• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASAS KEPATUTAN MENJAMIN KEADILAN BAGI

1. Sejarah Penerapan Asas Kepatutan Pemerintahan Hindia

Konteks sejarah menjelaskan Asas kepatutan berkaitan erat dengan ketentuan dari sifat satu kesepakatan yang dituntut, guna pencapaian satu rasa keadilan, kebiasaan dan juga undang-undang. Sebagaimana menurut Mariam Darus mengungkapkan “asas kepatutan harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan di masyarakat”.64

Berkaca pada pergeseran kekuatan hak milik saat Pemerintahan Hindia Belanda mulai melakukan invansi perdagangan. Secara perlahan perubahan dasar pemilik yang sah mulai bergeser melalui cara penguasaan (pencabutan hak) tanpa menghilangkan tanggungjawab dalam pengelolaan lahan tanah. Sebagaimana tergambar upaya-upaya pelebaran perkebunan, dalam peningkatan usaha di Tanah Deli, para planters (pekebun) yang berkebangsaan Belanda meskipun berupaya mempengaruhi cara pandang aktor-aktor peradilan atas hak milik, namun masih menyisakan kebiasaan pengelolaan pada masyarakat setempat. Apakah hal itu untuk menolong pemajuan perkebunan atau juga menjaga keselarasan konflik sengketa tanah yang ada di masyarakat.65

64 Mariam Darus Badruljaman, dkk, “Kompilasi Hukum Perikatan”, (Bandung ; Citra Aditya Bakti, 2001) hal 89.

65 Reff Edy Ikhsan, “Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum”, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2015) hal 43.

Pemerintah kolonial Belanda pada kondisi tersebut diatas bisa dikategorikan sebagai pihak fasilitator dan penjaga hukum atas persoalan sengketa tanah.

Sebagaimana intervensi mereka adalah pertama untuk menegakkan keamanan dan ketertiban, kedua sebagai peluang untuk memperluas pengaruh politiknya guna memperluas sumber produksi, sehingga akan menambah pemasukan bagi devisa Negara.66

Bertumpu pada contoh perbedaan kepemilikan tanah yang digambarkan diatas, dalam menengahi perbedaan kepentingan antara pemilik modal yakni pengusaha perkebunan dengan hak-hak rakyat daerah, salah satu cara pencarian solusi dari Pemerintah Belanda saat itu mengupayakan :67

a. Jangan sampai ada tindakan-tindakan pihak pemegang konsesi menghimpit hak-hak penduduk bumi putra dalam hal pemakaian tanah, penebangan-penebangan kayu-kayuan dan perluasan-perluasan kampung dan penambahan-penambahan tanah untuk pertanian dan kehidupan lanjutan penduduk.

b. Agar jangan timbul sengketa, diwajibkan pihak perkebunan membuat peta-peta yang jelas dan di dalam peta-peta itu harus jelas tergambar batas-batas kebun, sungai-sungai dan alur-alur, letak kampung-kampung dan tanah-tanah perluasan kampung.

c. Hak adat dan resam penduduk bumi putra harus dihormati dan tak boleh dilanggar.

Campur tangan pemerintahan Belanda pada masa itu, bisa menggambarkan wujud kehadiran hukum di masyarakat Adat, guna mengintegrasikan dan mengkordinasikan kepentingan-kepentingan antara hak dan kewajiban yang saling

66 Makalah Syafruddin Kallo, “Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan Akibatnya terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Timur Pada Masa Kolonial yang berlanjut pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi, hal 2.

67 Edy Ikhsan, op.cit

bertubrukan hingga mampu dipersempit. Pengorganisasian melalui pencarian solusi atas perbedaan kepentingan hanya dapat dilakukan dengan pembatasan kepentingan pemilik modal.

Hukum untuk melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut.

Pengalokasian kekuasaan dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keleluasaan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian dinamakan hak. Tidak semua kekuasaan dalam masyarakat itu disebut hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja yang telah diberikan hukum kepadanya.68

Penguasaan merupakan hubungan nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya. Pengakuan penguasaan yang dimiliki oleh perkebunan diatas melalui akta konsesi sering ditafsirkan pihak perkebunan sebagai hak mutlak mereka atas seluruh hasil tanah. Jika dalam kontrak konsesi disebutkan bahwa penduduk yang dibolehkan mengambil rotan di tanah-tanah reba ataupun hasil hutan hanya di dalam daerah konsesinya. Sedangkan menurut adat adalah seluruh penduduk bumi putra dalam lingkungan kekuasaan raja-raja yang kuasa disitu berhak atas hasil hutan-hutan tersebut.69

Tafsir akta konsesi yang dilakukan pihak pemilik modal yakni perkebunan cendrung memberikan rasa ketidakadilan bagi para pemilik lahan sebagai pemegang hak milik. Sebagaimana jika dirunut dalam acuan baku dalam Pasal 1349 KUH

68 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung : Citra Adiya Bakti, 2006), hal 53

69 Edy Ikhsan, op cit, hal 46

Perdata menyebutkan : “jika ada keragu-raguan, suatu persetujuan harus ditafsirkan atas kerugian orang yang diminta diadakan perjanjian dan atas keuntungan orang yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu”.

Penafsiran perjanjian (de uitlegging van de overeenkomst) diatur dalam ketentuan Pasal 1342-1351 KUH Perdata, yang berbeda dengan penambahan isi perjanjian (de aanvulling van de inhoud der overeenkomst) hal itu sebagai akibat perjanjian telah diatur di dalam Pasal 1339, Pasal 1347 dan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Umumnya setelah menentukan apa saja yang merupakan hak-hak dan kewajiban para pihak yang berlangsung dari janji kontraktual, dapat ditentukan lebih lanjut perikatan yang timbul karena undang-undang, kebiasaan, kepatutan, dan harus dengan itikad baik.70

Perbuatan hukum dari Pemerintahan Belanda atas pengembangan lahan-lahan masyarakat setempat dalam perluasan perkebunan guna pemenuhan tanggung jawab mengacu kepada iktikad baik para pihak. Tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebab iktikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Iktikad baik ini akhirnya mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat.71

Bercermin dari sikap dan kebijakan masa Pemerintahan Hindia Belanda tersebut, dalam pencapaian prinsip kepatutan sebagaimana dikemukakan John Rawls

70 Herlien Budiono, “Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan”, (Bandung : Citra Aditya Bandung, 2013), hal 144.

71 Ridwan Khairandy, Makna, Tolok Ukur, Pemahaman, Dan Sikap Pengadilan Di Indonesia Terhadap Iktikad Baik Dalam Pelaksanaan Kontrak, dalam Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009: 51 - 71

sebagai pisau analisis mengemukakan subjek utama dari prinsip keadilan sosial adalah struktur dasar masyarakat bagaimana tatanan isntitusi-intitusi sosial utama tersebut terjalin satu skema kerjasama. Sebagaimana pengaturan antara hak dan kewajiban bagi setiap institusi dalam menentukan pembagian kenikmatan serta beban kehidupan sosial merupakan aturan bersama yang harus disepakati.72

Lebih lanjut John Rawls menyimpulkan, struktur dasar masyarakat merupakan aturan publik dimana semua orang yang terlibat di dalamnya tahu apa yang akan ia ketahui jika aturan-aturan tersebut dan partisipasinya dalam aktivitas adalah hasil dari kesepakatan. Prinsip keadilan yang diterapkan terhadap tatanan sosial dalam pengertian ini dianggap bersifat publik. Di mana aturan-aturan atas bagian tertentu dari institusi hanya diketahui oleh orang-orang yang terlibat, artinya pihak-pihak yang terlibat langsung bebas membuat aturan bagi mereka sendiri selama aturan-aturan tersebut dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran pada umunya diterima pihak-pihak lain.73

Upaya penyelesaian konflik pemahaman antara kepentingan Pemerintah Hindia Belanda dan masyarakat adat yang dipahami dalam hal ini, norma kepatutan sebagai acuan pihak Pemerintah Belanda yang tetap menghormati dan memutuskan hak sepenuhnya masyarakat adat atas hasil hutan sebagai itikad baik sebagai kompensasi yang tidak boleh di ganggu gugat. Kebijakan yang diputuskan itu merupakan wujud perlindungan atas masyarakat sebagai pemilik lahan meskipun secara kedudukan

72John Rawls, op cit, hal 65.

73 Ibid, hal 67.

penguasaan secara sah pada masa itu atas tanah merupakan kewenangan dari pemilik modal.74 Serta memberikan pengakuan terhadap kebiasaan adat melayu sebagai ketentuan hukum adat yang patut untuk dihormati dan dipatuhi.75

2. Perkembangan Pengaturan Pertanggung Jawaban Ganti Rugi dan Kompensasi Pasca Lahirnya UU Pokok Agraria.

Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan oleh pemerintah. Semakin maju masyarakat, semakin banyak diperlukan tanah-tanah untuk kepentingan umum (awam). Sebagai konsekuensi dari hidup bernegara dan bermasyarakat, jika hak milik individu (pribadi) berhadapan dengan kepentingan umum maka kepentingan umumlah yang harus didahulukan76. Namun demikian negara harus tetap menghormati hak-hak warga negaranya kalau tidak mau dikatakan melanggar hak azasi manusia.

Persoalan pengambilan tanah, pengadaan tanah, pencabutan hak atas tanah selalu menyangkut dua dimensi yang harus ditempatkan secara seimbang yaitu kepentingan “pemerintah atau rakyat (masyarakat)”. Dua pihak yang terlibat yaitu

“pemerintah” dan “rakyat (masyarakat)” harus sama-sama memperhatikan dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai hal tersebut. Apabila hal itu tidak dihiraukan akan timbul masalah-masalah seperti yang selalu diberitakan oleh

74 Lihat Pasal 529 KUH Perdata “Yang dinamakan kedudukan berkuasaadalah kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dnegan diri sendiri, maupun perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan tersebut”.

75 Lihat Pasal 1339 KUH Perdata “persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.

76Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta; LP3ES, 2006) hal 265

media massa, di mana pihak penguasa dalam hal ini pemerintah dengan

“keterpaksaannya” melakukan tindakan yang dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia dan sebagainya, sedangkan rakyat mau tidak mau melakukan apa saja untuk menempatkan apa yang diyakininya sebagai hak yang harus dipertahankannya.77

Dasar pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok-pokok Agraria yakni Pasal 18 menyebutkan : “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.”

Pasal 18 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 menjadi landasan di undangkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang ada diatasnya, sebagai mana dalam Pasal 1 menjelaskan : “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara, serta kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya”.

77Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah Dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Indonesia, (Edisi Revisi), (PT.Citra Aditya Bakti; Bandung, 1996) hal 2

Acuan Pasal 1 diatas dapat terlaksana apabila telah memenuhi persyaratan atau ketentuan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 yaitu :

“Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 6 dan 8 ayat (3), maka penguasaan tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah ada surat keputusan pencabutan hak dari Presiden sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 1 dan setelah dilakukan pembayaran ganti kerugian, yang jumlahnya ditetapkan dalam surat-keputusan tersebut serta diselenggarakannya penampungan sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (2) huruf c”.78

Lebih lanjut sebagaimana dalam penjelasan dasar pengadaan tanah yang dimaksud terlebih dahulu dilakukan persetujuan dari pemilik tanah melalui jalan musyawarah sesuai dengan kelayakan ganti rugi, serta tata cara yang telah diatur dalam acuan perundang-undangan. Proses ganti rugi melalui asas kesepakatan (musyawarah) dilakukan melalui pembentukan panitia ganti rugi sebagaimana dituangkan dalam Pasal 3 ayat (1). Kesepakatan yang tidak tercapai, maka upaya paksa dalam hal pencabutan tanah, dimungkinkan sebagai kewenangan mutlak pemerintah. Ketentuan itu merupakan upaya akhir apabila tidak adanya lagi kesepakatan.79

78 Lihat penjelasan tentang ganti rugi dan penyelenggaraan penampungan Pasal 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 yakni : “Yang dimaksud dengan “yang berkepentingan" ialah fihak untuk siapa pencabutan hak akan dilakukan. Orang-orang yang karena pencabutan hak itu akan kehilangan tempat tinggal atau sumber nafkahnya perlu mendapat penampungan, baik ia itu bekas pemilik tanah atau rumah yang bersangkutan maupun penggarap atau penyewanya. Penampungan itu bisa berupa pemberian ganti tempat tinggal atau tanah garapan lainnya. Jika hlm itu tidak mungkin diselenggarakan karena di daerah yang bersangkutan tidak ada rumah atau tanah yang tersedia, maka orang-orang tersebut misalnya dapat diberi prioritet untuk bertransmigrasi, dengan memperhatikan sumber nafkah berdasarkan bakat dan keahliannya”

79 Penjelasan Konsideran Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanahdan Benda-benda Yang ada diatasnya, point ke-2 menyebutkan: “Pada azasnya maka jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan yang empunya, misalnya atas dasar jual-beli, tukar-menukar atau lain sebagainya. Tetapi cara demikian itu tidak selalu dapat

Keberatan pemilik tanah terhadap tidak tercapainya kesepakatan dapat dilakukan melalui upaya pengajuan permohonan penetapan melalui pengadilan untuk menetapkan ganti kerugian yang layak dalam waktu singkat, hal itu sebagai wujud pencabutan hak atas tanah merupakan satu bentuk perhatian publik yang cukup dihormati sebagai mana mestinya.80

Aturan kebijakan lainnya, terhadap pengadaan hak atas tanah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan

membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang empunya meminta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan itu.

Oleh karena kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan orang-seorang, maka jika tindakan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalam keadaan yang memaksa, yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada Pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan.

Pengambilan itu dilakukan dengan jalan mengadakan pencabutan hak sebagai yang dimaksud dalam pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria tersebut di atas. Teranglah kiranya, bahwa pencabutan hak adalah jalan yang terakhir untuk memperoleh tanah dan/atau benda lainya yang diperlukan untuk kepentingan umum. Dalam pada itu di dalam menjalankan pencabutan hak tersebut kepentingan daripada yang empunya, tidak boleh diabaikan begitu saja. Oleh karena itu maka selain wewenang untuk melakukan pencabutan hak, di dalam pasal 18 tersebut dimuat pula jaminan-jaminan bagi yang empunya. Yaitu bahwa pencabutan hak harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak dan harus pula dilakukan menurut cara yang diaturdalam Undang-undang.

80 Penjelasan Konsideran Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanahdan benda-benda Yang ada diatasnya, point ke-6 menyebutkan “Bagaimanakah kalau yang empunya tidak bersedia menerima ganti kerugian yang ditetapkan oleh Presiden karena dianggapnya jumlahnya kurang layak. Sebagai telah diterangkan di atas maka yang empunya dapat minta kepada Pengadilan Tinggi agar pengadilan itulah yang menetapkan ganti kerugian tersebut. Untuk itu akan diadakan ketentuan hukum acara yang khusus, agar penetapan ganti-kerugian oleh Pengadilan tersebut dapat diperoleh dalam waktu yang singkat. Tetapi biarpun demikian penyelesaian soal gantikerugian melalui pengadilan itu tidak menunda jalannya pencabutan hak. Artinya setelah ada keputusan Presiden mengenai pencabutan hak itu maka tanah dan/atau benda-bendanya yang bersangkutan dapat segera di kuasai, dengan tidak perlu menunggu keputusan Pengadilan Negeri mengenai sengketa tersebut. Teranglah kiranya, bahwa kepentingan dari yang berhak atas tanah dan/atau benda yang dicabut haknya itu mendapat perhatian pula sebagaimana mestinya”.

benda yang ada diatasnya. Peraturan pemerintah ini merupakan aturan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961.81

Pencabutan hak-hak atas tanah sebagai mana yang dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 yang dilakukan terhadap pemilik tanah, sepatutnya tidak boleh mengalami kemunduran baik dalam bidang sosial maupun pada tingkat ekonominya. Sebagaimana acuan penjelasan umum menegaskan :

“Peraturan Pemerintah ini di samping dimaksudkan sebagai pengaturan tindak lanjut dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 288) dengan pengarahan agar dapat memperlancar pelaksanaan Pembangunan di Indonesia, maka di lain pihak juga dimaksudkan sebagai langkah untuk memberikan jaminan bagi para pemilik/pemegang hak atas tanah terhadap tindakan-tindakan pencabutan tersebut.

Selain itu diharapkan pula agar dengan tindakan pencabutan itu hendaknya bekas pemilik/pemegang hak atas tanah itu tidak mengalami kemunduran baik dalam bidang sosial maupun pada tingkat ekonominya”.

Lebih lanjut acuan sebagai landasan yang dimaksudkan dalam pedoman pelaksanaan pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada diatasnya, diatur dalam Inpres (Intruksi Presiden) Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada diatasnya. Acuan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya hanya

81 Widyarini Indriasti Wardani, dalam Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat “Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (telaah terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum” Vol. 10 No. 2 April 2013, ISSN : No. 0854-2031, hal 208

diperuntukan sebagai landasan untuk kepentingan umum dengan ketentuan sebagai berikut :82

1. Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan tersebut menyangkut kepentingan bangsa dan Negara, dan/atau kepentingan masyarakat luas dan/atau kepentingan rakyat banyak/bersama dan/atau, kepentingan pembangunan.

2. Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum meliputi bidang-bidang pertanahan, pekerjaan umum, jasa umum, keagamaan, Ilmu Pengetahuan, dan seni budaya, kesehatan, olahraga, keselamatan umum terhadap bencana alam, kesejahteraan social, makam/kuburan, pariwisata dan rekreasi, usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.

3. Memberi kewenangan bagi Presiden untuk menentukan bentuk kegiatan pembangunan sebagai kepentingan umum.

Pertentangan atas pengadaan tanah dengan mengatasnamakan untuk kepentingan umum, mengalami pergolakan yang cukup dahsyat. Salah satu aturan kebijakan yang cukup kuat ditentang pada Tahun 2005 yakni adanya Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang dianggap cacat hukum karena Peraturan Presiden tersebut bukan merupakan materi yang diperintahkan UU atau materi yang dijalankan oleh Peraturan Pemerintah. Sebagaimana Perpres tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 yang mengatur “setiap orang tidak boleh dicabut hak miliknya secara sewenang-wenang” yang akhirnya Perpres tersebut diubah dengan PerPres Nomor 65 Tahun 2006 yang mengatur kedudukan pengadaan tanah dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

82 Lampiran Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada Diatasnya

Langkah bijak pemerintah dalam mengatur pengadaan tanah diatur lebih lanjut dengan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Prinsipnya pelaksanaannya diadakan oleh Lembaga Pertanahan (Badan Pertanahan Nasional/BPN) dan dalam pelaksanaannya dapat mengikut sertakan atau berkordinasi dengan pemerintah Provinsi atau pemerintah Kabupaten/Kota.83

Asas-asas yang terkandung dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2012 meliputi beberapa asas yang melekat yakni “a. Kemanusiaan, b. Keadilan, c. Kemanfaatan, d.

Kepastian, e. Keterbukaan, f. Kesepakatan, g. Keikutsertaan, h. Kesejahteraan, i.

Keberlanjutan, dan j. Keselarasan.84 Sebagaimana dalam pencapaian pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang tidak kalah penting menjadi bahan acuan dalam pengadaan tanah adalah keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Sebagaimana dalam hal pembayaran ganti rugi mengedepankan terhadap layak dan adil.85

Dasar pemberian kompensasi terhadap objek perikatan terhadap pengadaan jaringan saluran Transmisi 275 kV PLTU SUMUT-GI Binjai-Langkat dalam objek bahasan mengacu kepada Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 975.K/47/MPE/1999 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertambangan dan energi

83 Widyarini Indriasti Wardani, op. cit, hal 212

84 Pasal 2, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

85 Lihat Konsideran Penjelasan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum point 4. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. dan 5.

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil.

Nomor 01.P/47/M.PE/1992 tentang Ruang Bebas Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tegangan EkstraTinggi (SUTET) untuk Penyaluran Tenaga Listrik. PT. PLN (Persero) sebagai leading sektor yang berhak dalam pengadaan layanan jaringan, berhak mengajukan tawaran kompensasi sesuai dengan pengaturan sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) masing-masing memberi gambaran yakni :86

1. Tanah tempat untuk mendirikan tapak penyangga termasuk bangunan dan tumbuh-tumbuhan di atas tanah tersebut harus dibebaskan dan diberikan ganti rugi.

2. Besar ganti rugi atas tanah, bangunan dan tumbuh-tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan musyawarah antara pengusaha dengan pemilik tanah serta berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Bangunan dan tumbuh-tumbuhan baik seluruhnya maupun sebahagian yang telah ada sebelumnya dan berada pada proyeksi Ruang Bebas SUTT/SUTET atau yang dapat membahayakan SUTT/SUTET harus dibebaskan dan diberi ganti rugi.

4. Besar ganti rugi bangunan dan tumbuh-tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan berdasarkan musyawarah serta berpedoman pada aturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Bangunan dan tumbuh-tumbuhan yang telah diberikan ganti rugi seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4), harus dibongkar dan ditebang seluruhnya oleh pemiliknya.

6. Tanah dan bangunan yang telah ada sebelumnya yang berada di bawah proyeksi Ruang Bebas SUTT/SUTET di luar penggunaan untuk mendirikan Tapak Penyangga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kompensasi.

7. Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diberikan untuk satu kali

7. Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diberikan untuk satu kali

Dokumen terkait