• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia

BAB II SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA

B. Pajak Bumi dan Bangunan

2. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia

jak tanah yang d

i Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan. Dalam Pasal 1 UU Pajak Bumi dan Bangunan, Bumi adalah permukaan bumi (perairan) dan tubuh bumi yang berada di bawahnya. Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan yang diperuntukkan seba

tinggal, atau tempat berusaha, atau tempat yang dapa h Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia

Sejarah pemungutan pajak di Indonesia bermula dari keberadaan VOC di Indonesia pada tahun 1619.12 Berdasarkan kedaulatan yang diberikan oleh pemerintah Kerajaan Belanda, VOC beranggapan bahwa tanah-tanah yang dikuasainya adalah miliknya. Pajak tanah ditetapkan pada tahun 1685, yang besarnya adalah 0,25% dari harga tanah dan berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun. Pajak ini merupakan cikal bakal dari Pajak Verpoding, yaitu pa

ikenakan pada bidang tanah dengan hak-hak barat atau Eropa.13

Tanggal 1 Januari 1800, VOC dibubarkan dan wilayah Indonesia dikuasai Kerajaan Belanda, yang terkenal dengan nama Bataafsche Republiek.

11

Rochmat Soemitro dan Zainal Muttaqin, Pajak Bumi dan Bangunan, hal. 2.

12

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 46

13

Pada sa

ajibkan rakyat menyerahkan 1/5 bagian dari hasil panenn

n bahwa Inggris memiliki tanah jajahannya (teori domein

at itu di Belanda sedang terjadi perubahan konsep tentang cara mengelola tanah jajahan, yang dijiwai asas liberalisme.14

Namun pada tahun 1806, Belanda dijajah oleh Perancis, kemudian Belanda dijadikan Kerajaan Holland yang dipimpin oleh Louis Napoleon. Tahun 1801 sampai dengan tahun 1806, Herman Willem Daendels yang diangkat sebagai Gubernur Jenderal yang pertama. Ia melaksanakan pemerintahan dengan mengurangi kekuasaan serta hak-hak bupati, terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga kerja yang sesuai dengan prinsip kebebasan berdagang. Untuk membangun jalan raya dari Anyer ke Panarukan, Deandels mew

ya dengan penerapan sanksi yang sangat berat bagi para pelanggarnya, yaitu lima tahun penjara.

Ketika pulau Jawa dikuasai oleh Inggris, pemerintahan dipimpin oleh Sir Thomas Stanford Raffles. Ia menerapkan sistem sewa tanah (Land Rent). Ide tersebut didasari anggapa

), sedangkan rakyat Indonesia dianggap sebagai penggarap saja, sehingga wajib membayar sewa.15

Setelah Indonesia dikuasai kembali oleh Belanda, di pulau Jawa terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro, yang menelan biaya sangat banyak, sehingga jenderal Van de Bosch menetapkan kultuurstelsel (tanam paksa)

14

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal.48.

15

sebagai pengganti Land Rent. Sistem tanam paksa mewajibkan rakyat untuk menyerahkan hasil tanaman yang dapat diekspor, dengan ketentuan bahwa 20% dari ha

sebagi akibat dari ketentuan bahwa rakyat diwajibkan untuk m

sil garapan wajib ditanami dengan jenis tanaman wajib yang hasilnya laku di Eropa.16

Pada masa penjajahan Jepang, Land Rent berganti nama menjadi pajak tanah dan pada tahun 1944 namanya diganti lagi menjadi pajak bumi. Peraturannya tidak mengalami perubahan, akan tetapi sejalan dengan peperangan yang dilakukan pemerintah Japang, dibutuhkan dana yang lebih banyak sehingga rakyat semakin menderita

enyerahkan 60% dari hasil panennya yang pada akhirnya menimbulkan kelaparan di mana-mana.

Meskipun Indonesia telah merdeka, semua pajak-pajak yang dikenakan berdasarkan peraturan zaman kolonial masih tetap diberlakukan, serperti di Jawa, Madura, Lombok, dan Sulawesi Selatan telah diselenggarakan suatu pendaftaran tanah Indonesia dengan tujuan untuk pemungutan pajak bumi (Fiscale

Kadaster).17 Namun setelah negara-negara Republik Indonesia Serikat (RIS)

dihapuskan, pada tahun 1952, Indonesia mendapatkan kedaulatan secara penuh, kemudian diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1952 (Lembaran Negara 1952 Nomor 43). Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan secara tegas bahwa di seluruh Indonesia berlaku semua undang-undang pajak, baik

16

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 50.

17

yang berasal dari zaman kolonial maupun yang berasal dari masa RIS dan yang berasal dari Negara Republik Indonesia. Dengan menyebutkan undang-undang pajak satu persatu, pada tahun 1959, Pajak Bumi ini dirubah dengan nama Pajak Hasil Bumi, pengenaan pajak tidak didasarkan atas nilai dari tanah, tetapi berdasarkan hasil yang diperoleh dari tanah, padahal hasil dari tanah telah dikenak

nan daerah. Pada dasarnya , Inlandsverpoding dan Pajak Hasil Bumi y

3.

ukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12

an pajak pendapatan, yang pada waktu itu telah dikenakan dengan istilah Overgangsbelasting (pajak peralihan).18

Tahun 1952, Pajak Hasil Bumi, pengenaannya didasarkan atas hasil yang dikeluarkan dari tanah, yang juga merupakan objek pajak dari pajak penghasilan dihapuskan dan pada tahun 1959 pajak atas hasil bumi dipungut lagi dengan nama Iuran Pemungutan Daerah (IPEDA), yang merupakan pajak pemerintah pusat, namun pemungutan dan pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah daerah dan dipergunakan untuk membiayai pembangu

IPEDA menggantikan fungsi dari Verpoding

ang dikenakan atas harta tak bergerak (tanah). Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan

Dasar h

Tahun 1994.19

18

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 53.

19

4. Subjek

, mengu

k. Namun penunjukkan tersebut bukan merupakan bukti kepemi

ak memberikan keputusan, ggap disetujui.20

dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Subjek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki

asai, dan/atau memperoleh manfaat bangunan (Pasal 4 Ayat 1 UU PBB). Jika Subjek Pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak Objek Pajak sedangkan perawatannya dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan tersebut dapat ditunjuk sebagai Wajib Pajak oleh Direktur Jenderal Paja

likan.

Subjek Pajak yang ditetapkan seperti itu, dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak terhadap Objek Pajak yang dimaksud. Apabila keterangan yang telah diajukan oleh Wajib Pajak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan yang dimaksud. Namun demikian, apabila tidak disetujui, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan disertai dengan alasan-alasan. Selanjutnya setelah jangka waktu satu bulan sejak diterima keterangan ternyata Direktur Jenderal Pajak tid

keterangan yang telah dijukan dian

20

Waluyo, Perpajakan Indonesia: Pembahasan Sesuai dengan Ketentuan Perundang-undangan Perpajakan dan Aturan Pelaksanaan Perpajakan Terbaru, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2004), hal. 474.

Objek Pajak Bumi dan Bangunan21 a. Objek

si teknik yang

ditanam u perairan.

dan lain-lain yang merupakan satu ngan kompleks bangunan tersebut.

.

, dermaga.

r dan gas, pipa minyak. .

b. Objek

jak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Objek Pajak yang:

Pajak yang dikenakan PBB

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruk

atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/ata Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:

1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya,

kesatuan de 2) Jalan TOL. 3) Kolam renang 4) Pagar mewah. 5) Tempat olah raga. 6) Galangan kapal 7) Taman mewah.

8) Tempat penampungan/kilang minyak, ai 9) Fasilitas lain yang memberikan manfaat

Pajak yang tidak dikenakan PBB Kategori Objek Pa

21

1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

2) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu. 3) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,

tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.

5) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

5. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, tarif yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima persepuluh persen).

6. Dasar Pengenaan Pajak dan Cara Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Dalam Pasal 1 Ayat 3 UU PBB No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah dengan UU PBB No. 12 Tahun 1994, NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi

jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti.22

Dasar perhitungan pajak:

a. Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP.

b. Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2000 Tanggal 26 Juni 2000 yang diberlakukan mulai tahun 2001 adalah:

1) Sebesar 40% dari NJOP a) Objek Pajak perkebunan b) Objek Pajak kehutanan

c) Objek Pajak lainnya, apabila NJOP Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) atau lebih, sebagai contoh perumahan.

2) Sebesar 20% dari NJOP a) Objek Pajak pertambangan

b) Objek Pajak lainnya, apabila NJOP kurang dari Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Cara menghitung Pajak Bumi dan Bangunan Terutang:

PBB Terutang = Tarif Pajak x % NJKP x NJOP untuk perhitungan pajak

22

Contoh perhitungan PBB:

Tuan Abadi mempunyai Objek Pajak berupa:

a. Tanah seluas 1.000 m2 dengan harga jual Rp 400.000,- per m2 b. Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp 350.000,- per m2 c. Taman mewah seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp 100.000,- per m2

d. Pagar mewah sepanjang 150 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp 200.000,- per m2

Penghitungan Nilai Jual Kena Pajak:

a. Tanah 1.000 x Rp 400.000,- = Rp 400.000.000,- b. Bangunan 400 x Rp 350.000,- = Rp 140.000,000,- c. Taman mewah 200 x Rp 100.000,- = Rp 20.000.000,- d. Pagar mewah 150 x 1,5 x Rp 200.000,- = Rp 45.000.000,- + NJOP sebagai Dasar Pengenaan Pajak = Rp 605.000.000,- Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp ( 8.000.000,-) NJOP untuk penghitungan pajak = Rp 597.000.000,- • PBB Terutang = 0,5% x (20% x Rp 597.000.000,-) = Rp 597.000,-

7. Karakteristik Pajak Bumi dan Bangunan

a. PBB termasuk pajak objektif dimana yang dipentingkan adalah objeknya, sehingga keadaan atau status subjek pajak tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak.

b. Sistem pemungutan PBB menggunakan official assessment dimana pajak dipungut dengan surat ketetapan pajak yang dikeluarkan tiap tahun atau disebut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

c. PBB merupakan pajak langsung yang dipikul sendiri oleh wajib pajak.

d. PBB merupakan Pajak Pemerintah Pusat yang hasilnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah.

BAB III

SISTEM PERPAJAKAN DALAM EKONOMI ISLAM

A. Ekonomi Islam Secara Umum

1. Pengertian Ekonomi Islam

Ekonomi Islam didefinisikan secara beragam oleh para pakar ekonomi Islam, diantaranya adalah Muhammad Abdul Mannan. Ia berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ekonomi Islam adalah pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.1

Adapun menurut Yusuf Qardhawi ekonomi Islam adalah ekonomi Ilahiah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi, diikatkan pada prinsip Ilahiah dan pada tujuan Ilahi.2

Ekonomi Islam yang dikemukakan oleh Umer Chapra adalah sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan. 3

1

M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 19

2

Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1997), hal. 25.

3

Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,(Jakarta: Kencana, 2007), hal. 16

Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy ekonomi Islam adalah respon pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada masa tertentu. Dalam usaha keras ini mereka dibantu Al-Qura’an dan Sunnah, akal (ijtihad) dan pengalaman.4

Jadi, pengertian dari ekonomi Islam adalah studi tentang problem-problem ekonomi dan institusi yang berkaitan dengannya atau ilmu yang memperlajari tata kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya untuk mencapai ridho Allah. Tujuan dari ekonomi Islam itu sendiri sesuai dengan maqashid syariah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat melalui tata kehidupan yang baik atau sesuai dengan syariat Islam.

Dari definisi ini terdapat tiga cakupan utama dalam ekonomi Islam, yaitu tata kehidupan, pemenuhan kebutuhan dan ridho Allah yang kesemuanya diilhami oleh nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang akhirnya menunjukkan konsisten antara niat karerna Allah, kaifiat atau cara-cara dan tujuan dari setiap manusia. 5

Ini tidak berarti ekonomi Islam hanya diproyeksikan untuk orang-orang yang beragama Islam, karena Islam membolehkan umatnya untuk melakukan transaksi ekonomi dengan orang-orang non muslim sekalipun. Dengan kalimat lain, ekonomi Islam lebih mengedepankan urgensi sistem ekonominya yang hendak dibina dan

4

Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, hal. 17

5

Murasa Sarkaniputra dan Agus Kristiawan, Ilmu Ekonomi. Bahan Pengajaran Ekonomi Perbankan dan Asuransi Islam , (Jakarat: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), cet. Ke-1, hal. 7.

dibangun dari pada sekedar membangun dan membina para pelakunya yang harus beragam Islam. Hanya saja, tentunya Islam menghendaki agar umat Islam itu sendiri justru menjadi pelopor dan pengawal dari sistem ekonomi Islam itu sendiri yang dimilikinya. 6

2. Prinsip-prinsip dan Nilai-nilai Dasar Ekonomi Islam Prinsip-prinsip Dasar Ekonomi Islam antara lain:

a. Tauhid (Keesaan Tuhan)

Secara umum tauhid dipahami sebagai sebuah ungkapan keyakinan (syahadat) seorang Muslim atas keesaan Tuhan. Konsep tauhid berisikan kepasrahan (taslim) manusia kepada Tuhannya, dalam perspektif yang lebih luas, konsep ini merefleksikan adanya kesatuan (unity), yaitu kesatuan kemanusian (unity of mankind), kesatuan penciptaan (unity of creation) dan kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance) serta kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life).7

Ekonomi sebagai sebuah ilmu yang dijadikan mediasi dalam memenuhi kebutuhan (hajat) manusia, baik kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan pelengkap, melibatkan interaksi antara aspek metafisik dan aspek fisik. Kegiatan ekonomi dalam perspektif tauhid dilandasi oleh prinsip-prinsip ilahiah yang bermuara pada kesejahteraan lahir dan batin manusia.8

6

M. Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, (Ciputat: Kolam Publishing, 2008), hal. 49.

7

Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal. 5

8

b. ‘Adl (Keadilan)

Dalam khazanah Islam, keadilan yang dimaksud adalah “keadilan ilahi”, yaitu keadilan yang tidak terpisahkan dari moralitas, didasarkan pada nilai-nilai absolut yang diwahyukan Tuhan dan penerimaan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merupakan suatu kewajiban.9

c. Nubuwwah (kenabian)

Diutusnya para nabi dan rasul untuk menyampaikan pertunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia. Manusia harus meneladani sifat-sifat para rasul agar mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat. Sifat-sifat yang harus diteladani oleh manusia adalah sifat shiddiq (jujur), amanah (bertanggung jawab), fathonah (kemampuan), dan tabligh (menyampaikan).10

d. Ma’ad (hasil = return)

Ma’ad diartikan juga sebagai imbalan atau ganjaran. Menurut imam Al-Ghazali, Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi harus berdasarkan pada motivasi untuk mendapatkan laba, baik laba material (tangible) maupun laba non-material (intangible).11

Selain prinsip-prinsip dasar, terdapat juga nilai-nilai dasar Ekonomi Islam. Nilai-nilai dasar Ekonomi Islam tersebut adalah:

9

Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, hal. 7

10

Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, hal. 8

11

1. Kepemilikan

Segenap barang dan kekayaan adalah milik Allah. Dan Dialah yang menunjuk individu-individu sebagai wali-walinya dalam mengelola barang-barang dan kekayaan tersebut. Kepemilikan dalam ekonomi Islam bukanlah penguasaan mutlak atas sumber ekonomi, tetapi kemampuan untuk memanfaatkannya. Hal ini sependapat dengan A.P. Parlindungan, ahli hukum agraria di Indonesia, dalam bukunya menyatakan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Negara bukan pemilik mutlak dari tanah-tanah di Republik Indonesia tetapi negara diberi wewenang melakukan Hak Menguasai Negara (HMN),12 di mana negara bertugas melakukan pengelolaan dan pengendalian terhadap kepemilikan, pengendalian hak, penguasaan maupun tatanan dari pertanahan di Indonesia.13

Dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia, hak milik perorangan diakui dengan dibatasi oleh Pasal 6 UU Pokok-Pokok Agraria bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dengan kata lain, hak atas tanah mempunyai sifat dwi fungsi, yaitu dalam setiap hak perorangan terdapat juga hak masyarakat. Apabila satu saat hak masyarakat lebih tinggi, maka hak perorangan harus mengalah.14

12

A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform Bagian I, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 91

13

A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria, hal. 25

14

Kepemilikan manusia atas harta kekayaannya hanya sampai manusia itu hidup di dunia ini. Apabila seorang manusia meninggal dunia, harta kekayaannya harus dibagikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan yang ditetapkan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan seseorang dapat dipindahtangankan kepeda pihak lain. Selain melalui waris dapat juga dilakukan melalui wakaf, hibah, dan lain sebagainya.

Sumber-sumber daya alam yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang harus menjadi milik umum atau negara, atau sekurang-kurangnya dikuasai oleh negara untuk kepentingan umum atau orang banyak. Islam memandang kepemilikan manusia hanyalah kepemilikan untuk menikmati dan memberdayakan harta kekayaan yang ada, bukan sebagai pemilik hakiki. Maka dalam pandangan ekonomi Islam apabila terdapat cabang-cabang dalam produksi yang mengandung hajat hidup orang banyak dikuasai oleh pribadi, maka negara berhak menyitanya. Hal ini sejalan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

2. Keseimbangan

Keseimbangan merupakan nilai dasar yang mempengaruhi berbagai aspek tingkah laku ekonomi seorang muslim. Atas keseimbangan ini misalnya terwujud dalam kesederhanaan, hemat dan menjauhi keborosan seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-Furqan : 67

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS.Al-Furqan: 67)

Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa keseimbangan dalam ekonomi Islam berarti ketika melakukan kegiatan ekonomi kita harus berada pada posisi pertengahan. Dimana tidak melakukan pemborosan dan tidak pula kikir, akan tetapi berlaku seimbang antara keduanya.

Kondisi kesenjangan kekayaan yang lebar di tengah-tengah masyarakat dapat diatasi dengan menerapkan keseimbangan ekonomi (economic equilibrium) melalui mekanisme distribusi. Islam mewajibkan terjadinya sirkulasi kekayaan pada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang saja sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. Al-Hasyr ayat 7.

Begitupun ketika Nabi saw melihat ada kesenjangan dalam pemilikan harta antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, maka beliau mengkhususkan harta yang diperoleh dari ghanimah (hasil perang) dari Bani Nadhir untuk kaum Muhajirin, agar terjadi keseimbangan ekonomi (economic equilibrium)15.

15

M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 202

Nilai dasar keseimbangan ini harus dijaga sebaik-baiknya bukan saja antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat dalam ekonomi, tetapi juga keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum. Di samping itu harus juga dipelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jadi, keseimbangan merupakan dimensi horizontal dari Islam; dalm perspektif yang lebih praktis meliputi keseimbangan jasmani-rohani, meterial-nonmaterial, individu dan sosial.16

3. Keadilan

Nilai dasar sistem ekonomi Islam ketiga adalah keadilan. Dalam Islam, keadilan adalah titik tolak, sekaligus proses dan tujuan semua tindakan manusia. Keadilan merupakan ajaran yang sangat fundamental dan mencakupkeseluruhan aspek kehidupan : ekonomi, sosial, politik, bahkan lingkungan hidup. Luasnya dimensi aplikatif keadilan, Al-Qur’an memaknainya dengan berbagai arti, seperti:”sesuatu yang benar, sikap tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang, cara yang tepat dalam mengambil keputusan, keseimbangan, dan pemerataan”.17

Dalam proses produksi dan konsumsi misalnya, keadilan harus menjadi penilai yang tepat, faktor-faktor produksi dan kebijaksanaan harga, agar hasilnya sesuai dengan tekanan yang wajar dan kadar yang sebenarnya.

16

Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 362

17

Ketiga nilai dasar sistem ekonomi Islam yaitu (1) kebebasan yang terbatas mengenai harta kekayaan dan sumber-sumber produksi, (2) keseimbangan dan (3) keadilan merupakan pangkal nilai-nilai instrumental sistem ekonomi Islam.

B. Pajak dalam Ekonomi Islam

roduksi total.

1. Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam

Kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam memiliki tujuan yang sama sebagaimana dalam ekonomi non-Islam. Dimana tujuannya adalah untuk menciptakan stabilitas ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan, ditambah dengan tujuan lain yang terkandung dalam aturan (doktrin) Islam atau dengan kata lain tujuan tersebut harus dicapai dengan melaksanakan hukum Islam.18

a. Kebijakan Fiskal pada Awal Pemerintahan Islam

Pada masa Rasulullah SAW kebijakan fiskal yang diambil meliputi tindakan-tindakan sebagai berikut:19

1) Pendapatan nasional dan pertisipasi kerja, meliputi: mempekerjakan kaum Muhajirin dengan Anshor, pembagian tanah, dan menghubungkan kerjasama (partnership) antara kaum Muhajirin dan Anshor dalam hal modal sumber daya

Dokumen terkait