BAB II : PEMBAHASAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
B. Sejarah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Alasan di bentuknya
Indonesia.
1. Sejarah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Alasan dibentuknya
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Penegakan supremasi hukum saat ini sedang ramai dibicarakan.
Membicarakan masalah ini memang penting mengingat Indonesia adalah negara
yang berlandaskan hukum dan konstitusi. Dengan supremasi hukum insan-insan
peradilan diharapkan tidak akan terjebak dalam retorika tentang adanya mafia
peradilan. Karena dalam mewujudkan supremasi hukum perlu adanya lembaga
peradilan yang bersih, jujur, adil dan berwibawa, dan adalah mustahil hukum
dapat berdiri tegak tanpa ditopang keadilan dari pengadilan yang bersih, jujur,
adil, dan berwibawa. Karena Pengadilan sebagai lembaga Negara, diberi
17
R.Wiryono, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Catakan III ( Alumni – Bandung ), hal.25
kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan, suatu perkara yang
diajukan kepadanya baik dalam perkara – perkara Pidana Umum, Perdata maupun
Pidana khusus, yang diatur diluar KUHP
Negara Indonesia sekarang ini merupakan salah satu negara yang
mempunyai citra buruk di dunia internasional, dalam bidang korupsi, hal ini
disebabkan karena menurut mereka negara Indonesia merupakan negaranya
koruptor. Dua lembaga Internasional yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
lewat STAR (STeall Asset Recovery) dan Bank Dunia mempunyai daftar 10 besar
kekayaan yang diperoleh dari hasil curian, ( korupsi ), yang disusun Transparency
Internasional tahun 2004 lalu. Pakar ekonomi dan mantan Menko Perekonomian,
Kwik Kian Gie menyatakan bahwa per tahun kekayaan negara yang dikorupsi
jumlahnya sangat besar bahkan melebihi APBN
18. Pada masa orde baru
kebocoran uang negara masih 30 %, setelah reformasi bergulir tahun 1998
indikasi tindak pidana korupsi yang merusak perekonomian dan moral bangsa
justru semakin besar. Menurut laporan BPK, penyimpangan uang negara sudah
mencapai Rp 166,53 triliun atau sekitar 50 % pada periode Januari-Juni 2004
19.
Ada sumber dari PERC (Political and Economic Consultancy) yang menyatakan
tentang korupsi di Indonesia menempati urutan nomor tiga dengan jumlah
kekayaan sebesar 8,03 miliar dolar AS
20Berhubungan dengan fakta tersebut di atas maka Negara Indonesia
memandang perlu untuk membentuk pengadilan yang khusus untuk menangani
.
18
Yuli sulistiawan, Korupsi melebihi APBN, Kompas, 25 Oktober 2003.,h.3
19
Bee/tri, Kebocoran pada masa orde baru, Kompas, 2 Oktober 2004, h.6
20
kasus-kasus korupsi yang diwujudkan dengan membentuk pengadilan tipikor
untuk mengadili dan memvonis berat para koruptor agar tindak pidana korupsi
yang telah merugikan negara itu dapat segera terselesaikan. Pada tanggal 19
Desember 2006 Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor
012-016-019/PUU-IV/2006 telah membatalkan ketentuan pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur keberadaan
pengadilan khusus tindak pidana korupsi. Putusan itu merupakan putusan perkara
pengujian undang-undang (constitusional review). Mahkamah Konstitusi dalam
putusan menilai bahwa ketentuan pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun 2002
bertentangan dengan UUD 1945, karena telah terjadi dualisme penegakan hukum
dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi. Dualisme yang telah menimbulkan
ketidak pastian hukum dan merugikan hak-hak konstitusional para pemohon.
Adanya keputusan tersebut berimplikasi dengan keharusan dari pihak Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk segera merevisi undang-undang tipikor agar tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Waktu yang telah diberikan oleh Mahkamah
Konstitusi adalah dalam waktu tiga tahun. Jika dalam waktu tiga tahun itu tidak
dapat terpenuhi maka semua perkara dan kasus yang berkaitan dengan korupsi
akan diserahkan pada peradilan umum. Undang-undang pengadilan tipikor ini
merupakan salah satu terobosan untuk mereformasi dan merekonstruksi sistem
hukum yang ada di Indonesia. Hukum yang progresif merupakan jalan dan arahan
untuk terus memberikan perubahan hukum walaupun paradigma yang substansial
adalah pembalikan dari ajaran legisme tapi dalam aplikasinya tetap dibutuhkan
aturan demi proses berjalannya sistem hukum di Indonesia.
2. Alasan dan Urgensitas dibentuknya Pengadilan Tipikor :
1) Adanya legitimasi secara yuridis formal dalam sistem hukum di Indonesia,
a) Dalam arahan politik hukum nasional disebutkan dalam Tap MPR RI
No. IX / MPR / 1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dari
KKN dan Tap. MPR RI No. VIII / MPR / 2001 yang dalam diktumnya
menyebutkan ”Bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa
Indonesia sudah serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan bernegara”
b) Dalam pasal 15 ayat (1) undang-undang No.4 tahun 2004 tentang
kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa ”pengadilan khusus
hanya dapat di bentuk dalam salah satu lingkup peradilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 yang di atur dengan undang-undang”. Yang
dimaksud dalam Pasal ini dengan pengadilan khusus salah satunya
adalah Pengadilan Tipikor.
c) Dalam pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi diatur secara khusus mengenai keharusan
pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk mengadili
perkara-perkara korupsi yang berada di bawah pengadilan umum dan
untuk pertama kali akan di bentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dengan pengesahan yang akan dilakukan oleh presiden.
d) Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 012-016-019 / PUU-IV /
2006 telah membatalkan ketentuan pasal 53 UU No.30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur keberadaan
pengadilan khusus tindak pidana korupsi, tapi dari keputusannya itu
secara tidak langsung telah memberikan izin secara yuridis dalam
waktu tiga tahun untuk pembentukan pengadilan tipikor
2) Adanya keinginan terhadap pembaharuan dan rekonstruksi hukum ke arah
yang lebih baik,
Masyarakat luas sekarang sudah kritis dan tanggap terhadap permasalahan
hukum yang ada, pembaharuan sistem hukum melalui konsepsi hukum progersif
sangat diperlukan demi perubahan birokrasi yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Adapun mengenai pendapat dari warga tentang rasa keadilan dan
kepastian hukum serta fenomena yang mendasar dan urgensi tentang pengadilan
tipikor, kebanyakan masyarakat luas juga beranggapan adanya pengadilan tipikor
juga merupakan tuntutan rasa keadilan yang kurang dirasakan oleh warga
masyarakat. Jaminan kepastian hukum juga kurang mengena pada masyarakat
luas. Adanya korupsi yang telah merajalela membuat kerugian yang sangat luas
bagi perekonomian rakyat dan dari sinilah maka perlindungan hak ekonomi dan
sosial pun juga akan terganggu yang berdampak pada rendahnnya perekonomian
rakyat.
Banyak pihak dan lembaga-lembaga masyarakat yang menginginkan segera
disahkan undang-undang pengadilan tipikor ini. Bappenas yang bekerjasama
dengan Mahkamah Agung dalam Rencana Aksi Pengadilan tindak pidana korupsi,
menyatakan bahwa pembentukan pengadilan khusus tersebut harus dapat
dilakukan untuk menangani perkara-perkara korupsi melalui suatu mekanisme
yang berbeda dari mekanisme peradilan konvensional. Pembentukan pengadilan
tipikor ini juga dimaksudkan untuk menjawab kelemahan dari mekanisme di
pengadilan biasa. Kelemahan tersebut meliputi hakim yang kurang berkualitas dan
atau juga karena proses persidangan yang dijalankan berlangsung secara tidak
transparansi.
3) Menghindari percampuran perkara kasus korupsi di Pengadilan Umum,
Pernyataan Wakil Ketua KPK M Jasin dalam pertemuannya dengan Ketua
MACC, menyatakan jika bulan oktober tahun 2009 pemerintah tidak segera
mengesahkan undang-undang tipikor dan bahkan akan bubar maka kasus-kasus
yang ada akan bercampur dengan kasus yang ada di pengadilan umum
2121
Bunga Manggiasih, Pengadilan TIPIKOR harus segera dibentuk, Koran Tempo, rabu 4 februari 2008, h.6
. Dari
pernyataan tersebut jelas bahwa semua berkas dan kasus akan dilimpahkan
keperadilan umum sehingga berkas-berkas tersebut bercampur dengan perkara
yang ada di peradilan umum dan inilah yang dikhawatirkan akan menyebabkan
mandeknya pengusutan kasus korupsi sehingga tidak tuntas dalam
penyelesainnya. Adapun permasalahan yang lain adalah adanya jumlah perkara di
peradilan umum lebih banyak dari jumlah hakim yang ada. Dan dengan
ditambahnya berkas perkara yang sudah ada di Pengadilan selama ini dengan
perkara korupsi yang akan masuk kepengadilan maka akan semakin sulit
terealisasinya penyelesaian perkara korupsi. Hal itu disebabkan karena jumlah
hakim yang sedikit dihadapkan pada perkara-perkara korupsi yang jumlahnya jauh
lebih besar. Fenomena tersebut akan mempersulit tahap pemeriksaan
dipersidangan karena terlalu banyak berkas-berkas atau pun dokumen yang harus
diperiksa untuk mengusut satu persatu kasus yang akan ditangani. Selain itu juga
belum tentu hakim yang ada akan mempunyai kapabilitas yang cukup memadai
untuk menyelesaikan perkara yang sedang dihadapinya.
Dengan demikian DPR sebagai perancang Undang – undang bersama
Presiden telah mengesah kan undang – undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
No.46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Korupsi, yang didalam undang –
udang tersebut telah tersusun rumusan tentang pengadilan tindak pidana korupsi,
yang disetiap bab nya telah di atur mengenai hakim, dan pengadilan tindak pidana
korupsi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memiliki kedudukan, dan kewenangan
sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab II dan Bab III undang – undang
Pengadilan Tindak Pidana korupsi sebagai berikut
22Dalam Bab II, diatur tentang kedudukan dan tempat kedudukan, dan
menurut ketentuan dalam Pasal. 2 Undang – undang No.46 tahun 2009
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Peradilan Umum. Ini berarti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan
berada dilingkungan Peradilan Umum, sebagai pengadilan khusus, sehingga
kedudukannya akan sama dengan Pengadilan khusus lainnya yang sudah ada lebih
dahulu seperti Pengadilan PHI, Pengadilan HAM, Pengadilan Perikanan. Namun
kedudukannya lebih luas jika dibandingkan dengan Pengadilan-pengadilan
:
22
lainnya seperti tersebut diatas, karena Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan ada
disetiap Pengadilan Negeri, sebagaimana disebutkan dalam Pasal. 3, bahkan untuk
daerah Jakarta akan terbagi menjadi empat tempat sesuai dengan keberadaan
Pengadilan di Jakarta saat ini. Dan wilayah hukumnya melekat pada wilayah
hukum Pengadilan Negeri tempat pengadilan tindak pidana korupsi berada. Hal
ini juga akan menimbulkan konsekwensi bagi Komisi Pemberantasan Korupsi
untuk membentuk perwakilannya didaerah, sebab jika hal tersebut tidak
dilakukan akan menghambat proses baik penyidikan, penuntutan dan persidangan
di Pengadilan yang ada didaerah. Pembentukan pengadilan Tindak Pidana Koupsi
ditiap-tiap daerah adalah merupakan realisasi dari Pasal. 54, ayat 3,
Undang-undang No.30 Tahun 2002, Lembaran Negara 2002-137, dan Tambahan
Lembaran Negara 4250, Pasal. 54 ayat. 2, menyebutkan untuk pertama kali
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, yang wilayah Hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia, sedang dalam Pasal 3 menyebutkan pula bahwa pembentukan
pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana disebut dalam ayat 2 dilakukan
secara bertahap dengan keputusan Presiden. Sebenarnya jika Pemerintah
mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi, pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sudah dapat dilakukan tanpa menunggu lahirnya
undang-undang No.46 tahun 2009, karena menurut Undang-undang-undang No.30 Tahun 2002,
pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi cukup dilakukan dengan
Keputusan Presiden (KEPPRES).
Dalam Bab III, diatur tentang kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
yang dalam Pasal. 5 disebutkan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana korupsi, artinya Peradilan Umum sudah tidak
mempunyai wewenang lagi untuk menyidangkan perkara-perkara korupsi,
selanjutnya dalam Pasal.6 diatur tentang ruang lingkup kewenangan Pengadilan
Tindak Pidana korupsi sebagai berikut :
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:
1. tindak pidana korupsi;
2. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak
pidana korupsi; dan/atau
3. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan
sebagai tindak pidana korupsi.
Sedang untuk Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Warga Negara
Indonesia yang berada diluar wilayah Negara Republik Indonesia, ditetapkan
dalam Pasal 7 yaitu menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
penerapan ketentuan ini adalah sesuai dengan azas Nasionaliteit Aktief atau azas
Personaliteit, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 5 (1) KUH.Pidana.
3. Hakim Tindak Pidana Korupsi.
Salah satu unsur yang sangat substantif dari Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi adalah Hakim. Karena Hakim adalah salah satu unsur aparat penegak
Hukum yang mempunyai posisi yang sangat strategis, sehingga dalam Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dibutuhkan personal-personal Hakim yang mempunyai
integritas tinggi, dan komitmen yang tinggi dalam memberantas korupsi di
Indonesia, sebab tanpa itu akan mustahil korupsi bisa diberantas.
Undang-undang secara tegas telah mengatur sistem rekruitmen Hakim Tindak
Pidana Korupsi baik dari Hakim karir maupun untuk Hakim Ad Hoc sebagai
berikut :
1) HAKIM KARIER
Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Tindak Pidana Korupsi seorang Hakim
Karier harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh)
tahun;
b. berpengalaman menangani perkara pidana;
c. jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi
yang baik selama menjalankan tugas;
d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/atau terlibat dalam perkara
pidana;
e. memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana korupsi yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung; dan
f. telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2) HAKIM AD HOC
Sedang untuk menjadi Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) warga negara Republik Indonesia;
b) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c) sehat jasmani dan rohani;
d) berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di
bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 (lima belas) tahun untuk
Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan
tinggi, dan 20 (dua puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah
Agung;
e) berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat proses
pemilihan untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
dan pengadilan tinggi, dan 50 (lima puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada
Mahkamah Agung;
f) tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g) jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi
yang baik;
h) tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik;
i) melaporkan harta kekayaannya;
j) bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim tindak pidana korupsi; dan
k) bersedia melepaskan jabatan struktural dan / atau jabatan lain selama
menjadi Hakim ad hoc tindak pidana korupsi.
Undang – undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi juga mengatur jelas tentang komposisi dan status Hakim Tindak Pidana
Korupsi yang akan menyidangkan perkara-perkara korupsi dimana dalam Bab IV
bagian ke tiga disebutkan sebagai berikut
23a) Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah
Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
:
b) Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
keputusan Ketua Mahkamah Agung
c) Hakim Karier yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
selama menangani perkara tindak pidana korupsi dibebaskan dari tugasnya
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain.
d) Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi,
dan pada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
e) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa
jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan.
23
Ketentuan penunjukan hakim adhoc sesuai dengan pasal 13 undang –undang
no.46 tahun 2009 :
a) Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim ad hoc pada Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, Ketua Mahkamah Agung
membentuk panitia seleksi yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan
masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya bersifat mandiri dan
transparan.
b) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan untuk diusulkan sebagai Hakim
ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) diatur dengan
Peraturan Mahkamah Agung.
Dalam memangku sebuah jabatan hakim ad hoc, seorang hakim akan dilantik
terlebuh dahulu dan harus membacakan sumpah yang telah diatur dalam undang –
undang nomor 46 tahun 2009, dalam pasal 14 dikatakan bahwa :
1. Sebelum memangku jabatan, Hakim ad hoc diambil sumpah atau janji
menurut agamanya oleh:
1) Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah
Agung;
2) Ketua pengadilan tinggi untuk Hakim ad hoc pada pengadilan
tinggi;
3) Ketua pengadilan negeri untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.
2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai
berikut:
Sumpah:
”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim
dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, memegang teguh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan
segala peraturan perundang-undangan dengan seluruslurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa
dan bangsa.”
Hakim adhoc pada dasarnya hampir sama dengan hakim biasa, hal ini jika
dilihat dari fungsi serta larangan – larangan yang telah diatur dalam pasal 15
undang – undang nomor 46 tahun 2009 yang isinya adalah :
Hakim ad hoc dilarang merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang
diperiksa olehnya;
d. kepala daerah;
e. advokat;
f. notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah;
g. jabatan lain yang dilarang dirangkap sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; atau
h. pengusaha.
Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Hakim ad hoc yang
memangku jabatan struktural dan/atau fungsional harus melepaskan jabatannya.
Dengan telah dirumuskannya segala persyaratan, sumpah dan ketentuan hakim
tindak pidana korupsi, menurut penulis maka hendaknya dalam memilih dan
menyeleksi hakim tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang
sebenanrnya sesuai dengan undang – undang yang telah mengaturnya.
BAB III
PENGERTIAN PEJABAT NEGARA DAN BUKAN PEJABAT NEGARA
DALAM PASAL 2 ayat (1) DAN PASAL 3 UU NO.31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
A. Pejabat menurut UU No.28 Tahun 1999 dan peraturan Tentang
Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme serta Per Undang – udangan lainnya dan kaitannya dengan Pasal
3 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 2 dan pasal 3
undang – undang no.31 tahun 1999 adalah “setiap orang”, ini mengandung arti
bahwa pelaku adalah semua orang dengan tidak membedakan status Hukum,
apakah ia sedang, atau mempunyai jabatan, mempunyai kewenangan, tertentu atau
tidak asal perbuatannya itu bertentangan dengan hukum yang berpotensi
menimbulkan kerugian Negara, jadi kerugian secara nyata dari Negara tidak
diperlukan dalam Pasal ini, sedang dalam pasal 3, ditentukan bahwa pelaku
tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu “jabatan atau
kedudukan” hanya orang perseorangan, maka menurut penulis tindak pidana
korupsi yang terdapat dalam pasal 3 hanya dapat dilakukan oleh orang
perseorangan, atau dengan kata lain yang dimaksud dengan korporasi dalam pasal
ini adalah pengurusnya dan bukan Badan Hukumnya karena badan hukum
meskipun secara hukum adalah subjek hukum tetapi ia tidak dapat melakukan
Jika diteliti ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 3,
akan ditemukan unsur-unsur sebagai berikut :
1. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ;
2. Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena
jabatan atau kedudukan ;
3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ;
Yang dimaksudkan dengan “menguntungkan” adalah sama artinya dengan
mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari
pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang
diperolehnya
24Didalam perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat
didalam pasal 3 tersebut juga terdapat kata “ jabatan” dan “kedudukan”. Menurut
E.Utrecht – Moh.Saleh Djindang
.
Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan unsur “menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan
melakukan sesuatu sehingga diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
memperoleh suatu keuntungan.
Dan keuntungan tersebut adalah merupakan tujuan dari sipelaku atau
dader tindak pidana korupsi itu.
25
24
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan 1 ( CV.Karya Gemilang – Jakarta ),hal.143
25
E.Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia, Cet.IX, ( Ichtar Baru - Jakarta :1990 ), hal.144