penulis mendapatkan gambaran tentang sejarah terbentuknya Grup

Musik Nunut.

3.3.1. Pengertian Grup Musik Nunut

Berdasarkan pengertiannya Grup Musik Nunut adalah sebuah grup musik

yang mempunyai nama Nunut. Nama Nunut mereka gunakan ketika mereka di

undang oleh salah satu lembaga kesenian di Tapanuli Utara untuk ikut serta dalam

Pameran Pembangunan Ulang Tahun Kabupaten Tapanuli Utara di Tarutung

tanggal 1 – 5 Oktober 2006. Karena sebelumnya mereka belum mempunyai nama,

pemilik lembaga kesenian tersebut meminta mereka untuk mencari sebuah nama

dengan alasan ketika nanti ditanya, mereka bisa menyebutkan nama grup musik

tersebut.

25

(51)

Mereka kemudian mengambil sebuah kata dari bahasa Batak Toba yaitu

Nunut. Nunut artinya mengerjakan dengan sangat baik dan teratur. Mereka

menggunakan nama ini dengan alasan agar ketika mengerjakan segala sesuatu

mereka bisa mengerjakannya dengan baik teratur dan tidak mengeluh. Apapun

yang dikerjakan harus dengan hati tulus agar hasilnya baik. Dengan menggunakan

kata Nunut maka mereka kemudian menamakan grup tersebut dengan nama Grup

Musik Nunut.

3.3.2. Perkembangan Grup Musik Nunut

Menurut penuturan para informan bahwa pemain Grup Musik Nunut

sekarang adalah generasi ketiga keturunan dari Ompung Binahar Sipahutar.

Berdasarkan generasi ini jugalah perkembangan Grup Musik Nunut dapat dilihat.

Ada 3 periode perkembangan Grup Msuik Nunut di dusun Habinsaran.

3.3.2.1. Tahun 1964

Pada tahun 1964 Ompu Binahar Sipahutar bersama anak dan saudaranya

mulai membuka grup musik ini. Komposisi alat musik dan lagu yang mereka

mainkan masih sederhana. Mereka selalu ikut serta menonton bila ada grup musik

lain di Lobu Singkam sedang mengadakan pertunjukan dan dari sanalah mereka

memperoleh lagu-lagu untuk dipelajari. Alat musik yang mereka gunakan

diantaranya Mandolin, Karoccong, Gitar, Tambor, Gardap, Jes dan seorang

(52)

No Nama Alat musik yang digunakan

1 Ompu Binahar Sipahutar Mandolin (chordophones)

2 Ompu Manukkun Sipahutar Karoncong (chordophones)

3 Ompu Marines Sipahutar Tambor (membranophones)

4 Ompu Jagot Sipahutar Gardap (membranophones)

5 Ompu Rasmi Sipahutar Gitar (chordophones)

6 Ompu Parulian Sipahutar sebagai Parhata

3.3.2.2. Tahun 1964 sampai Tahun 1965

Pada tahun 1965 Grup Musik Nunut mulai berkembang, baik dari segi

komposisi lagu, alat musik maupun jumlah pemain. Pada periode ini jumlah

pemainnya adalah 10 orang termasuk seorang Parhata. Grup Musik Nunut mulai

mengalami masa kejayaan, hampir tiap minggu mereka tampil dan selalu ada yang

mengundang untuk menghibur.

Pada hari natal dan tahun baru, mereka berjalan-jalan mendatangi

tiap-tiap rumah, bahkan mereka pernah sampai ke kota Tarutung yang jaraknya sekitar

20 km dari desa Lobu Singkam untuk merayakan tahun baru. Setiap mereka

mengunjungi sebuah rumah, Parhata akan memberikan kata pembuka agar

pemilik rumah membrikan sambutan. Mereka akan memainkan alat musik

tersebut hingga pemilik rumah menjamu mereka atau memberikan kue natal

seperti Kue Bolu, Dodol, Kacang Goreng dan Kembang Layang sebagai ucapan

(53)

Berikut ini daftar nama pemain dan alat musik yang mereka gunakan

pada masa itu:

No Nama Alat musik yang digunakan

1 Ompu Oknes Sipahutar Mandolin 1 (chordophones)

2 Ama Roma Sipahutar Mandolin 2 (chordophones)

3 Ompu Lindung Sipahutar Viol 1 (chordophones)

4 Ama Jago Sipahutar Viol 2 (chordophones)

5 Ama Manto Sipahutar Gitar (chordophones)

6 Ama Binsar Simanungkalit Karoccong 1 (chordophones)

7 Ama Ginta Sinambela Karoccong 2 (chordophones)

8 Ama Nimrot Sipahutar Tambor dan Jes (membranophones

dan idiophones)

9 Ompu Rasmi Sipahutar Gardap (membranophones)

10 Ompu Lisa Sipahutar Heser (idiophones)

11 Ompu Uli Sipahutar sebagai Parhata

3.3.2.3. Tahun 1965 Sampai Sekarang

Sejak tahun 1965 Grup Musik Nunut terus mengadakan pertunjukan di

berbagai tempat. Pada masa itu sering terjadi pergantian pemain ataupun mereka

meminjam pemain dari grup lain apabila ada pemain yang berhalangan untuk ikut.

Lagu-lagu yang dibawakan oleh Grup Musik Nunut semakin banyak karena

Gambar

Gambar. Pemain Grup Musik Nunut tahun 2007 Doc. Senovian
Gambar 2. Mandolin
Gambar 3. Posisi Senar Mandolin
Gambar 4. Gitar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keenam , model teoretik yang dikembangkan dalam penelitian ini ternyata telah teruji secara empiris pada SMP Negeri Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli

KAKAO DI KABUPATEN TAPANULI UTARA“ Studi Kasus : Desa Pagaran Pisang Kecamatan Adian Koting Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Skripsi sebagai salah satu syarat

071222510104, Keberadaan Instrumen Musik Tung- tung Pada Etnik Batak Toba di Desa Aek Nauli Kecamatan Sipahutar Tapanuli Utara, Skripsi Medan, Fakultas Bahasa dan Seni

Banyak grup musik dangdut bertebaran di setiap daerah wilayah Indonesia termasuk di daerah Blora, khususnya grup musik dangdut Mahardika di Desa Muraharjo, Kecamatan

Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara2. Tamat SMA

PERTANIAN KOPI DI DESA PARLOMBUAN, KECAMATAN PANGARIBUAN, KABUPATEN TAPANULI UTARA (TAHUN 1993-2003)..

penyusunan skripsi yang berjudul “PRODUKSI GITAR BONA PASOGIT SIPOHOLON BUATAN BAPAK ALBERT HUTAGALUNG DI DESA LUMBAN BARINGIN KECAMATAN SIPOHOLON KABUPATEN TAPANULI UTARA :

Hasil penelitian ini adalah proses yang dilakukan oleh grup musik Keroncong Liwet dalam membentuk musik keroncong sebagai identitas kelompok adalah dengan