• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PAPARAN DAN TEMUAN PENELITIAN

1. Sejarah

Istilah istinbat dalam bahtsul masail tidak banyak digunakan

karena pengertian istinbat mengambil hukum secara langsung dari sumber

aslinya, yaitu al-Qur‟an dan hadis. Akan tetapi, istilah istinbath yang dikenal dalam bahtsul masail NU adalah penggalian hukum dilakukan

dengan men-tathbiq-kan secara dinamis nash-nash fuqaha. Hal ini dikarenakan ulama‟-ulama‟ NU meyakini bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan sebagaimana mujtahid pada masa lalu. Sebuah sikap yang arif

dan sangat tawadlu’.

Sejak adanya bahtsul masail sampai NU lahir, belum ada system

yang ditetapkan terkait tentang pengambilan keputusan. Yang berlaku

adalah penyelesaian masalah melalui pencarian terhadap ibarat kitab /

karya ulama‟ empat madzhab yang sudah ada, yang terkadang jawabannya langsung ditemukan secara jelas dalam teks kitabnya, dan terkadang tidak

ditemukan tetapi dilakukan upaya penyamaan masalah yang ada dengan masalah yang telah diselesaikan / tertulis dalam kitab ulama‟ salaf.

25

Walaupun selalu terjadi kesepakatan untuk khilaf. Hal ini dikarenakan,

selain bahtsul masail belum menjadi lembaga otonom dalam NU sampai

tahun 1990, juga pandangan umum bahwa apa yang sudah diputuskan oleh

ulama atau qaul al-faqih dipandang selalu memiliki relevansi dengan

konteks kehidupan masa kini dan harus dipakai tanpa resesve atau krikik.

Qaul ulama yang dikemukakan dalam kitab-kitab rujukan dianggap

sebagai kata final. Boleh jadi pandangan demikian juga berkaitan dengan

hakikat ilmu itu sendiri. Pada masa lampau ilmu dirumuskan sebagai

sesuatu yang diketahui dan diyakini secara tuntas.

Mengenai sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul

masa’il di lingkungan Nahdlatul Ulama baru disahkan dalam keputusan

Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama yang diselenggarakan di Bandar

Lampung pada tanggal 16-20 Rajab 1412 H./21-25 Januari 1992 M:

a. Penjelasan Umum

1) Yang dimaksud dengan kitab adalah al-Kutubul mu‟tabarah (redaksi lain: kutub al-madzahib al-arba'ah), yaitu kitab-kitab

tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlussunnah wal

Jama'ah.

2) Yang dimaksud dengan bermadzhab secara qawli adalah mengikuti

pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup salah satu al-

26

3) Yang dimaksud dengan bermadzhab secara manhaji adalah

bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan

hukum yang telah disusun oleh imam madzhab empat.

4) Yang dimaksud dengan istinbath jama'iy adalah mengeluarkan

hukum syara' dari dalilnya dengan qawaid ushuliyyah secara

kolektif.

5) Yang dimaksud dengan qawl dalam referensi madzhab Syafi'i

adalah pendapat imam Syafi'i.

6) Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama' madzhab

Syafi'i.

7) Yang diamaksud dengan taqrir jama'iy adalah upaya secara

kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa

qaul/wajah dalam madzhab Syafi'i.

8) Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaqul masail bi nazhairiha) adalah

menyamakan hukum suatu kasus/masalah dengan kasus/masalah

serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan suatu kasus

dengan pendapat yang sudah jadi) (Chaq, 2015: 2-3).

b. Sistem Pengambilan Keputusan Hukum

1) Kerangka Analisa Masalah

Dalam memecahkan dan merespon masalah, maka bahtsul

masail hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah,

27

a) Analisa Masalah (sebab mengapa terjadi kasus) ditinjau dari

berbagai faktor antara : ekonomi, politik, budaya, sosial dan

lainnya.

b) Analisa Dampak (dampak positif dan negativ yang ditimbulkan

oleh suatu kasus yang sedang dicari hukumnya) ditinjau dari

berbagai aspek, antara lain : sosial ekonomi, sosial budaya,

sosial politik dan lainnya.

c) Analisa Hukum (keputusan bahtsul masail tentang suatu kasus

setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya

disegala bidang), disamping mempertimbangkan hukum Islam,

keputusan ini juga memperhatikan hukum yuridis formal.

2) Prosedur Penjawaban

Keputusan bahtsul masail dilingkungan NU dibuat dalam

kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang

disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qawli. Oleh

karena itu prosedur penjawaban masail disusun dalam urutan

sebagai berikut :

a) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab

dari kutubul madzahib al-arba'ah dan disana terdapat hanya

satu pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut.

b) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan

28

jama'iy untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan itu dapat

dilakukan sebagai berikut :

(1).Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahah dan/atau

yang lebih kuat.

(2).Khusus dalam madzhab Syafi'i sesuai dengan keputusan

muktamar I tahun 1926, perbedaan pendapat diselesaikan

dengan cara memilih :

 Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi'i)

 Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi.

 Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi'i.

 Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama'.

 Pendapat ulama' yang terpandai.

 Pendapat ulama' yang paling wara'.

(3).Untuk madzhab selain Syafi'i berlaku ketentuan-ketentuan

menurut madzhab yang bersangkutan.

c) Dalam kasus tidak ada pendapat yang memberikan

penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul masail bi

nazhairiha secara jama'iy oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan

dengan memperhatikan mulhaq, mulhaqbih dan wajah ilhaq

oleh mulhiq yang ahli.

d) Dalam kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka dilakukan

29

oleh para ahlinya, yaitu dengan mempraktekkan qawa'id

ushuliyyah oleh ahlinya.

Secara garis besar prosedur atau metode penetapan hokum dalam

bahtsul masail NU adalah secara hirarki sebagai berikut:

a. Jika dinilai mencukupi dengan cara menetapkan hokum dengan satu

pendapat yang sama (qaul/wajah) di berbagai kitab empat madzhab,

maka pendapat tersebut digunakan sebagai jawaban.

b. Jika ternyata jawaban masalah sangat beragam dari pendapat ulama‟ (qaul/wajah), maka dilakukan taqrir jama‟i:

1) Sesuai dengan keputusan MUNAS 1992 di atas maka dilakukan

taqrir jama’i untuk memilih satu pendapat yang dinilai lebih

maslahat atau lebih kuat serta dengan pertimbangan klasifikasi ulama‟ yang sudah di tetapkan di atas.

2) Dalam praktiknya, ulama‟ sering memutuskan dengan sepakat untuk khilaf. Sepertinya hal ini merupakan interpretasi dari yang

lebih maslahat.

c. Jika tidak ada ibaroh kitab atau pendapat ulama‟ yang menjelaskan / menjawab secara tekstual tentang permaslahan yang dibahas, maka

dilakukan ilhaq atau ilhaqul masail bi nazhairiha secara jama'iy. Yaitu,

menyamakan hukum suatu masalah yang belum dijawab oleh kitab

dengan masalah serupa yang ada dalam kitab. Sedangkan prosedur

ilhaq adalah dengan memperhatikan unsure (persyaratan berikut),

30

mulhaqalaih (sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya) dan wajh

al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dengan mulhaq alaih)

oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yaitu ahli.

d. Jika tidak ada penjelasan tekstual dalam kitab dan tidak mungkin

dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbat jama‟i dengan prosedur bermadzhab secara manhaji. Menurut KH. Aziz Masyhuri, Proses

istinbath atau manhaj ini adalah setelah tidak dapat dirujukkan kepada

teks suatu kitab mu‟tabar, juga tidak dapat diilhaqkan kepada hukum suatu masalah yang mirip dan telah terdapat rujukannya dalam suatu

kitab mu‟tabar maka digunakanlah metode istinbath atau manhajy dengan mendasarkan jawaban mula-mula pada al-Qur‟an, setelah tidak ditemukan lalu pada hadits dan begitu seterusnya yang akhirnya

sampailah pada jawaban dari qaidah fiqhiyyahdaf‟al-mafasid

muqaddam „ala jalb al-mashalih” (menghindari kerusakan lebih

didahulukan dari pada upaya memperoleh kemaslahatan). Hal

demikian dimungkinkan karena prosedur istinbath hukum bagi metode

manhajy adalah dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-

kaidah ushul al-fiqh) dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).

Dalam keputusan MUNAS tahun 1992 tersebut dinilai warga

nahdliyin terdapat progress yang luar biasa terkait metode penetapan

hokum bahtsul masail, yaitu dengan adanya penegasan teoritis dalam hal

metode dan prosedur istinbath hukum,terutama upaya penerapan metode

31

mulanya dalam tataran praktis dan teoritis ulama‟ NU hanya berani bermadzhab secara qouli. Kesepakatan tentang sistem pengambilan

keputusan bahtsul masail NU tersebut setelah sebelumnya mengalami diskusi panjang dan tarik ulur yang dilakukan oleh akademisi dan ulama‟ NU.

Munculnya istilah bermazhab secara manhajy dan timbulnya

gagasan untuk mempopulerkannya dapat ditelusuri sejak tahun 1987

ketika intlektual muda NU mengadakan kajian-kajian kritis terhadap kitab

kuning, walaupun akhirnya mendapat tanggapan negatif dan hambatan

dari beberapa ulama senior dengan melarang pelaksanaan diskusi di kantor PBNU. Namun demikian para intlektual dan ulama‟ muda NU tetap mengadakan diskusi-diskusi kritis di tempat lain, di antaranya yaitu di

P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Melalui diskusi di

P3M inilah hasil-hasil diskusi tersebut dipublikasikan oleh Jurnal

Pesantren.

Tahun berikutnya (1988) atas dukungan KH. AM. Sahal Mahfudl

(Margoyoso-Kajen-Pati) dan KH. Imron Hamzah (Ngelom-Sepanjang-

Sidoarjo), para intlektual muda NU mengadakan mudzakarah (seminar) dengan tema “Telaah Kitab Secara Konseptual” di pondok pesantren Watucongol Muntilan Magelang Pada tanggal 15-17 Desember 1988, yang

menghasilkan pokok-pokok pikiran berikut; memahami teks kitab harus di

barengi dengan konteks sosial historisnya,mengembangkan

32

kitab, memperbanyak muqabalah (komparasi mengenai hal-hal yang

berbeda) dengan kitab-kitab lain, mengingatkan intensitas diskusi

intlektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum

dalam kitab klasik, dan menghadapkan kajian teks kitab klasik dengan

wacana aktual dan bahasa yang komunikatif.

KH. AM. Sahal Mahfudl sendiri menyatakan bahwa kaidah-kaidah

pengambilan hukum yang di rumuskan ulama terdahulu masih tetap

relevan hingga kini. Jadi yang perlu di lakukan adalah pengembangan fiqh

melalui kaidah-kaidah tadi,menuju fiqh yang kontekstual.

Kemudian pada pertengahan Oktober 1989 (menjelang Muktamar

XXVIII) di pondok Pesantren Al-Munawir Krapyak di selenggarakan halaqah (sarasehan) mengenai “Masa Depan NU”yang salah seorang pembicaranya adalah Ahmad Qodri Abdillah Azizy,mengagas perlunya

redenifisi bermazhab yang kemudian dicetuskan istilah bermazhab fi al-

manhaj (mengikuti metodologi).

Selanjutnya dalam Muktamar XXVIII di Yogyakarta, tanggal 25-

28 Nopember 1989, bahtsul masail tetap menjadi topic utama sekalipun

pada saat itu belum menjadi lembaga otonom NU. Sehingga Komisi I

(Bahtsul Masail) merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk

Lajnah Bahtsul Masail Diniyyah sebagai lembaga permanen yang khusus

menangani persoalan keagamaan.

Untuk memperkuat wacana pembentukan lembaga permanen itu,

33

Mamba‟ul Ma‟arif Denanyar Jombang, yang juga merekomendasikan pembentukan Lajnah Bahtsul Masa`il Diniyah. Harapannya, dapat

mengkonsolidasi ulama dan cendekiawan NU untuk melakukan ijtihad

jama’i. Akhirnya, empat bulan setelah itu, berdasarkan rekomendasi itu

dengan surat keputusannya Nomor: 30/A.I.05/5/1990, PBNU membentuk

Lajnah bahtsul Masail Diniyah. Namun demikian istilah Lajnah masih

menjadi masalah karena dinilai masih mengandung makna kepanitian ad

hoc, bukan organ yang permanen. Karena itulah, setelah Muktamar 2004, status “lajnah” ditingkatkan menjadi “lembaga”, sehingga bernama Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.

Tema selanjutnya yang menjadi topik adalah bermadzhab secara

manhaji yang sejak 1987 telah digulirkan di NU utamanya di LBM NU.

Dan akhirnya, disepakatilah dalam Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama

yang diselenggarakan di Bandar Lampung pada tanggal 16-20 Rajab 1412

H./21-25 Januari 1992 M tentang prosedur pengambilan keputusan hokum

dalam bahtsul masail NU yang didalamnya mencakup prosedur

bermadzhab secara manhaji.

Selanjutnya dalam muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo Jawa

Tengah pada 28 November hingga 2 Desember 2004, bahtsul masail NU

melaksanakn tindakan progress dengan menetapkan keputusan hokum

sambil menyertakan ayat al-Qur‟an dan hadits dalam setiap masalah yang dijawab, di mana hal ini sama sekali tidak pernah ada dalam tradis bahtsul

34

Tahun 2006 pada saat Munas Alim Ulama di Surabaya, para ulama‟ menetapkan kalsifikasi atau pengelompokan secara hirarki tentang kitab- kitab empat madzhab. Artinya, pada saat itu, ulama‟ NU dalam bahtsul masail mulai melirik madzhab lain yang sejatinya memang telah disahkan

dalam ADART NU. Sekalipun madzhab selain syafiiyah diperbolehkan

untuk diikuti di kalangan NU sesuai ADART, namun seringkali dalam

bahtsul masail tidak disentuh sama sekali. Namun usaha dalam munas di

Surabaya ini memang akan mengarahkan bahtsul masail pada

muqoronatul madzahib dalam setiap rumusan jawaban bahtsul masail NU

yang akan datang.

Perjalanan bahtsul masail NU sejak 1992 sampai dengan 2006

terlihat sangat progress dengan munculnya istilah bermadzhab secara

manhaji. Dan sejak saat itu format bermadzhab secara manhaji terus

diupayakan dengan cara mencantumkan ayat al-qur‟an, hadits serta upaya yang mengarah pada muqoranatul madzahib. Bermadzhab secara manhaji

terus menjadi topik utama, bahkan sampai muktamar selanjutnya pada 22-

29 Maret 2010 di Asrama Haji Hudiang Makasar. Dan pada akhirnya

bahtsul masail muktamar NU ke 32 di Makasar tersebut memutuskan

sebagai berikut:

a. Pertanyaan dalam Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 Makasar

1) Apakah perlu mencantumkan ayat al-Quran, al-Hadits, dan dalil- dalil syara‟ lainnya dalam jawaban bahtsul masail NU

35

2) Jika memang diperlukan mencantumkan ayat al-Quran, al-Hadits

dan dalil-dalil syara‟ lainnya, bagaimana formatnya? Apakah menggunakan urutan sesuai dengan tingkat kekuataannya, yaitu al-

Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara‟ lainnya kemudian aqwalul ulama, ataukah aqwalul ulama baru kemudian ayat al-Quran, al-

Hadits, dan dalil-dalil syara‟ lainnya?

3) Sejauh mana muqaranatul madzahib diperlukan dalam bahtsul

masail NU dengan menggunakan kutub mu‟tamadah yang telah dirumuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Surabaya?

b. Jawaban dalam Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 Makasar

1) Pencantuman ayat al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara‟ lainnya diperlukan dalam setiap jawaban, karena pada hakikatnya

setiap hukum pasti berdasarkan al-Qur‟an, al-Hadits dan dalil-dalil syara‟ lainnya, dengan ketentuan bahwa ayat al-Qur‟an, al-Hadits dan dalil-dalil syara‟ lainnya tersebut merupakan bagian dari pendapat Ulama yang terdapat dalam kutub mu’tamadah. Hal ini karena Ulama NU menyadari, bahwa yang mampu berijtihad

langsung dari al-Qur‟an, al-Hadits dan dalil-dalil syara‟ lainnya adalah para mujtahid, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab, di

antaranya Tarsyihul Mustafidin.

2) Aqwalul ulama didahulukan, baru kemudian dilengkapi dengan

ayat al-Qur‟an beserta tafsirnya, al-Hadits beserta syarahnya, dan dalil-dalil syara‟ lainnya karena al-Qur‟an, al-Hadits dan dalil-dalil

36

syara‟ lainnya dalam pandangan Ulama NU tidak dijadikan sebagai dalil yang mandiri, tetapi meruppakan bagian dari ijtihad ulama.

3) Muqaranatul madzahib dalam madzhab empat diperlukan untuk

memperoleh pendapat yang ansab (lebih sesuai) dengan tetap

berpegang pada prinsip صخرلا عبتت مدع (tidak ada maksud mencari kemudahan) sejalan dengan AD NU tentang prinsip bermadzhab.

Demikianlah sejarah metode bahtsul masail NU dari awal hingga

sekarang. Terlihat jelas adanya dinamika yang menarik dalam bahtsul

masail NU. Upaya untuk memenuhi reseptifitas masalah yang terjadi di

masyarakt terus diupayakan dengan memunculkan berbagai metode yang

dinamis dan moderat (Chaq, 2015: 3-6).

2. Metode Diskusi Bahstul Masail (Sidang Bahtsul Masail)

Model Sistem bahtsul masail coraknya beragam. Secara garis

besar di kalangan Nahdliyin terdapat tiga macam model bahtsul masail:

a. Bahtsul Masail model pesantren yang lebih menonjolkan semangat

I‟tiradl, yaitu perdebatan argumentatif dengan berlandaskan al-Kutub

al-Mu‟tabaroh. Dalam hal ini, peserta bebas berpendapat,

menyanggah pendapat peserta lain dan juga diberikan kebebasan

mengoreksi rumusan-rumusan yang ditawarkan oleh Tim Perumus.

b. Bahtsul Masail model NU, dalam hal ini lebih menonjolkan porsi

I’tidladl yaitu penampungan aspirasi jawaban sebanyak mungkin.

37

Peserta hanya diberikan hak menyampaikan masukan-masukan

seperlunya.

c. Bahtsul Masail Kontemporer, yaitu bahtsul masail yang dimodifikasi.

Dimana sebagian peserta yang dianggap mampu, di minta menuangkan

rumusan jawaban berikut sumber pengambilan keputusan dalam

bentuk makalah. Bahtsul masail seperti ini kurang diminati oleh

kalangan pesantren, karena kesempatan untuk memberikan tanggapan

dan sanggahan lebih mendalam sangat terbatas.

Metode diskusi dalam bahtsul masail beragam sesuai dengan

model-model bahtsul masail yang ada di atas. Untuk kalangan pesantren

biasanya ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam bahtsul masail:

a. Pembukaan & Mukaddimah

b. Tashowwur Masalah

c. Penyampaian Jawaban (I’tidlodl) d. Kategorisasi Jawaban

e. Perdebatan Argumentatif (I’tirodl)

f. Pencerahan Refrensi dan/atau perumusan jawaban

g. Tabyyun

h. Perumusan Jawaban

i. Pengesahan

Sekalipun telah dirumuskan beberapa tahapan bahtsul masail

seperti di atas, namun tentunya tahapan-tahapan itu biasanya juga akan

38

atau sangat sulit ditemukan jawabannya. Sebagai upaya standarisasi atau

pedoman dasar, tahapan-tahapan di atas dapat dijadikan pegangan dalam

pelaksanaan bahtsul masail. Berikut adalah penjelasan masing-masing

tahapan tersebut.

a. Pembukaan & Mukaddimah

Dalam sesi ini, moderator harus pandai-pandai mencuri

perhatian musyawirin. Tugas utamanya adalah menggambarkan

permaslahan dengan sedikit mendramatisir atau menjelaskan

pentingnya permaslahan tersebut di bahas di era sekarang.

b. Tashowwur Masalah

Sesi ini adalah sesi tentang penjelasan secara detail masalah

yang dipertanyakan. Yang bertugas adalah sail (penanya) jika ada. Jika

tidak maka menjadi tugas moderator untuk menjelaskan.

Target utama dalam sesi ini mendapatkan pemahaman yang

utuh tentang soal sehingga ada kesatuan pemahaman masalah di antara

para musyawirin, termasuk antara musyawirin dan sail.

Jika memang sangat diperlukan, dapat didatangkan tim ahli.

Semisal masalah yang dibahas adalah masalah operasi cesar. Sangat

dianjurkan untuk mendatangkan dokter ahli serta beberapa pelaku

cesar yang motivasi pelakunya berbeda-beda.

c. Penyampaian Jawaban (I’tidlodl)

Sesi ini adalah sesi penampungan jawaban dan ibaroh. Jika

39

kesempatan untuk menjawab. Hanya saja ditentukan kesamaan

jawaban di antara para musyawirin sehingga moderator bias

mengelompokkan jawaban.

Selain ibaroh harus disetorkan pada tim perumus (muharrir),

moderator setidaknya mencatat poin-poin penting yang terdapat dalam

jawaban dan ibaroh tersampaikan. Oleh sebab itu, moderator haruslah

orang yang faham tentang masalah (fiqh) yang dibahas.

Pada sesi ini, peserta hanya diberi hak untuk menjawab dan

membacakan ibaroh tanpa harus memberikan tanggapan atau

sanggahan.

d. Kategorisasi Jawaban

Setelah ibaroh dan jawaban terkumpul, maka moderator harus

mengkelompokkan jawaban-jawaban yang ada. Lalu menyampaikan

kategorisasi / pengelompokan jawaban yang ada dan disampaikan pada

seluruh musyawirin agar musyawirin tahu tentang perkembangan

jawaban-jawaban yang ada.

Diupayakan, jawaban-jawaban yang ada dikesankan

bertentangan antar dua kelompok atau lebih agar pada sesi selanjutnya

tercipta diskusi / debat argumentative.

e. Perdebatan Argumentatif (I’tirodl)

Sesi ini adalah sesi musyawirin saling menguatkan

40

berbeda/bertentangan. Selain itu, moderator harus berupaya “mengadu” musyawirin yang ada.

Selanjutnya musywarin diajak untuk saling melemahkan

pendapat kelopmpok lain yang bertentangan. Dalam sesi ini,

musywairin ketika melemahkan pendapat kelompok lain harus disertai

dengan ibaroh yang melemahkan kelompok lain. Sedangkan kelompok

yang dilemahkan diberi waktu untuk menguatkan pendapatnya disertai

dengan penjelasan dan ibaroh lain yang menguatkan, bahkan

kelompok ini dapat langsung melemahkan balik jawaban/ibaroh

musyawirin yang melemahkannya. Begitu seterusnya sampai ada yang

terlihat dominan.

Dalam sesi ini, moderator harus benar-benar faham materi,

bahkan kemungkinan-kemungkinan jawaban pada sesi ini sudah

diprediksi oleh moderator sehingga kemungkinan kecil akan mengarah

pada jawaban yang salah. Yang boleh terjadi adalah mengarah pada

jawaban yang lemah atau yang kuat dan tentunya yang benar menurut

fiqh.

Pada sesi ini musyawirin harus mengeluarkan seluruh

kemampuannya untuk memperkuat jawaban dan ibarohnya serta

melemahkan jawaban / ibaroh yang bertentangan dengannya.

Sebelum sesi ini dianggap jenuh atau berakhir, moderator harus

merumuskan jawaban sementara baik berstruktur jawaban

41

pada musyawirin apakah musywairin setuju dengan kesimpulan

moderator dan apakah musywarin setuju jika perlu pencerahan tim

perumus. Semua keputusan harus berdasarkan musyawarah.

f. Pencerahan Refrensi dan/atau perumusan jawaban

Pada sesi ini, setelah sebelumnya moderator sepakat dengan

musyawirin untuk merumuskan/menyimpulkan jawaban sementara dan

sepakat untuk menyerahkan masalah pada tim perumus, maka

moderator lalu menyerahkan permasalahan pada perumus untuk dua

kemungkinan. Kemungkinan pertama, tim perumus memberikan

penjelasan tentang permaslahan yang sedang sulit untuk diselesaikan.

Kemungkinan kedua, perumus menyetujui rumusan / menyarankan

untuk merubah rumusan jawaban.

Pada sesi ini perumus memberikan kritik terhadap ibarot-ibarot

dan jawaban serta poin-poin yang telah di bahas dan memberikan

masukan-masukan tentang masalah yang dibahas. Selanjutnya

perumus memberikan jalan tengah jika terjadi perselisihan pendapat.

Atau perumus memberikan usulan rumusan baru yang didasarkan pada

ibarot-ibarot dan pendapat musyawirin. Untuk selanjutnya diserahkan

pada moderator agar disetujui atau dilakukan pembahasan lanjutan.

g. Tabyyun

Pada sesi ini, moderator menerima hasil tim perumus dan

sampaikan pada musyawirin untuk ditindaklanjuti dalam bentuk

42

menyanggah dengan santun rumusan tim perumus sehingga

melanjutkan diskusi dengan musyawirin / tim perumus.

Sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat antara musyawirin

dengan tim perumus. Maka perlu ditindaklanjuti oleh tim perumus

untuk meluruskan jawaban. Bahkan moderator juga harus pandai

mengambil keputusan jalan tengah jika terjadi perbedaan pendapat

antara musyawirin dengan tim perumus. Pada praktik umumnya, tim

perumus lebih dimenangkan daripada musyawirin, tentunya dengan

Dokumen terkait