• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan ekonomi islam terhadap pajak bumi dan bangunan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan ekonomi islam terhadap pajak bumi dan bangunan di Indonesia"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh

MIA HASANAH

NIM : 106046103538

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 01 September 2010

(3)

BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:

MIA HASANAH

106046103538

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:

MIA HASANAH

NIM. 106046103538

Pembimbing I Pembimbing II Dra. Hafni Muchtar, SH, MH, MM Dr. Alimin, M.Ag

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(5)

BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:

MIA HASANAH

NIM. 106046103538

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hafni Muchtar, SH, MH, MM Dr. Alimin, M.A

NIP. 197107011998032002 KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(6)

Skripsi yang berjudul Tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam)

Jakarta, 24 September 2010 Dekan,

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA, MM NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H,M.A, M.M NIP. 197107011998032002 (...)

Sekretaris : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H (...) NIP. 197407252001121001

Pembimbing I : Dra. Hafni Muchtar, S.H, M.H, M.M (...)

Pembimbing II: Dr. Alimin, M.A (...) NIP. 197107011998032002

Penguji I : Dr. Euis Amalia, M. Ag (...) NIP. 197107011998032002

(7)

dan Bangunan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan menggunakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara penelitian studi kepustakaan, yaitu dengan cara mempelajari, mendalami, dan mengutip teori-teori atau konsep-konsep dari sejumlah literatur. Literatur yang digunakan berupa buku-buku tentang perpajakan baik itu buku-buku perpajakan secara umum maupun buku-buku yang hanya membahas pajak bumi dan bangunan. Selain itu digunakan juga buku-buku yang membahas ekonomi Islam baik itu buku terbitan dalam negeri maupun buku terjemahan.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengenaan pajak terhadap bumi dan bangunan yang dimiliki masyarakat untuk menciptakan kemaslahatan

umum PBB boleh dikenakan pada orang yang kaya sebagaimana prinsip maslahah

mursalah. Selain itu, pengenaan pajak pada harta kekayaan seseorang merupakan

salah satu cara distribusi harta dalam ekonomi Islam sehingga dapat membantu mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat. Sementara untuk tarif pajak sebaiknya digunakan tarif progresif di mana semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang maka semakin tinggi pula pajak yang dikenakan.

Kata kunci: Pajak Bumi dan Bangunan, distribusi harta kekayaan, tarif progresif.

(8)

Alhamdulillahirabbil‘alamin. Segala puji yang tidak ada hentinya bagi Allah

SWT yang telah memberikan kepada manusia akal dan pikiran sehingga menjadi

makhluk yang paling baik dan sempurna di dunia ini. Shalawat serta salam selalu

tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman yang telah

memberikan cahaya ilmu dan peradaban bagi manusia.

Menyadari dalam proses penulisan skripsi ini tidak luput dari bantuan moril

maupun materil pihak lain kepada penulis, maka sudah menjadi keharusan penulis

menghaturkan terima kasih yang paling dalam kepada pihak-pihak yang berjasa,

yaitu;

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag. dan Bapak Ah. Azharuddin Latif, M.Ag, Kepala

Prodi dan Sekretaris Prodi Muamalat yang telah mengabdikan waktu dan

tenaganya untuk membantu mahasiswa Muamalat dalam menjalani proses

pencarian ilmu di UIN Jakarta ini.

3. Ibu Dra. Hafni Muchtar, S.H., M.H., M.M., dan Dr. Alimin, M.Ag, Dosen

pembimbing dalam proses penulisan skripsi. Tiada yang dapat penulis ucapkan

(9)

dan berbagi pengalaman hidup yang sangat menginspirasi penulis. Pak

Adiwarman, Pak Nadra, Bu Euis, Pak Azhar, Pak Gustian, Pak Djaka, Pak Ali

Sakti, dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

5. Ibunda yang selalu mencurahkan doa, kasih sayang dan perhatiannya kepada

penulis. Semoga Allah SWT memberikan selalu kasih sayangNya, selalu

melindungi, memberikan kesehatan dan semua yang terbaik kepada beliau. Juga

Ayahanda yang telah berpulang ke Ramhmatullah, namun kasih sayangnya selalu

dan akan tetap penulis rasakan. Semoga beliau diberi tempat yang terbaik di sisi

Allah SWT.

6. Abang-abangku (Ashari, Rohim, Zarkasih, Tajuddin, Abdul) dan kakak-kakakku

(Sa’diah, Rohimah, Neneng, Indah) yang selalu memberikan kasih sayang dan

perhatiannya sehingga penulis tidak pernah kekurangan sesuatu apapun.

7. Keluarga Bpk. Mulyadi, Bpk. Ust. Obur Burhanuddin, Bpk. Slamet, Bpk.

Suwardi, Bpk. Wibowo, Bpk. Agus terima kasih atas persaudaraan yang telah

terjalin. Semoga semuanya selalu dirahmati oleh Allah SWT.

8. Adik-Adik yang cantik (Shinta, Ulfah, Fika, Ikah, Gaitsha, Zasqia) dan yang

ganteng (Faiz, Fikri, Aldo, Zidan, Faris, Rafi, Rafa) yang telah menjadikan hidup

penulis penuh dengan warna dan keceriaan.

(10)

rikza, utha, rizky, toyyib, agung, ali, nasir, satria, fauzi, fauzan, zams, hasan, bidu,

fitroh, ni’am, dedi, syahrul, lukman dan gunawan. Terima kasih atas keceriaan

dan kebersamaan selama empat tahun ini, semoga persaudaraan dan persahabatan

yang terjalin tidak pernah lekang oleh waktu.

Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan

kontribusi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

               Jakarta, Ramadhan 1431 H

September 2010 M

 

(11)

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI………..……... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah....……….... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 7

D. Kajian Pustaka………..………... 8

E. Metode Penelitian……….………….... 10

F. Sistematika Penulisan……….………….. 12

BAB II SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA A. Perpajakan Secara Umum 1. Definisi Pajak dan Syarat Pemungutan Pajak…..………... 13

2. Pajak Negara dan Pajak Daerah……….. 15

3. Fungsi Pajak dan Asas Pemungutan Pajak……….… 16

4. Sistem Pemungutan Pajak dan Tarif Pajak……...…. 18

B. Pajak Bumi dan Bangunan 1. Definisi Pajak Bumi dan Bangunan……… 21

2. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia………….... 21

(12)

6. Dasar pengenaan pajak dan Cara Perhitungan Pajak Bumi

dan Bangunan……….... 27

7. Karakteristik Pajak Bumi dan Bangunan………..…. 29

BAB III SISTEM PERPAJAKAN DALAM EKONOMI ISLAM

A. Ekonomi Islam Secara Umum

1. Pengertian Ekonomi Islam………... 31

2. Prinsip-prinsip dan Nilai-nilai Dasar Ekonomi Islam... 33

B. Pajak dalam Ekonomi Islam

1. Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam……....………. 39

2. Pendapat Ulama tentang Pajak………... 48

3. Karakteristik Pajak dalam Ekonomi Islam………... 55

BAB IV TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA

A. Konsep Kepemilikan Tanah dalam Ekonomi Islam………. 57

B. Pajak Tanah dalam Ekonomi Islam……….. 64

C. Analisa Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan

di Indonesia……….. 69

(13)

xi

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Praktik pemungutan pajak tidak bisa dilakukan secara sembarangan tanpa aturan, tetapi harus berdasarkan undang-undang sebagai dasar hukumnya. Dasar hukum pajak diletakkan dalam pasal 23 ayat (2) UUD 1945 Republik Indonesia yang berbunyi “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”.1 Begitu juga dengan ketentuan umum dan tata cara perpajakan diatur dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang-undang No. 16 Tahun 2009. Jadi, setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan undang-undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang hanya dipungut berdasarkan Keputusan Presiden atau berdasarkan Peraturan Pemerintah atau berdasarkan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah dari pada undang-undang.2

Berbagai macam cara dilakukan pemerintah untuk dapat mengingkatkan pendapatan di sektor pajak karena pajak merupakan pemasukan negara terbesar dibandingkan sektor lainnya. Berikut ini adalah table yang menyajikan penerimaan negara dari sektor dalam negeri pada tahun 2008 dan 2009:

1

Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Edisi Revisi, (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hal. 7.

2

(15)
[image:15.612.110.529.128.504.2]

Tabel 13

PENERIMAAN DALAM NEGERI TAHUN 2008 DAN 2009 (dalam miliar rupiah)

Tahun

Perpajakan Bukan Pajak Jumlah

Nilai % Nilai % Nilai %

2008 633.818,9 66,1 325.698,1 33,9 959.517,0 100

2009 725.843,0 73,7 258.943,6 26,3 984.786,5 100

Sumber: Data Pokok APBN 2008 dan 2009 Dep. Keu. RI

Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa penerimaan negara dari sektor perpajakan mencapai Rp 725.843,0 miliar pada tahun 2009. Dengan demikian, sektor pajak memberikan kontribusi sebanyak 73,7% dari seluruh penerimaan dalam negeri yang berjumlah Rp 984.786,5 miliar pada tahun 2009. Sedangkan sektor bukan perpajakan hanya memberikan kontribusi sebesar Rp 258.943,6 atau sekitar 26,3 % dari penerimaan negara.

Dari 231 juta jiwa jumlah penduduk di Indonesia hanya sekitar 15 juta jiwa yang memiliki NPWP.4 Hal ini mengindikasikan bahwa potensi pajak di Indonesia masih sangat besar untuk lebih dieksplor. Oleh karena itu, pemerintah terus melakukan sosialisasi tentang pentingnya masyarakat membayar pajak karena memang kepatuhan seseorang dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya

3

http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/download/Data%20Pokok%202009%20Indonesia%2 0rev1.pdf, diakses pada tanggal 14 Maret 2010

4

(16)

haruslah didukung oleh pemahanan akan fungsi serta pentingnya pajak bagi kelangsungan suatu negara.

Pajak merupakan harta yang dipungut dari rakyat untuk keperluan pengaturan negara (fungsi pajak sebagai regulerend) dan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (fungsi pajak sebagai budgetair) baik untuk belanja rutin maupun pembangunan infrastuktur.5 Dengan membayar pajak rakyat tidak mendapatkan prestasi balik secara langsung (kontraprestasi), namun rakyat akan menikmati hasil dari pembayaran pajak tersebut melalui fasilitas-fasilitas umum yang dibuat oleh pemerintah baik itu sekolah, rumah sakit, jalan raya, jembatan dan lain sebagainya.

[image:16.612.114.530.298.637.2]

Pajak di Indonesia sangat beragam jenisnya. Di bawah ini akan disajikan beberapa jenis pajak dan besaran jumlah pajak yang memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara pada tahun 2008 dan 2009.

Tabel 26

PENERIMAAN PERPAJAKAN TAHUN 2008 DAN 2009 (dalam miliar rupiah)

Uraian 2008 2009

A. Pajak Dalam Negeri

1. Pajak Penghasilan

2. Pajak Pertambahan Nilai

599.160,7

318.027,8

199.785,2

697.347,0

357.400,5

249.508,7

5

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah dengan Kebijakan Pertanahan di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), hal. 7

6

(17)

3. Pajak Bumi dan Bangunan

4. BPHTB

5. Cukai

6. Pajak lainnya

B. Pajak Perdagangan Internasional

1. Bea Masuk

2. Pajak ekspor/Bea keluar

25.525,5 5.529,3 46.967,5 3.325,4 34.658,2 19.799,9 14.858,3 2 8.916,3 7.753,6 49.494,7 4.273,2 28.496,0 19.160,4 9.335,6

Jumlah 633.818,9 725.843,0

Sumber: Data Pokok APBN 2008 dan 2009 Dep. Keu. RI

Berdasarkan tabel di atas, salah satu dari lima besar penerimaan yang menghasilkan dana bagi negara adalah Pajak Bumi dan Bangunan (selanjutnya disebut PBB) yaitu sebesar Rp 28.916,3 miliar. PBB merupakan salah satu pendapatan negara yang langsung dipungut dari wajib pajak, baik perseorangan maupun badan hukum yang menikmati hasil atau menguasai bumi dan bangunan yang dilekatkan di atas bumi dengan berbagai macam konstruksi bangunan. Objek dari PBB ini adalah bumi dan/ bangunan, sedangkan subjek yang membayar PBB ini adalah siapa saja yang memiliki maupun memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan.7 Sistem tarif yang digunakan dalam PBB tidak menggunakan tarif progresif melainkan menggunakan tarif proporsional sebesar 0,5%.

7

(18)

PBB berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 berdasarkan Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan No. 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan UU PBB No. 12 Tahun 1994.8

Ketentuan di dalam UU PBB harus mempertimbangkan kepentingan dan kondisi masyarakat selaku wajib pajak. Dimana kemampuan membayar wajib pajak perlu diperhatikan karena hal tersebut menyangkut masalah keadilan. Banyak keluhan dari wajib pajak yang merasa tidak mampu membayar PBB karena jumlah pajak terutang yang dikenakan terhadap mereka jauh di atas kemampuannya, misalnya para pensiunan yang menempati rumah-rumah di jalan protokol. Demikian pula dengan para petani yang mengandalkan pemenuhan kewajiban pembayaran PBB dari hasil panen.9

Asas perpajakan yang utama adalah asas keadilan yang merupakan maksim yang pertama dari The Four Maxim-nya Adam Smith, yaitu equality.10 Begitupun dalam sistem Ekonomi Islam sistem perpajakan harus seirama dengan spirit Islam yaitu keadilan. Menurut beberapa tokoh ekonom muslim, sistem perpajakan di sebut adil bila memenuhi tiga kriteria, antara lain: Pertama, pajak harus dipungut untuk membiayai hal-hal yang benar-benar dianggap perlu dan untuk mewujudkan kepentingan maqashid: Kedua, beban pajak tidak boleh terlalu memberatkan dibandingkan dengan kemampuan orang untuk memikulnya dan beban tersebut harus

8

Rochmat Soemitro dan Zainal Muttaqin. Pajak Bumi dan Bangunan. Edisi Revisi. (Bandung: Refika Aditama. 2001), hal. 1

9

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal.47

10

(19)

didistribusikan secara adil di antara semua orang yang mampu membayar; Ketiga, dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang karenanya pajak diwajibkan. Sistem pajak yang tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut dianggap sebagai penindasan pemerintah terhadap rakyat. 11

Merujuk pada uraian di atas, maka dalam penelitian ini penulis akan meneliti tentang ”TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA”.

B. PEMBATASAN MASALAH DAN PERUMUSAN MASALAH

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan suatu negara. Setiap pajak yang dikenakan kepada masyarakat memiliki dasar hokum yang jelas atau berdasarkan undang-undang. Hasil dari pemungutan pajak idealnya digunakan untuk membiayai berbagai macam kebutuhan yang ada di suatu negara baik itu untuk pembangunan infrastruktur, membiayai sektor pertanian, sektor pendidikan dan sebagainya. Berbagai jenis pajak ada di Indonesia antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya.

Agar penelitian ini lebih terarah dan fokus, maka masalah-masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia yang

11

(20)

mencakup pengertian, sejarah, dasar hukum, tarif penghitungan, subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan serta tinjauan ekonomi Islam terhadapnya.

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah Pajak Bumi dan Bangunan dibolehkan dari sisi Ekonomi Islam?

2. Apakah objek Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia sesuai dengan konsep distribusi kekayaan dalam Ekonomi Islam?

3. Apakah tarif Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia sesuai dengan prinsip keadilan dalam Ekonomi Islam?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Merujuk pada rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji dan mengetahui pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia.

2. Untuk mengkaji dan mengetahui tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia.

Hasil penelitian Tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia ini diharapkan memberikan sejumlah manfaat, antara lain:

(21)

terhadap Pajak Bumi dan Bangunan serta dapat menjadi bahan masukan bagi mereka yang berminat untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi serta menjadi bahan masukan bagi para pengambil kebijakan untuk selalu mempertimbangkan kesejahteraan rakyat setiap kali mengambil keputusan.

D. KAJIAN PUSTAKA

Berikut pemaparan dari beberapa skripsi yang terkait dengan tema penulis antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Pipih (Mahasisiwi Perbankan Syariah UIN Jakarta) yang berjudul “Kontribusi Pemikiran Abu Yusuf terhadap Konsep Pajak”. Penelitian yang dilakukan pada 2004 ini fokus pada penjelasan mengenai konsep Abu Yusuf dalam manajemen keuangan publik berdasarkan realitas historis yang pernah dipraktekkan, serta analisa pemikiran tentang pajak yang memiliki signifikansi ekonomi yang besar pada saat ini. Dari metode penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Pipih menggunakan pendekatan kualitatif. Kemudian instrument pengumpulan data yang digunakan adalah dengan metode analisa deskriptif.

(22)

tentang prinsip dan sistem pemungutan pajak menurut Abu Yusuf serta tujuan dan manfaat pemungutan pajak.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Lisda Malau (Mahasisiwi Perbankan Syariah UIN Jakarta) pada 2004 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Sistem Perpajakan Modern”. Penelitian ini fokus membahas tentang Pajak Penghasilan (PPh) yang mencakup sistem perpajakan modern, fungsi pajak di Indonesia, dan tinjauan hukum Islam terhadap Pajak Penghasailan.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Andry Kurniawan (Mahasisiwa Perbankan Syariah UIN Jakarta) pada 2009 dengan judul “Praktik Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dalam Perspektif Hukum Islam”. Penelitian ini membahas tentang teori dan aplikasi praktik pemungutan PPN menurut hukum Islam dengan metode peneltian yaitu penelitian kualitatif normatif. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa praktik pemungutan PPN tidak dibenarkan dalam hukum Islam, karena tidak adanya kejelasan pengkonsumsian barang/jasa yang halal ataupun yang haram.

(23)

E. METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang tidak mengadakan penghitungan matematis, statistik, dan lain sebagainya.12

Secara keseluruhan pendekatan penelitian yang digunakan dalarn penulisan skripsi ini adalah pendekatan normatif yang bersumber dari bahan bacaan yang dilakukan dengan cara penelaahan naskah. Bilamana terdapat data-data empiris, maka hal itu dimaksudkan hanya untuk mempertajam analisa dan menguatkan argumentasi penelitian.

2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian studi kepustakaan (Library Research), yaitu dengan cara mempelajari, mendalami, dan mengutip teori-teori atau konsep-konsep dari sejumlah literatur baik buku, jurnal, majalah, koran atau karya tulis lainnya yang relevan dengan topik ,fokus atau variabel penelitian.

Sumber data yang digunakan oleh penulis adalah sumber data primer dan sekunder. Data primer pada skripsi ini merujuk pada buku-buku yang khusus membahas tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta perpajakan secara

12

(24)

keseluruhan. Sedangkan untuk data sekunder adalah seluruh literatur. yang berhubungan dengan Ekonomi Islam secara umum atau literatur lain yang dapat memberikan informasi tambahan pada judul yang akan diangkat dalam skripsi ini, yaitu: buku, majalah, jurnal, artikel, dan lainnya.

3. Metode Analisa Data

Dalam mengolah data dan menganalisa data penulis menggunakan metode content analisys yaitu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang

dapat ditiru (replicable).13 Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Deskripsif berarti penulis menjelaskan secara apa adanya tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang diterapkan di Indonesia, kemudian dianalisis dari tinjauan ekonomi Islam.

4. Pedoman Penulisan Skripsi

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada "Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2007" yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

13

(25)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini disajikan dalam lima bab, yaitu sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisi uraian mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian kepusatakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan kerangka teori yang berisi uraian teoritik mengenai permasalahan yang akan diteliti antara lain tentang pengertian PBB, sejarah PBB, dasar hukum PBB, sujek dan objek PBB, tarif dan perhitungan PBB serta karakteristik dari PBB.

Bab III berisi uraian umum tentang Ekonomi Islam, meliputi pengertian Ekonomi Islam, prinsip dasar, nilai-nilai Ekonomi Islam, kebijakan fiskal dalam Ekonomi Islam, pendapat ulama tentang pajak, dan karakteristik pajak dalam Ekonomi Islam.

Bab IV merupakan bagian analisis dan pembahasan yang berisi analisis permasalahan, nterpretasi dan disertai dengan pembahasan hasil penelitian tentang tinjauan Ekonomi Islam terhadap PBB di Indonesia. Bab V merupakan bab penutup. Pada bagian ini disarikan kesimpulan hasil

(26)

BAB II

SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA

A. Perpajakan Secara Umum

1. Definisi Pajak dan Syarat Pemungutan Pajak

Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.1

Sedangkan pajak menurut Soeparman Soemahamidjaja adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.2

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:3 a. Iuran rakyat kepada negara.

Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).

b. Berdasarkan undang-undang.

Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaanya.

1

Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2008), hal. 1

2

Erly Suandy, Hukum Pajak, Edisi Revisi, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2002), hal.9

3

(27)

c. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

d. Digunakan untuk membiayai rumah tanggga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Syarat Pemungutan Pajak4

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adill dalam pelaksanaanya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun bagi warganya.

4

(28)

c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorongg masyarakat dalam memwnuhi kewajiban perpajakannya.

Contoh:

• Bea Materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.

penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan ukum maupun perseorangan.

2.

at ini masih berlaku adalah: 5

• Tarif PPN yang veragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu

10%.

• Pejak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan

disederhanakan menjadi pajak h

Pajak Negara dan Pajak Daerah Pajak negara yang sampai sa a. Pajak Penghasilan (PPh)

5

(29)

b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN &

an lain-lain.

ajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak ajak Parkir, dan lain-lain.

Ada a.

nyaknya ke kas negara sebagai sumber

b.

jak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di

PPn BM)

c. Bea Materai

d. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

e. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pajak daerah dibagi menjadi 2 bagian: 6

a. Pajak Propinsi, antara lain Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, d

b. Pajak Kabupaten atau kota, antara lain P Hiburan, Pajak Reklame, P

3. Fungsi Pajak dan Asas Pemungutan Pajak dua fungsi pajak, yaitu: 7

Fungsi Budgetair/fungsi finansial Yaitu memasukkan uang sebanyak-ba

dana untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Fungsi Regulerend/fungsi mengatur

Yaitu pa

bidang ekonomi, sosial maupun politik dengan tujuan tertentu. Contoh:

6

Mardiasmo, Perpajakan, hal. 13.

7

(30)

• Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi

konsumsi minuman keras.

• Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk

mengurangi gaya hidup konsumtif.

• Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk

Indonesia di pasar dunia.

itulis oleh Adam Smith pada abad ke-18 mengajarkan tentang asas-asas ajak yang dikenal dengan four canons atau The Four Maxims antara lain: 8

a.

sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama wajib pajak harus diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda wajib pajak harus diperlakukan berbeda.

Asas Pemungutan Pajak

Dalam buku An Inguiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations yang d

pemungutan p

Equality

Pembebanan pajak kepada subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah perlindungan pemerintah. Dalam hal ini tidak boleh suatu negara mengadakan diskriminasi di antara

8

(31)

b. Certain

subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai

c. Conven

tnya dengan saat diterimanya penghasilan keuntungan

d. Econom

u biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.

4.

berapa macam antara lain:9 a. Officia

iskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh

ty

Pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai

pembayarannya.

ience of payment

Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak, yaitu saat sedekat-deka

yang dikenakan pajak. ic of collection

Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri. Karena tidak ada artinya pemungutan pajak kala

Sistem Pemungutan Pajak dan Tarif Pajak Sistem pemungutan pajak ada be

l Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (f

Wajib Pajak.

9

(32)

Ciri-cirinya:

1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.

pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh

b. Self As

Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

tuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib

ri menghitung, menyetor, dan melaporkan

campur dan hanya mengawasi. c. With H

kutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

k yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.

2) Wajib Pajak bersifat pasif. 3) Utang

fiskus.

sessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada Wajib

Ciri-cirinya: 1) Wewenang un

Pajak sendiri.

2) Wajib Pajak aktif, mulai da sendiri pajak yang terutang. 3) Fiskus tidak ikut

olding System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersang

(33)

Tar

a. Tarif

pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya

alam Pajak Pertambahan Nilai dan tarif 5% dalam Pajak ngunan.

b. Tarif

apapun jumlah yang

a Meterai untuk cek dan bilyet giro sebesar Rp 1.000,- c. Tarif

yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai

7 Undang-undang Pajak Penghasilan. d. Tarif

mlah yang dikenai pajak semakin besar. Di Indonesia, tarif ini tidak digunakan.

if Pajak

Ada empat macam tarif pajak: 10 sebanding/proporsional

Tarif berupa persentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya

nilai yang dikenai pajak. Contoh : tarif 10% d Bumi dan Ba

tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap ber dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh : Tarif Be

progresif Persentase tarif pajak semakin besar. Contoh: Pasal 1

degresif

Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila ju

10

(34)

B. Pajak Bumi dan Bangunan 1. Definis

gai tempat t diusahakan.11

2. Sejara

jak tanah yang d

i Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan. Dalam Pasal 1 UU Pajak Bumi dan Bangunan, Bumi adalah permukaan bumi (perairan) dan tubuh bumi yang berada di bawahnya. Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan yang diperuntukkan seba

tinggal, atau tempat berusaha, atau tempat yang dapa h Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia

Sejarah pemungutan pajak di Indonesia bermula dari keberadaan VOC di Indonesia pada tahun 1619.12 Berdasarkan kedaulatan yang diberikan oleh pemerintah Kerajaan Belanda, VOC beranggapan bahwa tanah-tanah yang dikuasainya adalah miliknya. Pajak tanah ditetapkan pada tahun 1685, yang besarnya adalah 0,25% dari harga tanah dan berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun. Pajak ini merupakan cikal bakal dari Pajak Verpoding, yaitu pa

ikenakan pada bidang tanah dengan hak-hak barat atau Eropa.13

Tanggal 1 Januari 1800, VOC dibubarkan dan wilayah Indonesia dikuasai Kerajaan Belanda, yang terkenal dengan nama Bataafsche Republiek.

11

Rochmat Soemitro dan Zainal Muttaqin, Pajak Bumi dan Bangunan, hal. 2.

12

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 46

13

(35)

Pada sa

ajibkan rakyat menyerahkan 1/5 bagian dari hasil panenn

n bahwa Inggris memiliki tanah jajahannya (teori domein

at itu di Belanda sedang terjadi perubahan konsep tentang cara mengelola tanah jajahan, yang dijiwai asas liberalisme.14

Namun pada tahun 1806, Belanda dijajah oleh Perancis, kemudian Belanda dijadikan Kerajaan Holland yang dipimpin oleh Louis Napoleon. Tahun 1801 sampai dengan tahun 1806, Herman Willem Daendels yang diangkat sebagai Gubernur Jenderal yang pertama. Ia melaksanakan pemerintahan dengan mengurangi kekuasaan serta hak-hak bupati, terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga kerja yang sesuai dengan prinsip kebebasan berdagang. Untuk membangun jalan raya dari Anyer ke Panarukan, Deandels mew

ya dengan penerapan sanksi yang sangat berat bagi para pelanggarnya, yaitu lima tahun penjara.

Ketika pulau Jawa dikuasai oleh Inggris, pemerintahan dipimpin oleh Sir Thomas Stanford Raffles. Ia menerapkan sistem sewa tanah (Land Rent). Ide tersebut didasari anggapa

), sedangkan rakyat Indonesia dianggap sebagai penggarap saja, sehingga wajib membayar sewa.15

Setelah Indonesia dikuasai kembali oleh Belanda, di pulau Jawa terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro, yang menelan biaya sangat banyak, sehingga jenderal Van de Bosch menetapkan kultuurstelsel (tanam paksa)

14

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal.48.

15

(36)

sebagai pengganti Land Rent. Sistem tanam paksa mewajibkan rakyat untuk menyerahkan hasil tanaman yang dapat diekspor, dengan ketentuan bahwa 20% dari ha

sebagi akibat dari ketentuan bahwa rakyat diwajibkan untuk m

sil garapan wajib ditanami dengan jenis tanaman wajib yang hasilnya laku di Eropa.16

Pada masa penjajahan Jepang, Land Rent berganti nama menjadi pajak tanah dan pada tahun 1944 namanya diganti lagi menjadi pajak bumi. Peraturannya tidak mengalami perubahan, akan tetapi sejalan dengan peperangan yang dilakukan pemerintah Japang, dibutuhkan dana yang lebih banyak sehingga rakyat semakin menderita

enyerahkan 60% dari hasil panennya yang pada akhirnya menimbulkan kelaparan di mana-mana.

Meskipun Indonesia telah merdeka, semua pajak-pajak yang dikenakan berdasarkan peraturan zaman kolonial masih tetap diberlakukan, serperti di Jawa, Madura, Lombok, dan Sulawesi Selatan telah diselenggarakan suatu pendaftaran tanah Indonesia dengan tujuan untuk pemungutan pajak bumi (Fiscale

Kadaster).17 Namun setelah negara-negara Republik Indonesia Serikat (RIS)

dihapuskan, pada tahun 1952, Indonesia mendapatkan kedaulatan secara penuh, kemudian diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1952 (Lembaran Negara 1952 Nomor 43). Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan secara tegas bahwa di seluruh Indonesia berlaku semua undang-undang pajak, baik

16

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 50.

17

(37)

yang berasal dari zaman kolonial maupun yang berasal dari masa RIS dan yang berasal dari Negara Republik Indonesia. Dengan menyebutkan undang-undang pajak satu persatu, pada tahun 1959, Pajak Bumi ini dirubah dengan nama Pajak Hasil Bumi, pengenaan pajak tidak didasarkan atas nilai dari tanah, tetapi berdasarkan hasil yang diperoleh dari tanah, padahal hasil dari tanah telah dikenak

nan daerah. Pada dasarnya , Inlandsverpoding dan Pajak Hasil

Bumi y 3.

ukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12

an pajak pendapatan, yang pada waktu itu telah dikenakan dengan istilah Overgangsbelasting (pajak peralihan).18

Tahun 1952, Pajak Hasil Bumi, pengenaannya didasarkan atas hasil yang dikeluarkan dari tanah, yang juga merupakan objek pajak dari pajak penghasilan dihapuskan dan pada tahun 1959 pajak atas hasil bumi dipungut lagi dengan nama Iuran Pemungutan Daerah (IPEDA), yang merupakan pajak pemerintah pusat, namun pemungutan dan pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah daerah dan dipergunakan untuk membiayai pembangu

IPEDA menggantikan fungsi dari Verpoding

ang dikenakan atas harta tak bergerak (tanah). Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan

Dasar h

Tahun 1994.19

18

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 53.

19

(38)

4. Subjek

, mengu

k. Namun penunjukkan tersebut bukan merupakan bukti kepemi

ak memberikan keputusan, ggap disetujui.20

dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Subjek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki

asai, dan/atau memperoleh manfaat bangunan (Pasal 4 Ayat 1 UU PBB). Jika Subjek Pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak Objek Pajak sedangkan perawatannya dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan tersebut dapat ditunjuk sebagai Wajib Pajak oleh Direktur Jenderal Paja

likan.

Subjek Pajak yang ditetapkan seperti itu, dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak terhadap Objek Pajak yang dimaksud. Apabila keterangan yang telah diajukan oleh Wajib Pajak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan yang dimaksud. Namun demikian, apabila tidak disetujui, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan disertai dengan alasan-alasan. Selanjutnya setelah jangka waktu satu bulan sejak diterima keterangan ternyata Direktur Jenderal Pajak tid

keterangan yang telah dijukan dian

20

(39)

Objek Pajak Bumi dan Bangunan21 a. Objek

si teknik yang

ditanam u perairan.

dan lain-lain yang merupakan satu ngan kompleks bangunan tersebut.

.

, dermaga.

r dan gas, pipa minyak. .

b. Objek

jak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Objek Pajak yang:

Pajak yang dikenakan PBB

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruk

atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/ata Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:

1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya,

kesatuan de 2) Jalan TOL. 3) Kolam renang 4) Pagar mewah. 5) Tempat olah raga. 6) Galangan kapal 7) Taman mewah.

8) Tempat penampungan/kilang minyak, ai 9) Fasilitas lain yang memberikan manfaat

Pajak yang tidak dikenakan PBB Kategori Objek Pa

21

(40)

1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

2) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu. 3) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,

tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.

5) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

5. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, tarif yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima persepuluh persen).

(41)

jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti.22

Dasar perhitungan pajak:

a. Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP.

b. Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2000 Tanggal 26 Juni 2000 yang diberlakukan mulai tahun 2001 adalah:

1) Sebesar 40% dari NJOP

a) Objek Pajak perkebunan

b) Objek Pajak kehutanan

c) Objek Pajak lainnya, apabila NJOP Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) atau lebih, sebagai contoh perumahan.

2) Sebesar 20% dari NJOP

a) Objek Pajak pertambangan

b) Objek Pajak lainnya, apabila NJOP kurang dari Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Cara menghitung Pajak Bumi dan Bangunan Terutang:

PBB Terutang = Tarif Pajak x % NJKP x NJOP untuk perhitungan pajak

22

(42)

Contoh perhitungan PBB:

• Tuan Abadi mempunyai Objek Pajak berupa:

a. Tanah seluas 1.000 m2 dengan harga jual Rp 400.000,- per m2 b. Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp 350.000,- per m2 c. Taman mewah seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp 100.000,- per m2

d. Pagar mewah sepanjang 150 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp 200.000,- per m2

• Penghitungan Nilai Jual Kena Pajak:

a. Tanah 1.000 x Rp 400.000,- = Rp 400.000.000,- b. Bangunan 400 x Rp 350.000,- = Rp 140.000,000,- c. Taman mewah 200 x Rp 100.000,- = Rp 20.000.000,- d. Pagar mewah 150 x 1,5 x Rp 200.000,- = Rp 45.000.000,- + NJOP sebagai Dasar Pengenaan Pajak = Rp 605.000.000,- Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp ( 8.000.000,-) NJOP untuk penghitungan pajak = Rp 597.000.000,- • PBB Terutang = 0,5% x (20% x Rp 597.000.000,-) = Rp 597.000,-

7. Karakteristik Pajak Bumi dan Bangunan

(43)

b. Sistem pemungutan PBB menggunakan official assessment dimana pajak dipungut dengan surat ketetapan pajak yang dikeluarkan tiap tahun atau disebut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

c. PBB merupakan pajak langsung yang dipikul sendiri oleh wajib pajak.

(44)

BAB III

SISTEM PERPAJAKAN DALAM EKONOMI ISLAM

A. Ekonomi Islam Secara Umum

1. Pengertian Ekonomi Islam

Ekonomi Islam didefinisikan secara beragam oleh para pakar ekonomi Islam, diantaranya adalah Muhammad Abdul Mannan. Ia berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ekonomi Islam adalah pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.1

Adapun menurut Yusuf Qardhawi ekonomi Islam adalah ekonomi Ilahiah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi, diikatkan pada prinsip Ilahiah dan pada tujuan Ilahi.2

Ekonomi Islam yang dikemukakan oleh Umer Chapra adalah sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan. 3

1

M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 19

2

Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1997), hal. 25.

3

(45)

Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy ekonomi Islam adalah respon pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada masa tertentu. Dalam usaha keras ini mereka dibantu Al-Qura’an dan Sunnah, akal (ijtihad) dan pengalaman.4

Jadi, pengertian dari ekonomi Islam adalah studi tentang problem-problem ekonomi dan institusi yang berkaitan dengannya atau ilmu yang memperlajari tata kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya untuk mencapai ridho Allah. Tujuan dari ekonomi Islam itu sendiri sesuai dengan maqashid syariah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat melalui tata kehidupan yang baik atau sesuai dengan syariat Islam.

Dari definisi ini terdapat tiga cakupan utama dalam ekonomi Islam, yaitu tata kehidupan, pemenuhan kebutuhan dan ridho Allah yang kesemuanya diilhami oleh nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang akhirnya menunjukkan konsisten antara niat karerna Allah, kaifiat atau cara-cara dan tujuan dari setiap manusia. 5

Ini tidak berarti ekonomi Islam hanya diproyeksikan untuk orang-orang yang beragama Islam, karena Islam membolehkan umatnya untuk melakukan transaksi ekonomi dengan orang-orang non muslim sekalipun. Dengan kalimat lain, ekonomi Islam lebih mengedepankan urgensi sistem ekonominya yang hendak dibina dan

4

Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, hal. 17

5

(46)

dibangun dari pada sekedar membangun dan membina para pelakunya yang harus beragam Islam. Hanya saja, tentunya Islam menghendaki agar umat Islam itu sendiri justru menjadi pelopor dan pengawal dari sistem ekonomi Islam itu sendiri yang dimilikinya. 6

2. Prinsip-prinsip dan Nilai-nilai Dasar Ekonomi Islam Prinsip-prinsip Dasar Ekonomi Islam antara lain:

a. Tauhid (Keesaan Tuhan)

Secara umum tauhid dipahami sebagai sebuah ungkapan keyakinan (syahadat) seorang Muslim atas keesaan Tuhan. Konsep tauhid berisikan kepasrahan (taslim) manusia kepada Tuhannya, dalam perspektif yang lebih luas, konsep ini merefleksikan adanya kesatuan (unity), yaitu kesatuan kemanusian (unity of mankind), kesatuan penciptaan (unity of creation) dan kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance) serta kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life).7

Ekonomi sebagai sebuah ilmu yang dijadikan mediasi dalam memenuhi kebutuhan (hajat) manusia, baik kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan pelengkap, melibatkan interaksi antara aspek metafisik dan aspek fisik. Kegiatan ekonomi dalam perspektif tauhid dilandasi oleh prinsip-prinsip ilahiah yang bermuara pada kesejahteraan lahir dan batin manusia.8

6

M. Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, (Ciputat: Kolam Publishing, 2008), hal. 49.

7

Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal. 5

8

(47)

b. ‘Adl (Keadilan)

Dalam khazanah Islam, keadilan yang dimaksud adalah “keadilan ilahi”, yaitu keadilan yang tidak terpisahkan dari moralitas, didasarkan pada nilai-nilai absolut yang diwahyukan Tuhan dan penerimaan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merupakan suatu kewajiban.9

c. Nubuwwah (kenabian)

Diutusnya para nabi dan rasul untuk menyampaikan pertunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia. Manusia harus meneladani sifat-sifat para rasul agar mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat. Sifat-sifat yang harus diteladani oleh manusia adalah sifat shiddiq (jujur), amanah (bertanggung jawab), fathonah (kemampuan), dan tabligh (menyampaikan).10

d. Ma’ad (hasil = return)

Ma’ad diartikan juga sebagai imbalan atau ganjaran. Menurut imam Al-Ghazali, Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi harus berdasarkan pada motivasi untuk mendapatkan laba, baik laba material (tangible) maupun laba non-material (intangible).11

Selain prinsip-prinsip dasar, terdapat juga nilai-nilai dasar Ekonomi Islam. Nilai-nilai dasar Ekonomi Islam tersebut adalah:

9

Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, hal. 7

10

Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, hal. 8

11

(48)

1. Kepemilikan

Segenap barang dan kekayaan adalah milik Allah. Dan Dialah yang menunjuk individu-individu sebagai wali-walinya dalam mengelola barang-barang dan kekayaan tersebut. Kepemilikan dalam ekonomi Islam bukanlah penguasaan mutlak atas sumber ekonomi, tetapi kemampuan untuk memanfaatkannya. Hal ini sependapat dengan A.P. Parlindungan, ahli hukum agraria di Indonesia, dalam bukunya menyatakan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Negara bukan pemilik mutlak dari tanah-tanah di Republik Indonesia tetapi negara diberi wewenang melakukan Hak Menguasai Negara (HMN),12 di mana negara bertugas melakukan pengelolaan dan pengendalian terhadap kepemilikan, pengendalian hak, penguasaan maupun tatanan dari pertanahan di Indonesia.13

Dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia, hak milik perorangan diakui dengan dibatasi oleh Pasal 6 UU Pokok-Pokok Agraria bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dengan kata lain, hak atas tanah mempunyai sifat dwi fungsi, yaitu dalam setiap hak perorangan terdapat juga hak masyarakat. Apabila satu saat hak masyarakat lebih tinggi, maka hak perorangan harus mengalah.14

12

A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform Bagian I, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 91

13

A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria, hal. 25

14

(49)

Kepemilikan manusia atas harta kekayaannya hanya sampai manusia itu hidup di dunia ini. Apabila seorang manusia meninggal dunia, harta kekayaannya harus dibagikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan yang ditetapkan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan seseorang dapat dipindahtangankan kepeda pihak lain. Selain melalui waris dapat juga dilakukan melalui wakaf, hibah, dan lain sebagainya.

Sumber-sumber daya alam yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang harus menjadi milik umum atau negara, atau sekurang-kurangnya dikuasai oleh negara untuk kepentingan umum atau orang banyak. Islam memandang kepemilikan manusia hanyalah kepemilikan untuk menikmati dan memberdayakan harta kekayaan yang ada, bukan sebagai pemilik hakiki. Maka dalam pandangan ekonomi Islam apabila terdapat cabang-cabang dalam produksi yang mengandung hajat hidup orang banyak dikuasai oleh pribadi, maka negara berhak menyitanya. Hal ini sejalan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

2. Keseimbangan

(50)

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS.Al-Furqan: 67)

Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa keseimbangan dalam ekonomi Islam berarti ketika melakukan kegiatan ekonomi kita harus berada pada posisi pertengahan. Dimana tidak melakukan pemborosan dan tidak pula kikir, akan tetapi berlaku seimbang antara keduanya.

Kondisi kesenjangan kekayaan yang lebar di tengah-tengah masyarakat dapat diatasi dengan menerapkan keseimbangan ekonomi (economic equilibrium) melalui mekanisme distribusi. Islam mewajibkan terjadinya sirkulasi kekayaan pada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang saja sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. Al-Hasyr ayat 7.

Begitupun ketika Nabi saw melihat ada kesenjangan dalam pemilikan harta antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, maka beliau mengkhususkan harta yang diperoleh dari ghanimah (hasil perang) dari Bani Nadhir untuk kaum Muhajirin, agar terjadi keseimbangan ekonomi (economic equilibrium)15.

15

(51)

Nilai dasar keseimbangan ini harus dijaga sebaik-baiknya bukan saja antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat dalam ekonomi, tetapi juga keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum. Di samping itu harus juga dipelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jadi, keseimbangan merupakan dimensi horizontal dari Islam; dalm perspektif yang lebih praktis meliputi keseimbangan jasmani-rohani, meterial-nonmaterial, individu dan sosial.16

3. Keadilan

Nilai dasar sistem ekonomi Islam ketiga adalah keadilan. Dalam Islam, keadilan adalah titik tolak, sekaligus proses dan tujuan semua tindakan manusia. Keadilan merupakan ajaran yang sangat fundamental dan mencakupkeseluruhan aspek kehidupan : ekonomi, sosial, politik, bahkan lingkungan hidup. Luasnya dimensi aplikatif keadilan, Al-Qur’an memaknainya dengan berbagai arti, seperti:”sesuatu yang benar, sikap tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang, cara yang tepat dalam mengambil keputusan, keseimbangan, dan pemerataan”.17

Dalam proses produksi dan konsumsi misalnya, keadilan harus menjadi penilai yang tepat, faktor-faktor produksi dan kebijaksanaan harga, agar hasilnya sesuai dengan tekanan yang wajar dan kadar yang sebenarnya.

16

Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 362

17

(52)

Ketiga nilai dasar sistem ekonomi Islam yaitu (1) kebebasan yang terbatas mengenai harta kekayaan dan sumber-sumber produksi, (2) keseimbangan dan (3) keadilan merupakan pangkal nilai-nilai instrumental sistem ekonomi Islam.

B. Pajak dalam Ekonomi Islam

roduksi total.

1. Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam

Kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam memiliki tujuan yang sama sebagaimana dalam ekonomi non-Islam. Dimana tujuannya adalah untuk menciptakan stabilitas ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan, ditambah dengan tujuan lain yang terkandung dalam aturan (doktrin) Islam atau dengan kata lain tujuan tersebut harus dicapai dengan melaksanakan hukum Islam.18

a. Kebijakan Fiskal pada Awal Pemerintahan Islam

Pada masa Rasulullah SAW kebijakan fiskal yang diambil meliputi tindakan-tindakan sebagai berikut:19

1) Pendapatan nasional dan pertisipasi kerja, meliputi: mempekerjakan kaum Muhajirin dengan Anshor, pembagian tanah, dan menghubungkan kerjasama

(partnership) antara kaum Muhajirin dan Anshor dalam hal modal sumber daya

manusia yang akan meningkatkan p

2) Kebijakan pajak, yaitu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Muslim berdasarkan jenis dan jumlahnya (pajak proporsional). Misalnya pajak tanah

18

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf: Relevansinya dengan Ekonomi Kekinian, (Yogyakarta: PSEI-STIS Yogyakarat, 2003), hal. 222.

19

(53)

yang tergantung dari produktivitas dari tanah tersebut atau juga bias didasarkan atas zonanya.

3) Menerapkan kebijakan fiskal berimbang. Nabi hanya mengalami sekali anggaran defisit setelah terjadinya ”Fathul Makkah”, namun selanjutnya kembali surplus.

4) Kebijakan fiskal khusus. Kebijakan ini dikenakan dari sector voulentair (sukarela) dengan cara meminta bantuan Muslim kaya untuk memberikan pinjaman kepad orang-orang tertentu yang baru masuk Islam.

Asas yang dianut dalam APBN pada masa pemerintahan Rasulullah Saw. adalah asas anggaran berimbang (balance budget), artinya semua penerimaaan habis digunakan untuk pengeluaran negara (government expenditure). Rasulullah merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru dalam di bidang keuangan negara pada abad ke tujuh, yakni semua hasil pemungutan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara.20

Penerimaan negara pada periode awal Islam antara lain:

1) Zakat

20

(54)

Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan dan aturan tertentu yang diwajibkan oleh Allah kepada pemiliknya untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS At-Taubah: 103)

Pelaksanaan pemungutan zakat semestinya dapat menghapus tingkat perbedaan kekayaan yang mencolok, serta dapat menciptakan redistribusi yang merata, di samping dapat pula membantu mengekang laju inflasi.21

2) Jizyah

Bagi orang Nasrani dan Yahudi tidak berkewajiban menjadi anggota militer di negara Islam. Mereka dijamin keamanan diri dan hartanya oleh negara Islam, sebagai pengganti dari pembayaran jizyah. .Jizyah dikenakan kepada seluruh non-muslim dewasa, laki-laki, yang mampu untuk membayarnya. Sedangkan bagi perempuan, anak-anak, dan orang tua dan pendeta dikecualikan sebagai kelompok yang tidak wajib ikut bertempur. Orang-orang miskin, pengangguran, dan pengemis tidak dikenakan pajak. Jika seseorang memeluk

21

(55)

ajaran Islam, kewajiban membayar jizyah ikut gugur. Hasil dari pengumpulan dana dari jizyah, digunakan untuk membiayai kesejahteraan umum.22

Dalam hal penarikan jizyah, jizyah hanya boleh dipungut dari orang yang mampu menanggungnya. Sistem pemungutan jizyah haruslah melihat kondisi subjek pajak, jangan sampai pajak justru mempersulit kondisi masyarakat.

Jizyah tidak gugur karena kematian. Jika seseorang meninggal setelah

berlangsung satu tahun, maka ia tetap wajib membayar jizyah, karena dianggap sebagai hutang. Ia wajib membayarnya dari harta peninggalannya, namun jika ia tidak memiliki harta peninggalan maka kewajiban itu pun gugur, dan ahli warisnya tidak berkewajiban membayarnya.23

Jadi, jizyah merupakan pajak yang dikenakan pada kalangan non muslim sebagai imbalan untuk jaminan yang diberikan suatu negara Islam pada mereka guna melindungi kehidupannya, misalnya harta benda, ibadah kegamaan dan untuk pembebasan dari dinas militer. Dan golongan non muslim yang dilindungi kehidupan dan harta bendanya seperti kawan kafir dhimmi.24 Dasar perintahnya adalah Q.S. At-taubah (9): 29

22

A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, hal. 253.

23

Ratna Triwidiati, Konsep Pajak dalam Sistem Ekonomi Islam pada Masa Klasik, (Jakarta: Skripsi FSH UIN Jakarta, 2004), hal. 74.

24

(56)

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (Q.S. At-Taubah (9): 29)

3) Kharaj (pajak bumi)

Kharaj merupakan sejenis pajak yang dikenakan pada tanah yang

terutama ditaklukan oleh kekuatan senjata. Kebijakan ini berawal pada tahun ketujuh Hijriyah di mana pada saat itu tanah Khaibar telah berhasil dikuasai oleh kaum muslimin. Tanah-tanah tetap dibiarkan untuk dimiliki oleh pemilik lama, namun ketika panen, maka sebagian dari hasil panen diberikan kepada Nabi (Negara Islam).

Konsep tersebut juga pernah dijalankan oleh Umar bin Khattab ketika menguasai Irak dan Syam. Tanah tersebut tidak dibagi-bagikan, tetapi diharuskan membayar kharaj saat panen.25 Jadi, kharaj pada awalnya hanya dikenakan bagi non-muslim sebagai biaya sewa atas tanah yang dimiliki negara Islam karena telah menaklukkan wilayah tersebut, sehingga objek dari kharaj adalah tanah

25

(57)

yang berada di luar wilayah pusat pemerintahan Jazirah Arab (hanya tanah taklukkan).

Cara pemungutan kharaj ada dua macam, pertama; kharaj perbandingan (muqasimah) yang ditetapkan berdasarkan porsi hasil seperti ½, 1/3, atau 1/5 dari hasil panen yang dipungut pada setiap kali panen. Kedua; kharaj tetap (wazifah), yaitu beban pada tanah sebanyak hasil alam atau uang persatuan lahan yang dibayarkan wajib setalah lampaui satu tahun.26

Imam Al-Mawardi membicarakan faktor yang menentukan kemampuan memikul pajak bumi sebagai berikut: orang yang menaksir kharaj atas sebidang tanah harus mempertimbangkan kemampuan tanah yang berbeda menurut tiga faktor. Tiap faktor sedikit banyaknya mempengaruhi jumlah kharaj.

Pertama; faktor yang berkaitan dengan tanah itu sendiri adalah mutu tanah yang dapat menghasilkan panen yang besar, atau cacat yang menyebabkan hasil kecil. Kedua; faktor yang berhubungan dengan jenis panen, karena ada yang lebih tinggi harganya dari yang lain, dan kharaj harus ditaksir sesuai dengan itu. Ketiga; mengenai cara irigasi karena panen yang dihasilkan dengan sistem irigasi air yang dipikul hewan atau diperoleh dengan kincir, tidak dapat dikenakan kharaj yang sama dengan panen yang dihasilkan oleh tanah yang diairi dari air

yang mengalir atau hujan.

Pajak kharaj bukan saja progresif tetapi juga bersifat luwes, dimana bila seseorang tidak mampu membayar pajak, maka ia diberi waktu hingga

26

(58)

keuangannya membaik. Tetapi bila seseorang punya itikad tidak baik untuk tidak membayar kharaj, maka ia pun dipaksa untuk membayar pajak.27

4) Ghanimah (barang rampasan perang)

Ghanimah merupakan harta yang diperoleh kaum muslimin dari musuh

melalui peperangan. Ghanimah merupakan sumber pendapatan utama negara Islam periode awal.28 Pembagian ghanimah yaitu 1/5 merupakan milik negara (Allah dan Rasulnya, kerabat Rasul, anak yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil, sedangkan 4/5 bagian lainnya dibagikan kepada pasukan yang ikut bertempur. Dasarnya adalah perintah Allah dalam QS. Al-Anfal (8): 41

”Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami

27

M.A. Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, hal. 251

28

(59)

(Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal (8): 41)

5) Pajak atas pertambangan dan harta karun

Pada dasarnya negara memiliki hak untuk mengeksplorasi sumber mineral untuk kesejahteraan masyarakat. Namun bila suatu tambang ataupun harta karun ditemukan di tanah kaum muslimin, seperlima dari hasilnya harus diserahkan kepada negara untuk memenuhi keadilan sosial.29

6) ‘Ushr (Bea cukai) dan pungutan

Alasan dibalik pembebanan bea cukai ini adalah karena para pedagang muslim dikenai pajak sebesar 10% di negara asing. Kemudian bea cukai ini dibebankan secara umum atas pedagang yang melakukan perdagangan di negara Islam.30

b. Kebijakan Fiskal pada Pemerintahan Islam Periode Modern

Pada pemerintahan Islam periode modern, terjadi perubahan, yaitu mulai memakai anggaran defisit, dan meninggalkan kebijaksanaan anggaran berimbang, yang dianggap tidak berorientasi kepada pertumbuhan. Mungkin tidak semua ulama setuju dengan dengan kebijakan ini. Berikut dikemukakan tiga ekonom Islam, yang sama-sama setuju dengan konsep anggaran defisit.

Menurut Mannan, sebuah negara Islam modern harus menerima konsep anggaran modern dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit anggaran itu. Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang

29

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal, 133

30

(60)

mutlak diperlukan (sesuai yang direncanakan dalam APBN) dan mencari jalan serta cara-cara baru untuk mencapainya, baik dengan merasionalisasi stuktur pajak atau dengan mengambil utang dari sistem perbankan dalam negeri atau dari luar negeri.31

Umer Chapra juga setuju dengan anggaran pembelanjaan defisit. Chapra berpendapat bahwa negara-negara Muslim harus menutup defisit dengan pajak, yaitu mereformasi sistem perpajakan dan program pengeluaran negara, bukan dengan jalan pintas melalui ekspansi moneter dan meminjam. Chapra lebih setuju dengan meningkatkan pajak, karena pinjaman akan membawa kepada riba. Dan pinjaman itu juga meniadakan keharusan berkorban, namun hanya menangguhkan beban sementara waktu dan akan membebani generasi yang akan datang dengan beban berat yang tidak semestinya mereka pikul.32

Pendapat ketiga berasal dari Zallum, ia berpendapat bahwa angggaran defisit diatasi dengan penguasaaan BUMN dan pajak. Pinjaman dari negara-negara asing dan lembaga keuangan internasional, menurut Zallum tidak dibolehkan oleh hukum syara’, sebab pinjaman seperti itu selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu yang menjadikan kreditur berkuasa atas kaum muslim.33

Alternatif solusi untuk menutupi anggaran defisit antara lain:

31

M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, hal. 236

32

M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 299.

33

(61)

1) Meminjam dari negara-negara asing maupun lembaga internasional

2) Penguasaan atas sebagian harta milik umum baik nerupa minyak bumi, gas alam maupun barang tambang.

3) Menetapkan pajak (dharibah) kepada umat.

Di zaman pemerintahan Islam periode awal, anggaran berimbang memang dipilih, karena waktu itu belum terdapat seruan untuk pertumbuhan ekonomi. Di zaman modern, pemerintahan Islam tampaknya harus memilih sistem anggaran defisit karena sistem ini merupakan anggaran yang berorintasi pada pertumbuhan.34 Dalam makalah yang ditulis oleh Abidin Ahmed Salama dijelaskan bahwa dalam negara Islam berbagai macam jenis pajak yang ada memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan yang ingin dicapai oleh negara Islam tersebut.

Taxation could play an important role in Muslim countries, whether rich or poor. Different taxes could be used to achieved the following goals.35

1) Curtailing unnecessary comsumption in poor countries. This enchances

availability of resources for capital formation. In oil rich countries it is necessary to reduce unproductive consumption. It is also necessary to reduce consumption of some goods which are harmful to health.

2) Taxation may serve as a means to reallocate resources from investment

that have a little beneficial effect upon development to those having higher benefits. Corporate income taxes could play such a role. Investment in sectors needed by the nation could be subject to lower taxes.

3) Taxation could be used as a tool to alter economic behavior in creating incentives to save, to enter into the market sector, to utilize resources and to encourage privat capital formation.

4) Taxation could be utilized as a means for stabilizaing the economiy and

reducing aggregate demand.

34

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal. 166

35

(62)

5) A progressive tax system may help in reducing income inequalities and hence achieve social harmony in Muslim states.

2. Pendapat Ulama tentang Pajak

Sumber dalam penetapan kebijakan fiskal Islam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sumber asli (original) dan sumber pelengkap (complementary). Kedua bagian tersebut merupakan sumber konstitusi atau hukum Islam secara keseluruhan termasuk juga ekonomi. Kitab suci Al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai sumber asli, sedangkan ijma dan qiyas maupun ijtihad merupakan sumber pelengkap.36

Dalam Islam, hukum yang qath’i (yang sudah jelas dan tuntas penjelasannya dalam Al-Qur’an dan hadist) jumlahnya lebih sedikit dibandingkan hukum dzanni (belum jelas dan tuntas penjelasannya dalam Al-Qur’an dan hadist), sehingga untuk hukum yang dzanni membutuhkan ijtihad para ulama atau fatwa dari para mujahid. Dalam hukum Islam dikenal suatu prinsip “kepentingan umum” (maslahah mursalah) yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan suatu hukum yang belum ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadist.37

Dalam ekonomi Islam kemaslahatan umum merupakan suatu hal yang paling mendasar baik dalam bidang produksi, konsumsi, distribusi hingga redistribusi. Semua hal ini harus mempertimbangkan kepentingan umum.

Gambar

Tabel 13
Tabel 26 PENERIMAAN PERPAJAKAN TAHUN 2008 DAN 2009 (dalam miliar rupiah)

Referensi

Dokumen terkait

2 Subang, Kami Selaku Kelompok Kerja Pengadaan Barang pada Dinas Pendidikan Kabupaten Subang yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Kepala Unit Layanan Pengadaan

Hasil Uji Paired Sampel T-Test Portofolio Saham. Paired

Berdasarkan data yang ditemukan oleh peneliti bahwa Efektivitas website www.sman5samarinda.sch.id sebagai media komunikasi dan informasi adalah efektif karena

membandingkan besaran fisis dengan beberapa nilai satuan dari besaran fisis tersebut.. Dalam melakukan pengukuran,

1)Bekerja dapat menjadi obat bagi orang yang sedih. 2) Orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, serius, dan cermat biasanya melupakan hal-hal yang tidak

Supervisi keperawatna adalah kegiatan pengawasan dan pembinaan yang dilakukan secara berkesinambungan oleh supervisor mencakup masalah pelayanan keperawatan, masalah

Penelitian ini membahas tentang rumah ibadah dan wisata terhadap dilema yang terjadi di dalam Puri Tri Agung Sungailiat, Kabupaten Bangka.. Fokus utama dalam penelitian ini untuk

Hasil uji hipotesis dengan teknik Anava Mixed Design penelitian menunjukkan nilai p=0,356 (p>0,05) yang berarti tidak ada pengaruh Training Motivasi