• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

4.1 Sejarah Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta

Pada mulanya, Keraton Yogyakarta merupakan satu kesatuan dengan Keraton Surakarta dalam bingkai Kerajaan Mataram Islam. Secara berangsur-angsur, Kerajaan Mataram Islam kehilangan kedaulatan yang beralih ke VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie atau Persatuan Perusahaan Hindia Timur) Belanda dan telah membuat 111 perjanjian dagang. Perjanjian-perjanjian tersebut lebih bersifat perdagangan, namun pada tahun 1733 terdapat sebuah pasal politik yang menyebutkan bahwa VOC diberi hak untuk membentuk pengadilan sendiri di Semarang untuk menangani tiap kejahatan terhadap VOC (Soemardjan, 1981: 18). Pengaruh politik VOC kembali terjadi pada pemberontakan Cina tahun 1742. Perpecahan mulai terjadi karena pengingkaran janji sultan kepada Pangeran Mangkubumi. Sultan berjanji memberikan hadiah berupa tanah apabila berhasil meredam pemberontakan. Upaya damai terjadi setelah sultan meninggal dan telah menandatangani perjanjian lebih dulu di depan Gubernur van Hohendorf agar Sultan menyerahkan kerajaan Mataram kepada VOC dengan syarat bahwa hanya keturunan sultan yang berhak menduduki tahta kerajaan. Perjanjian yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan pihak Belanda dilaksanakan di Desa Giyanti pada tahun 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua wilayah, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubowono. (Soemardjan, 1981: 20).

Ketika Inggris tiba dan menguasai Nusantara, terjadi perpecahan di dalam Kasultanan Yogyakarta. Selo Soemardjan menjelaskan bahwa perpecahan timbul karena keberpihakan salah satu putra Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga saudara Sri Sultan Hamengku Buwono II, kepada Inggris sehingga Gubernur Raffles memberikan sebagian kecil daerah Yogyakarta kepadanya. Inggris mengakui pangeran tersebut terlepas dari sultan dan memberi gelar Pakualam (Soemardjan, 1981: 21). Dengan demikian, Kasultanan Yogyakarta terpecah menjadi kasultanan dan Kadipaten Pakualaman. Pengaruh politik Belanda semakin besar setelah berkuasa kembali pada tahun 1816. Hubungan politik dengan Kasultanan Yogyakarta selalu diatur dalam perjanjian politik yang harus diperbaharui setiap kali seorang Putra Mahkota akan bertahta. Dalam Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX dijelaskan bahwa setiap kali dibuat kontrak atau perjanjian politik, Belanda selalu mencari kesempatan untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan karena lemahnya sikap sultan yang tidak menguasai bahasa dan alam pikiran penjajah (Atmakusumah (ed.), 2011: 30).

4.1.1 Masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Perubahan besar terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Ada kesalahan persepsi dari pihak Belanda dalam menghadapi Sri Sultan ke IX dalam perundingan politik sebelum naik takhta. Anggapan bahwa setiap putra mahkota dapat dengan mudah ditaklukkan dalam setiap perundingan politik yang selalu dimenangkan pihak Belanda, tidak berlaku saat perundingan

dengan GRM Dorodjatun (Sultan ke IX). Berbekal pendidikan Barat yang pernah dienyam, GRM Dorodjatun berhasil menghentikan tindakan licik yang selalu dilakukan Belanda dengan menjadikan sultan sebagai boneka. Sebuah pernyataan menarik yang menyiratkan sikap demokratik Sultan ke IX terlihat pada saat upacara penobatan : walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, tetapi pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa

(Atmakusumah (ed), 2011 : 47).

Sultan ke IX hanya menghadapi masa penjajahan Belanda tidak lebih dari 2 tahun. Namun kontribusinya dalam mengamankan Yogyakarta dan menolak penjajahan tidak berhenti setelah penjajahan Belanda digantikan oleh pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang terjadi perubahan struktur kepemimpinan, yaitu ditiadakannya jabatan patih (Pepatih Dalem) sehingga tugas-tugas kepatihan mulai diampu oleh sultan sendiri dan sultan menjadi lebih dekat dengan rakyatnya. Sistem ini kemudian diadopsi oleh Pakualaman. Pengisian jabatan-jabatan pamong praja tidak lagi berdasarkan trah kebangsawanan, tetapi juga kecakapan, pendidikan dan senioritas. Perubahan pemerintahan ini, menurut Selo Soemardjan, bertujuan untuk mencapai efisiensi yang lebih besar serta demokratisasi pamong praja di daerah-daerah pedesaan (Soemardjan, 1981: 52). Sultan juga menghapus kawedanan dan menempatkan wedana aktif beserta stafnya ke tingkat kabupaten. Kondisi sosial masyarakat masa pendudukan Jepang lebih beruntung jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Hal ini karena siasat Sultan ke IX agar masyarakat Yogyakarta tidak mudah dipekerjakan sebagai romusha. Siasat tersebut yaitu memanipulasi data statistik Yogyakarta dan

meyakinkan pemerintah pendudukan bahwa Yogyakarta adalah daerah minus (tidak subur).

Jelang akhir pendudukan Jepang, Sultan ke IX memberikan otonomi di tingkat kabupaten seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada masa ini juga dikenal adanya kelompok wakil panewu untuk membantu para panewu dalam pekerjaannya dan menggantikan mereka pada waktunya. Sri Sultan juga menghapuskan kawedanan sebagai suatu satuan pemerintahan dan menempatkan wedana beserta stafnya di kantor kabupaten. Pada tahun 1944, juga dibentuk Panitia Pembantu Pamong Praja (PPPP) untuk membantu panewu di setiap kapanewon, tetapi panitia ini tidak mampu memberikan pengaruh sebab para panewu maupun anggota panitia tidak mengetahui cara pelaksanaan tugas sehari-hari, bahkan tak pernah menerima latihan formal atau instruksi.

Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualam menyatu dalam bingkai Daerah Istimewa Yogyakarta dan diresmikan oleh pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 3 tahun 1952, yang sekaligus pengakuan sebagai daerah istimewa yang otonom dengan kedudukan setingkat provinsi (Soemardjan, 1981: 59).

Arus urbanisasi dan perpindahan ibukota Republik Indonesia paska agresi militer Belanda I menyebabkan perubahan struktur pemerintahan Yogyakarta. Ibukota Republik Indonesia berpindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 atas undangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Atmakusumah (ed.), 2011: 66). Dewan Perwakilan dibentuk berdasarkan dekrit nomor 18/1946 tanggal 13 Mei 1946. Dewan tersebut dibentuk sebagai jawaban perkembangan situasi politik

yang memunculkan partai-partai sebagai organisasi yang sempat dilarang pada masa pendudukan Jepang, sesuai dekrit yang dikeluarkan oleh wakil presiden pada tanggal 3 November 1945. Dewan eksekutif memiliki lima anggota di bawah pimpinan kepala daerah dan bertanggung jawab kepada dewan legislatif.

Menurut Selo Soemardjan, dekrit yang membidani lahirnya dewan perwakilan tidak dimaksudkan untuk melimpahkan lebih banyak kekuasaan dari pemerintah daerah ke masing-masing kabupaten, namun memberikan kesempatan untuk membicarakan masalah-masalah pemerintahan dan keputusan yang dibuat tidak memiliki kekuatan hukum (Soemardjan, 1981: 64-65). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dewan pada tingkat kabupaten memiliki pengaruh menstabilkan psiko-sosial dalam kekacauan sosial. Dewan sebagai penyalur suara rakyat dan sebagai peredam tekanan-tekanan politik dan psikologis sebagai akibat rezim Belanda dan Jepang.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan tanah, perlu diperhatikan juga perubahan yang terjadi di tingkat pemerintahan desa. Pada dasarnya, dalam pemerintahan desa di masa akhir penjajahan Belanda terdapat suatu bentuk demokrasi produk lokal dari struktur pemerintahan desa yang tidak diadopsi dari demokrasi barat. Perkembangan pedesaan di Yogyakarta berawal dari kelompok

kebekelan yang diorganisasi secara longgar pada masa tanah-tanah jabatan bangsawan menjadi desa yang tersusun secara formal dengan kepala desa beserta pembantu-pembantu yang dipilih, dewan desa dan hak-hak pewarisan perorangan atas tanah (Soemardjan, 1981: 78)

Paska kemerdekaan, tepatnya bulan April 1946 dikeluarkan serangkaian dekrit yang menhapuskan dewan desa yang terdiri atas pemilik tanah dengan penerapan yang menyesuaikan dengan kondisi masyarakat desa. Selain perubahan struktur pemerintahan, juga diadakan perubahan soal luas desa dan sumber-sumber keuangan. Sumber terbesar kas desa adalah tanah yang diberikan sebagai

“lungguh” kepada para anggota dewan desa dan sisanya yang disewakan kepada petani warga desa dengan pembayaran in natura atau uang tunai (Soemardjan, 1981: 81).

4.1.2 Masa Pemerintahan Sultan HamengkuBuwono X

Jika Sultan ke IX dikenal dengan sebagian besar kebijakannya yang pro-rakyat hingga disebut sebagai takhta untuk pro-rakyat, maka berbeda situasinya dengan Sultan ke X. Pada masa pemerintahan Sultan ke X, terjadi deretan peristiwa yang mengguncang stabilitas keamanan masyarakat, khususnya di Yogyakarta. Tahun 1998, ketika reformasi bergulir, sebagian besar kota besar di Indonesia terbakar, terjadi kerusuhan massa, namun tidak demikian di Yogyakarta. Oleh karena kedekatan Sultan ke X dengan massa, terutama mahasiswa, kerusuhan massa dapat diredam. Bahkan keraton Yogyakarta menjadi tempat berorasi mahasiswa. Peran Sultan ke X dalam mendukung gerakan reformasi dan menumbangkan orde baru menyebabkan ia disebut takhta untuk reformasi.

Status keistimewaan Yogyakarta pun terusik pada akhir 2010 ketika pemerintah pusat hendak mengatur kembali keistimewaan Yogyakarta dengan

menyamakan situasinya dengan daerah-daerah lain. Dilansir dari media massa menyebutkan bahwa rakyat Yogyakarta merasa keistimewaan daerah itu terletak pada mekanisme penetapan Sultan dan penggantinya secara otomatis sebagai gubernur DIY. Selain rakyat Yogyakarta, pihak keraton melalui kerabat sultan, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo adik Sri Sultan Hamengkubuwono X mengundurkan diri secara resmi dari jabatan Ketua DPD Yogyakarta dan Partai Demokrat sebagai bentuk protes kepada pemerintah pusat (http://www.antaranews.com/, dl: Semarang, 28 Desember 2012). Menurut Selo Soemardjan jika keistimewaan Yogyakarta hendak dihapuskan, maka perlu peninjauan dari berbagai aspek, yaitu:

1. Segi hukum, selama Undang-Undang Nomor 5 tahun 1950 masih berlaku maka tindakan penghapusan keistimewaan Yogyakarta merupakan tindakan melawan hukum.

2. Segi politis, arus reformasi adalah sejalan dengan politik desentralisasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1950, sehingga jika keistimewaan Yogyakarta dihapus, maka dapat dinilai sebagai antireformasi.

3. Segi sosial budaya, kebanggaan masyarakat Yogyakarta yang telah ikut serta membentuk negara kesatuan Republik Indonesia, sebagai pusat kebudayaan Jawa dan melahirkan sistem pendidikan nasional (Taman Siswa) yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. (Nusantara, 1999: 55-57).

Apabila sistem pemerintahan Yogyakarta dengan kesultanannya dianggap menyimpang dari demokrasi, maka perlu kiranya membuka kembali sejarah Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menanamkan asas demokrasi dengan penyesuaian konteks masyarakat tradisional Yogyakarta. Perjalanan panjang mempertahankan keistimewaan Yogyakarta berakhir pada ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang

keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam penjelasan undang-undang nomor 13 tahun 2012, tujuan dari pengaturan keistimewaan Yogyakarta adalah :

untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis, ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat, menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an, dan melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa. (Pemerintah Kota Yogyakarta, 2013: 38). Lima hal keistimewaan yang diatur dalam undang-undang tersebut, yaitu tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan Pemerintah Daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.

Dokumen terkait