• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Pemerintahan Desa Dinas di Bali

Dalam dokumen BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI (Halaman 23-42)

Desa Dinas pada dasarnya telah ada pada masa sebelum kolonial yang disebut Perbekelan. Terbentuknya Desa Dinas dapat dilihat sebagai wujud yang dikehendaki oleh kekuasaan atas Supra Desa. Pada masa pengaruh kekuasaan Raja-raja Majapahit, pengaruh kekuasaan atas raja semakin masuk kedalam Desa. Dengan semakin mantapnya kekuasaan raja itu, pengawasan terhadap raja-rajapun semakin kuat. Pada masa kolonial ini juga telah dikenal adanya dualistik desa yang membagi otoritas antara struktur adat dan dinas.28

Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1903 mengumumkan undang-undang desentralisasi yang menciptakan dewan-dewan lokal. Mereka mempunyai wewenang untuk membuat peraturan tentang pajak dan urusan-urusan bangunan. Untuk mengatur pedesaan, maka dikeluarkan Inlandsche Gemmente Ordonantie, yang kemudian membedakan antara Desa-desa yang ada di Pulau Jawa-Madura

27

Ibid, h. 80

28 James S. Davidson, Dkk, 2010, Adat Dalam Politik Indonesia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, h. 188

dan Desa-desa yang ada di luar pulau tersebut. Melalui model Desa Dinas, pemerintah Belanda mulai memasukkan pengaruhnya sampai ke Desa dengan memanfaatkan petugas perbekel sebagai bagian dari pemerintah resmi.29

Dengan adanya pengaruh kekuasaan Raja-raja Majapahit (zaman gelgel) pada abad ke- 14 sampai abad ke-17, pengaruh raja semakin kuat masuk kedalam Desa. Desa-desa mulai mendapat pengawasan yang lebih nyata dari raja dengan mengirim pasek, bendesa dan muncul pula istilah perbekel (Perbakal), sebagai petugas pengawas di Desa.30 Apabila terjadi pertentangan, perselisihan di Desa, maka raja dapat campur tangan, paling tidak menugaskan perbekel, atau punggawa. Liefrinck menyatakan bahwa perbekel, atau punggawa adalah merupakan wakil raja didaerah itu.31 Hal ini menerangkan bahwa meskipun Desa-desa tetap dipimpin oleh ketua prajurunya masing-masing, namun pengaruh raja sudah masuk sampai ke Desa. Sehingga bisa dipahami Desa sebagai wilayah berada di bawah kekuasaan raja, yang menunjukkan perannya dalam lingkungan yang lebih luas, yakni bersama-sama fungsinya yang tradisional di Desa, juga melayani kepentingan atas (raja).

Dengan demikian, otonomi desa mulai mendapat pengawasan secara lebih ketat dari raja, apalagi kalau dinilai ada Desa yang ingin melawan kekuasaan raja. Untuk fungsinya seperti itu, seorang perbekel mendapatkan imbalan in natura

29

I Wayan Gede Suacana, 2013, Transformasi Demokrasi dan Otonomi Desa, Revka Petra Media, Surabaya, h. 49-50

30 I Gde Parimartha, 2003, Op. Cit, h. 14

31

(pecatu) dari raja.32 Dari ini Nampak bahwa Desa telah menjalankan dua tugas, yaitu tugas tradisional (asli) dan tugas yang diemban dari atas (raja).

Penataan wilayah kerajaan dalam arti pembagian wilayah administratif pada waktu itu terlihat sangat sederhana, hanya ada wilayah tingkat pusat dan wilayah tingkat Desa. Dari sejumlah prasasti diketahui, wilayah tingkat pusat mencakup seluruh wilayah kerajaan disebut kedatwan/kedatuan yang dapat diartikan kerajaan atau wilayah kerajaan.

Sejak awal abad ke- XX Desa di Bali mendapat pengawasan dari pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda mulai menata keberadaan Desa dengan tetap memanfaatkan petugas Perbekel sebagai bagian pemerintahan resmi. Bedanya adalah saat masa kerajaan Perbekel dipilih dan ditetapkan oleh raja, tetapi saat masa kolonial, seorang Perbekel diangkat oleh pemerintah Belanda dengan memberikan imbalan berupa uang atau gaji.33 Desa dalam persepsi Kolonial adalah Desa dalam pengertiannya yang tradisi yang telah ada sejak lama sebagai wadah penduduk di Indonesia. Mengenai istilah dan konsep Desa Adat berawal dari penelitian Liefrinck di Bali Utara Tahun 1886-1887, yang menyatakan bahwa Desa di Bali yang sesungguhnya adalah republik kecil yang memiliki hukum atau aturan adat, tradisi sendiri. Susunan pemerintahan yang bersifat demokratis, setiap anggota memiliki hak-hak yang sama. Orang yang ditunjuk menjadi pimpinan adalah orang yang paling lama menjadi anggota.34

Para tokoh masyarakat Bali yang dipercaya dikenal dengan Pasek ditempatkan di Desa-desa, sebagai tangan-tangan raja, hal itu dapat dilihat sebagai

32

Ibid, h.15

33 I Gde Parimartha, Op.Cit, h. 14

34

wakil dari raja dalam rangka menanamkan pengaruhnya sampai ke Desa yang ikut sebagai pengurus Desa. Jatuhnya Gelgel dan munculnya kerajaan-kerajaan yang lebih kecil, maka pengaruh raja-raja kecil itupun sampai pula ke Desa. Meskipun tidak membentuk Desa baru, namun Desa-desa mulai mendapatkan pengawasan yang lebih nyata dari raja. Pada masa itu, sebagai wakil raja tingkat desa muncul petugas yang kemudian dikenal dengan sebutan perbekel. Dengan masuknya tugas perbekel ke Desa, dapat dilihat sebagai fungsi dari pengaruh raja dan dapat menjadi dasar dari perubahan di Desa.

Liefrinck menyatakan bahwa Perbekel adalah merupakan wakil raja di daerah itu. Dalam keadaan seperti itu, apabila terjadi perselisihan di Desa, maka raja dapat ikut mencampuri, paling tidak dengan menugaskan Perbekel, atau Punggawa untuk mengatasi keadaan. Hal itu dapat memberi petunjuk bahwa meskipun Desa-desa tetap dipimpin oleh tetua, prajuru masing-masing namun pengaruh raja (supra desa) sudah masuk sampai ke Desa, dan dapat memberi pengaruh didalamnya.

Kembali pada masa kolonial Belanda, dengan model Desa Dinas, pemerintah kolonial memasukkan pengaruhnya sampai ke Desa. Pemerintah Belanda mulai menata keberadaan Desa dengan tetap memanfaatkan petugas perbekel sebagai bagian dari pemerintah resmi. Bedanya adalah, pada masa kerajaan perbekel dipilih dan dietapkan oleh raja, tetapi masa kolonial seorang perbekel diangkat oleh pemerintah Belanda dengan memberikan imbalan berupa uang atau gaji. Maka dapat dilihat bahwa Desa-desa tradisional atau Desa Adat di Bali berada dibawah pengawasan dari pemerintah atasan, baik pada masa

kerajaan, maupun pemerintahan kolonial, yang akibatnya telah membatasi sifat otonomi dari pemerintah Desa. Tugas-tugas pemerintahan disini adalah merupakan penjabaran dari tugas-tugas Negara yang merupakan perwujudan dari tujuan Negara yang tercermin dari konstitusi suatu Negara.35 Maka munculnya Desa Dinas pada masa kolonial, dan pada masa kemerdekaan hal tersebut masih dipertahankan, ini dapat dimengerti sebagai bentuk lanjutan dari keadaan sebelumnya, dan karenanya telah menjadi bagian dari warisan masyarakat Bali.

Sejarah pemerintahan Desa Dinas tersebut diatas, sejatinya dapat digambarkan kedalah tiga kelompok, yaitu :

1. Zaman Kerajaan, pada masa pemerintahan kerajaan, Desa berada dibawah raja, dimana seorang Perbakal (Perbekel) yang merupakan pejabat Desa adalah berfungsi sebagai wakil raja untuk mengawasi Desa dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan di Desa. Perbekel tidak mencampuri urusan pemerintahan Desa dalam kegiatan adat dan agama, yang menurut Liefrinck desa merupakan republik terkecil yang memiliki aturan hukum atau budaya adatnya.

2. Zaman Penjajahan, pada masa penjajahan Hindia Belanda, Pemerintahan Hindia Belanda menggantikan posisi kerajaan atas Desa-desa di Bali. Pada masa ini diperkenalkan istilah dines yang artinya dinas, kemudian muncul dan popular dengan istilah desa dinas yang mempunyai tugas dalam menjalankan urusan kedinasan sebagai wakil pemerintahan Hindia Belanda.

35 Faried Ali dan Nurlina Muhidin, 2012, Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dan Otonom, Refika Aditama, Bandung, h.30

3. Zaman Kemerdekaan, pada masa kemerdekaan, lembaga kedinasan yang diperkenalkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda tetap berfungsi pada pemerintahan Desa, bahkan semakin kuat dan mempunyai struktur kepengurusan sendiri. Sehingga dalam satu wilayah terdapat dua sistem pemerintahan Desa, yaitu Desa yang sesuai dengan asal usul (Desa Adat) dan Desa yang dibentuk berdasarkan kewenangan pemerintah sekarang disebut Desa Dinas atau Desa Administrasi.

Keberadaan otonomi desa secara tidak langsung erat kaitannya dengan keberadaan pemerintahan desa. Karena pada selama ini otonomi desa juga mengatur ketentuan tetang keberadaan pemerintah desa yang pada saat ini terdiri dari unsur perangkat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Selain itu keberadaan otonomi desa juga mengatur ketentuan tentang keberadaan otonomi desa juga terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan desa yang di Indonesia sudah lahir sejak keberadaannya di era pemerintahan Hindia Belanda sampai terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Konsepsi otonomi desa tentu saja harus memperhatikan latar belakang berkembangan Desa itu sendiri.

Perkembangan pemerintahan Desa di Indonesia pada perkembangannya banyak mengalami perubahan di tiap periodenya. Hal ini terkait dengan pasang surutnya pergeseran dari sistem penjajahan ke pola sentralisasi ke desentralisasi. Pola pembangunan yang sentralistik dipandang sudah tidak relevan lagi sehingga perlu pendekatan desentralistik. Dalam pendekatan desentralistik ini, pemerintah

berperan dan bertindak sebagai pengatur dan fasilitator guna membangun iklim yang kondusif dalam mewadahi proses interaksi kehidupan sosial politik dan ekonomi masyarakat.36

Kebijakan otonomi daerah tersebut tentunya juga berimplikasi terhadap sistem administrasi pemerintahan desa. Artinya, kedudukan Desa sebagai subsistem perintahan terendah dalam sistem pemerintahan nasional di Indonesia memerlukan adaptasi dan antisipasi terhadap perkembangan tersebut. Salah satu prinsip penyelenggaraan otonomi daerah yang perlu mendapatkan perhatian adalah partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya ditingkat Desa.

Pengaturan pemerintahan Desa pada jaman orde baru menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dengan sistem sentralistiknya, dekonsentrasi adalah menjadi tumpuannya. Komitmen yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 kearah pemencaran melalui desentralisasi hanya sebagai sebagai slogan-slogan politik. Sehingga landasan konstitusional pemencaran kekuasaan melalui desentralisasi adalah merupakan kosa kata yang paling efektif sebagai alat dalam sistem kekuasaan yang tersentralisasi, yaitu dengan munculnya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis secara berlebihan.

Sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ini di undangkan, desa sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja,

36 Moch Solekhan, 2014, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi Masyarakat, Setara Press, Malang, h. 27

karena undang-undang ini dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman, maka undang-undang ini digantikan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif serta untuk memberikan arah perkembangan dan kemajuan masyarakat yang berasaskan demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri atas :

a. Kepala Desa;

b. Lembaga Musyawarah Desa.

Pemerintah Desa dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri atas Seretaris Desa dan Kepala Dusun. Kepala Desa diangkat oleh Bupati/Walikota atas nama Gubernur. Dari calon yang terpilih dengan masa jabatan delapan tahun terhitung sejak tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Kepala Desa menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintah desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggungjawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan

kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan desa, urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai hal pokok dalam pelaksanaan pemerintahan Desa.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintaha Desa Pasal 1 huruf a menerangkan bahwa Desa adalah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat di katakan bahwa dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa dalam undang-undang ini hanya satuan administratif dalam tatanan pemerintahan.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dalam sistem pemerintahan desa saat itu memang membawa beberapa hal yang baru, mengingat undang-undang ini adalah undang-undang pertama yang mengatur mengenai Desa. Perubahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ini menyebabkan terjadinya beberapa perubahan yang

prinsipil dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa di Indonesia. Beberapa perubahan tersebut antara lain :

a. Secara resmi organisasi pemerintahan yang terendah dipisahkan antara yang bersifat administratif yaitu kelurahan, dengan desa yang bersifat otonom. Kebijakan tersebut mencerminkan kemauan Pemerintah Pasca 1965 yang menginginkan dilaksanakannya asas dekonsentrasi sama dan sejajar dengan azas desentralisasi. Meskipun pada zaman penjajahan Belanda melalui Indische Staatregeling 1854 Pasal 128 juga diatur kemungkinan desa yang tidak lagi memiliki otonomi atau terikat dengan hukum adat, tetapi setelah kemerdekan justru timbul keinginan yang kuat untuk mengembangkan otonomi daerah dan memelihara hukum adat sebagaimana yang tersirat dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.

b. Untuk pertama kalinya secara nasional, pejabat dan pegawai organisasi pemerintahan yang terendah dipegang oleh pegawai negeri. Pada awal pelaksanaan ketentuan ini, pejabat-pejabat pemerintahan desa atau yang setingkat dengan itu dijadikan kelurahan, setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan kemudian diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.

c. Penghapusan lembaga perwakilan masyarakat desa. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, justru secara tegas meniadakan atau tidak memberi kemungkinan bagi adanya lembaga perwakilan rakyat tersebut.

d. Pengukuhan Kepala Desa sebagai pusat kekuasaan di Desa. Kebijakan ini sama seperti sistem pemerintahan pusat, dimana pemimpin eksekutif memiliki kekuasaan yang dominan dalam pelaksanaan pemerintahan desa.

e. Penyeragaman organisasi pemerintah desa. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ini menyeragamkan seluruh organisasi pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Penyeragaman ini juga terjadi dalam penyebutan Desa dan dalam penyebutan perangkat desanya.

Kedudukan pemerintahan Desa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa adalah merupakan bagian dari pemerintahan nasional, yang kedudukannya paling rendah dan langsung berada di bawah kecamatan. Pemerintahan Desa diwakili oleh Kepala Desa dengan demikian harus meletakkan kepentingan pemerintah diatas kepentingan masyarakat.37 Kedudukan pemerintah desa yang rendah saat itu juga terlihat dalam proses pemilihan Kepala Desa. Dalam pemilihan Kepala Desa, maka semua wewenang berada di tangan pemerintah yang lebih tinggi. Penduduk Desa kala itu hanya berhak mengajukan calon dan memberikan suara, sehingga sering terjadi kecurangan untuk memenangkan calon yang dikehendaki oleh pemerintah yang lebih tinggi.

Karena pemerintahan Desa adalah bagian dari pemerintahan Negara, maka wewenang dan kewajiban pemerintah Desa juga terkait dengan wewenang dan kewajiban Negara. Dengan begitu, wewenang dan kewajiban pemerintah desa

37 Mashuri Maschab, 2013, Politik Pemerintahan Desa Di Indonesia, PolGov, Yogyakarta, h. 116-117

juga bermula pada Negara dan berakhir juga pada Negara, yang berarti bahwa pengangkatan pejabat-pejabat pemerintah Desa ditentukan oleh Negara dan kewajiban-kewajibannya pun pada akhirnya juga pada Negara. Untuk Lembaga Permusyawarahan Desa kala itu merupakan lembaga permusyawaratan atau permufakatan yang keanggotaannya terdiri dari Kepala Dusun, pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan dan pemuka-pemuka masyarakat di Desa yang bersangkutan. Kepala Desa disini juga merangkap menjadi Ketua Lembaga Musyawarah Desa, demikian pula dengan Sekretaris Desa.38

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlu mengakui serta menghormati hak asal usul daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti. Setelah dicabutnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini lahir di era reformasi dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah, yang jauh lebih maju karena

38

peletak dasar desentralisasi dan otonomi daerah serta demokrasi lokal, tetapi justru memunculkan pemahaman yang berlebihan terhadap pengaturan pemerintahan desa, khususnya Kepala Desa bisa diberhentikan oleh Badan Perwakilan Desa.

Dalam Pasal 1 huruf e Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi ditegaskan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dicabut, hal ini dikarenakan sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan.

Sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, yang menyebutkan di desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa.

Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 huruf o adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten. Landasan pemikiran

dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.

Definisi Desa yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 huruf o tersebut menegaskan bahwa desa sebagai lembaga yang otonom. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan bahwa Desa memiliki aparatur pemerintahan sendiri dan sumber-sumber pendapat sendiri, tetapi dengan diakuinya hak asal-usul dan adat istiadat desa sudah berarti bahwa Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang otonom. Dengan diakuinya hak asal-usul dan adat istiadat setempat, maka berarti aparatur Desa dan sumber-sumber pendapatan asli desa adalah menjadi bagian dari Desa.

Penyelenggaraan pemerintahan Desa merupakan sub-sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggungjawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati. Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu, Kepala Desa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.39

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, di Desa dibentuk Pemerintahan Desa dan

39

Badan Perwakilan Desa yang menyelenggarakan Pemerintahan Desa. Pemerintahan Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Adapun Perangkat Desa terdiri dari :

a. Unsur pelayanan, seperti Sekretaris Desa dan atau Tata Usaha; b. Unsur pelaksana teknis lapangan;

c. Unsur pembantu Kepala Desa di wilayah bagian desa seperti Kepala Dusun.

Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk calon yang memenuhi syarat. Masa jabatan Kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan. Dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan Desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Perwakilan Desa. Badan Perwakilan Desa berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggara pemerintahan Desa.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara nyata mengakui otonomi desa yang terdapat dalam Pasal 1 huruf o. Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut Undang-Undang ini adalah berdasarkan asal usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari pemerintah. Sehingga yang disebut dengan Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Dengan demikian,

otonomi yang dimiliki desa dalam undang-undang ini adalah otonomi asli, yaitu otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Sehingga dalam kenyataannya pasti akan timbul berbagai keanekaragaman, baik dari segi nama, susunan pemerintahan, maupun bentuk-bentukan geografisnya.

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, juga terjadi perubahan dalam aspek pemerintahan desa. Di desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan pemerintahan Desa. Pemerintah Desa sebagai unsur eksekutif dan Badan Perwakilan Desa sebagai unsur Legislatif, hal ini tidak dikenal dalam undang-undang sebelumnya. Dengan konsep pemerintahan Desa yang seperti ini maka dalam pelaksanaan tugasnya Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa.

Sama seperti sebelumnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dirasa tidak lagi cukup untuk memenuhi perkembangan pemerintahan di daerah, kekurangan yang dimiliki yakni ketidak jelasan pengaturan kewenangan pemerintahan daerah dan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga akhirnya ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32

Dalam dokumen BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI (Halaman 23-42)

Dokumen terkait