• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Straf Minimum Rules (Aturan Hukuman Minimal) Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 2 Ayat (1) Dan Pasal 3 Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Straf Minimum Rules (Aturan Hukuman Minimal) Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 2 Ayat (1) Dan Pasal 3 Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS STRAF MINIMUM RULES

( ATURAN HUKUMAN MINIMAL )

TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PASAL 2 AYAT (1)

DAN PASAL 3 UNDANG – UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi

Syarat – Syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Oleh :

SETIO WIBOWO

NIM : 060200267

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

( ABUL KHAIR, SH., M.Hum.

NIP.1318422854

)

DISETUJUI OLEH

DISETUJUI OLEH

DOSEN PEMBIMBING I :

DOSEN PEMBIMBING II :

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala

rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini

dengan judul : “ANALISIS YURIDIS STRAF MINIMUM RULES (ATURAN

HUKUMAN MINIMAL ) TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PADA

PASAL 2 AYAT (1) DAN PASAL 3 UNDANG – UNDANG NOMOR 31

TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI”.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana penerapan aturan hukuman

minimal di indonesia khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi selain itu

juga apakah yang terdapat di dalam teori yang selama ini penulis pelajari

mengenai aturan hukuman minimal dalam tindak pidana korupsi di Indonesia.

Mulai perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah

mendapatkan banyak bantuan – bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu

dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih sebanyak

banyaknya kepada pihak – pihak antara lain sebagai berikut :

1.

Allah SWT. Tuhan yang Maha Esa karena atas rahmat dan KaruniaNya

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi meskipun penulis menyadari

penulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan itu

(3)

2.

Ayahandaku Djoemali Pranoto, SH., Ibundaku Yenni Indrawati, Adinda Sari

Yovika Osana, Kakanda Tri Bintarti,SH. dan Ir.Panji Bintoro, Adinda Yurista

Arini dan Haryo Kuncoro Jati, karena atas dorongan mereka penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini serta atas perjuangan orang tua penulis

dalam membiayai penulis berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara sehingga penulis sampai kepada tahap penyelesaian penulisan karya

ilmiah ini, hanya Allah SWT. Yang dapat membalas semua ini.

3.

Bapak – bapak Pihak Dekanat pemimpin Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, dan Bapak Pembimbing Dosen I Bapak Prof.Dr.Alvi

Syahrin,SH.,MS., dan Bapak Pembimbing Dosen II Bapak Edy Yunara ,

SH.,M.Hum., serta Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, penulis memohonkan terimakasih yang sebesar – besarnya

atas bimbingan, ilmu – ilmu yang selama ini diberikan kepada penulis yang

penulis yakin akan berguna di dalam menjalankan kehidupan sekarang, esok

dan seterusnya.

4.

Sahabat sekaligus teman dekat penulis yang sudah penulis anggap sebagai

saudara sendiri yaitu Gallif Faizal Ridha, Samuel Valentino Adiputra, Dino

Prabowo, Fahruzan, Faisal, Fahri Rizki, Eko, Ferdy Syahputra, Vendrista

Yulia, Ayu Kusuma Ning Dewi, Iriani Fadhillah, Romi Ismail, dan Julia

Fransisca karena atas bantuan motivasi dan dorongan yang telah kalian

berikan maka penulis dapat menyelesaikan tulisan ini, semoga Persahabatan

(4)

5.

Dan kepada teman – teman Mahasiswa baik teman satu angkatan dan junior

seluruhnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya serta

senior yang telah banyak memberikan arahan – arahan serta bimbingan kepada

saya.

Semoga Alllah SWT. senantiasa memberikan Rahmat dan KaruniaNya

kepada kita semua yang telah disebutkan diatas maupun pihak – pihak yang tidak

disebutkan di atas. Saya menyadari skripsi ini masih sangat jauh daru bentuk

sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik yang akan

diajukan yang mana kritik tersebut akan membuat saya menjadi lebih baik,

semoga penulisan ini dapat bermanfaat baik buat penulis dan menjadi ilmu yang

berguna bagi masyarakat.

Medan, Februari 2010

(5)

ABSTRAK

Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sangat banyak

terjadi ketidak adilan terhadap hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa tindak

pidana korupsi. Hal ini disebabkan karena adanya perumusan aturan hukuman

minimum yang bilamana difikir – fikir sangatlah tidak adil. Yang dimana dalam

rumusan dalam pasal 2 dan pasal 3 undang – undang pemberantasan tindak pidana

korupsi nomor 31 tahun 1999 yang sudah di ubah dengan undang – undang nomor

20 tahun 2001, walapun sudah terjadi perubahan dalam undang – undang ini,

namun dalam hal pengaturan hukuman minimalnya (straf minimum rule ) tetap

pada rumusan dalam pasal 2 dan pasal 3 undang – undang nomor 31 tahun 1999.

Dalam hal ini Pemerintah dan DPR.R.I yang menetapkan sistem Straf

Minimum Rules ( aturan hukuman minimal ) telah memposisikan lamanya Pidana

dalam kedua Pasal tersebut berbeda dengan prinsip-prinsip yang umum yang

terdapat dalam ketentuan-ketentuan pidana umum yang sudah belaku di

Indonesia. Dalam isi pasal 2 (1), Undang – undang ini adalah adanya larangan

bagi setiap orang dengan tidak memandang apakah ia dalam posisi menduduki

suatu jabatan tertentu, atau sedang memiliki suatu kewenangan tertentu jika ia

terbukti melakukan perbuatan memperkaya kaya diri sendiri atau orang lain, atau

koorporasi yang dapat merugikan keuangan Negara maka ia dapat dipidana,

dengan Pidana Penjara sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun. Sedangkan dalam isi

pasal 3 yang memuat adanya unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan, hanya dipidana dengan Pidana

Penjara sekurang – kurangnya selama 1 (satu) Tahun. Berdasarkan analisa

penulis maka hal ini terjadi dikarenakan adanya faktor – faktor yang

mempengaruhi dalam kinerja pembentukan undang – undang yang mana undang –

undang ini dibuat hanya semata – mata untuk melindungi para pejabat negara

yang korup. Hakim yang mempunyai peran dalam memutuskan suatu perkara

tindak pidana korupsi hanya bisa memberikan hukuman sesuai dengan apa yang

terdapat dalam undang – undang yang telah berlaku dan yang dimana putusan

tersebut tetap tidak ada rasa keadilan yang didapat, hal ini karena ada nya undang

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

ABSTRAK

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A.

Latar belakang ... 1

B.

Perumusan masalah ... 6

C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D.

Keaslian Penulisan ... 7

E.

Tinjauan Kepustakaan ... 8

F.

Metode Penelitian ... 9

G.

Sistematika Penulisan ... 12

BAB II : PEMBAHASAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI

DAN SEJARAHNYA.

A.

Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 15

B.

Sejarah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Alasan di bentuknya

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Hakim Tindak Pidana

Korupsi di Indonesia ... 19

BAB III : PENGERTIAN PEJABAT NEGARA DAN BUKAN PEJABAT

NEGARA DALAM PASAL 2 Ayat (1) DAN PASAL 3 UU. No.31

Tahun 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI.

A.

Pejabat Menurut UU.No.28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara

Negara Yang bersih dan Bebas dari Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme

(7)

UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi ... 34

B.

Pengertian Umum Tentang Seseorang Yang Bukan Sebagai Pejabat

Negara dan Kaitannya dengan Pasal 2 Ayat (1) UU No.31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 38

BAB IV : PEMIDANAAN DALAM PASAL 2 AYAT (1) dan Pasal 3

UNDANG – UNDANG No.31 Tahun 1999.

A.

Unsur pemidanaan dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang – undang

No.31 Tahun 1999 ... ... 40

B.

Perbandingan Ancaman pidana antara Tindak Pidana Korupsi

dengan Tindak Pidana Umum lainnya yang berkaitan dengan Pejabat

Negara dan Bukan Pejabat Negara ... 52

BAB V : BAGAIMANA PENERAPAN STRAF MINIMUM RULE

TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG.

A.

Kasus Tindak Pidana Korupsi yang pernah terjadi di Indonesia yang

berkaitan dengan Pejabat Negara dan Bukan Pejabat Negara ... 54

B.

Penjatuhan Hukuman yang Digunakan Hakim dalam Mengadili

Perkara Tindak Pidana Korupsi untuk Menentukan Hukuman bagi

pelaku tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan Pejabat dan

Bukan Pejabat ... 60

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan ... 70

B.

Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

Lampiran Putusan Mahkamah Agung Tentang Perkara Korupsi

1.

No.1558 K / Pid / 2005

(8)

ABSTRAK

Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sangat banyak

terjadi ketidak adilan terhadap hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa tindak

pidana korupsi. Hal ini disebabkan karena adanya perumusan aturan hukuman

minimum yang bilamana difikir – fikir sangatlah tidak adil. Yang dimana dalam

rumusan dalam pasal 2 dan pasal 3 undang – undang pemberantasan tindak pidana

korupsi nomor 31 tahun 1999 yang sudah di ubah dengan undang – undang nomor

20 tahun 2001, walapun sudah terjadi perubahan dalam undang – undang ini,

namun dalam hal pengaturan hukuman minimalnya (straf minimum rule ) tetap

pada rumusan dalam pasal 2 dan pasal 3 undang – undang nomor 31 tahun 1999.

Dalam hal ini Pemerintah dan DPR.R.I yang menetapkan sistem Straf

Minimum Rules ( aturan hukuman minimal ) telah memposisikan lamanya Pidana

dalam kedua Pasal tersebut berbeda dengan prinsip-prinsip yang umum yang

terdapat dalam ketentuan-ketentuan pidana umum yang sudah belaku di

Indonesia. Dalam isi pasal 2 (1), Undang – undang ini adalah adanya larangan

bagi setiap orang dengan tidak memandang apakah ia dalam posisi menduduki

suatu jabatan tertentu, atau sedang memiliki suatu kewenangan tertentu jika ia

terbukti melakukan perbuatan memperkaya kaya diri sendiri atau orang lain, atau

koorporasi yang dapat merugikan keuangan Negara maka ia dapat dipidana,

dengan Pidana Penjara sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun. Sedangkan dalam isi

pasal 3 yang memuat adanya unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan, hanya dipidana dengan Pidana

Penjara sekurang – kurangnya selama 1 (satu) Tahun. Berdasarkan analisa

penulis maka hal ini terjadi dikarenakan adanya faktor – faktor yang

mempengaruhi dalam kinerja pembentukan undang – undang yang mana undang –

undang ini dibuat hanya semata – mata untuk melindungi para pejabat negara

yang korup. Hakim yang mempunyai peran dalam memutuskan suatu perkara

tindak pidana korupsi hanya bisa memberikan hukuman sesuai dengan apa yang

terdapat dalam undang – undang yang telah berlaku dan yang dimana putusan

tersebut tetap tidak ada rasa keadilan yang didapat, hal ini karena ada nya undang

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Upaya memberantas korupsi bukanlah hal yang baru, jika kita meneliti

sejarah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang upaya untuk

memberantas tindak pidana korupsi sebenarnya hal tersebut telah ada sejak

diberlakukannya KUHP di Indonesia pada tanggal. 1 Januari 1918, perhatikan

Pasal. 423 dan Pasal 425 KUHP. Namun karena ketentuan Pidana dalam KUHP

tersebut dipandang tidak efektif, maka ketika diberlakukannya Undang-undang

dalam keadaan bahaya No.74 Tahun 1957 Penguasa Militer ketika itu telah

mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer tanggal. 9 April 1957 Nomor :

Prt/PM/06/1957 dan tanggal. 1 Juli 1957 Nomor: Prt/PM/011/1957, yang

didasarkan pada pemikiran bahwa pada waktu itu tidak ada usaha yang serius

untuk memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan

perekonomian Negara.

Ketika Undang-undang dalam keadaan bahaya akan habis masa berlakunya

Pemerintah telah berusaha pula untuk menggantinya, maka pada tanggal 16 April

1958, diumumkan berlakunya Peraturan Pemberantasan Korupsi Prn, Penguasa

Perang Pusat Nomor : Prt/Perpu/013/1958, dan disiarkan dalam Berita Negara

(BN), Nomor : 40/1958, dalam peraturan ini dapat dilihat keinginan Penguasa

pada waktu itu untuk menambah peraturan tersebut agar lebih efektif dalam

(10)

Pada tahun 1960, peraturan-peraturan mengenai korupsi ini diganti dan

disempurnakan lagi dengan diterbitkannya Undang-undang (Prp) Nomor : 24

Tahun 1960, dalam Undang-undang ini ada beberapa Pasal dalam ketentuan lama

yang diganti diantaranya Pasal. 40 sampai dengan Pasal 50 diganti dengan Pasal.

17 sampai dengan Pasal. 21 ditambah dengan beberapa Pasal dalam KUHP

diantaranya Pasal. 415, 416, 417, 423, 425 dan Pasal 435 KUHP

1

1

R.Soesilo, Kitab Undang – undang Hukum Pidana, Cetak ulang 1994, ( Politeia – Bogor )

.

Pada pemerintahan Orde Baru, karena didorong oleh desakan aspirasi

masyarakat maka Presiden telah mengeluarkan KEPRES No.13 Tahun 1970,

tentang Komisi Empat, dan KEPRES No.13 Tahun 1970, tentang pengangkatan

Dr.Mohamad Hatta sebagai Penasehat Presiden dalam bidang Pemberantasan

Korupsi, dan setelah melalui berbagai proses maka pada tanggal. 29 Maret 1971

Undang-undang (Prp) Tahun 1960 diubah lagi dengan Undang-undang Nomor : 3

Tahun 1971, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara

No.19 Tahun 1971.

Pada pemerintahan B.J.Habibi, karena pemerintahannya menganggap

undang Nomor : 3 Tahun 1971 kurang sempurna maka melalui

Undang-undang No.31 Tahun 1999, Undang-Undang-undang Tindak Pidana Korupsi diganti lagi,

tepatnya pada tanggal 16 Agustus 1999, kemudian ketika Baharuddin Lopa

menduduk i jabatan Menteri Kehakiman, Undang-undang Nomor : 31 Tahun 1999,

dirubah dengan Undang-undang Nomor : 20 Tahun 2001, dan masih berlaku

(11)

Ada beberapa hal yang merupakan penerapan ketentuan-ketentuan baru

diantaranya :

1. Adanya beban pembuktian terbalik , tindak Pidana Korupsi yang nilainya

kerugian Negaranya sampai dengan Rp.10.000.000,- (sepuluh juta), rupiah

Jaksa Penuntut Umum mempunyai kewajiban untuk membuktikan adanya

tindak Pidana Korupsi, sedang terhadap tindak pidana korupsi yang nilainya

diatas Rp.10.000.000,-(sepuluh juta) rupiah terdakwalah yang membuktikan

bahwa uang tersebut bukan berasal dari tindak Pidana Korupsi ;

2. Adanya pemberlakuan Straf minimum khusus, hal ini diberlakukan bagi delik

korupsi yang nilainya Rp.5.000.000,- (lima juta) rupiah atau lebih.

3. Pengambil alihan beberapa Pasal dari KUHP, menjadi Pasal-pasal delik

Korupsi dan mencabut Pasal-pasal tersebut dari KUHP.

Dari sejarah perjalanan panjang pemerintahan di Indonesia tampak bahwa

Pemerintah Indonesia adalah pemerintahan yang anti korupsi sehingga dari satu

pemerintahan kepemerintahan yang lain, dari satu orde ke orde yang lain tampak

upaya untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi, namun ternyata, korupsi masih

tetap tumbuh subur dinegara yang anti korupsi ini, apalagi jika diteliti secara

mendalam ada hal-hal yang sangat menggelitik dan memaksa penulis untuk

melakukan analisis secara Yuridis terhadap ketentuan sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dari UU Tipikor, yaitu karena adanya sikap

pembuat undang-undang dalam hal ini Pemerintah dan DPR.R.I yang

menetapkan sistem Straf Minimum Rules ( aturan hukuman minimal ) tetapi telah

(12)

prinsip-prinsip yang umum yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan pidana

umum yang sudah berlaku di Indonesia selama ini .

Pasal 2 dari UU Tipikor, berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00

(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah).”

2

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup

atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

inti dari Pasal 2, UU Tipikor adalah adanya larangan bagi setiap orang dengan

tidak memandang apakah ia dalam posisi menduduki suatu jabatan tertentu, atau

sedang memiliki suatu kewenangan tertentu jika ia terbukti melakukan perbuatan

memperkaya kaya diri sendiri atau orang lain, atau koorporasi yang dapat

merugikan keuangan Negara maka ia dapat dipidana, dengan Pidana Penjara

sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun.

Jika kita bandingkan bunyi Pasal 2 tersebut dengan bunyi Pasal 3 yang

berbunyi :

3

Adalah sangat janggal, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip umum

sebagaimana yang dianut dalam KUHP kita. Yang penulis maksudkan janggal dan

2

Himpunan Peraturan Korupsi Kolusi dan Nepotime,Cet.I,CV.Eko Jaya,Jakarta, 2004, h.41.

3

(13)

bertentangan dengan prinsip-prinsip umum itu adalah, Pasal 3 yang memuat

adanya unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan, menurut pendapat kami unsur karena jabatan ini

haruslah dijadikan unsur pemberat sesuai dengan prinsip umum yang berlaku

pada Hukum Pidana Indonesia dan seharusnya hukumannya lebih berat dari Pasal

2, atau setidak-tidaknya sama beratnya, bandingkan dengan beberapa Pasal dalam

KUHP Indonesia yang menurut prinsip umum ancaman hukumannya lebih berat

atau sama diantaranya Pasal. 294 ayat 2, KUHP, (Pegawai Negeri yang

melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatannya adalah

bawahannya, Pasal 307, KUHP

4

Jika kita bandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

tindak Pidana Umum maka seyogianya keadaan si Pelaku ( dader

.

Namun ternyata walaupun Pasal 3, memberikan ancaman Pidana kepada

setiap orang yang mempunyai kewenangan, atau kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan atau

perekonomian Negara, dan dalam Pasal ini yang dapat dipidana hanyalah mereka

yang mempunyai jabatan atau kedudukan sehingga orang tersebut karena

jabatannya itu mempunyai kewenangan, atau kesempatan atau memanfaatkan

sarana yang ada padanya telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau

koorporasi, jika terbukti hanya dipidana dengan Pidana Penjara sekurang –

kurangnya selama 1 (satu) Tahun.

5

4

R.Soesilo, Op.Cit

5

Kamus Hukum, Cetakan I, ( CV.Karya Gemilang – Jakarta 2006 )

) dalam tindak

(14)

memberatkan, sedang dalam delik korupsi ini justru sebaliknya dianggap sebagai

hal yang meringankan, oleh sebab itu beberapa kalangan praktisi hukum

menganggap delik dalam tindak pidana korupsi ini dianggap sebagai delik yang

unik. Ada apa ?

B.

Perumusan Masalah

Dalam penulisan ini terdapat beberapa permasalahan yang akan di bahas oleh

penulis, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip umum Hukum Pidana yang

berlaku di Indonesia yaitu antara pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 yang menurut

penulis sangat unik, dan timbul juga beberapa pertanyaan yang akan dijadikan

permasalahan bagi penulis, diantaranya :

1.

Apa yang membedakan pengertian Pejabat Negara dan Bukan Pejabat

Negara kaitannya dengan UU Tipikor ?

2.

Bagaimana Pemidanaan dalam UU Tipikor ini ?

3.

Bagaimana penerapan UU Tipikor ini Terhadap Putusan Mahkamah

Agung ?

C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan.

a)

Pembaca bisa mengerti tentang pengertian Pejabat dan Bukan pejabat

yang dimaksudkan dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana korupsi.

b)

Untuk mengetahui kebijakan Hakim Tipikor dalam menentukan hukuman

(15)

c)

Bagiamana pemberatan yang digunakan hakim dalam menentukan

hukuman bagi pelaku Tindak Pidana Korupsi.

Manfaat teoritis

1.

Memberi sumbangan pemikiran berupa khasanah keilmuan dalam bidang

hukum, khususnya hukum pidana.

2.

Menambah referensi hukum yang dapat digunakan sebagai acuan bagi

penelitian dalam bidang yang relevan dengan penelitian di masa

mendatang dalam lingkup yang lebih detail, jelas dan mendalam lagi.

Manfaat Praktis

1.

Memberikan penjelasan kepada instansi-instansi terkait, khususnya Hakim

Tipikor yang dalam hal ini sebagai penentu hukuman bagi pelaku.

2.

Memberikan penjelasan bagi pembaca dan akademisi sebagai hal yang

bisa dijadikan pedoman.

D.

Keaslian Penulisan.

Sepanjang informasi yang diperoleh dari penelusuran literatur dan bahan –

bahan kepustakaan lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan judul

skripsi ini yang ditulis oleh penulis.

Judul – judul yang ada tentang Korupsi tidak ada yang menyentuh materi

(16)

Rules ( Aturan Hukuman Minimal ) terhadap Tindak Pidana Korupsi

pada

Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang – Undang Nomor 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” oleh

sebab itu judul pada skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan sesuai

dengan aturan – aturan ilmiah bila ternyata terdapat judul dan

penambahan yang sama pada skripsi ini sebelum skripsi ini dibuat, maka

penulis bertanggung jawab sepenuhnya.

E.

Tinjauan Kepustakaan.

Dalam melakukan sebuah penelitian maka dibutuhkan suatu tinjauan

kepustakaan yang bertujuan sebagai bahan pemikiran penulis mengenai hal –

hal apa saja yang nantinya akan menjadibahasan terhadap penulisan ilmiah

ini,dan merupakan pembimbing atau petunjuk apabila penulis memerlukan

teori – teori dari para ahli mengenai objek yang sedang diteliti oleh penulis,

yang nantinya akan diambil menjadi sebuah kutipan untuk menambah

wawasan dan pengetahuan penulis dalam penulisan karya ilmiah

6

6

Dr.Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Cetakan I, ( CV.Mandar Maju – Bandung 2008 ), hal.9

.

Teori – teori ini diambil dari buku literatur dan dari internet. Teori yang

dibahas meliputi teori tentang tindak pidana korupsi dan hukuman minimal

dalam Hukum Pidana.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah yang

(17)

1.

Bahan Hukum Primer.

1)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

2)

Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, sebagaimana telah dengan Un dang-udang No.20 Tahun 2001.

3)

Undang-undang dan peraturan lain, yang berkaitan dengan penulisan ini.

2.

Bahan Hukum Sekunder

a)

Buku-buku ilmiah.

b)

Artikel-artikel Hukum tentang Tindak Pidana Korupsi.

c)

Makalah-makalah Khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum

tentang tindak pidana Korupsi.

F.

Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu proses yang menjelaskan cara pelaksanaan

kegiatan penelitian, mencakup cara pengumpulan data alat yang digunakan dana

cara analisa data. Metode penelitian terbagi atas jenis penelitian Hukum Normatif

yaitu penelitian dengan menggunakan kaidah – kaidah ilmiah yang didasarkan

oleh pendapat – pendapat para ahli di bidang Hukum

7

Metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah dilakukan

dengan penelitian kepustakaan ( Library Research ) guna mendapatkan landasan

, hukum pidana Khsusunya

Tindak Pidana Korupsi ( Mengemukakan pokok – pokok pikiran, menyimpulkan

dengan melalui prosedur yang sistematis dengan menggunakan pembuktian ilmiah

/ meyakinkan.

7

(18)

teoritis berupa pendapat, tulisan para ahli dan juga untuk memperoleh informasi

baik dalam bentuk – bentuk ketentuan formal maupun melalui naskah resmi yang

ada.

8

Oleh karena penelitian hukum ( normatif ) mempunyai metode tersendiri

dibandingkan dengan metode penelitian ilmu – ilmu sosial lainnya, hal itu

berakibat pada jenis datanya. Dalam penelitian hukum yang selalu diawali dengan

premis normatif, datanya juga diawali dengan data sekunder.

9

1.

Bahan Hukum Primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat, dan

terdiri dari

Bagi penelitian Hukum Normatif yang hanya menggunakan jenis data (

bahan hukum ) sebagai berikut :

10

a.

Norma atau kaedah dasar, yaitu Pembukaan Undang – undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

:

b.

Peraturan Dasar yaitu Batang Tubuh Undang – undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

c.

Peraturan Perundang – udangan.

d.

Yurisprudensi.

8

Ronny Hanitjo Soemitro, Metedologi Penelitian Hukum ( Jakarta;Ghalia Indo,Cetakan ke tiga,2004 ) hal.10

9

Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta;PT.Raja Grafindo Persada,2004) hal.30

10

(19)

2.

Bahan Hukum sekunder

11

Dalam melakukan suatu penulisan skripsi maka setelah penulis

memperoleh data maka penulis menganalisa data yang telah diperoleh oleh

penulis. Dalam tulisan ini penulis menganalisa data dengan menggunakan metode

Analisa Kulaitatif yaitu melihat bagaimana manfaat suatu peraturan per undang –

undangan dibentuk terhadap kehidupan masyarakat yang tidak dapat dijelaskan

melalui prosedur statistik.

, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer seperti hasil – hasil penelitian, atau

pendapat para ahli, para pakar hukum, buku, dan artikel – artikel hukum.

Menurut Strauss dan Corbin (2003) penelitian kulaitatif dimaksud sebagai

jenis penelitian yang temuan – temuannya tidak diperoleh melalui prosedur

statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selanjutnya, dipilhnya penelitian kualitatif

karena kemantapan peneliti berdasarkan pegalaman penelitiannya dan metode

kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang

sulit diungkapakan oleh metode kuantitatif.

12

Tujuan daripada penelitian kualitatif ini adalah supaya dapat menghasilkan

temuan yang benar – benar bermanfaat memerlukan perhatian yang seirus

terhadap berbagai hal yang dipandang perlu. Dalam memperbincangkan proses

11

Dr.Bahder Johan Nasution, Loc.cit

12

(20)

penelitian kualitatif paling tidak tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu kedudukan

teori, metodelogi penelitian dan desain penelitian kualitatif.

13

G.

Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah akan penyusunan dan pemahaman skripsi ini, penulis

membuat suatu sistematika isi secara teratur yang terdiri dari beberapa bagian dan

saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistematika atau gambaran isi tersebut

dibagi dalam beberapa bab dan masing – masing bab terdiri dari sub – sub bab.

Adapun susunan bab – bab tersebut adalah sebagai berikut :

Bab I :

Didalam bab ini diuraikan mengenai pendahuluan yang akan

mengantar kita menuju uraian – uraian atau penjelasan – penjelasan

selanjutnya. Pendahuluan ini berisi penegasan dan pengertian

judul, alasan pemilihan judul, permasalahan, tujuan pembahasan,

metode pengumpulan data dan sistematika penulisan.

Bab II :

Didalam Bab ini menguraikan mengenai pengertian Tindak Pidana

Korupsi, apa itu Korupsi, bagaimana Korupsi itu ada, dan Sejarah

Pengadilan tindak Pidana Korupsi serta hakim Tindak Pidana

Korupsi.

Bab III :

Dalam bab ini diuraikan Pengertian Pejabat Negara dan Bukan

Pejabat negara yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan pasal

3 undang – undang No.31 tahun 1999, yang dimana Pengertian

13

(21)

pejabat negara dapat dilihat dari Undang – undang No.28 tahun

1999 tentang penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi

dan Nepotisme, serta Pengertian bukan pejabat yang dapat

diketahui dari pengertian Pejabat negara.

Bab IV :

Dalam bab ini diuraikan tentang bagaiamana pemidanaaan yang

diatur dalam UU Tipikor ini serta unsur – unsur yang terkait dalam

bagiamana seseorang bisa dipidana sesuai dengan pasal yang

berlaku. Serta juga dapat diketahui bagaiman perbandingan

hukuman pada tindak pidana umum lainnya.

Bab V :

Dalam bab ini diuraikan tentang penerapan UU Tipikor khususnya

pasal 2 ayat (1) dan pasal 3, terhadap hukum di indonesia yang

dimana tindak pidana korupsi tersebtu berkaitan dengan pejabat

negara dan bukan pajabat negara, dan bagaimana hakim tindak

pidana korupsi menentukan hukuman dalam tindak pidana korupsi

yang berkaitan dengan pejabat negara dan bukan pejabat negara.

Bab VI :

Sebagaimana lazimnya suatu karya tulis ilmiah senantiasa diakhiri

dengan suatu rangkuman atau kesimpulan yang merupakan hasil

dari pembahasan. Dalam bab ini penulis akan memberikan

kesimpulan dan juga saran – saran yang nantinya dapat menjadi

sumbangan pemikiran dari penulis, namun demikian penulis sangat

menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan tentang

(22)

dilengkapi lampiran – lampiran untuk mendukung penulisan

(23)

BAB II

PEMBAHASAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN

SEJARAHNYA.

A.

Pengertian Tindak Pidana Korupsi.

Dalam ensiklopedia Indonesia istilah “korupsi” berasal dari bahasa Latin:

(corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat,

badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,

pemalsuan serta ketidak beresan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat

berupa :

a.

Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan

ketidakjujuran.

b.

Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok

dan sebagainya.

c.

Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai

kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.

d.

Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang

sogok dan sebagainya);

e.

Koruptor (orang yang korupsi).

Baharuddin Lopa sebagai seorang penegak Hukum yang disegani mengutip

pendapat dari David M. Chalmers, yang menguraikan istilah korupsi dalam

berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan

(24)

dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan

umum

14

a)

Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung

merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau

perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa

perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);

.

Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:

b)

Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat

merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).

c)

Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210,

387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.

Memperkaya diri sendiri pada prinsipnya adalah merupakan suatu

perbuatan yang halal dan dapat dibenarkan, namun apabila cara memperkaya diri

itu dilakukan dengan cara melawan Hukum, atau menyalah gunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan maka

perbuatan tersebut menjadi tidak halal dan melanggar Undang-undang dalam hal

ini Undang-undang tentang tindak pidana korupsi. Konsepsi mengenai korupsi itu

sendiri baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan

pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul

14

(25)

di Eropa setelah adanya Revolusi Perancis, sedang di Barat terutama di

negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, baru timbul pada

permulaan abad ke-19. Dan sejak itu penyalahgunaan wewenang demi

kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindakan

korupsi

15

Konsep politik semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa yang

ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan traditional,

raja atau pemimpin indentik dengan negara . Ia tidak mengenal pemisahan antara

raja dengan negara yang dipimpinnya. Seorang raja sebagai pemimpin dapat saja

menerima upeti dari bawahannya dan raja dapat menggunakan kekuasaan atau

kekayaan negara guna kepentingan dirinya pribadi atau keluarganya. Perbuatan

tersebut tidak dianggap sebagai korupsi, sebab kekuasaan politik yang ada di

tangan raja bukan berasal dari rakyat dan rakyat sendiri menerima dan

menganggap wajar jika seorang raja memperoleh manfaat pribadi dari

kekuasaannya tersebut.

.

Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat telah telah mengubah

pandangan dan melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas

(kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan

tersebut diartikan sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh

rakyat. Karena konsep demokrasi itu sendiri mensyaratkan adanya suatu sistem

yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.

15

(26)

Pengertian korupsi dalam sistem pemerintahan modern baru terjadi kalau

ada konsepsi dan pengaturan pemisahan antara pengelolaan terhadap keuangan

pribadi dan pengelolaan keuangan sehubungan kedudukannya sebagai pejabat,

hal itu menjadi sangat penting, sebab dalam sistem pemerintahan yang tradisional

seorang raja tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang kerajaan

(negara), karena raja adalah negara itu sendiri, sedang pejabat dalam sistem

pemerintahan Modern tidaklah demikian

16

16

Ibid

.

Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah

ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern

dikenal. Dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja sebagai

pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.

Dari uraian tersebut diatas, korupsi dapat didefinisikan sebagai suatu

tindakan penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), dimana

kekayaan Negara yang seyogianya dipergunakan untuk melayani kepentingan

umum, kemudian ternyata dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau

perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap

ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan antara jabatan

yang melekat pada diri seorang pejabat Negara dengan Negara, dan kenyataan

yang demikian inilah yang mungkin dipergunakan oleh pembuat undang-undang

(27)

Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk

tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang

konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif.

Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras

pembayaran tidak resmi ( pungli ), dari para investor (domestik maupun asing),

memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya

yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak

pidana korupsi.

17

B.

Sejarah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Alasan di bentuknya

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Hakim Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia.

1.

Sejarah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Alasan dibentuknya

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Penegakan supremasi hukum saat ini sedang ramai dibicarakan.

Membicarakan masalah ini memang penting mengingat Indonesia adalah negara

yang berlandaskan hukum dan konstitusi. Dengan supremasi hukum insan-insan

peradilan diharapkan tidak akan terjebak dalam retorika tentang adanya mafia

peradilan. Karena dalam mewujudkan supremasi hukum perlu adanya lembaga

peradilan yang bersih, jujur, adil dan berwibawa, dan adalah mustahil hukum

dapat berdiri tegak tanpa ditopang keadilan dari pengadilan yang bersih, jujur,

adil, dan berwibawa. Karena Pengadilan sebagai lembaga Negara, diberi

17

(28)

kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan, suatu perkara yang

diajukan kepadanya baik dalam perkara – perkara Pidana Umum, Perdata maupun

Pidana khusus, yang diatur diluar KUHP

Negara Indonesia sekarang ini merupakan salah satu negara yang

mempunyai citra buruk di dunia internasional, dalam bidang korupsi, hal ini

disebabkan karena menurut mereka negara Indonesia merupakan negaranya

koruptor. Dua lembaga Internasional yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

lewat STAR (STeall Asset Recovery) dan Bank Dunia mempunyai daftar 10 besar

kekayaan yang diperoleh dari hasil curian, ( korupsi ), yang disusun Transparency

Internasional tahun 2004 lalu. Pakar ekonomi dan mantan Menko Perekonomian,

Kwik Kian Gie menyatakan bahwa per tahun kekayaan negara yang dikorupsi

jumlahnya sangat besar bahkan melebihi APBN

18

. Pada masa orde baru

kebocoran uang negara masih 30 %, setelah reformasi bergulir tahun 1998

indikasi tindak pidana korupsi yang merusak perekonomian dan moral bangsa

justru semakin besar. Menurut laporan BPK, penyimpangan uang negara sudah

mencapai Rp 166,53 triliun atau sekitar 50 % pada periode Januari-Juni 2004

19

.

Ada sumber dari PERC (Political and Economic Consultancy) yang menyatakan

tentang korupsi di Indonesia menempati urutan nomor tiga dengan jumlah

kekayaan sebesar 8,03 miliar dolar AS

20

Berhubungan dengan fakta tersebut di atas maka Negara Indonesia

memandang perlu untuk membentuk pengadilan yang khusus untuk menangani

.

18

Yuli sulistiawan, Korupsi melebihi APBN, Kompas, 25 Oktober 2003.,h.3

19

Bee/tri, Kebocoran pada masa orde baru, Kompas, 2 Oktober 2004, h.6

20

(29)

kasus-kasus korupsi yang diwujudkan dengan membentuk pengadilan tipikor

untuk mengadili dan memvonis berat para koruptor agar tindak pidana korupsi

yang telah merugikan negara itu dapat segera terselesaikan. Pada tanggal 19

Desember 2006 Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor

012-016-019/PUU-IV/2006 telah membatalkan ketentuan pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur keberadaan

pengadilan khusus tindak pidana korupsi. Putusan itu merupakan putusan perkara

pengujian undang-undang (constitusional review). Mahkamah Konstitusi dalam

putusan menilai bahwa ketentuan pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun 2002

bertentangan dengan UUD 1945, karena telah terjadi dualisme penegakan hukum

dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi. Dualisme yang telah menimbulkan

ketidak pastian hukum dan merugikan hak-hak konstitusional para pemohon.

Adanya keputusan tersebut berimplikasi dengan keharusan dari pihak Komisi

Pemberantasan Korupsi untuk segera merevisi undang-undang tipikor agar tidak

bertentangan dengan UUD 1945. Waktu yang telah diberikan oleh Mahkamah

Konstitusi adalah dalam waktu tiga tahun. Jika dalam waktu tiga tahun itu tidak

dapat terpenuhi maka semua perkara dan kasus yang berkaitan dengan korupsi

akan diserahkan pada peradilan umum. Undang-undang pengadilan tipikor ini

merupakan salah satu terobosan untuk mereformasi dan merekonstruksi sistem

hukum yang ada di Indonesia. Hukum yang progresif merupakan jalan dan arahan

untuk terus memberikan perubahan hukum walaupun paradigma yang substansial

adalah pembalikan dari ajaran legisme tapi dalam aplikasinya tetap dibutuhkan

(30)

2.

Alasan dan Urgensitas dibentuknya Pengadilan Tipikor :

1)

Adanya legitimasi secara yuridis formal dalam sistem hukum di Indonesia,

a)

Dalam arahan politik hukum nasional disebutkan dalam Tap MPR RI

No. IX / MPR / 1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dari

KKN dan Tap. MPR RI No. VIII / MPR / 2001 yang dalam diktumnya

menyebutkan ”Bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa

Indonesia sudah serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan

menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan bernegara”

b)

Dalam pasal 15 ayat (1) undang-undang No.4 tahun 2004 tentang

kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa ”pengadilan khusus

hanya dapat di bentuk dalam salah satu lingkup peradilan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 10 yang di atur dengan undang-undang”. Yang

dimaksud dalam Pasal ini dengan pengadilan khusus salah satunya

adalah Pengadilan Tipikor.

c)

Dalam pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi diatur secara khusus mengenai keharusan

pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk mengadili

perkara-perkara korupsi yang berada di bawah pengadilan umum dan

untuk pertama kali akan di bentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

dengan pengesahan yang akan dilakukan oleh presiden.

d)

Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 012-016-019 / PUU-IV /

(31)

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur keberadaan

pengadilan khusus tindak pidana korupsi, tapi dari keputusannya itu

secara tidak langsung telah memberikan izin secara yuridis dalam

waktu tiga tahun untuk pembentukan pengadilan tipikor

2)

Adanya keinginan terhadap pembaharuan dan rekonstruksi hukum ke arah

yang lebih baik,

Masyarakat luas sekarang sudah kritis dan tanggap terhadap permasalahan

hukum yang ada, pembaharuan sistem hukum melalui konsepsi hukum progersif

sangat diperlukan demi perubahan birokrasi yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme. Adapun mengenai pendapat dari warga tentang rasa keadilan dan

kepastian hukum serta fenomena yang mendasar dan urgensi tentang pengadilan

tipikor, kebanyakan masyarakat luas juga beranggapan adanya pengadilan tipikor

juga merupakan tuntutan rasa keadilan yang kurang dirasakan oleh warga

masyarakat. Jaminan kepastian hukum juga kurang mengena pada masyarakat

luas. Adanya korupsi yang telah merajalela membuat kerugian yang sangat luas

bagi perekonomian rakyat dan dari sinilah maka perlindungan hak ekonomi dan

sosial pun juga akan terganggu yang berdampak pada rendahnnya perekonomian

rakyat.

Banyak pihak dan lembaga-lembaga masyarakat yang menginginkan segera

disahkan undang-undang pengadilan tipikor ini. Bappenas yang bekerjasama

dengan Mahkamah Agung dalam Rencana Aksi Pengadilan tindak pidana korupsi,

(32)

dilakukan untuk menangani perkara-perkara korupsi melalui suatu mekanisme

yang berbeda dari mekanisme peradilan konvensional. Pembentukan pengadilan

tipikor ini juga dimaksudkan untuk menjawab kelemahan dari mekanisme di

pengadilan biasa. Kelemahan tersebut meliputi hakim yang kurang berkualitas dan

atau juga karena proses persidangan yang dijalankan berlangsung secara tidak

transparansi.

3)

Menghindari percampuran perkara kasus korupsi di Pengadilan Umum,

Pernyataan Wakil Ketua KPK M Jasin dalam pertemuannya dengan Ketua

MACC, menyatakan jika bulan oktober tahun 2009 pemerintah tidak segera

mengesahkan undang-undang tipikor dan bahkan akan bubar maka kasus-kasus

yang ada akan bercampur dengan kasus yang ada di pengadilan umum

21

21

Bunga Manggiasih, Pengadilan TIPIKOR harus segera dibentuk, Koran Tempo, rabu 4 februari 2008, h.6

. Dari

pernyataan tersebut jelas bahwa semua berkas dan kasus akan dilimpahkan

keperadilan umum sehingga berkas-berkas tersebut bercampur dengan perkara

yang ada di peradilan umum dan inilah yang dikhawatirkan akan menyebabkan

mandeknya pengusutan kasus korupsi sehingga tidak tuntas dalam

penyelesainnya. Adapun permasalahan yang lain adalah adanya jumlah perkara di

peradilan umum lebih banyak dari jumlah hakim yang ada. Dan dengan

ditambahnya berkas perkara yang sudah ada di Pengadilan selama ini dengan

perkara korupsi yang akan masuk kepengadilan maka akan semakin sulit

terealisasinya penyelesaian perkara korupsi. Hal itu disebabkan karena jumlah

(33)

lebih besar. Fenomena tersebut akan mempersulit tahap pemeriksaan

dipersidangan karena terlalu banyak berkas-berkas atau pun dokumen yang harus

diperiksa untuk mengusut satu persatu kasus yang akan ditangani. Selain itu juga

belum tentu hakim yang ada akan mempunyai kapabilitas yang cukup memadai

untuk menyelesaikan perkara yang sedang dihadapinya.

Dengan demikian DPR sebagai perancang Undang – undang bersama

Presiden telah mengesah kan undang – undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

No.46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Korupsi, yang didalam undang –

udang tersebut telah tersusun rumusan tentang pengadilan tindak pidana korupsi,

yang disetiap bab nya telah di atur mengenai hakim, dan pengadilan tindak pidana

korupsi.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memiliki kedudukan, dan kewenangan

sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab II dan Bab III undang – undang

Pengadilan Tindak Pidana korupsi sebagai berikut

22

Dalam Bab II, diatur tentang kedudukan dan tempat kedudukan, dan

menurut ketentuan dalam Pasal. 2 Undang – undang No.46 tahun 2009

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di

lingkungan Peradilan Umum. Ini berarti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan

berada dilingkungan Peradilan Umum, sebagai pengadilan khusus, sehingga

kedudukannya akan sama dengan Pengadilan khusus lainnya yang sudah ada lebih

dahulu seperti Pengadilan PHI, Pengadilan HAM, Pengadilan Perikanan. Namun

kedudukannya lebih luas jika dibandingkan dengan Pengadilan-pengadilan

:

22

(34)

lainnya seperti tersebut diatas, karena Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan ada

disetiap Pengadilan Negeri, sebagaimana disebutkan dalam Pasal. 3, bahkan untuk

daerah Jakarta akan terbagi menjadi empat tempat sesuai dengan keberadaan

Pengadilan di Jakarta saat ini. Dan wilayah hukumnya melekat pada wilayah

hukum Pengadilan Negeri tempat pengadilan tindak pidana korupsi berada. Hal

ini juga akan menimbulkan konsekwensi bagi Komisi Pemberantasan Korupsi

untuk membentuk perwakilannya didaerah, sebab jika hal tersebut tidak

dilakukan akan menghambat proses baik penyidikan, penuntutan dan persidangan

di Pengadilan yang ada didaerah. Pembentukan pengadilan Tindak Pidana Koupsi

ditiap-tiap daerah adalah merupakan realisasi dari Pasal. 54, ayat 3,

Undang-undang No.30 Tahun 2002, Lembaran Negara 2002-137, dan Tambahan

Lembaran Negara 4250, Pasal. 54 ayat. 2, menyebutkan untuk pertama kali

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat, yang wilayah Hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik

Indonesia, sedang dalam Pasal 3 menyebutkan pula bahwa pembentukan

pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana disebut dalam ayat 2 dilakukan

secara bertahap dengan keputusan Presiden. Sebenarnya jika Pemerintah

mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi, pengadilan

Tindak Pidana Korupsi sudah dapat dilakukan tanpa menunggu lahirnya

undang-undang No.46 tahun 2009, karena menurut Undang-undang-undang No.30 Tahun 2002,

pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi cukup dilakukan dengan

(35)

Dalam Bab III, diatur tentang kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

yang dalam Pasal. 5 disebutkan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara tindak pidana korupsi, artinya Peradilan Umum sudah tidak

mempunyai wewenang lagi untuk menyidangkan perkara-perkara korupsi,

selanjutnya dalam Pasal.6 diatur tentang ruang lingkup kewenangan Pengadilan

Tindak Pidana korupsi sebagai berikut :

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:

1.

tindak pidana korupsi;

2.

tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak

pidana korupsi; dan/atau

3.

tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan

sebagai tindak pidana korupsi.

Sedang untuk Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Warga Negara

Indonesia yang berada diluar wilayah Negara Republik Indonesia, ditetapkan

dalam Pasal 7 yaitu menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,

penerapan ketentuan ini adalah sesuai dengan azas Nasionaliteit Aktief atau azas

(36)

3.

Hakim Tindak Pidana Korupsi.

Salah satu unsur yang sangat substantif dari Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi adalah Hakim. Karena Hakim adalah salah satu unsur aparat penegak

Hukum yang mempunyai posisi yang sangat strategis, sehingga dalam Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi dibutuhkan personal-personal Hakim yang mempunyai

integritas tinggi, dan komitmen yang tinggi dalam memberantas korupsi di

Indonesia, sebab tanpa itu akan mustahil korupsi bisa diberantas.

Undang-undang secara tegas telah mengatur sistem rekruitmen Hakim Tindak

Pidana Korupsi baik dari Hakim karir maupun untuk Hakim Ad Hoc sebagai

berikut :

1)

HAKIM KARIER

Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Tindak Pidana Korupsi seorang Hakim

Karier harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.

berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh)

tahun;

b.

berpengalaman menangani perkara pidana;

c.

jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi

yang baik selama menjalankan tugas;

d.

tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/atau terlibat dalam perkara

pidana;

e.

memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana korupsi yang

(37)

f.

telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

2)

HAKIM AD HOC

Sedang untuk menjadi Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a)

warga negara Republik Indonesia;

b)

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c)

sehat jasmani dan rohani;

d)

berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di

bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 (lima belas) tahun untuk

Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan

tinggi, dan 20 (dua puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah

Agung;

e)

berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat proses

pemilihan untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

dan pengadilan tinggi, dan 50 (lima puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada

Mahkamah Agung;

f)

tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

g)

jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi

yang baik;

h)

tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik;

(38)

j)

bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim tindak pidana korupsi; dan

k)

bersedia melepaskan jabatan struktural dan / atau jabatan lain selama

menjadi Hakim ad hoc tindak pidana korupsi.

Undang – undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi juga mengatur jelas tentang komposisi dan status Hakim Tindak Pidana

Korupsi yang akan menyidangkan perkara-perkara korupsi dimana dalam Bab IV

bagian ke tiga disebutkan sebagai berikut

23

a)

Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi,

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah

Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc.

:

b)

Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan

keputusan Ketua Mahkamah Agung

c)

Hakim Karier yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

selama menangani perkara tindak pidana korupsi dibebaskan dari tugasnya

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain.

d)

Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi,

dan pada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat

dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

e)

Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa

jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)

kali masa jabatan.

23

(39)

Ketentuan penunjukan hakim adhoc sesuai dengan pasal 13 undang –undang

no.46 tahun 2009 :

a)

Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim ad hoc pada Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, Ketua Mahkamah Agung

membentuk panitia seleksi yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan

masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya bersifat mandiri dan

transparan.

b)

Ketentuan mengenai tata cara pemilihan untuk diusulkan sebagai Hakim

ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) diatur dengan

Peraturan Mahkamah Agung.

Dalam memangku sebuah jabatan hakim ad hoc, seorang hakim akan dilantik

terlebuh dahulu dan harus membacakan sumpah yang telah diatur dalam undang –

undang nomor 46 tahun 2009, dalam pasal 14 dikatakan bahwa :

1.

Sebelum memangku jabatan, Hakim ad hoc diambil sumpah atau janji

menurut agamanya oleh:

1)

Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah

Agung;

2)

Ketua pengadilan tinggi untuk Hakim ad hoc pada pengadilan

tinggi;

3)

Ketua pengadilan negeri untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan

(40)

2.

Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai

berikut:

Sumpah:

”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim

dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, memegang teguh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan

perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

Janji:

“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi

kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan

segala peraturan perundang-undangan dengan seluruslurusnya menurut

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa

dan bangsa.”

Hakim adhoc pada dasarnya hampir sama dengan hakim biasa, hal ini jika

dilihat dari fungsi serta larangan – larangan yang telah diatur dalam pasal 15

undang – undang nomor 46 tahun 2009 yang isinya adalah :

Hakim ad hoc dilarang merangkap menjadi:

a.

pelaksana putusan pengadilan;

b.

wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang

diperiksa olehnya;

(41)

d.

kepala daerah;

e.

advokat;

f.

notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah;

g.

jabatan lain yang dilarang dirangkap sesuai dengan peraturan

perundang-undangan; atau

h.

pengusaha.

Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Hakim ad hoc yang

memangku jabatan struktural dan/atau fungsional harus melepaskan jabatannya.

Dengan telah dirumuskannya segala persyaratan, sumpah dan ketentuan hakim

tindak pidana korupsi, menurut penulis maka hendaknya dalam memilih dan

menyeleksi hakim tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang

(42)

BAB III

PENGERTIAN PEJABAT NEGARA DAN BUKAN PEJABAT NEGARA

DALAM PASAL 2 ayat (1) DAN PASAL 3 UU NO.31 TAHUN 1999

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

A.

Pejabat menurut UU No.28 Tahun 1999 dan peraturan Tentang

Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme serta Per Undang – udangan lainnya dan kaitannya dengan Pasal

3 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 2 dan pasal 3

undang – undang no.31 tahun 1999 adalah “setiap orang”, ini mengandung arti

bahwa pelaku adalah semua orang dengan tidak membedakan status Hukum,

apakah ia sedang, atau mempunyai jabatan, mempunyai kewenangan, tertentu atau

tidak asal perbuatannya itu bertentangan dengan hukum yang berpotensi

menimbulkan kerugian Negara, jadi kerugian secara nyata dari Negara tidak

diperlukan dalam Pasal ini, sedang dalam pasal 3, ditentukan bahwa pelaku

tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu “jabatan atau

kedudukan” hanya orang perseorangan, maka menurut penulis tindak pidana

korupsi yang terdapat dalam pasal 3 hanya dapat dilakukan oleh orang

perseorangan, atau dengan kata lain yang dimaksud dengan korporasi dalam pasal

ini adalah pengurusnya dan bukan Badan Hukumnya karena badan hukum

meskipun secara hukum adalah subjek hukum tetapi ia tidak dapat melakukan

(43)

Jika diteliti ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 3,

akan ditemukan unsur-unsur sebagai berikut :

1.

Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ;

2.

Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena

jabatan atau kedudukan ;

3.

Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ;

Yang dimaksudkan dengan “menguntungkan” adalah sama artinya dengan

mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari

pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang

diperolehnya

24

Didalam perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat

didalam pasal 3 tersebut juga terdapat kata “ jabatan” dan “kedudukan”. Menurut

E.Utrecht – Moh.Saleh Djindang

.

Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan unsur “menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan

melakukan sesuatu sehingga diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

memperoleh suatu keuntungan.

Dan keuntungan tersebut adalah merupakan tujuan dari sipelaku atau

dader tindak pidana korupsi itu.

25

24

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan 1 ( CV.Karya Gemilang – Jakarta ),hal.143

25

E.Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara

Indonesia, Cet.IX, ( Ichtar Baru - Jakarta :1990 ), hal.144

yang dimaksudkan dengan “Jabatan” adalah

(44)

diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara / kepentingan umum atau yang

dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi yang diberi nama negara, sedang

yang dimaksudkan dengan suatu lingkungan pekerjaan tetap adalah suatu

lingkungan pekerjaan yang sebanyak – banyaknya dapat dinyatakan dengan tepat

teliti ( zoveel mogelijk nauwkeuring omschreven ) dan yang bersifat “duurzaam”

atau tidak dapat diubah begitu saja.

Khusus untuk pegawai negeri sipil, yang termasuk pengertian Pegawai

negeri menurut pasal 1 angka 2, di dalam penjelasan pasal 17 ayat (1) undang –

undang nomor 43 tahun 1999 antara lain disebutkan

26

Pengertian pejabat jika dilihat dari pasal 1 UU No.28 tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, kolusi dan neportisme

adalah seseorang yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan

pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan

negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan

, yang dimaksud dengan

“jabatan” adalah kedudukan yang menunjukan tugas, tanggung jawab, wewenang,

dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam satuan organisasi negara. Jabatan

dalam lingkungan birokrasi pemerintahan adalah merupakan jabatan karier. Untuk

jabatan karier ini dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu jabatan yang secara

tegas telah ada dalam struktur organisasi, ini biasa disebut jabatan struktural. Dan

jabatan fungsional adalah jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi,

sesuai dengan fungsinya seperti peneliti, dokter, pustakawan, dan lain – lain.

26

(45)

di dalam pasal 2 UU No. 28 tahun 1999 dijelaskan pula yang termasuk pejabat

negara adalah penyelenggara negara yang meliputi :

a)

Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;

b)

Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;

c)

Menteri;

d)

Gubernur;

e)

Hakim;

f)

Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang

undangan yang berlaku; dan

g)

Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan

penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang

undangan yang berlaku.

Jika dilihat dari segi Hukum Administrasi Negara Pejabat Negara adalah

Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 11 UU No. 43 tahun 1999 tentang

Kepegawaian yaitu : Presiden dan Wakil presiden Ketua, Wakil ketua, dan

anggota MPR ketua, Wakil ketua dan anggota DPR ketua , Wakil ketua, ketua

muda dan Hakim Agung MA serta semua badan peradilan Ketua, Wakil ketua dan

anggota DPA (sudah dibubarkan) Ketua, Wakil ketua dan anggota BPK, Menteri

dan jabatan setingkat Menteri Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang

berkedudukan sebagai Duta Besar, Gubernur dan Wakil Gubernur Bupati

Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, Pejabat Negara lain yang ditentukan

(46)

undang No.28 tahun 1999 tentang Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan

bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan undang – undang No.43 tahun

1999 tentang kepegawaian maka jika dikaitkan dengan pasal 3 undang – undang

No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dimaksud

kan dengan Pejabat dalam rumusan undang – udang No.31 tahun 1999 adalah

sesuai dengan undang – undang No.28 tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara

yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan undang – undang

No.43 tahun 1999 tentang kepegawaian.

B.

Pengertian umum tentang seseorang yang bukan sebagai Pejabat Negara dan

kaitannya dengan Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dari pembahasan yang telah di jelaskan dalam sub bab sebelumnya telah

diketahui bahwa siapa yang dikatakan sebagai pejabat.

Dan dalam rumusan undang – undang No.31 tahun 1999 pasal 2 ayat (1) yang

terdapat kalimat “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…” di dalam

penjelasan tidak terdapat definisi orang yang melakukan, kata “setiap orang”

membuat penulis menafsirkan adalah siapapun orang yang melakukan tindak

pidana korupsi kecuali pejabat Negara karena sudah diatur secara khusus dalam

pasal 3 undang – undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji tingkat kepuasan dan loyalitas konsumen Gulaku, serta pengaruh atribut bauran pemasaran yang terdiri dari variabel tempat,

Akhlak siswa SMP Negeri 2 Songgom, brebes ini dilihat dan diukur dari beberapa indikator diataranya adalah akhlak manusia sebagai makhluk Allah, akhlak kepada ayah dan ibu,

003/PUU-IV/2006 menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

Sistem koputerisasi di era modern dirasa bukanlah hal yang asing lagi, terutama untuk perusahaan dengan skala yang cukup besar oleh karenanya pembuatan sebuah

Masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah ada perbedaan hasil pembelajaran dengan pendekatan bermain menolak bola berpasangan, melempar bola kebelakang ( shoken ), menolak

ke pembeli. Sang Hyang Seri Regional IV Medan bagian pengemasan juga mendapat tugas untuk mencatat ke dalam kartu gudang. Bagian pengiriman mempunyai tugas dan

a) Karya tulis ini ditulis sendiri tulisan asli saya sendiri tanpa bantuan orang lain selain pembimbing dan narasumber yang diketahui pembimbing. b) Karya tulis ini sebagian

Namun Hasil penelitian dari Rahayu (2009) yang menunjukkan bahwa sistem administrasi perpajakan modern tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib