• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

44 2.1. Sejarah Pemerintahan Desa Adat di Bali

Secara etimologis kata desa berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “deça”, seperti Dusun, Desi, Negara, Negeri, Nagaro, Negory (Nagarom), yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran, tanah leluhur yang menunjuk pada satu kesatuan hidup dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas.1 Suhartono memandang desa sebagai tempat bermukim penduduk dengan peradaban yang dinilai lebih terbelakang ketimbang kota. Dijelaskan bahwa desa bercirikan bahasa ibu yang kental, tingkat pendidikan yang relatif lebih rendah, pencaharian umumnya dari sektor pertanian.2

Desa dalam pengertian ini menunjukkan kepada suatu wilayah yang dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu, kecuali dibeberapa kota atau desa-desa yang terletak dipinggir pantai yang penduduknya heterogen yang terdiri dari berbagai umat beragama. Desa dalam Bahasa Bali berasal dari bahasa Sansekerta yang lazim digunakan di kalangan masyarakat umat hindu di Bali. Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, kata Desa atau Desi seperti juga halnya dengan kata Negara, Negeri dan Nagari berasal dari perkataan Sanskerta yang artinya tanah air, tanah asal dan tanah kelahiran.3 Sejalan dengan hal tersebut, R.Soepomo

1

Didik Sukirno, 2010, Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa, Setara Press, Malang, h. 59

2

Ibid, h. 59

3 I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali Post,

(2)

juga menyatakan bahwa Desa yang ada sekarang di Indonesia sudah dikenal sejak jaman Hindu. Akan tetapi kapan sesungguhnya mulai didirikannya desa-desa di Bali sebagai suatu persekutuan hukum masyarakat, belumlah dapat diketahui secara pasti.4

Pengertian Desa tersebut diatas dilihat dari perspektif geografi, dimana Desa dimaknai sebagai tempat atau daerah tempat berkumpul hidup bersama dan menggunakan lingkungan sebagai tempat untuk mempertahankan dan mengembangkan kelangsungan hidupnya. Desa yang disebut di Indonesia ini adalah jauh ada sebelum orang eropa atau bangsa lainnya datang. Desa tidak berasal dari luar Indonesia, tetapi asli dan murni Indonesia.

Bali pada masa lampau merupakan suatu kerajaan yang dimuat dalam prasasti berbahasa Sanskerta yang ditemukan di Desa Pejeng, Gianyar. Salah satu prasasti tersebut berangka tahun 875 Saka atau tahun 953 Masehi yang menyebut nama Sri Walipuram. Walipuram mengandung arti bahwa Bali merupakan suatu kerajaan.5 Menurut Korn yang menyatakan bahwa desa sebagai suatu republik yakni Republik Desa.6 Selanjutnya dalam pelaksanaan pemerintahannya, penentuan kepemimpinan di desa tidak terbatas hanya pada pemilihan saja tetapi juga mengenal sistem rangking (ulu apad), mohon petunjuk dari Tuhan (nyanjan) dan keturunan (turunan). Pengambilan keputusan selalu merupakan kehendak bersama dan kesepakatan.7

4

Ibid, h. 6

5

I Gusti Ngurah Tara Wiguna, 2009, Hak-Hak Atas Tanah Pada Masa Bali Kuno Abad X-XI Masehi, Udayana University Press, Denpasar, h. 24

6

I Made Suastawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar, h. 5

7

(3)

Penelitian yang dilakukan oleh Korn yang monumental tentang studi hukum adat di Bali dan menghasilkan buku Het Adatrecht van Bali, membuat Desa terkenal dengan hukum-hukum adatnya. Bahkan Korn dari hasil kajiannya di Desa Tenganan, menyebutkan desa Tenganan sebagai sebuah republik desa yang memiliki otonomi kuat, dengan ungkapan “De Dorpsrepubliek Tenganan

Pegringsingan”.8

Desa Adat di Bali merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Bali yang di dasarkan oleh ajaran agama Hindu, masyarakat dari desa adat secara keseluruhan di bali merupakan masyarakat yang menganut agama Hindu karena Desa Adat memiliki tugas menjaga dan melestarikan Kahyangan Tiga yang merupakan tempat persembahyangan umat hindu, seperti yang dinyatakan oleh J.S. Eadas dalam bukunya yang menyatakan bahwa “Balinese

culture has a clear identityon Hinduism”. 9

Keberagaman Desa terjadi karena adat istiadat yang juga beraneka ragam. Adat yang merupakan kebiasaan dibuat sebagai pedoman bagi anggota masyarakat berperilaku, dengan harapan agar tujuan hidup bermasyarakat tercapai. Tujuan hidup tersebut adalah antara lain kedamaian, ketentraman, keteraturan, ketertiban, kesejahteraan, dan keadilan. Apabila kebiasaan tersebut sudah terwujud, maka dibutuhkan sarana yang lebih bersifat memaksa. Sarana tersebut adalah hukum. Hukum adat dibuat untuk memaksa agar setiap anggota

8

I Gede Parimartha, 2013, Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Udayana University Press, Denpasar, h. 31

9 J.S. Eades, 2003, Globalization in Southeast Asia : Local, National, and Transnational

(4)

masyarakat mentaati, mempertahankan, melaksanakan, menjaga kelestarian nilai budaya itu, dan berlandaskan atas kebudayaan itu sendiri.10

Kebudayaan merupakan semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan manusia. Kebudayaan dan masyarakat adalah dua entitas yang saling bertautan dan tidak dapat dipisahkan. Masyarakat tanpa budaya merpakan masyarakat tanpa tata kelola kehidupan, sedangkan budaya tanpa masyarakat dapat dikatakan hanya sebagai ide tanpa implementasi.11

Setelah Indonesia merdeka yang diploklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka daerah Bali merupakan bagian dari Provinsi Sunda Kecil yang diperintah oleh seorang Gubernur dan merupakan wilayah Republik Indonesia. Di Daerah Bali dikeluarkan pengumuman resmi gabungan kerajaan-kerajaan Bali No. 1 Tahun 1947 tentang Peraturan Pembentukan gabungan Kerajaan-kerajaan Bali dan badan-badannya.

Kemudian pada tanggal 8 Juni 1950 dikeluarkan pengumuman resmi gabungan kerajaan-kerajaan di Bali No. 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Badan Pelaksana Pemerintahan Daerah Bali yang terdiri dari ketua dewan raja-raja selaku anggota satu ketua dengan empat orang anggota yang diangkat oleh dewan raja-raja sesuai dengan usul Majelis Perumusan Agung. Selanjutnya dengan Pengumuman Resmi Dewan Pemerintahan Daerah Bali No. 7/Darurat

10

Dominikus Rato, 2009, Pengantar Hukum Adat, LaksBang Presindo, Yogyakarta, h. 1

11 Suryono Soekanto, 2002, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

(5)

tanggal 29 Nopember 1950 Perumusan Agung dibubarkan dan membentuk Dewan Perwakilan Daerah Sementara. Dewan tersebut terdiri dari sekurang-kurangnya 36 anggota dan sebanyak-banyaknya 45 anggota.

Pada masa kemerdekaan sistem pemerintahan desa, yaitu desa yang keberadaannya sesuai dengan asal usul dan desa yang dibentuk oleh supra desa semakin nyata. Penggunaan istilah desa adat menjadi popular dikalangan masyarakat untuk membedakannya dengan desa dinas atau desa administrasi. Pada mulanya hanya dikenal istilah desa yang selalu berarti desa adat. Tetapi semenjak istilah perbekel (Kepala wilayah keperbekelan) diganti menjadi Kepala Desa maka timbul dualisme pemakaian kata Desa.

Posisi desa otonom, dapat dimengerti mendekati Desa pada tingkatan yang paling awal, yakni bahwa wujud Desa tradisional yang otonom, dan sedikit mendapat pengaruh raja, dipimpin oleh cikal-bakal pendiri Desa. Namun yang penting dari Lienfrinck, bahwa ia telah mengubah persepsi masyarakat Bali tentang diri mereka, dengan memutuskan hubungannya dengan kekuasaan atas, sejalan dengan strategi politik kolonial belanda pada masa itu.12

Dalam pandangan masyarakat Bali, Desa dimengerti sebagai suatu tempat tinggal bersama, memiliki kekayaan desa, wilayah, warga, prajuru, dan tempat-tempat suci yang disebut Kahyangan Desa. Wilayah desa adat disebut payar, dan dimengerti batasan-batasannya. Kini dimengerti bahwa sebagai ciri khas Desa Adat di Bali adalah Desa yang memiliki suatu tempat persembahyangan yang disebut, Kahyangan Tiga.

12

I Gde Parimartha, 2003, Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa Pakraman, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Denpasar, h. 15

(6)

Pada masa kolonial pemerintah Belanda tetap memegang konsep desa adat yang otonom, merdeka, statis, dan harus dipertahankan eksistensinya dari sentuhan pengaruh luar. Bersamaan dengan itu, dalam rangka memanfaatkan potensi penduduk guna memenuhi kepentingan pemerintah, sejalan dengan keadaan yang berkembang, pemerintah Belanda berusaha memasukkan pengaruhnya kedalam Desa. Pembentukan Desa baru ini tidak memperhatikan bentuk Desa lama atau Desa Adat yang sudah ada. Apakah itu mengakibatkan penggabungan bagi desa-desa lama yang kecil, atau berakibat pecahnya desa-desa adat baru di Bali. Sasarannya jelas yaitu untuk kepentingan administrasi oleh petugas pemerintah. Selanjutnya Desa baru itu disebut sebagai Desa Dinas, namun dalam surat menyurat hanya disebut Desa. Sehingga terjadi dua bentuk Desa yaitu Desa Adat dan Desa Dinas yang pada akhirnya menjadi sistem ganda dalam pemerintahan Desa di Bali.13

Pengertian Adat di Bali mulai dikenal sejak jaman penjajahan Belanda sekitar permulaan abad ke-20 yang diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan yang telah melembaga di masyarakat yang berlangsung turun temurun. Demikian pula desa adat, baru dipopulerkan sejak jaman pemerintahan Belanda di Bali dan untuk membedakannya dengan Desa Dinas yang dibentuk oleh Belanda.14

Sebelum penjajahan Belanda, di Bali telah dikenal dengan beberapa istilah yang mempunyai hubungan dengan suatu Desa Adat, yaitu sima, dresta,

lekita, paswara, awig-awig atau krama dan thani. Sima berarti ketentuan tidak

tertulis yang berlaku pada suatu masyarakat. Dresta yaitu pandangan suatu

13 Ibid, h. 17 14

(7)

masyarakat mengenai suatu tatakrama pergaulan hidup. Lekita artinya catatan suatu peringatan mengenai suatu kejadian di masyarakat. Paswara berarti suatu keputusan raja mengenai suatu masalah di masyarakat. Awig-awig berarti suatu ketentuan dalam masyarakat yang mengatur tata karma pergaulan hidup dalam masyarakat. Krama berarti masyarakat dan Thani berarti wilayah suatu Desa.15

Desa Adat di Bali pada mulanya bernama Desa Krama, sedangkan anggota masyarakat penduduknya disebut Krama Desa yang sampai sekarang masih hidup dalam masyarakat Hindu di Bali. Adat yang merupakan aturan-aturan atau kebiasaan yang dianggap telah patut disepakati bersama sebagai aturan tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat yang disertai dengan adanya sanksi yang dilaksanakan oleh Kelihan Adat. Dengan adanya sanksi adat dalam kehidupan Desa Adat di Bali, Desa Adat mempunyai hukum adat yang sebagian besar tidak merupakan hukum tertulis.

Istilah Desa Adat di Bali berawal dari penelitian yang dilakukan oleh Liefrinck di Bali Utara, dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa Desa di Bali yang sesungguhnya adalah sebuah republik kecil yang memiliki hukum atau aturan adat, dan tradisi sendiri. Susunan pemerintahan lebih bersifat demokratis, setiap anggota memiliki hak-hak hukum yang sama. Orang-orang yang ditunjuk sebagai pemimpin adalah orang yang paling lama menjadi anggota atau tetua, dan apabila terjadi perbedaan pendapat maka dilakukan dengan suara terbanyak.16

Menurut Parimartha, dalam pandangan masyarakat Bali, Desa Adat dimengerti sebagai suatu tempat tinggal bersama, memiliki kekayaan desa,

15

I Wayan Surpha, Op. Cit, h. 7

16 I Wayan Wesna Astara, 2010, Pertarungan Politik Hukum Negara dan Politik

(8)

wilayah, warga, prajuru dan tempat-tempat suci yang disebut dengan Kahyangan Desa. Sedangkan I Gusti Raka mendefinisikan Desa Adat pada aspek keyakinan atau kepercayaan adalah kesatuan daerah di mana penduduknya bersama-sama atas tanggapan bersama melakukan ibadah dengan maksud untuk menjaga kesucian tanah Desa, serta memelihara pura-pura yang ada di Desa. Sedangkan menurut I Gede Penetje, desa-desa di Bali dapat dianggap sebagai persekutuan yang berdiri sendiri dan dapat bertindak sebagai badan hukum.17

Desa Adat sebagai suatu komunitas sosial tradisional di Bali dapat diidentifikasikan sebagai suatu Desa Adat, apabila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :18

a. Mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu yang jelas; b. Mempunyai anggota atau krama desa;

c. Mempunyai Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa; d. Mempunyai otonomi baik keluar maupun kedalam; e. Mempunyai pemerintahan adat.

Pengertian Desa Adat menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Pasal 1 huruf e adalah Desa Adat sebagai Desa Dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga

17 Ibid, Hal. 11-12

18

(9)

atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Desa Adat di Bali mengalami pasang surut tergantung dari kebijakan penguasa. Hal ini terlihat dari berubahnya nama Desa Adat menjadi Desa Pakraman. Perubahan Desa Adat menjadi Desa Pakraman ini terdapat dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Peraturan Daerah ini mencabut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali.

Perubahan tersebut nampak dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang menyatakan bahwa Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus rumah tangga sendiri.

Desa Pakraman merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan-kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola interaksi sosial dalam masyarakat Bali. Unsur dari Desa Pakraman adalah sebagai berikut :

a. Unsur Prahyangan yaitu berupa pura atau tempat suci agama Hindu b. Unsur Pawongan yaitu warga Desa yang beragama hindu

(10)

c. Unsur Palemahan yaitu merupakan wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang guna karya.

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman Pasal 5 menyatakan bahwa “Desa Pakraman mempunyai tugas, yaitu membuat awig-awig, mengatur krama desa, mengatur pengelolaan harta kekayaan desa, bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan disegala bidang terutama dibidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, serta membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan Nasional pada umumnya, dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan paras poros, sagilik saguluk, dan musyawarah mufakat, dan juga mengayomi krama desa”.

Kewenangan yang dimiliki oleh Desa Pakraman berdasarkan Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman Pasal 6 menyatakan bahwa “Desa Pakraman mempunyai wewenang sebagai berikut :

a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan, wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat; b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan

pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana;

c. Melakukan perbuatan hukum didalam dan di luar Desa Pakraman.” Selain memiliki beberapa wewenang sesuai dengan ketentuan di atas, Desa Pakraman bertugas membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. Dalam konteks ini Desa Pakraman berkewajiban membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat.

(11)

Serta Desa Pakraman turut menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada diwilayahnya, terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana.

Pemerintahan Desa Pakraman dilakukan oleh pengurus desa pakraman yang disebut Prajuru Desa Pakraman. Sistem pemerintahan Desa Pakraman dipengaruhi oleh tipe Desa yang bersangkutan. Tipe Desa Pakraman yang ada di Bali dikelompokkan dalam tiga tipe Desa yaitu :19

a. Desa Baliaga, yaitu desa tua di Bali yang masih kuat mempertahankan sistem kemasyarakatan asli yang dalam jaman kerajaan dulu tidak dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan Majapahit.

b. Desa Apanaga, yaitu desa-desa yang pada jaman kerajaan dahulu sangat intensif mendapat pengaruh dari sistem kemasyarakatan Majapahit.

c. Desa Anyar, yaitu desa yang timbul karena akibat dari perpindahan penduduk yang didorong oleh keinginan mencari lapangan kehidupan. Sebagai suatu masyarakat hukum adat, Desa adat memiliki tata hukum sendiri yang berdasarkan pada adat-istiadat di desa adat setempat. Tatanan hukum yang berlaku di desa adat lazim disebut sebagai awig-awig. Semua desa adat di bali memiliki awig-awig untuk mengatur Desa Adatnya. Awig-awig disusun dalam suatu dalam suatu rapat krama desa yang disebut sebagai Paruman Desa. Di masa lalu awig-awig Desa Adat tidak ditulis, setelah para prajuru desa mengenal budaya baca tulis maka awig-awig yang diputuskan dalam rapat krama atau paruman desa akhirnya di catat.

Dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, Pasal 14 menyatakan bahwa Majelis Desa Pakraman terdiri dari :

19 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga

(12)

a. Majelis utama untuk Provinsi berkedudukan di Ibukota Provinsi; b. Majelis madya untuk Kabupaten/Kota;

c. Majelis Desa untuk Kecamatan berkedudukan di Kota Kecamatan Apabila kita kembali kepada masa Orde Baru terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dan Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam kedua Undang-Undang tersebut belum diatur mengenai Desa Adat, meskipun Desa Adat sebenarnya telah diakui dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, terdapat satu Pasal yang menyatakan mengenai desa yaitu terdapat dalam Pasal 88 yang menyatakan bahwa “Pengaturan tentang pemerintahan desa ditetapkan dengan Undang-Undang”. Hal ini berarti bahwa akan ada undang-undang tentang Desa yang akan diundangkan setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah ini.

Dengan adanya amanat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah tersebut maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang diundangkan pada tanggal 1 Desember 1979. Namun tidak nampak pengaturan mengenai Desa Adat didalam Undang ini. Meskipun didalam Undang-Undang ini banyak dicantumkan adat istiadat, namun yang diatur hanyalah adat istiadatnya saja bukan kedudukan Desa Adat dalam pemerintahan desa.

(13)

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa berbagai sebutan dari kesatuan masyarakat hukum yang berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri yang tersebar diseluruh Indonesia dengan sebutan masing-masing yang khas tersebut dihapuskan, dan tidak lagi dipergunakan. Sehingga terdapat penyeragaman desa yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tersebut.

Dalam perjalanan sejarah Desa Adat di Bali dipengaruhi oleh politik, sehingga untuk menghindari tergerusnya Desa Adat dari kepentingan penyeragaman Desa di Indonesia, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka di Bali ditetapkan Perda Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Hal ini adalah untuk mempertahankan Desa Adat agar tetap eksis sebagai bagian dari sosial politik dan budaya warga Bali.

Perubahan rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang mengakibatkan perubahan sistem pemerintahan dari sistem pemerintahan sentralistis ke arah desentralistis yang mengakibatkan dicabutnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini mengakibatkan Peraturan Daerah Bali Nomor 6 Tahun 1989 tentang Desa Adat

(14)

digantikan oleh Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.

Seiring dengan bergulirnya reformasi dan tata pemerintahan membuat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dirasa kurang sesuai lagi dengan perkembangan Pemerintahan di Daerah, sehingga ditetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini terdapat bagian yang mengatur mengenai Desa, namun Desa yang diatur dalam undang-undang ini tidak juga mengatur mengenai Desa Adat.

Setelah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini berlaku selama sepuluh tahun dan dirasa perlu ada perubahan demi mengikuti perkembangan hukum dimasyarakat maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini peraturan mengenai desa adat tidak juga tampak, yang ada hanyalah aturan mengenai desa yang tidak diklasifikasikan Desa Adat ataukah Desa Dinas, karena peraturan mengenai Desa baik itu Desa Dinas maupun Desa Adat sudah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan perundang-undangan mengenai Desa tersebut mengalami perubahan agar bisa mengikuti perkembangan hukum di masyarakat Desa, sehingga diundangkanlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pengaturan mengenai Desa Adat disini diatur dalam bagian khusus mengenai Desa Adat yaitu dalam Bab XIII.

(15)

Dalam pemerintahan Desa Adat di Bali, Desa Adat memiliki struktur dalam menjalankan pemerintahannya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 7 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Struktur pemerintahan Desa Adat adalah sebagai berikut :

a. Juru Bendesa yaitu sebagai kepala Desa Adat. Bendesa disini bukanlah aparatur pemerintah, jadi Bendesa tidak digaji oleh Pemerintah. Untuk biaya hidup Bendesa serta pengurusan dan pendanaan pemerintahan Desa Adat diperoleh dari hasil iuran warga Desa Adat, harta kekayaan Desa Adat dan hasil sumbangan dari pihak ketiga.

b. Petajuh/Pangliman yaitu sebagai Wakil Ketua Desa Adat. c. Penyarikan yaitu sebagai Sekretaris Desa Adat.

d. Petangen/Juru Raksa yaitu sebagai Bendahara Desa Adat.

e. Upa Desa adalah sebagai Pendamai dalam penyelesaian sengketa apabila ada warga masyarakat adat yang tdak puas dan menuntut hak adanya. Tempat yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa disebut dengan Kerta Desa.

f. Pacalang yaitu bertugas untuk menjaga keamanan Desa Adat, khususnya pada saat upacara adat atau upacara keamagamaan lainnya. Juru Bendesa dipilih secara demokratis oleh krama Desa Adat dalam sebuah paruman atau rapat adat. Untuk struktur dan susunannya diatur oleh

awig-awig desa. Awig-awig-awig inilah yang digunakan sebagai pedoman oleh Prajuru Desa

sebagai badan eksekutif dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Oleh karena hal tersebut, maka Prajuru Desa bertanggung jawab kepada Krama Desa,

(16)

dan pertanggungjawaban itu disampaikan melalui paruman yang bersifat demokratis.

Dalam perkembangan Desa Adat itu ada kalanya datang orang-orang baru yang juga bertempat tinggal di wilayah Desa Adat setempat. Mereka juga akan menjadi anggota Desa Adat bilamana mereka diizinkan oleh krama atau warga desa adat yang bersangkutan dan sepanjang mereka mematuhi ketentuan-ketentuan Desa Adat itu yang antara lain ikut nyungsung pura Kahyangan Tiga milik Desa Adat yang bersangkutan. Oleh karena hal tersebut maka Desa Adat menjadi heterogen dalam arti bahwa anggota dari Desa Adat tidak hanya yang mempunyai kesamaan asal dan kesamaan nasib saja.

Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat di Bali inilah, maka muncul pandangan tentang teritorial dalam sektor pertanian yang tidak terbatas pada satu teritorial atau wilayah Desa Adat saja, melainkan mencakup wilayah beberapa Desa Adat. Kesatuan wilayah pertanian yang diatur dalam suatu tata organisasi pertanian tradisional yang disebut subak. Subak bukanlah bagian dari suatu Desa Adat melainkan merupakan suatu lembaga adat yang mengatur sistem pertanian di Bali. Hubungan Subak dengan Desa Adat adalah hubungan konsultatif dan keduanya merupakan lembaga adat.

Lembaga adat adalah suatu lembaga hukum dan Desa Adat adalah suatu masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum desa atau Desa Adat adalah sekumpulan orang yang hidup bersama berasaskan pandangan hidup, cara hidup dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat kediaman bersama. Masyarakat hukum Desa Adat juga melingkupi kesatuan-kesatuan kecil

(17)

yang terletak di luar wilayah Desa Adat yang sebenarnya lazim disebut dukuh atau pondok, tetapi juga tunduk pada pemimpin Desa Adat bersangkutan.20 Susunan Desa Adat di Bali dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu Desa Adat yang terdiri dari beberapa banjar dan Desa Adat yang terdiri dari hanya satu banjar.

Setiap warga Desa Adat memikul kewajiban-kewajiban yang patut untuk dilaksanakan. Kewajiban dalam hidup bermasyarakat pada dasarnya merupakan kewajiban sosial yang patut dilaksanakan oleh manusia sebagai makluk sosial yang menginginkan keserasian dan keseimbangan hidup. Secara garis besar kewajiban warga Desa Adat yaitu :21

a. Melaksanakan ayahan desa (tugas-tugas krama desa), yaitu berupa kerja bakti membangun atau memperbaiki pura milik desa adat, menyelenggarakan upacara Dewa Yajna dan Butha Yajna di pura milik Desa, menyelenggarakan pembangunan untuk kepentingan Desa Adat. b. Wajib tunduk dan mentaati peraturan yang berlaku bagi Desa Adat

yaitu berupa awig-awig baik itu tertulis maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang berlaku.

Desa adat adalah masyarakat hukum Desa Adat atau lembaga adat yang memiliki otonomi di dalam mengatur dirinya, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Eksistensi desa adat diakui dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Dalam mekanisme kehidupan Desa Adat, maka warga Desa Adat mempunyai hak-hak tertentu yaitu warga Desa Adat berhak untuk memilih Kepala Desa Adat, ikut serta dalam sangkepan atau rapat Desa Adat, ikut serta dalam pemerintahan Desa Adat

20

I Wayan Surpha, 2006, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar, h. 55

21

(18)

bersama-sama dengan prajuru lainnya dan berhak dipilih sebagai prajuru dan lainnya.

Di Bali perangkat Desa Adat lazimnya disebut Prajuru Desa Adat. Untuk kepentingan mengatur hubungan antara krama atau anggota Desa Adat yang satu dengan krama atau anggota Desa Adat yang lainnya, antara krama dengan lingkungan tempat tinggalnya, begitu juga hubungan antara krama dengan Tuhannya, maka dibentuklah prajuru Desa Adat. Mengenai istilah, jenis dan jumlah prajuru Desa Adat di Bali tidak seragam di tiap-tiap Desa. Berdasarkan sistem dan struktur organisasinya, desa adat di Bali dapat dibedakan atas tiga tipe yaitu Desa Apanaga yaitu desa-desa yang memakai sistem kemasyarakatan mengikuti pola tata kemasyarakatan Majapahit. Desa Bali Aga atau Bali mula yaitu desa-desa tua yang masih kuat memegang sistem serta adat istiadatnya dan sedikit terpengaruh majapahit. Desa baru yaitu Desa-desa yang timbul akibat dari perpindahan penduduk yang semula didorong oleh keinginan untuk mendapatkan lapangan penghidupan. Meskipun telah dibedakan tipe Desa di Bali namun sistem dan struktur organisasinya tidaklah seragam, karena masing-masing Desa mempunyai tata cara atau sistemnya sendiri.22 Seperti dapat dicontohkan Perangkat Desa dari Desa Apanaga adalah Bendesa (Kepala Desa Adat), Petajuh Bendesa (wakil dari Bendesa), Penyarikan (juru tulis Bendesa), Pemangku (untuk urusan upacara agama di pura). Bagi Desa Adat yang terdiri dari beberapa banjar, maka Perangkat Desa pada masing-masing banjar yaitu Kelihan Banjar (sebagai kepala banjar), Petajuh Kelihan (wakil kelihan banjar), Penyarikan (juru tulis

22

(19)

kelihan banjar), Kesinoman Banjar (juru arah). Adapun pada beberapa perangkat Desa, pada Desa Apanaga yang perangkat desanya sederhana yaitu hanya terdiri dari Bendesa dan Pemangku. Sedangkan untuk banjar, perangkat banjarnya terdiri dari Kelihan Banjar, Penyarikan dan Kesinoman Banjar.

Di Bali ada tiga cara pengangkatan perangkat Desa Adat yaitu dengan pemilihan, dengan keturunan dan dengan bergilir. Dengan adanya cara seperti ini, maka tata cara pengangkatan perangkat Desa Adat di Bali adalah berbeda-beda. Bagi Desa yang terletak di daerah Bali daratan yang sudah banyak terkena pengaruh modern, pengangkatan perangkat desa adatnya didasarkan atas hasil pemilihan dari calon-calon yang diajukan dan penetapannya atas dasar suara terbanyak. Tetapi untuk Desa-desa yang terletak di daerah Bali dataran yang belum atau sangat sedikit terkena pengaruh modern, kebanyakan pengangkatan perangkat Desa Adatnya didasarkan atas keturunan.23

Mekanisme pengangkatan perangkat Desa Adat di Bali, pada prinsipnya memakai asas Primus Interpares yaitu menampilkan seorang tokoh di lingkungan Desa Adatnya sendiri yang dipandang memiliki kemampuan atau kedewasaan dan terutama memahami seluk beluk adat-istiadatnya di desanya. Pentokohan itu didasarkan pada jasa dan wibawanya di dalam masyarakat Desa Adat atau sistem keturunan dan didasarkan atas ketuaan umur serta pengalaman.24

Dalam menjalankan sistem pemerintahan Desa Adat di Bali menganut sistem yang tidak memisahkan antara yang diperintah dengan perangkat Desa Adat yang memerintah. Hal ini berpegang pada suatu asas, bahwa yang diperintah

23 Ibid, h. 60-61 24

(20)

adalah juga mereka yang memerintah. Kekuasaan tertinggi terletak pada sagkepan Krama Desa atau rapat warga Desa Adat yang menghimpun semua pendapat.

Sistem keanggotaan Desa Adat di Bali pada prinsipnya ada dua tipe yaitu Desa Adat yang keanggotaannya berdasarkan atas menempati tanah Desa yang disebut karang ayahan desa, dan Desa Adat yang keanggotaannya tidak didasarkan atas menempati karang ayahan desa, melainkan berdasarkan atas kehendak ingin mengorganisir diri dalam wujud suatu Desa Adat. Oleh karena hal tersebut maka terdapatlah tipe Desa Adat yaitu Desa Adat yang keanggotaannya didalam suatu Desa Adat berdasarkan atas menempati karang ayahan desa yang jumlah anggotanya sama dengan jumlah banyaknya karang ayahan desa. Anggota Desa Adat didasarkan atas seseorang yang telah berkeluarga yang bertempat tinggal di suatu wilayah Desa Adat. Untuk hal ini jumlah anggota Desa Adat atau krama ngarep tidak didasarkan atas status seseorang memikul beban kerja atau ayahan Desa Adat, melainkan atas dasar bahwa seseorang itu telah berumah tangga. Karang ayahan desa yang ditempatinya bersama-sama itu dipikul bersama beban kerjanya atau kewajibannya terhadap Desa Adat. Karena itu sistem keanggotaan Desa Adat seperti ini tidak mengenal istilah krama ngarep atau roban, karena semuanya berstatus krama ngarep. Ketentuan yang dijadikan dasar adalah setiap yang telah berkeluarga yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah Desa Adat, wajib menjadi anggota Desa Ddat atau krama ngarep, tanpa memperhitungkan status tanah tempat tinggalnya.

Suatu Desa Adat di Bali bukan saja merupakan persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam masyarakat, namun juga

(21)

merupakan persekutuan dalam persamaan kepercayaan terhadap Tuhan. Identitas Desa Adat di Bali memiliki tiga unsur yaitu wilayah, warga masyarakat, dan Kahyangan Tiga. Dengan tercakupnya unsur ketuhanan di dalam kehidupan Desa Adat di Bali, maka Desa Adat di Bali mencakup pula pengertian sosio religious. Maka dari itu implikasi antara adat dengan agama Hindu di Bali adalah pekat sekali, sehingga sulit memisahkan secara tegas unsur adat dengan unsur-unsur agama, karena adat-istiadat di Bali didasarkan oleh agama Hindu dan aktifitas agama Hindu didukung oleh adat-istiadat di masyarakat.

Dalam susunan struktur organisasi dari Desa Adat terdapat Banjar. Banjar merupakan kelompok masyarakat yang lebih kecil dari Desa Adat dan menjadi bagian dari Desa Adat serta merupakan persekutuan hidup sosial, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah. Kadang-kadang di daerah pagunungan, suatu desa yang sama dengan suatu banjar, terutama bagi desa-desa yang kecil. Maka akan didapati kelompok-kelompok sosial yang hidup di lingkungan masyarakat Bali, dimana terjadinya kelompok-kelompok sosial itu berdasarkan faktor-faktor yang akan menentukan corak serta kepentingan dari kelompok-kelompok sosial itu sendiri. Berdasarkan hal itu maka banjar adalah pengelompokan sosial yang berdasarkan persekutuan hidup setempat atau kesatuan wilayah.

Keadaan banjar di Bali, dibedakan atas banjar yang besar dan banjar yang kecil menurut jumlah anggotanya. Bagi banjar yang anggotanya lebih dari 50 keluarga, biasanya digolongkan sebagai banjar besar, sedangkan banjar yang anggotanya kurang dari 50 keluarga, biasanya digolongkan sebagai banjar yang

(22)

kecil. Banjar disini dipimpin oleh kelihan banjar sedangkan tempekan dipimpin oleh kelihan tempek. Struktur organisasi banjar di Bali bervariasi, baik mengenai komposisi pengurusannya serta jumlah, maupun mengenai namanya.25 Secara umum komposisi pengurusan Banjar di Bali yaitu Kelihan Banjar, Penyarikan atau juru tulis, lalu dibawah kelihan Banjar ada Kesinoman, tugas dari kesinoman adalah sebagai penghubung antara Kelihan Banjar dan anggotanya. Dibawah kesinoman adalah warga banjar. Bagi banjar yang besar yang terbagi atas tempek-tempek, maka masing-masing tempek mempunyai kelihan tempek yang dibantu oleh seorang juru arah.

Dalam menentukan keanggotaan banjar ada dua sistem yang dipergunakan yaitu sistem karang ayahan dan sistem mapakuran. Dalam sistem karang ayahan mendasarkan pada aturan, bahwa tanah yang merupakan wilayah Desa Adat dimana krama banjar itu berada adalah berstatus tanah Desa atau Karang Desa. Seorang yang menempati atau bertempat tinggal didalam tanah Desa itu dikenakan ayahan desa yaitu wajib kerja untuk Desa dan juga dikenai pepeson yaitu wajib materi untuk Desa.26 Wajib kerja dan wajib materi untuk Desa itu disebut sebagai ayahan desa, sebagai akibat dari menempati tanah Desa. Tanah desa yang menjadi tempat seperti itu disebut karang ayahan.

Selain sistem karang ayahan, dikenal juga sistem mapakuren, sistem mapakuren disini adalah didasarkan pada aturan menempati tanah ayahan desa, melainkan didasarkan atas seorang yang telah berkeluarga, menurut sistem ini,

25 Ibid, h. 75

26

(23)

seorang pria yang sudah beristri, diwajibkan menjadi anggota krama banjar.27 Apabila didalam suatu pekarangan terdapat beberapa keluarga, maka semua itu menjadi anggota krama banjar. Dengan sistem ini, maka jumlah anggota krama banjar dapat berubah-ubah.

Fungsi pokok banjar adalah mewujudkan gotong royong dalam persekutuan hidup bersama di kalangan warga krama banjarnya, baik dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka. Selain itu banjar juga berfungsi sebagai suatu lembaga sosial yang mengatur hubungan antara sesama anggota krama banjar berdasarkan jiwa dan semangat kekeluargaan.

2.2. Sejarah Pemerintahan Desa Dinas di Bali

Desa Dinas pada dasarnya telah ada pada masa sebelum kolonial yang disebut Perbekelan. Terbentuknya Desa Dinas dapat dilihat sebagai wujud yang dikehendaki oleh kekuasaan atas Supra Desa. Pada masa pengaruh kekuasaan Raja-raja Majapahit, pengaruh kekuasaan atas raja semakin masuk kedalam Desa. Dengan semakin mantapnya kekuasaan raja itu, pengawasan terhadap raja-rajapun semakin kuat. Pada masa kolonial ini juga telah dikenal adanya dualistik desa yang membagi otoritas antara struktur adat dan dinas.28

Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1903 mengumumkan undang-undang desentralisasi yang menciptakan dewan-dewan lokal. Mereka mempunyai wewenang untuk membuat peraturan tentang pajak dan urusan-urusan bangunan. Untuk mengatur pedesaan, maka dikeluarkan Inlandsche Gemmente Ordonantie, yang kemudian membedakan antara Desa-desa yang ada di Pulau Jawa-Madura

27

Ibid, h. 80

28 James S. Davidson, Dkk, 2010, Adat Dalam Politik Indonesia, Yayasan Pustaka Obor

(24)

dan Desa-desa yang ada di luar pulau tersebut. Melalui model Desa Dinas, pemerintah Belanda mulai memasukkan pengaruhnya sampai ke Desa dengan memanfaatkan petugas perbekel sebagai bagian dari pemerintah resmi.29

Dengan adanya pengaruh kekuasaan Raja-raja Majapahit (zaman gelgel) pada abad ke- 14 sampai abad ke-17, pengaruh raja semakin kuat masuk kedalam Desa. Desa-desa mulai mendapat pengawasan yang lebih nyata dari raja dengan mengirim pasek, bendesa dan muncul pula istilah perbekel (Perbakal), sebagai petugas pengawas di Desa.30 Apabila terjadi pertentangan, perselisihan di Desa, maka raja dapat campur tangan, paling tidak menugaskan perbekel, atau punggawa. Liefrinck menyatakan bahwa perbekel, atau punggawa adalah merupakan wakil raja didaerah itu.31 Hal ini menerangkan bahwa meskipun Desa-desa tetap dipimpin oleh ketua prajurunya masing-masing, namun pengaruh raja sudah masuk sampai ke Desa. Sehingga bisa dipahami Desa sebagai wilayah berada di bawah kekuasaan raja, yang menunjukkan perannya dalam lingkungan yang lebih luas, yakni bersama-sama fungsinya yang tradisional di Desa, juga melayani kepentingan atas (raja).

Dengan demikian, otonomi desa mulai mendapat pengawasan secara lebih ketat dari raja, apalagi kalau dinilai ada Desa yang ingin melawan kekuasaan raja. Untuk fungsinya seperti itu, seorang perbekel mendapatkan imbalan in natura

29

I Wayan Gede Suacana, 2013, Transformasi Demokrasi dan Otonomi Desa, Revka Petra Media, Surabaya, h. 49-50

30 I Gde Parimartha, 2003, Op. Cit, h. 14 31

(25)

(pecatu) dari raja.32 Dari ini Nampak bahwa Desa telah menjalankan dua tugas, yaitu tugas tradisional (asli) dan tugas yang diemban dari atas (raja).

Penataan wilayah kerajaan dalam arti pembagian wilayah administratif pada waktu itu terlihat sangat sederhana, hanya ada wilayah tingkat pusat dan wilayah tingkat Desa. Dari sejumlah prasasti diketahui, wilayah tingkat pusat mencakup seluruh wilayah kerajaan disebut kedatwan/kedatuan yang dapat diartikan kerajaan atau wilayah kerajaan.

Sejak awal abad ke- XX Desa di Bali mendapat pengawasan dari pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda mulai menata keberadaan Desa dengan tetap memanfaatkan petugas Perbekel sebagai bagian pemerintahan resmi. Bedanya adalah saat masa kerajaan Perbekel dipilih dan ditetapkan oleh raja, tetapi saat masa kolonial, seorang Perbekel diangkat oleh pemerintah Belanda dengan memberikan imbalan berupa uang atau gaji.33 Desa dalam persepsi Kolonial adalah Desa dalam pengertiannya yang tradisi yang telah ada sejak lama sebagai wadah penduduk di Indonesia. Mengenai istilah dan konsep Desa Adat berawal dari penelitian Liefrinck di Bali Utara Tahun 1886-1887, yang menyatakan bahwa Desa di Bali yang sesungguhnya adalah republik kecil yang memiliki hukum atau aturan adat, tradisi sendiri. Susunan pemerintahan yang bersifat demokratis, setiap anggota memiliki hak-hak yang sama. Orang yang ditunjuk menjadi pimpinan adalah orang yang paling lama menjadi anggota.34

Para tokoh masyarakat Bali yang dipercaya dikenal dengan Pasek ditempatkan di Desa-desa, sebagai tangan-tangan raja, hal itu dapat dilihat sebagai

32

Ibid, h.15

33 I Gde Parimartha, Op.Cit, h. 14 34

(26)

wakil dari raja dalam rangka menanamkan pengaruhnya sampai ke Desa yang ikut sebagai pengurus Desa. Jatuhnya Gelgel dan munculnya kerajaan-kerajaan yang lebih kecil, maka pengaruh raja-raja kecil itupun sampai pula ke Desa. Meskipun tidak membentuk Desa baru, namun Desa-desa mulai mendapatkan pengawasan yang lebih nyata dari raja. Pada masa itu, sebagai wakil raja tingkat desa muncul petugas yang kemudian dikenal dengan sebutan perbekel. Dengan masuknya tugas perbekel ke Desa, dapat dilihat sebagai fungsi dari pengaruh raja dan dapat menjadi dasar dari perubahan di Desa.

Liefrinck menyatakan bahwa Perbekel adalah merupakan wakil raja di daerah itu. Dalam keadaan seperti itu, apabila terjadi perselisihan di Desa, maka raja dapat ikut mencampuri, paling tidak dengan menugaskan Perbekel, atau Punggawa untuk mengatasi keadaan. Hal itu dapat memberi petunjuk bahwa meskipun Desa-desa tetap dipimpin oleh tetua, prajuru masing-masing namun pengaruh raja (supra desa) sudah masuk sampai ke Desa, dan dapat memberi pengaruh didalamnya.

Kembali pada masa kolonial Belanda, dengan model Desa Dinas, pemerintah kolonial memasukkan pengaruhnya sampai ke Desa. Pemerintah Belanda mulai menata keberadaan Desa dengan tetap memanfaatkan petugas perbekel sebagai bagian dari pemerintah resmi. Bedanya adalah, pada masa kerajaan perbekel dipilih dan dietapkan oleh raja, tetapi masa kolonial seorang perbekel diangkat oleh pemerintah Belanda dengan memberikan imbalan berupa uang atau gaji. Maka dapat dilihat bahwa Desa-desa tradisional atau Desa Adat di Bali berada dibawah pengawasan dari pemerintah atasan, baik pada masa

(27)

kerajaan, maupun pemerintahan kolonial, yang akibatnya telah membatasi sifat otonomi dari pemerintah Desa. Tugas-tugas pemerintahan disini adalah merupakan penjabaran dari tugas-tugas Negara yang merupakan perwujudan dari tujuan Negara yang tercermin dari konstitusi suatu Negara.35 Maka munculnya Desa Dinas pada masa kolonial, dan pada masa kemerdekaan hal tersebut masih dipertahankan, ini dapat dimengerti sebagai bentuk lanjutan dari keadaan sebelumnya, dan karenanya telah menjadi bagian dari warisan masyarakat Bali.

Sejarah pemerintahan Desa Dinas tersebut diatas, sejatinya dapat digambarkan kedalah tiga kelompok, yaitu :

1. Zaman Kerajaan, pada masa pemerintahan kerajaan, Desa berada dibawah raja, dimana seorang Perbakal (Perbekel) yang merupakan pejabat Desa adalah berfungsi sebagai wakil raja untuk mengawasi Desa dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan di Desa. Perbekel tidak mencampuri urusan pemerintahan Desa dalam kegiatan adat dan agama, yang menurut Liefrinck desa merupakan republik terkecil yang memiliki aturan hukum atau budaya adatnya.

2. Zaman Penjajahan, pada masa penjajahan Hindia Belanda, Pemerintahan Hindia Belanda menggantikan posisi kerajaan atas Desa-desa di Bali. Pada masa ini diperkenalkan istilah dines yang artinya dinas, kemudian muncul dan popular dengan istilah desa dinas yang mempunyai tugas dalam menjalankan urusan kedinasan sebagai wakil pemerintahan Hindia Belanda.

35 Faried Ali dan Nurlina Muhidin, 2012, Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dan

(28)

3. Zaman Kemerdekaan, pada masa kemerdekaan, lembaga kedinasan yang diperkenalkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda tetap berfungsi pada pemerintahan Desa, bahkan semakin kuat dan mempunyai struktur kepengurusan sendiri. Sehingga dalam satu wilayah terdapat dua sistem pemerintahan Desa, yaitu Desa yang sesuai dengan asal usul (Desa Adat) dan Desa yang dibentuk berdasarkan kewenangan pemerintah sekarang disebut Desa Dinas atau Desa Administrasi.

Keberadaan otonomi desa secara tidak langsung erat kaitannya dengan keberadaan pemerintahan desa. Karena pada selama ini otonomi desa juga mengatur ketentuan tetang keberadaan pemerintah desa yang pada saat ini terdiri dari unsur perangkat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Selain itu keberadaan otonomi desa juga mengatur ketentuan tentang keberadaan otonomi desa juga terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan desa yang di Indonesia sudah lahir sejak keberadaannya di era pemerintahan Hindia Belanda sampai terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Konsepsi otonomi desa tentu saja harus memperhatikan latar belakang berkembangan Desa itu sendiri.

Perkembangan pemerintahan Desa di Indonesia pada perkembangannya banyak mengalami perubahan di tiap periodenya. Hal ini terkait dengan pasang surutnya pergeseran dari sistem penjajahan ke pola sentralisasi ke desentralisasi. Pola pembangunan yang sentralistik dipandang sudah tidak relevan lagi sehingga perlu pendekatan desentralistik. Dalam pendekatan desentralistik ini, pemerintah

(29)

berperan dan bertindak sebagai pengatur dan fasilitator guna membangun iklim yang kondusif dalam mewadahi proses interaksi kehidupan sosial politik dan ekonomi masyarakat.36

Kebijakan otonomi daerah tersebut tentunya juga berimplikasi terhadap sistem administrasi pemerintahan desa. Artinya, kedudukan Desa sebagai subsistem perintahan terendah dalam sistem pemerintahan nasional di Indonesia memerlukan adaptasi dan antisipasi terhadap perkembangan tersebut. Salah satu prinsip penyelenggaraan otonomi daerah yang perlu mendapatkan perhatian adalah partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya ditingkat Desa.

Pengaturan pemerintahan Desa pada jaman orde baru menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dengan sistem sentralistiknya, dekonsentrasi adalah menjadi tumpuannya. Komitmen yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 kearah pemencaran melalui desentralisasi hanya sebagai sebagai slogan-slogan politik. Sehingga landasan konstitusional pemencaran kekuasaan melalui desentralisasi adalah merupakan kosa kata yang paling efektif sebagai alat dalam sistem kekuasaan yang tersentralisasi, yaitu dengan munculnya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis secara berlebihan.

Sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ini di undangkan, desa sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja,

36 Moch Solekhan, 2014, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi

(30)

karena undang-undang ini dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman, maka undang-undang ini digantikan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif serta untuk memberikan arah perkembangan dan kemajuan masyarakat yang berasaskan demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri atas :

a. Kepala Desa;

b. Lembaga Musyawarah Desa.

Pemerintah Desa dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri atas Seretaris Desa dan Kepala Dusun. Kepala Desa diangkat oleh Bupati/Walikota atas nama Gubernur. Dari calon yang terpilih dengan masa jabatan delapan tahun terhitung sejak tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Kepala Desa menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintah desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggungjawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan

(31)

kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan desa, urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai hal pokok dalam pelaksanaan pemerintahan Desa.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintaha Desa Pasal 1 huruf a menerangkan bahwa Desa adalah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat di katakan bahwa dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa dalam undang-undang ini hanya satuan administratif dalam tatanan pemerintahan.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dalam sistem pemerintahan desa saat itu memang membawa beberapa hal yang baru, mengingat undang-undang ini adalah undang-undang pertama yang mengatur mengenai Desa. Perubahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ini menyebabkan terjadinya beberapa perubahan yang

(32)

prinsipil dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa di Indonesia. Beberapa perubahan tersebut antara lain :

a. Secara resmi organisasi pemerintahan yang terendah dipisahkan antara yang bersifat administratif yaitu kelurahan, dengan desa yang bersifat otonom. Kebijakan tersebut mencerminkan kemauan Pemerintah Pasca 1965 yang menginginkan dilaksanakannya asas dekonsentrasi sama dan sejajar dengan azas desentralisasi. Meskipun pada zaman penjajahan Belanda melalui Indische Staatregeling 1854 Pasal 128 juga diatur kemungkinan desa yang tidak lagi memiliki otonomi atau terikat dengan hukum adat, tetapi setelah kemerdekan justru timbul keinginan yang kuat untuk mengembangkan otonomi daerah dan memelihara hukum adat sebagaimana yang tersirat dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.

b. Untuk pertama kalinya secara nasional, pejabat dan pegawai organisasi pemerintahan yang terendah dipegang oleh pegawai negeri. Pada awal pelaksanaan ketentuan ini, pejabat-pejabat pemerintahan desa atau yang setingkat dengan itu dijadikan kelurahan, setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan kemudian diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.

c. Penghapusan lembaga perwakilan masyarakat desa. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, justru secara tegas meniadakan atau tidak memberi kemungkinan bagi adanya lembaga perwakilan rakyat tersebut.

(33)

d. Pengukuhan Kepala Desa sebagai pusat kekuasaan di Desa. Kebijakan ini sama seperti sistem pemerintahan pusat, dimana pemimpin eksekutif memiliki kekuasaan yang dominan dalam pelaksanaan pemerintahan desa.

e. Penyeragaman organisasi pemerintah desa. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ini menyeragamkan seluruh organisasi pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Penyeragaman ini juga terjadi dalam penyebutan Desa dan dalam penyebutan perangkat desanya.

Kedudukan pemerintahan Desa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa adalah merupakan bagian dari pemerintahan nasional, yang kedudukannya paling rendah dan langsung berada di bawah kecamatan. Pemerintahan Desa diwakili oleh Kepala Desa dengan demikian harus meletakkan kepentingan pemerintah diatas kepentingan masyarakat.37 Kedudukan pemerintah desa yang rendah saat itu juga terlihat dalam proses pemilihan Kepala Desa. Dalam pemilihan Kepala Desa, maka semua wewenang berada di tangan pemerintah yang lebih tinggi. Penduduk Desa kala itu hanya berhak mengajukan calon dan memberikan suara, sehingga sering terjadi kecurangan untuk memenangkan calon yang dikehendaki oleh pemerintah yang lebih tinggi.

Karena pemerintahan Desa adalah bagian dari pemerintahan Negara, maka wewenang dan kewajiban pemerintah Desa juga terkait dengan wewenang dan kewajiban Negara. Dengan begitu, wewenang dan kewajiban pemerintah desa

37 Mashuri Maschab, 2013, Politik Pemerintahan Desa Di Indonesia, PolGov,

(34)

juga bermula pada Negara dan berakhir juga pada Negara, yang berarti bahwa pengangkatan pejabat-pejabat pemerintah Desa ditentukan oleh Negara dan kewajiban-kewajibannya pun pada akhirnya juga pada Negara. Untuk Lembaga Permusyawarahan Desa kala itu merupakan lembaga permusyawaratan atau permufakatan yang keanggotaannya terdiri dari Kepala Dusun, pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan dan pemuka-pemuka masyarakat di Desa yang bersangkutan. Kepala Desa disini juga merangkap menjadi Ketua Lembaga Musyawarah Desa, demikian pula dengan Sekretaris Desa.38

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlu mengakui serta menghormati hak asal usul daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti. Setelah dicabutnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini lahir di era reformasi dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah, yang jauh lebih maju karena

38

(35)

peletak dasar desentralisasi dan otonomi daerah serta demokrasi lokal, tetapi justru memunculkan pemahaman yang berlebihan terhadap pengaturan pemerintahan desa, khususnya Kepala Desa bisa diberhentikan oleh Badan Perwakilan Desa.

Dalam Pasal 1 huruf e Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi ditegaskan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dicabut, hal ini dikarenakan sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan.

Sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, yang menyebutkan di desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa.

Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 huruf o adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten. Landasan pemikiran

(36)

dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.

Definisi Desa yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 huruf o tersebut menegaskan bahwa desa sebagai lembaga yang otonom. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan bahwa Desa memiliki aparatur pemerintahan sendiri dan sumber-sumber pendapat sendiri, tetapi dengan diakuinya hak asal-usul dan adat istiadat desa sudah berarti bahwa Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang otonom. Dengan diakuinya hak asal-usul dan adat istiadat setempat, maka berarti aparatur Desa dan sumber-sumber pendapatan asli desa adalah menjadi bagian dari Desa.

Penyelenggaraan pemerintahan Desa merupakan sub-sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggungjawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati. Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu, Kepala Desa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.39

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, di Desa dibentuk Pemerintahan Desa dan

39

(37)

Badan Perwakilan Desa yang menyelenggarakan Pemerintahan Desa. Pemerintahan Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Adapun Perangkat Desa terdiri dari :

a. Unsur pelayanan, seperti Sekretaris Desa dan atau Tata Usaha; b. Unsur pelaksana teknis lapangan;

c. Unsur pembantu Kepala Desa di wilayah bagian desa seperti Kepala Dusun.

Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk calon yang memenuhi syarat. Masa jabatan Kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan. Dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan Desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Perwakilan Desa. Badan Perwakilan Desa berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggara pemerintahan Desa.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara nyata mengakui otonomi desa yang terdapat dalam Pasal 1 huruf o. Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut Undang-Undang ini adalah berdasarkan asal usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari pemerintah. Sehingga yang disebut dengan Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Dengan demikian,

(38)

otonomi yang dimiliki desa dalam undang-undang ini adalah otonomi asli, yaitu otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Sehingga dalam kenyataannya pasti akan timbul berbagai keanekaragaman, baik dari segi nama, susunan pemerintahan, maupun bentuk-bentukan geografisnya.

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, juga terjadi perubahan dalam aspek pemerintahan desa. Di desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan pemerintahan Desa. Pemerintah Desa sebagai unsur eksekutif dan Badan Perwakilan Desa sebagai unsur Legislatif, hal ini tidak dikenal dalam undang-undang sebelumnya. Dengan konsep pemerintahan Desa yang seperti ini maka dalam pelaksanaan tugasnya Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa.

Sama seperti sebelumnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dirasa tidak lagi cukup untuk memenuhi perkembangan pemerintahan di daerah, kekurangan yang dimiliki yakni ketidak jelasan pengaturan kewenangan pemerintahan daerah dan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga akhirnya ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan Desa dibawah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dijumpai dalam pasal-pasal maupun dalam penjelasan umum undang-undang ini. Artinya Desa kembali terintegrasi penuh kedalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 200 ayat (1) Undang-Undang Nomor

(39)

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan, bahwa Desa merupakan satuan pemerintah yang ada dalam pemerintah kabupaten/kota.

Dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam kedua peraturan perundang-undangan ini menyatakan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lainnya adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pengertian tersebut diatas, sangat jelas bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan warganya dalam segala aspek penghidupan desa, baik dalam bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Disamping itu pengaturan terhadap kesatuan masyarakat hukum berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat mengandung makna pemeliharaan terhadap hak-hak asli masyarakat desa dengan landasan keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang didalamnya memuat prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan mengenai Desa yaitu :

1. Keanekaragaman, yaitu memiliki makna bahwa istilah Desa dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat

(40)

setempat. Hal ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan di Desa harus menghormati sistem nilai adat istiadat yang berlaku pada masyarakat setempat, namun tetap mengutamakan nilai kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Partisipasi, memiliki makna bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, masyarakat Desa harus berperan aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, sehingga masyarakat turut bertanggungjawab terhadap perkembangan desanya.

3. Otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan Pemerintah Desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat.

4. Demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui Badan Permusyawaratan Desa dan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra pemerintah Desa.

5. Pemberdayaan masyarakat, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

6. Camat bukan lagi atasan dari Kepala Desa dan tidak lagi menjadi Pembina langsung pemerintahan Desa.

(41)

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebenarnya tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap pengaturan mengenai desa. Beberapa perbedaan yang ada lebih bersifat teknis, sehingga tidak menimbulkan perubahan yang prinsipil.

Hal tersebut dapat dilihat dari desa dirumuskan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat, desa yang semula ditentukan hanya ada di daerah kabupaten, kemudian juga bisa ada di wilayah perkotaan. Badan Perwakilan Desa dirubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Meskipun tidak lagi merupakan lembaga perwakilan masyarakat Desa, tetapi fungsinya masih sama, yaitu membuat peraturan Desa bersama-sama dengan Kepala Desa dan menjadi penampung dan penyalur aspirasi masyarakat Desa. Desa juga dapat membuat lembaga yang bisa memberikan keuntungan yang merupakan badan usaha milik Desa. Masa jabatan kepala desa dan badan perwakilan desa yang semula lima tahun diubah menjadi enam tahun.40

Sepuluh tahun setelah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di undangkan, akhirnya undang-undang tersebut diganti dan ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, Desa diatur dalam Bab XVIII. Pada Pasal 371 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

40

(42)

menyatakan bahwa “Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Desa”. Oleh sebab itu dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini menyerahkan pengaturan mengenai Desa kepada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang ini menggantikan undang-undang yang sebelumnya mengatur mengenai Desa yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memiliki kemajuan yang cukup besar, yaitu dengan dimasukkannya Desa Adat kedalam pengaturan undang tersebut dimana dalam undang-undang terdahulu tidak dicantumkan pengaturan mengenai Desa Adat.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menganut asas rekognisi dan subsidiaritas, berbeda dengan asas desentralisasi dan residualitas. Dengan mendasarkan pada asas desentralisasi dan asas residualitas Desa hanya menjadi bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya terhenti di kabupaten/kota. Disamping itu Desa hanya menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota. Sementara asas rekognisi dan subsidiaritas menghasilkan definisi Desa yang berbeda dengan definisi sebelumnya. Desa disini didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh dari variabel service quality (Tangible, Reliability, Responsiveness, Assurance, dan Empathy)

Arus masuk diperoleh dari penjualan produk gula aren semut dan gula aren cetak selama satu tahun, dimana asumsi kapasitas usaha berpengaruh pada besarnya volume

Data antropometri tinggi siku berdiri (TSB) digunakan untuk menentukan tinggi maksimal palang bawah jemuran pakaian yang bertujuan agar posisi palang bawah jemuran

Jonas Bangun, Sp.Rad dr.. Jonas

Catatan: Anda tidak diharuskan membaca materi-materi yang disarankan yang tidak tersedia dalam bahasa Anda. Pelajaran Judul Bacaan

Mengemukakan Borang Pengesahan Perubahan Keputusan Peperiksaan Pelajar Selepas Mesyuarat Majlis Peperiksaan Universiti Bahagian 2 kepada Dekan-Dekan Pusat Pengajian untuk

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, tim peneliti menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematis

Metastasis pada KGB aksila ipsilateral yang terfiksir atau matted, atau KGB mamaria interna yang terdekteksi secara klinis dan jika tidak terdapat metastasis KGB aksila