• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROFIL LOKASI PENELITIAN

2.1 Desa Padang Halaban

2.1.3 Sejarah Desa

2.1.3.1 Sejarah Padang Halaban

Tahun 1911, pohon kelapa sawit diperkenalkan di Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara). Tanah Itam Hulu dan Pulau Raja adalah lokasi pertama kali perkebunan kelapa sawit dibuka oleh perusahaan Oliepalmen Cultuur dan Huileries de Sumatera. Perkebunan kelapa sawit semakin diperluas oleh perusahaan perkebunan sawit lainnya : Seumadam Cultuur Mij, Sungai Liput Cultuur Mij, Mapoli Tanjung Genteng oleh Palmbomen Cultuur Mij, Medang Ara Cultuur Mij, Deli Muda oleh Huileries de Deli. Hingga tahun 1915 luas perkebunan sawit sudah mencapai 2.715 Ha; ditandai sebagai babak baru perkebunan sekala luas. Salah satu perusahaan perkebunan yang berdiri pada waktu itu adalah Perkebunan Padang Halaban Plantagen AG Zurich.

Dalam berproduksi perkebunan memperkerjakan buruh-buruh yang di datangkan dari pulau jawa dengan menggunakan program transmigrasi Kolonial Belanda, sebagaimana di jelaskan dalam keputusan politik Etis Belanda. Orang-orang Jawa yang didatangkan berasal dari beberapa daerah dari Jawa Tengah, diantaranya : Kebumen, Banyumas, Banjarnegara, dan Klaten. Kedatangan orang-orang Jawa ke tanah Deli akibat propaganda Belanda tentang kehidupan lebih baik di pulau emas. Dengan menggunakan kapal laut melalui laut Jawa menuju selat Malaka, masyarakat diturunkan di beberapa pelabuhan di Sumatera Timur ketika itu. Dari pelabuhan, para pendatang baru jawa ini di distribusikan ke

beberapa perkebunan dengan alat transportasi berupa trem dan mobil yang disediakan oleh kolonial Belanda.

Di perkebunan-perkebunan tersebut orang-orang Jawa ditampung dalam satu kamp penampungan yang segera setelah itu dikomandoi oleh mandor kebun untuk bekerja di setiap afdeling. Mandor-mandor kebun pada awalnya orang-orang Batak yang tunduk pada Asisten kebun yang merupakan orang-orang-orang-orang dari eropa, namun kemudian para mandor kebun diambil dari jawara-jawara yang lahir di perkebunan, baik orang Jawa, Batak maupun Madura. Buruh di kebun harus menjalankan kerja dengan kontrol penuh para mandor. Ketika bekerja mereka harus menggunakan peralatan yang sangat sederhana, pohon sawit yang ditanam harus ditanam, dirawat dan dipanen dengan sepenuhnya tenaga manusia dengan peralatan sederhana.

Politik kolonial Belanda agar mayarakat tetap bertahan di perkebunan dan tidak mengerti skema penghisapan kolonial Belanda dengan sistem kerja yang diberlakukan, membuat berbagai macam kegiatan. Ada kegiatan perjudian, prostitusi, madat dan minum-minuman keras yang hadir setiap acara rakyat, seperti : ronggeng, ludruk, wayang, kuda lumping dan tayuban. Setiap datang hari mendapatkan gaji, acara segera diadakan di perkebunan, akibatnya banyak dari para buruh kontrak yang ketarik dalam kegiatan dan habis uangnya sehingga tidak bisa pulang kembali ke daerah asal, di tanah Jawa.

2. Periode 1942-1945

Pendudukan Indonesia oleh Jepang, kondisi rakyat pada waktu itu kekurangan kebutuhan pangan, demikian juga yang terjadi dengan buruh-buruh perkebunan. Sekitar 1.000 Ha tanah dikelola oleh Jepang untuk menanam tanaman pangan. Masyarakat yang mendiami perkebunan Padang Halaban dimobilisasi untuk menjadi buruh perkebunan tanaman pangan ini. Masyarakat tunduk pada aturan main tentara jepang yang kejam dan tidak manusiawi, seperti memperkerjakan masyarakat tanpa jaminan kehidupan yang layak.

Pada pemerintahan Jepang masyarakat dikonsentrasikan dalam satu barak penampungan yang dihuni oleh puluhan bahkan ratusan kepala keluarga. Masyarakat harus menjalankan kerja wajib untuk melakukan replanting tanaman perkebunan menjadi tanaman pangan dengan waktu dan beban kerja yang tidak menentu. Diantara para pemuda diwajibkan untuk terlibat dalam tentara bentuka Jepang, seperti PETA dan HEIHO. Sedangkan perempuan dipaksa untuk menjadi budak seks orang-orang Jepang di perkebunan, yang dikenal dengan Jugun Ian Fu. Proklamasi kemerdekaan Indonesia membuat tentara Jepang keluar dari perkebunan. Bekas tanah peninggalan Jepang kemudian diduduki oleh rakyat untuk kebutuhan pangan dan membantu laskar-laskar rakyat. Sementara tanaman komoditas seperti karet dan sawit yang ditinggalkan dikelola dan dipanen oleh sebagian masyarakat desa Rembu Rempah. Seperti di wilayah Afdeling karet PT Plantagen AG Zurich di kelola oleh masyarakat dan dipanen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

3. Periode 1945-1954

Tanah yang diduduki oleh masyarakat sebanyak 20% saja yang dimanfaatkan untuk perkampungan dan ladang pangan, sisanya menjadi semak belukar. Diatas tanah tersebut dibangun beberapa desa, diantaranya desa : Sidodadi, Karang Anyar, Purworejo, Sidomulyo, Kertosentono, dan Blungit. Terdapat beberapa perkampungan di areal perkebunan, diantaranya : Pondok Roni, Pondok Lawas, dan Sidomukti.

Beberapa tahun menduduki tanah, dikeluarkan Kartu Tanda Pendaftaran Pemakaian Tanah (KTTPT) yang dikeluarkan oleh Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah (KRPT) Wilayah Sumatera Timur berdasarkan UU Darurat No 08 Tahun 1954 jo UU Darurat No 01 Tahun 1956 mengenai penyelesaian pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat. Menurut data yang dihimpun oleh perkebunan ketika itu di tahun 1967-1968 masyarakat yang mendapatkan KRPT sebanyak 403 orang yang terdiri dari : desa Sidodadi (92 orang), desa Karang Anyar (80 orang), desa Sidomulyo (139 orang), desa Kertosentono (12 orang), dan desa Blungit (6 orang).

Terjadi Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, di Kopenhagen, Denmark. Beberapa tahun setelah perundingan tersebut, pengusaha Belanda yang meninggalkan perkebunan setelah diusir oleh Jepang dan Revolusi Agustus 1945, kembali masuk ke areal perkebunan. Kedatangan mereka bermaksud untuk merencanakan pembangunan perkebunan kembali. Hal ini bisa dibuktikan dengan usaha dari pemilik perusahaan menanyakan kepada penduduk di Panigoran,

Karanganyar dan Sidomulyo tentang kesediaannya kembali bekerja di kebun seperti sebelum pengusaha Belanda pergi atau jika tidak bisa terlibat dalam pekerjaan kebun kembali bisa mengolah tanah yang sudah diduduki dan dimiliki oleh masyarakat.

4. 1954-1965

Di areal Perkebunan Padang Halaban tidak hanya berdiri PT.Plantagen AG, tapi juga beroprasi NV.Sumcama dan PT.Sarikat Putra. Perusahaan-perusahaan perkebunan ini beroprasi dengan memperkerjakan buruh yang berasal dari penduduk sekitar. Kondisi ekonomi, hidup masyarakat di perkebunan Padang Halaban sangat bergantung dengan kegiatan produksi mengelolah tanah. Setelah pengusiran Jepang dari tanah Indonesia dan ditandainya kemerdekaan Indonesia, masyarakat mulai bisa mengusahai tanah bekas perkebunan asing secara bebas. Tanah-tanah negara bebas mulai dikerjakan oleh masyarakat secara berkelompok untuk membuka lahan-lahan baru dan dibagi secara merata melalui kegiatan pemancengan. Rata-rata kesanggupan masyarakat ketika itu untuk mengerjakan lahan seluas 2 Ha.

Masyarakat bergantung pada kegiatan bertani, mengolah tanah untuk kebutuhan tanaman pangan berkelanjutan. Untuk mengolah tanah masyarakat bergantung pada perubahan cuaca dalam perkembangan bulan. Jika musim penghujan, tanah di kelola untuk tanaman padi. Ketika musim kemarau tanah digunakan untuk menanam jagung. Dari dua tanaman ini masyarakat di kawasan

perkebunan padang halaban memenuhi kebutuhan pangan harian. Disamping itu untuk menutupi kebutuhan pangan utama lainnya masyarakat menanam ubi jalar maupun ubi kayu di sekitar pekarangan rumah.

Masyarakat juga menanam tanaman sayur-mayur untuk kebutuhan tambahan pangan maupun diperjual belikan. Beberapa sayur yang ditanam ketika itu, ada bayam, kangkung, daun ubi, genjer, mentimun, terong, daun kemangi, paria, dan labu. Selain sayur berbagai tanaman buah juga tumbuh subur, beberapa tanaman buah seperti semangka, bengkoang, durian, pisang, nangka, mangga, rambutan mudah sekali dijumpai. Sehingga tidak heran jika setiap harinya di stasiun Padang Halaban disediakan 2 sampai 3 buah gerbong kereta api untuk mengangkut hasil pertanian masyarakat ke Rantau Prapat-Labuhan batu.

Kondisi tanah yang berbukit-bukit dengan beberapa lembah dan daratan yang luas membuat wilayah perkebunan Padang Halaban subur untuk tumbuh-tumbuhan. Lembah-lembah yang ada berubah menjadi rawa sebagai sumber air untuk kebutuhan irigasi maupun habitat bagi beberapa jenis ikan. Beberapa ikan rawa yang lazim ditangkap oleh masyarakat untuk kebutuhan lauk pauk diantaranya ikan lembat, siluang, betook, lele, sepat, gabus, dan belut. Masyarakat melakukan penangkapan ikan dengan memancing dengan metode taut atau getek, memasang bubu, dan menjala.

Kondisi kebudayaan, masyarakat dipengaruhi oleh perkembangan kegiatan ekonomi. Di sela-sela kegiatan untuk mengolah tanah beberapa kegiatan untuk meningkatkan pola pikir, sikap dan tindakan diselenggarakan. Secara moral

kegiatan keagamaan mampu memberikan motivasi kepada masyarakat untuk selalu berfikir positif dalam hubungannya antar sesama manusia atau dengan Tuhan. Kegiatan keagamaan dibangun berdasarkan keyakinan masyarakat yang mayoritas memeluk agama islam. Di setiap desa terdapat Langgar (mushola) dan satu buah masjid sebagai tempat beribadah dan menjalankan kegiatan mengaji.

Hasil dari praktek sosial masyarakat beberapa kegiatan seni dan budaya lahir, diantaranya Jaran Kepang, Ludruk, Wayang, Tari-tarian tradisional, dan kesenian reog lahir dengan sendirinya. Seperti di Aek Korsik dikenal dengan desa tempat berdirinya kesenian Ludruk dengan nama Sakerah, kesenian Jaran Kepang dengan nama Wiryaji dan seorang dalang wayang kulit dengan nama mbah Dalang. Karenanya wajar jika di tahun-tahun sebelum peristiwa 1965, kawasan perkebunan Padang Halaban aktif menyelenggarakan pentas budaya bernuansakan kearifan lokal.

Beberapa sekolah tingkat dasar berdiri di setiap desa, yang dikenal kemudian oleh rakyat dengan Sekolah Rakyat (SR). Hanya ada satu sekolah tingkat menengah di daerah Kecamatan Marbau saat ini. Sebagian kecil masyarakat yang berusia antara 7-13 tahun kala itu menyelesaikan Sekolah Rakyat dan kesulitan untuk melanjutkan ke tingkatan selanjutnya karena jarak dan keterbatasan alat trasportasi. Hanya beberapa warga yang memiliki lereng (sepeda) untuk alat trasportasi dari satu tempat ke tempat lainnya, dan termasuk alat trasportasi mewah pada kala itu.

Keadaan politik, di setiap desa memiliki pusat administratif yang di kepalai oleh seorang kepala desa dan dibantu oleh wakil. Kepala desa yang ada ketika itu memimpin masyarakat dalam banyak hal, mulai dari penataan kampung sampai penataan aktivitas kemasyarakatan, tidak hanya memimpin kegiatan administratif. Kepala desa ditunjuk oleh masyarakat dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap masyarakat. Kepala desa sangat dihormati ketika itu, karena ketauladanan, pengaruh politiknya dalam menyelesaikan berbagai masalah di masyarakat maupun kemampuan ilmu sepiritualnya. Setiap kepala desa menjadi salah satu anggota dari organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi yang ada ketika itu, diantaranya Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI), Pemuda Pancasila (PP), Pemuda Marhaen, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI), GUBSI, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan PERKAPEN. Organisasi-organisasi yang ada bersifat massal, atau organisasi massa dengan keanggota yang luas. Sehingga tidak heran keberadaan Partai Politik ketika itu berusaha untuk mendekati organisasi-organisasi massa yang ada. Ada tiga partai besar ketika itu, diantaranya Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Masyumi dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Masyarakat di kawasan Padang Halaba tidak asing dengan nama-nama organisasi massa maupun partai yang ada. Karena bagi mereka organisasi maupun partai tersebut wadah untuk bersosialisasi dan membangun persaudaraan diantara sesama. Sebelum 1965, setiap orang yang tinggal di areal perkebunan memiliki organisasinya sendiri-sendiri.

  Sejak diusirnya kolonial Belanda dan pendudukan Fasis Jepang di tahun 1945, para lascar-laskar rakyat dan masyarakat disekitar perkebunan Padang Halaban mengambil alih tanah. Usaha rakyat ini diperkuat oleh seruan dari Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pertama. Dalam seruannya menyampaikan “perintah langsung kepada seluruh rakyat Indonesia dan para laskar rakyat rakyat agar areal-areal atau tanah bekas perkebunan asing yang ditinggalkan pengelolanya supaya diberikan atau dibagikan kepada rakyat Indonesia (termasuk bekas kuli bangsa Jepang) untuk ditanami dengan tanaman pangan guna membantu keperluan logitik lascar rakyat, disamping juga sebagai tanda bangsa yang sudah merdeka”.

Berdasarkan seruan tersebut, pada tahun 1945 hampir seluruh areal lahan di Perkebunan Padang Halaban seluas 3000 Ha, dibagikan kepada rakyat bekas kuli bangsa jepang secara bekerjasama dengan para laskar rakyat. Tanah-tanah tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK. Pembagian tanahnya : Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo, Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar, Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidodadi/Aek Korsik, Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong, Tanah di bekas Divisi

IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa Kartosentono/Brussel, dan Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sukadame/Panigoran

Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanah rampasan perang, diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan atau memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5 Tahun 1960. Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar pajak atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu.

Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan oleh pemerintah telah dikeluarkan dari areal Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Padang Halaban (saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA). Untuk diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 1969/1970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa (merebaknya penggarap liar). Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa penggusuran.

Bahkan pada tahun 1962, setelah sekitar 17 (tujuh belas) tahun mengembangkan dirinya, Desa Sidomulyo berhasil mendapatkan Penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara saat itu Ulung Sitepu, atas prestasi Desa Sidomulyo

yang berhasil meraih Juara II Desa Terbaik se-Sumatera Utara. Saat itu, Ulung Sitepu yang langsung turun atau datang ke Desa Sidomulyo untuk menyerahkan Piagam Penghargaan yang juga langsung diterima oleh Kepala Desa Sidomulyo saat itu, yaitu bapak (alm) Langkir.

Dokumen terkait