• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN HUKUM OUTSORCING DI INDONESIA

B. Sejarah Outsourcing

B. Sejarah Outsourcing

Cikal bakal penerapan prinsip-prinsip outsourcing sesungguhnya sudah dimulai pada zaman Yunani dan Romawi kuno. Pada masa itu, akibat kekurangan

42

Ibid.

43

Tris Umar Nofa, Pengertian outsourcing, diakses dari: www.academia.edu, (tanggal 29 maret 2015).

31

kemampuan pasukan dan tidak tersedianya ahli-ahli bangunan, dan bangsa Yunani dan Romawi kerap kali memyewa prajurit asing untuk berperang dan ahli – ahli bangunan untuk membangun kota dan istana.44

Di Indonesia sendiri, sistem outsourcing telah dikenal sejak zaman sebelum kemerdekaan. Pada masa-masa awal kedudukan Belanda di Indonesia, banyak tenaga kerja yang bekerja dalam sektor perkebunan yang investor besarnya adalah Belanda. Mereka didatangkan dari berbagai tempat lain di Indonesia dan dipekerjakan diperkebunan yang ada di Deli Serdang. Dalam bekerja, mereka akan dikendalikan oleh seorang petugas Belanda yang disebut mandor. Upah untuk mandor tersebut pun didapat dari 7.5% upah keseluruhan kuli. Semakin lama, nasib para kuli tersebut kian buruk karena upah yang diharapakan setelah bertahun-tahun bekerja ternyata dihitung lunas dalam pembayaran hutang atas biaya pemberangkatan serta akomodasi mereka selama perjalanan dan bekerja disana. Masa-masa tersebutlah yang menjadi masa sulit bagi rakyat selama kedudukan Belanda di Indonesia.45

Sejalan dengan terjadinya Revolusi Industri, maka perusahaan-perusahaan berusaha untuk menemukan terobosan-terobosan baru dalam memenangkan persaingan. Pada tahap ini, kemampuan untuk mengerjakan sesuatu saja tidak cukup untuk menang secara kompetitif, melainkan harus disertai dengan kesangggupan untuk menciptakan produk paling bermutu dengan biaya rendah.46

Sekitar tahun 1950-an sampai dengan tahun 1950-an sampai dengan tahun 1960-an, berbagai pertemuan ekonomi dunia telah mendorong munculnya ide-ide

44

Sehat Damanik, Op. cit.

45

Nyimas Halimah Tusyakdiah, Manajemen SDM : outsourcing, www.academia.edu, (Diakses pada tanggal 29 maret 2015).

46

ke arah diversifikasi usaha, dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang usaha tersebut juga ikut melahirkan keinginan memaksimalkan keuntungan tanpa harus mengeluarkan biaya yang maksimal atau efesiensi bagi dunia usaha.47

Tahun 1970 hingga tahun 1980, dunia usaha memasuki masa persaingan global, namun mengalami kendala karena kurangnya persiapan akibat struktur manajemen yang membengkak. Akibatnya, resiko usaha dalam segala hal, termaksuk resiko ketenagakerjaan pun meningkat. Tahap ini merupakan awal timbulnya pemikiran outsourcing di dunia usaha. Maka untuk meningkatkan keluwesan dan kreatifitas dalam berusaha, banyak perusahaan besar membuat strategi baru dalam berbisnis dengan cara fokus pada bisnis inti (core business), mengindentifikasi proses yang kritikal, dan memtuskan hal-hal yang harus di-outsource.48

Gagasan awal berkembangnya outsourcing adalah untuk membagi resiko resiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk ketenagakerjaan. Pada tahap awal outsourcing belum diidentifikasikan secara formal sebagai strategi bisnis, hal ini terjadi karena banyak perusahaan yang semata-mata mempersiapkan diri pada bagian-bagian tertentu yang bias mereka kerjakan, sedangakan untuk bagian-bagian yang tidak bisa dikerjakan secara internal dikerjakan melalui outsource.49

Sekitar tahun 1990, outsourcing telah mulai dirasakan manfaat dan perannya oleh dunia usaha sebagai jasa pendukung. Tingginya persaingan telah menuntut manajemen perusahaan melakukan perhitungan pengurangan biaya. Perusahaan mulai melakukan alih daya atas fungsi-fungsi yang penting bagi perusahaan akan tetapi tidak berhubungan langsung dengan (core business)

47

Ibid, hal.7.

48

Chandra Suwondo, Op.cit, hal. 4.

49

33

perusahaan. Dalam perkembangan selanjutnya, outsourcing tidak lagi membagi resiko, melainkan berkembang lebih kompleks. Michael F. Corbett, Pendiri The Outsourcing Institute dan Presiden Direktur dari Michael F. Corbett & Associates Consulting Firm, mengemukakan bahwa outsourcing telah menjadi alat manajemen. Lebih dari itu, outsourcing bukan hanya membantu menyelesaikan masalah, tetapi juga mendukung tujuan dan sasaran bisnis.50

Di Indonesia, praktik outsourcing sudah dikenal pada masa penjajahan kolonial Belanda. Hal itu bisa dilihat pengaturanya dalam Pasal 1601 b KUHPerdata. Dalam pasal itu disebutkan bahwa perjanjian pemborongan kerja adalah suatu persetujuan, dimana pihak kesatu yakni pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yakni pemberi kerja, dengan harga yang telah ditentukan.

Walaupun praktik outsourcing sudah lama dikenal di Indonesia, namun perkembanganya sangat lambat. Ditenggarai bahwa salah satu faktor penghambat perkembangan tersebut adalah kurangnya dukungan dari segi penciptaan peraturan perundang-undangan. Salah satu faktor penghambat perkembangan tersebut, adalah kurangnya dukungan dari segi penciptaan peraturan. Kurangnya peraturan pendukung berdampak pada lambatnya sosialisasi serta rendahnya pemahaman masyarakat atas keuntungan-keuntungan pemanfaatan outsourcing pada perusahaan.51 Bahkan Undang-Undang Ketengakerjaan lama (Undang-Undang Nomor 25 Thun 1997) tidak mengatur satupun tentang outsourcing.

Mengingat bisnis outsourcing berkaitan erat dengan praktik ketenagkerjaan, maka peraturan-peraturan yang berhubungan dengan ketengakerjaan menjadi faktor

50

Ibid, hal.8.

51

penting dalam memacu perkembangan outsourcing di Indonesia. Legalisasi penggunaan jasa outsourcing baru terjadi pada tahun 2003, yakni dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan, dimana ketentuan mengenai outsourcing diatur dalam tiga Pasal yaitu Pasal 64, 65, dan 66.

Undang- Undang Ketenagkerjaan ini mengatur bidang-bidang memungkinkan untuk di-outsource, yaitu bagian-bagian yang tidak berkaitan dengan bisnis inti. Melalui peraturan tersebut, pada tahun 2003 telah mulai tumbuh kesadaran perusahaan-perusahaan besar untuk menggantikan tenaga kerja yang tidak berhubungan lansung dengan bisnis inti perusahaan, seperti satpam, akunting, office boy, dan lain-lain.52

Sebagai revisi, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Ketengakerjaan tersebut menyatakan bahwa kebutuhan perusahaan untuk menjalankan produksi dapat menggunakan suplai tenaga kerja oleh perusahaan penyalur tenaga kerja (outsourcing). Dalam kesempatan bersama, tenaga kerja harus tunduk pada perusahaan penyalur dan perusahaan tempatnya bekerja. Upah dapat diterima jika tenaga kerja tersebut telah melakukan pekerjaan yang diberikan, dan patuh pada semua ketentuan perusahaan tempatnya bekerja. Kesepakatan tentang upah ditentukan oleh perusahaan penyalur dan perusahaan tidak bisa menuntut pada perusahaan tempatnya bekerja.53

52

Ibid.

53

35

Dokumen terkait